Perempuan Melawan Neoliberalisme

Komisi Politicking Korupsi (KPK)

Oleh: Ulfa Ilyas

Beberapa hari yang lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi kembali memperlihatkan sepak terjangnya, terutama dalam membabat habis kasus-kasus korupsi di Indonesia, dengan memanggil dan memeriksa sejumlah anggota DPR. Sebelumnya, KPK juga dipuji-puji soal keberhasilannya menangkap “basah” kasus suap yang melibatkan Anggota KPPU, Moh. Ikbal, dengan direktur First Media, Billy Sundoro, di Hotel Aryaduta, Jakarta. Dengan kesuksesan tersebut, terutama dalam kesanggupan “menjebak” pelaku korupsi dan suap, KPK telah dinobatkan menjadi “koboi” baru dalam pemberantasan korupsi di negeri ini.


Akan tetapi, di balik kesuksesan tersebut, muncul sebuah pertanyaan; jika KPK sanggup menggebrak pintu sejumlah lembaga dan departemen, bahkan tokoh politik, kenapa KPK tidak sanggup mendobrak pintu cendana (kasus korupsi Soeharto dan kroninya); kenapa KPK tidak sukses membongkar kasus korupsi, dan kemungkinan suap, yang terjadi di lembaga negara, kementerian, BUMN, dan lain sebagainya. Kenapa BLBI tidak dapat diungkap dan dituntaskan kasusnya?

Teknik “Tebang Pilih”

Isu yang menyebutkan, bahwa teknik pemberantasan korupsi di bawah pemerintahan SBY-JK sangat “tebang pilih”, dan digunakan untuk menghajar atau menjatuhkan lawan-lawan politiknya, patut menjadi kecurigaan bersama. Secara kasat mata, persoalan korupsi telah meliputi hampir seluruh jajaran birokrasi dan pemerintahan, serta dari pusat hingga ke daerah. Masalah ini, setidaknya untuk beberapa tahun terakhir, telah menjadi persoalan besar bangsa ini, karena perilaku korupsi merupakan factor dominan yang menggerogoti anggaran Negara.

Jika demikian, kenapa pemberantasan korupsi seolah-olah menyasar musuh-musuhnya, dan bukannya “pukul rata dan tanpa pandang bulu”. Korupsi telah menjadi instrumen politik, ibarat skenario penjatuhan lawan politik dalam film-film barat, menempatkannya sebagai “amunisi” yang dapat ditembakkan kepada sasaran yang diinginkan. Dengan demikian, penguasa yang mengendalikan lembaga anti-korupsi dapat menyasar musuh-musuh politiknya, dan mendapat dua keuntungan sekaligus; pertama, sukses menyingkirkan lawan politik terutama yang terindikasi terlibat kasus korupsi. Kedua, disebut berprestasi memberantas korupsi karena kesuksesannya membongkar dan mengadili sejumlah kasus korupsi.

Selain kepentingan penguasa, isu ini dapat juga menjadi “pesanan” kekuatan-kekuatan asing, terutama neoliberalisme yang menghendaki “keleluasaan modal” di Indonesia tetapi dengan syarat, bahwa seluruh rintangan terhadap modal, termasuk korupsi, harus diberantas.

Politicking versus Keadilan Rakyat

Gerakan pemberantasan korupsi sedang mendapat tantangannya; Pertama, pemberantasan korupsi harus memberikan rasa keadilan bagi seluruh rakyat, dengan menerapkan pemberantasan korupsi terhadap siapapun, tanpa pandang bulu. Kedua, pemberantasan korupsi harus mampu mengembalikan seluruh kerugian Negara, dengan melakukan penyitaan terhadap seluruh asset-aset koruptor. Ketiga, pada level politik, untuk memulihkan kepercayaan rakyat terhadap lembaga Negara, maka pemberantasan korupsi harus dimulai dari dalam istana, DPR/MPR, TNI/POLRI, dan seluruh lembaga tinggi Negara lainnya, baru kemudian mengarah ke bawah.

Peran ini tidak mungkin hanya diletakkan pada pundak KPK saja, tapi juga harus melibatkan partisipasi Rakyat, sebagai pilar utama gerakan anti-korupsi. Sudah seharusnya, keterlibatan rakyat dalam proses ini bukan sekedar pengaduan, tapi pada pengontrolan langsung terhadap institusi penegakan hukum dan lembaga Negara. Metode “pembuktian terbalik”, boleh menjadi sebagai ide awal untuk memulai mendorong partisisipasi rakyat untuk menggedor-gedor pintu gerbang para koruptor.

substansial perdebatan soal gerakan pemberantasan korupsi bukan hanya terletak pada bagaimana memberikan efek jerah dan malu pada pelaku, tapi yang terpenting adalah mengkonkritisasi eksistensi lembaga anti-korupsi, sebagai garda depan dalam gerakan ini, dan kemudian adalah soal partisipasi rakyat. Mekanisme pemberian sanksi, berupa hukuman mati atau penggunaan baju khusus, baju koruptor, tetap merupakan masukan penting, tapi yang terpenting adalah mengoptimalkan institusi pemberantasan korupsinya.

Dan karena itu, disini, terletak beberapa hal yang seharusnya menjadi pekerjaan kedepan bagi gerakan anti korupsi, termasuk meluruskan kinerja KPK; pertama, mengubah struktur sosial dan lingkungan politik yang telah menjadi lahan tumbuhnya korupsi. Gebrakan untuk ini bukan saja mempertinggi ancaman hukuman, tetapi memperluas control terhadap seluruh lembaga melalui partisipasi rakyat. kedua, melakukan pengembalian secara maksimum terhadap uang negara yang telah dikorupsi. Penyitaan harta pejabat harus setara dengan jumlah dana yang dikorupsi, belum masuk sanksi kurungan tambahan jika tidak sanggup melunasi utang korupsinya. Ketiga, lembaga peradilan harus diletakkan dibawah control rakyat, dimana hakim atau aparat penegak hukum yang melakukan pelanggaran akan segera dicopot dan diberi sanksi oleh rakyat. rakyat dapat mengajukan nama-nama hakim dan aparat hukum bermasalah, untuk selanjutnya mendapatkan proses hukum setimpal.

Ulfa Ilyas, Jurnalis Berdikari Online



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: Februari 2009