Perempuan Melawan Neoliberalisme

(EMPAT MATA) TUKUL; DAN TUBUH KAUM PEREMPUAN






Oktober 4, 2007

Oleh: Ulfa Ilyas

Dalam sekejap nama Tukul Arwana melejit menjadi artis/Presenter papan atas, lewat acara yang dipandunya “ Empat-Mata”. Beberapa kata-kata Tukul seperti “ ta’ sobek-sobek mulutmu”, “ Puas..Puas..Kamu”, “Katro”, “Ndeso” menjadi kata-kata yang begitu familiar di masyarakat. Tidak bisa di pungkiri bahwa kepiawaian(Kekocakan) Tukul Arwana dalam memandu acara ini menjadi faktor penting acara “ empat mata” masuk Reality Show dengan rating tertinggi. Tetapi di balik kesuksesan ini satu hal yang telah di lupakan, yang sekaligus menjadi kunci sukses Tukul dan Acara ini adalah persoalan “ Tubuh Perempuan”. Sejak dahulu persoalan tubuh perempuan telah menjadi perdebatan pokok gerakan perempuan. Dalam tatanan masyarakat patriarkis, konstruksi sosial budaya atas tubuh perempuan digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan dominasi laki-laki atas perempuan. Dominasi ini terlihat dari sikap masyarakat yang menempatkan seksualitas perempuan sebagai pemuas hasrat seksual laki-laki. Jadi, pusar perempuan menjadi masalah, tetapi pusar laki-laki dianggap biasa saja. Di sinilah bias jendernya! Begitu tukul menerima bintang tamu perempuan yang notabene artis-selebritis yang menarik/seksi(Kata mereka), maka perbincangan pun tidak jauh dari soal lekukan tubuh, dan persoalan ranjang. Dan kemudian disambut dengan ketawa-ketiwi penonton seperti orang kesurupan (huah..huah..puas..puass). Memang tingkah laku kocak tukul juga mempengaruhi ketawa-ketiwi penonton, tetapi bakat alami( Tukul) ini tidak mendongkrak popularitasnya ketika jadi pelawak di acara lainnya. Memang Orang-orang yang memuja patriarkhi adalah orang-orang “katro”, dan budayanya orang-orang “Ndeso”.

Kenapa membicarakan tubuh perempuan sangat menarik? tubuh yang dibicarakan pun hanya seputar pusar dan sekitarnya. Ada apa dengan organ tubuh perempuan ini? Apa bedanya dengan kaki, Tangan, telinga, telapak kaki, atau lainnya. Bagi masyarakat Indonesia yang masih di pengaruhi budaya feodalisme, perempuan hanya di tempatkan sebagai manusia kedua yang layak ditempatkan sebagai pelengkap; dan hal itu dipertegas dengan pandangan adat, budaya, dan ideologi yang diterima oleh masyarakat luas (rakyat jelata) yang harus bekerja keras dan membayar upeti dan tenaga kerja—misalnya untuk laki-laki dijadikan pasukan perang dan untuk perempuan dijadikan selir dan pembantu istana—diabdikan pada para tuan tanah, raja dan bangsawan, yang dibantu para pendeta dan pujangga-pujangganya sebagai pemasok kesadaran anti-kesetaraan melalui fatwa-fatwa dan seni-sastra. Yang lebih penting, masyarakat feodal-kolot adalah lahan subur bagi kebodohan massa rakyat dan minimnya teknologi yang membuat masyarakat tidak dapat berpikir secara objektif dan demokratis. Pandangan masyarakat dan landasan teori dalam melihat masalah sosial sepenuhnya dikuasai oleh kaum minoritas yang berada di sekitar keluarga bangsawan. Dalam konteks Indonesia muncul budaya cacat; yakni kita sekarang menginjakkan kaki di alam kapitalisme, tetapi karena kapitalisme yang masuk adalah kapitalisme cangkokan(kolonialisme) maka sisa-sisa budaya feodalisme masih sangat kuat. Inilah problem pokok yang dialami kaum perempuan Indonesia sekarang, sejak Kartini memulainya, hingga sekarang perjuangan melawan patriarkhi masih terus berlanjut termasuk menghadapi Negara yang telah turut men-sahkan patriarkhi dengan kebijakan Politiknya.

