Perempuan Melawan Neoliberalisme

Meneropong ’Perempuan’ dalam Acara “Silat Lidah”



Februari 12, 2008

Oleh: Ulfa Ilyas

Persaingan memperebutkan minat pemirsa (baca: penonton) TV sangat gencar dilakukan oleh stasiun-stasiun TV swasta di Indonesia. Fenomena yang mengiringi hal tersebut kemudian adalah munculnya berbagai bentuk acara dengan kemasan khusus. Tengok saja salah satunya, yaitu program acara “Silat Lidah” yang ditayangkan oleh salah satu stasiun TV Swasta. Seperti diketahui, acara tersebut dipandu oleh host Irwan Ardian dengan menghadirkan beberapa panelis yang berasal dari selebritis, aktivis, maupun penulis novel, seperti: Mellisa Karim, Julia Perez, Aline, Dian Utami, Lula Kamal, Ria Irawan, Ratna Sarumpaet, dan Djenar Maesa Ayu. Sedangkan tema-tema yang diangkat berkisar gaya hidup, perselingkuhan, free sex, dan masalah sosial budaya lainnya.

Sejak diluncurkan, muncul beragam respon dari masyarakat mulai dari yang memaki, meminta cara ini dihentikan, meminta acara ini dikemas lebih bagus, hingga usulan tema terhadap keberadaan “Silat Lidah”. Namun, terlepas dari tujuan utama dari acara ini -untuk memberikan hiburan ringan kepada masyarakat Indonesia-, patut dikritisi juga tentang penggunaan media perempuan yang seolah-olah mewakili kepentingan mayoritas perempuan Indonesia.

Perempuan Sebagai Objek

Kendati tema yang ditawarkan sangat luas bahasannya, namun tidak bisa di tolak bahwa sentral utama acara ini adalah perempuan -baik itu tentang penampilan fisik para panelisnya maupun komentar yang mereka suarakan. Dalam masyarakat kapitalis -yang menyandarkan pada produksi komoditi-, penggunaan media perempuan adalah hal yang paling lazim dilakukan oleh industri hiburan. Hal itu tidak hanya dalam bentuk penggunaan perempuan dalam iklan produk, tetapi juga sampai hal-hal yang berbau penggunaan otak –semisal dalam acara “Silat Lidah”.

Kenyataan yang paling miris dari situasi tersebut adalah penggunaan perempuan yang selalu diseret pada aspek-aspek daya tarik seksualnya. Kendati persoalan seksual adalah aspek biologis yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan, namun penekanan perempuan sebagai pengumbar daya tarik seksual mengandung aspek-aspek ideologis dan politis. Belum lama ini saja, penggunaan media perempuan sebagai objek untuk kepentingan promosi komoditi banyak di kritisi aktivis perempuan -seperti dalam kasus iklan layanan sebuah operator selular.

Dalam masyarakat patriarkal, perempuan dipandang sebagai anggota masyarakat nomor dua setelah laki-laki. Ekspresi dari bentuk sistem sosial ini penempatan perempuan sebagai sekedar instrumen kepuasan dan kejayaan laki-laki -termasuk dalam hal seksual. Dalam acara silat lidah, hal ini termanifestasikan dalam perbincangan-perbincangan: soal bagaimana perempuan memenuhi kebutuhan seksual laki-laki dengan maksimal. Akibatnya mau tidak mau audiens akan terbawa dalam aroma perdebatan soal lekukan tubuh, bentuk organ seksual, ataupun bagaimana memelihara hubungan intim.

Tak jauh berbeda, untuk laki-laki ditonjolkan juga hal-hal semacam: laki-laki idaman bagi perempuan yang juga sekaligus bisa memberikan kepuasan kepada perempuan. Kata-kata seperti “seksi”, “metroseksual”, “tinggi semampai”, “kulit putih”, hingga “kekayaan” merupakan kata-kata yang paling sering dilontarkan. Anehnya itu dianggap sebagai ciri masyarakat modern.

