Perempuan Melawan Neoliberalisme

Apa dan Bagaimana Free Trade Agreement(FTA)?

Kamis, 2007 Juli 26

Oleh: Ulfa Ilyas

Perpindahan barang/komoditi antar suatu bangsa dengan bangsa lainnya bukan hal yang baru tapi sudah cukaup lama. Jauh sebelumnya bangsa persia, cycilia, ataupun romawi sudah mengenal jalur-jalur perdagangan dengan bangsa lain. Penganjur neoliberal di indonesia yang tergabung dalam friedrich Ebert Stiftung sering mengungkapkan bahwa interaksi dalam perdagangan antara bangsa adalah gejala yang lama dan sudah terjalin sejak ratusan tahun yang lalu. Namun pertukaran dan perdagangan komoditi semakin massif dan intensif setelah memasuki merkantilisme, raja/bangsawan berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan akumulasi kekaayaan dari merkantilisme. Lahirlah kongsi-kongsi dagang seperti VOC(19 bangsawan belanda), EIC(kerajaan Inggris), dan lain-lain.

Kapitalisme telah mendorong pasar tercipta dan terbuka seluas-luasnya, menyingkirkan penghambat-penghambatnya; kerajaan, tahtasuci, dan pemikiran kolot. Adam Smith menyimpulkan nilai-nilai yang dianggapnya merupakan pondasi teori pasar bebas: (1) kebutuhan manusia tidak terbatas; (2) sumber-sumber ekonomi yang relatif terbatas; dan (3) pengejaran pemenuhan maksimal kebutuhan individu (utility maximization of self interest) yang relatif tidak terbatas. Dari tiga nilai dasar ini, maka perebutan dan pertarungan untuk pemenuhan kebutuhan manusia mendapatkan pembenarannya. Dari konsepsi ini lahir pembenaran untuk persaingan dalam pasar; antar produsen, antar konsumena, dan antar produsen dan konsumen.

Dalam strategi perdagangan bebas dikenal tiga pintu yang sebenarnya tujuannya sama; (1) Multilateral yang melibatkan banyak negara dari berbagai kawasan; disini kuncinya dipegang oleh WTO, (2). Regional; perjanjian perdagangan bebas hanya dalam kawasan tertentu oleh beberapa negara di kawasan itu seperti AFTA, dan yang ke(3). Bilateral antara dua negara yang sepakat perjanjian perdagangan bebas seperti FTA-Indonesaia-AS. Ketiganya menjadi kunci yang dimainkan oleh pemilik modal asing dan negara imperialis untuk menguasai perekonomian negara dunia ketiga(baca; berkembang). Setelah perjanjian perdagangan bebas gagal (baca; macet) di putaran Doha maka jalan perdagangan regional dan bilateral semakin laris dan merebak. AS sebagai superpower imperialisme mulai melihat bahwa sangat sulit melihat kemajuan perdagangan bebas global(multilateral) lewat WTO karena semakin banyak negara yang berposisi mandiri dan kritik umum terhadap kegagalan WTO. AS kemudian menekan semua negara-negara yang menjalin hubungan bilateral dengannya untuk merundingkan kesepakatan perjanjian perdagangan bebasnya. AS saangat berkepentingan dengan akses sumber bahan baku dan sektor jasa negara-negara berkembang, dan sebagai konpensasinya membuka(memberi kuota khusus) untuk produk impor pertanian yang dilindungi di AS.

Langkah AS, ini juga di ikuti oleh Korea Selatan, China, Jepang dengan membuka negosiasi FTA dengan negara-negara Asia dan kelompok regional seperti ASEAN. Cina cukup agresip mengejar FTA ini. Ekonomi Cina yang tumbuh dengan laju 9% setahun sangat membutuhkan bahan mentah dan energi, juga beberapa produk pertanian dan kehutanan, yang ia ingin pastikan dengan FTA ini. Maka di Indonesia kita rasakan masuknya Cina secara cukup agresip di bidang energi (mengusahakan Kontrak Bagi Hasil di bidang migas). Lewat FTA dengan Asean dan negara anggotanya maka Cina juga berusaha untuk “mengatur” (manage) perdagangan bilateralnya agar tidak terlalu mencemaskan mitranya. (M. Sadli , Kompas,25/5/2005).

BFTA boleh dikatakan manuver politik dari negara-negara imperialis untuk menutupi kenyataan buruknya perdagangan bebas global(multilateral) yang di komandoi WTO. Kritik meluas terhadap intervensi dan dominasi negara-negara imperialis kuat seperti AS, Jepang, Inggris, dan lain-lain dalam pengambilan kebijakan perdagangan WTO. Oleh beberapa pemimpin negara berkembang mulai merasa ketidakberesan dalam mekanisme yang diinginkan WTO seperti pembukaan pasar dalam negeri negara berkembang sedangkan disisi lain AS dan Eropa masih menjalankan proteksionisme dan subsidi pertanian.

Dampak yang dtimbulkan oleh FTA juga tidak jauh beda dengan konsekuensi dari perjanjian multilateral ala WTO; Menurut Lutfiyah Hanim, Program Officer IGJ, “Karakteristik dasar dari kesepakatan perdagangan bebas, khususnya dengan AS, adalah WTO-plus. Maksudnya, tingkat liberalisasi yang dilakukan lebih tinggi dibandingkan liberalisasi yang dilakukan di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization –WTO).” . selain itu dampak dari pemaksaan pengakuan hak paten terhadap tumbuhan/tanaman misalnya dapat berdampak pada petani susah mendapatkan akses terhadap benih atau sumber daya tersebut karena semua telah di monopoli oleh perusahaan asing yang telah memiliki paten tersebut. di Thailand menopoli hak paten oleh perusahaan AS dalam perjanjian BFTA-US-Thailand telah menyebabkan konsumen tidak mampu menjangkau harga-harga obat-obatan. Masalah terpenting dari FTA ini, hanya terletak pada persoalan kedok imperialisme mendekati dan menekan pemerintahan dunia ketiga. Bayangkan, pemerintahan seperti SBY-Kalla yang tidak memiliki wibawa politik di mata internasional harus melakukan negosiasi/perundingan dengan Bush---yang merupakan mandornya, yang terjadi adalah penyerahan semua kedaulatan nasional terhadap sumber kekayaan alam kepada imperialis. BFTA indonesia-singapura, sangat meruagikan indonesia dari segi politik(keamanan) dan ekonomi.

Penulis adalah aktivis Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND) Jakarta Pusat.

2 komentar:

  1. Abdul Muiz Syaerozie mengatakan...

    cara pandang Ulfah memang menarik, setidaknya dapat menjadi bahan dalektika pemikiran kita.
    Thanks. http://www.pusatdialog.blogspot.com

  2. Ahmad Rafsanjani mengatakan...

    halo,
    analisis dalam tulisannya keren. mencerahkan. oia, kalo boleh, gue hyperlink ya blog elo, atau kita saling ber-hyperlink aja (apa sih?!!?)...

    tengkyu

    Ahmad Rafsanjani
    www.heilraff.blogspot