Sekali lagi persoalan tubuh perempuan telah menjadi komodit——-karena dari acara itu Tukul dan Trans TV mendapat keuntungan yang begitu besar. Memang ideology seksisme dalam kapitalisme telah menempatkan perempuan di hargai hanya karena daya tarik seksualnya, sisanya dilempar menjadi buruh-upahan dengan upah murah(dalam pabrik industri kapitalis). Dalam masyarakat yang menganut demokrasi seperti Indonesia, Kok perempuan masih terus di rugikan hanya karena kelaminnya? Persoalan tubuh perempuan terus menerus di persoalkan di negeri ini. Dulu RUU APP tentang Pornografi dan Pornoaksi, seolah-olah persoalan bangsa di sebabkan karena persoalan bagaimana kaum perempuan berpakaian sehingga (Negara) harus mengaturnya. Dengan kata lain, bila perempuan Indonesia baik-baik (tidak pakai pakaian terbuka/seksi serta tank top dan tidak tampil di majalah playboy), maka, moral bangsa dan agama akan terjaga dengan baik. Apa buktinya? Omong KOSONG! Di Negara –negara di mana kaum perempuan seluruh badannya di tutupi tingkat pemerkosaan, pelecehan seks, dan trafficking justru sangat tinggi. Berapa banyak TKW kita yang telah menjadi korban pelecehan seksual, dan pemerkosaan di Negara-negara Arab?

Andrea Dworkin menulis buku Pornography: Men Possessing Women pada tahun 1981. Di buku tersebut ia mendefinisikan pornografi sebagai alat bagi laki-laki untuk menguasai perempuan. Ia ber-argumen bahwa pornografi bukan hanya persoalan seks akan tetapi lebih pada persoalan dominasi dan kekerasan laki-laki. Baginya, pornografi merupakan isu feminis. Bagi feminis Libertarian memang tidak ada salahnya membicarakan persoalan seks secara terbuka, bahkan kaum perempuan berhak untuk memiliki fantasi seksual seliar mungkin karena itu bentuk perlawanan terhadap hasrat seksualitas perempuan yang terefresi oleh norma-norma yang kaku. Sehingga kaum feminis libertarian mengejek kaum Feminis yang menuntut pembatasan terhadap publikasi fornografi sebagai kelompok perempuan yang ingin di sebut “Perempuan Baik-Baik”.

Dalam hal ini perempuan klas atas, selebriti yang di untungkan oleh system komoditi merasa sama sekali tidak di rugikan dengan perbincangan soal- tubuh perempuan, atau tentang hubungan seks tanpa cinta. Sangat beda dengan perempuan klas bawah yang telah diskreditkan, dicap “tidak bermoral”, bahkan ungkapan seperti Jablai semakin merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan.

Write your body! Stop eksploitasi Tubuh Perempuan


Jika kita mengakui perjungan R.A Kartini maka kita harus menghargai nila-nilai yang diperjuangkan Kartini, sejak dulu beliau memperjuangkan hak kesetaraan kaum perempuan dan laki-laki dalam semua aspek kehidupan ( Pendidikan, Politik, sosial, budaya, termasuk dalam media). Write Your Body! Teriak Aktivis –aktivis feminis sekarang, saatnya kaum perempuan melakukan interpretasi terhadap tubuhnya sendiri. Seks, tubuh, dan sensualitas merupakan eskpresi kebebasan intelektual yang tidak mengandung bahaya apapun. Dalam kasus “ Empat Mata; Tukul Arwana” itu hanyalah salah satu contoh bagaimana adegan patriarkhal menjadi tontonan menarik, mungkin kesimpulan yang di ambil penulis sangatlah cupet, tetapi sesempit apapun bentuk penindasan terhadap kaum perempuan itu harus di suarakan karena jika tidak ini akan menjadi pembenaran terus-menerus. Tayangan-tayangan berbau religi pun sebenarnya kental dengan stereotype perempuan sebagai makhluk lemah, tidak berdaya, dan biang pengumbar Nafsu, jadi setiap lelaki harus mempertebal keimanannya untuk mencegah rayuan perempuan.
Seksisme tidak bisa di pisahkan dari praktek kapitalisme, sehingga adalah mustahil menghilangkan ideology dalam susunan masyarakat kapitalis. Dalam pengertian ini bisa di ambil kesimpulan bahwa perjuangan perempuan membebaskan dirinya tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa dipisahkan, dengan perjuangan gerakan sosial secara umum. Di bawah pemerintahan SBY-JK kita tidak menemukan perbaikan-perbaikan dalam persoalan hak-hak kaum perempuan.

Ulfa Ilyas:Peneliti di Lingkar Study Perempuan(LSP), Anggota Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokarsi (LMND).

1 komentar:

  1. Abdul Muiz Syaerozie mengatakan...

    Dari arah matahari mulai terbit, aku sempat menatap sosok perempuan yang penuh ghirah untuk membebaskan dirinya, dan untuk perempuan semuanya. dialah ulfa. selamat berjuang kawan...http//www.pusatdialog.blogspot.com