Beberapa panelis tetap dalam acara silat lidah distreotipkan oleh publik -yang dibentuk media massa- sebagai perempuan ideal, menarik, dan ngetop. Eksistensi mereka sebagai selebritis -dengan kehidupan sosial keseharian selalu di publikasikan dalam berbagai tayangan infotainment-, telah menjadi suatu prasangka umum bahwa mereka lah yang mewakili kaum perempuan Indonesia.

Apakah persoalan yang dialami perempuan Indonesia saat ini hanyalah berkutak pada hal-hal yang dijelaskan diatas? Kendati juga membahas persoalan sosial budaya -termasuk kemiskinan dan pendidikan- pembahasannya tidak lah kualitatif dan mendalam.

Perempuan Membebaskan Tubuhnya?

Kaum perempuan pun berteriak, “Write Your Body?”. Silahkan kaum perempuan yang menginterpretasikan tubuhnya sendiri. Semua orang -termasuk kaum perempuan- memiliki hak untuk menafsirkan dirinya sendiri dalam hubungan-hubungan sosial. Tidak boleh ada kekangan dan prasangka yang memundurkannya.

Acara ”Silat Lidah” sama sekali tidak berkontribusi untuk peningkatan peran dan kesadaran perempuan, meskipun objek kebanyakan pembahasannya diporsikan untuk perempuan. Keberadaan aktivis perempuan semacam Ratna Sarumpaet dalam forum perbincangan juga tak kunjung memberikan pencerahan baru kepada perempuan Indonesia. Padahal jangkauan acara tersebut sangat luas. Malah seringkali berhembus argumentasi yang ’berbau’ feminisme radikal. Sebuah paham feminisme yang mencapai tingkatan kesadaran anti laki-laki atau seolah-olah tidak lagi membutuhkan laki-laki.

Di beberapa session, Ratna melontarkan argumentasi bahwa sebagian besar persoalan perempuan adalah karena laki-laki. Dia tidak menjelaskan akar ideologis, politis, dan ekonomisnya. Persoalan pelacuran misalnya, yang dipandangnya tidak dilepaskan dari keberadaan laki-laki yang membutuhkan sex (baca: lelaki hidung belang). Padahal, jika di bongkar lebih jauh akan terbongkar sebuah realitas bahwa persoalan pelacuran tidak bisa dipisahkan dengan persoalan ekonomi-politik -terutama kebijakan politik Negara. Negara yang berwatak maskulin lah yang cenderung menempatkan kaum perempuan sebagai streotip yang sangat buruk.

Kaum Perempuan memang butuh ruang untuk berbicara, terutama untuk membicarakan keberadaannya. Namun, ruang yang dimaksud tidaklah mungkin digelar seperti acara silat lidah yang ramai perdebatannya namun tidak menyentuh persoalan perempuan. Padahal perempuan adalah objek utamanya. Maka diperlukan sebuah ruang yang terbuka dan sehat bagi perempuan untuk memperdebatkan persoalan-persoalannya secara ilmiah dan demokratis. Karena kaum perempuan tidak akan mungkin menghilangkan kekangan dalam dirinya; tidak akan sanggup menginterpretasikan dirinya; kalau tidak ada kesadaran utuh kaum perempuan untuk membebaskan dirinya.

Penulis adalah Aktifis Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi Jakarta Pusat.

1 komentar:

  1. Anonim mengatakan...

    Saya seorang mahasiswi tingkat akhir
    yang sedang skripsi, nama saya Eka....saya mohon dengan sangat bantuan anda, untuk wawancara sebagai informan saya. kajian saya tentang perempuan pada Film Perempuan Punya Cerita. Mau tau pendapat Anda tentang perempuan di film tersebut, melalui perspektif feminis. Mohon kesediaan dan bantuannya.Boleh minta e-mailnya kan?. Minta kabar secepatnya e-mail saya : eka_geeplu9@yahoo.co.id

    terima kasih sebelumnya.