Perempuan Melawan Neoliberalisme

Refleksi HUT Kemerdekaan (3): Kaum Miskin Perkotaan Terus Terpinggirkan

SEPERTI yang dicatat Pramoedya, berbicara mengenai proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 agustus itu, maka jangan lupakan peranan para rakyat miskin kota dan para preman senen.

Mereka itu, kata Pram, menjadi penyokong revolusi kemerdekaan dan pembela kemerdekaan pada masa awal, diantaranya peristiwa pembacaan proklamasi dan rapat akbar di lapangan Ikada, Jakarta.

Akan tetapi, walaupuan rakyat miskin kota punya peranan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan ini, tapi mereka tetap menjadi "pengecualian" dalam menikmati hasil-hasil dari kemerdekaan. Sekarang ini, rakyat miskin indonesia masih merupakan kelas sosial terpinggirkan di republik ini, dan mereka tidak diberi hak dan akses apapun terhadap sumber daya ekonomi, politik, dan sebagainya.

Dalam kurun 46 tahun paska kemerdekaan, gambaran kesulitan ekonomi dan diskriminasi politik, masih menggeluti sebagian besar rakyat di negeri ini, baik di wilayah perkotaan maupun di pedesaan. Di perkotaan, kemiskinan menjangkiti sebagian besar dari populasi, utamanya sektor-sektor sosial yang terkesampingkan oleh industrialisasi; pekerja sektor informal, penganggur, pengemis, tuna wisma, dan sebagainya.

Sementara itu, di pedesaan, tingkat kemiskinan dipacu oleh kehancuran tenaga produktif di pedesaan, utamanya sektor pertanian.

Jika mengacu kepada angka-angka, maka ditemukan angka kemiskinan rakyat Indonesia yang masih cukup tinggi. Menurut BPS, pada tahun 2009, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 40 juta (18,2%). Sementara itu, jika mengacu pada kriteria Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia sudah mencapai 60%.

Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ikhsan Modjo mengatakan, tingkat kemiskinan transien dengan pendapatan Rp 220 ribu-500 ribu perbulan, telah mencapai 50% dari total penduduk.

Di perkotaan, de-industrialisasi telah mendorong peningkatan jumlah orang miskin dan memperluas pengangguran. Saat ini, percepatan de-industialisasi sektor manufaktur, baik tekstil, garment, makanan, dan sebagainya, sudah mencapai pertumbuhan negatif sebesar 3,7%. Selain itu, sektor ritel modern dan ritel tradisional juga terus terpukul oleh peritel asing, sehingga menyebabkan jatuhnya pangsa pasar produk di dalam negeri, serta gelombang PHK yang tak berujung.

Situasi ini, bagaimanapun, berkontribusi pada penggemukkan sektor informal. Menurut catatan kami, jumlah pekerja sektor informal telah meningkat dari 68% pada tahun 2005 menjadi 73% pada tahun 2008. Artinya, sebagian besar rakyat atau penduduk di negeri ini tidak punya pendapatan tetap, dan terancam secara ekonomis.

Semenjak kemerdekaan, dan terutama setelah rejim orde baru hingga sekarang, perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, seperti makanan, perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan, masih sangat rendah. Di bidang perumahan, pada tahun 2004, masih ada sekitar 32,3% rakyat Indonesia yang belum punya rumah atau hunian yang layak. Selanjutnya, pemenuhan air bersih untuk rakyat juga masih terpuruk, sebab masih ada 119 juta orang yang belum dapat mengakses air bersih.

Di bidang pendidikan, seiring dengan nafsu "buas" pemerintah untuk menempatkan pendidikan pada mekanisme pasar, jumlah putus sekolah terus meningkat. Pada tahun 2007, mengutip data Komnas Perlindungan Anak (PA), jumlah anak putus sekolah mencapai 11,7 juta jiwa. Sementara pada tahun 2009, angka ini sudah meningkat menjadi 13 juta jiwa. Ini belum ditambahkan dengan jumlah pelajar yang tertolak atau kehilangan kesempatan belajar di perguruan tinggi, sebab keputusan pemerintah memprivatisasi universitas/perguruan tinggi.

Sementara itu, kondisi serupa juga dirasakan rakyat di bidang kesehatan. Sejauh ini, akses sebagian besar rakyat Indonesia terhadap pelayanan kesehatan masih sangat rendah. Meskipun faktor kesehatan dipandang penting bagi pembangunan, tapi anggaran kesehatan tidak pernah melampaui 3% dari total APBN.

Apalagi, persoalan kesehatan rakyat kini berhadapan dengan upaya liberalisasi, yaitu usaha melemparkan pelayanan kesehatan sebagai komoditi yang diperjual-belikan. Akibatnya, hanya mereka yang punya duit yang bisa membeli pelayanan kesehatan, sementara orang miskin ditolak atau diusir rumah sakit.

Dari gambaran diatas, sebetulnya, ini baru mewakili sebagian kecil dari persoalan yang dialami oleh rakyat miskin, disamping persoalan penggusuran, diskriminasi politik, dan persoalan-persoalan lainnya.

Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), sebuah organisasi gerakan rakyat miskin yang concern mengadvokasi pemenuhan hak dasar rakyat miskin seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan sebagainya, mengakui bahwa rakyat miskin masih merupakan warga negara kelas dua di negeri merdeka ini. Buktinya, kata mereka, belum pernah sedikitpun pemerintah atau otoritas resmi mau mendengar keluhan rakyat miskin.

Dika Muhammad MN, pengurus DPN Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), mengatakan, secara umum rakyat miskin di Indonesia belum pernah merasakan kemerdekaan. Pasalnya, menurut dia, persoalan-persoalan mendasar sekalipun, yang seharusnya menjadi kewajiban negara menurut konstitusi, belum pernah terlaksana dengan baik; pendidikan belum merata, akses kesehatan masih buruk, lapangan kerja tidak tersedia, kebutuhan pokok semakin mahal, dan sebagainya.

Sekarang ini, kegagalan negara ini bertambah berkali-kali lipat, sebab rejim yang berkuasa selalu mengadopsi kebijakan neoliberalisme. kebijakan neoliberal ini, yang dituding oleh banyak kalangan, sebagai biang kerok dari meluasnya kemiskinan rakyat, melebarnya kesenjangan ekonomi, bertambahnya pengangguran, dan sebagainya.

Di bawah neoliberal, seluruh faktor-faktor pendukung kesejahteraan rakyat dicabut atau dipangkas, diantaranya pencabutan subsidi sosial, privatisasi perusahaan publik dan layanan publik yang bersifat sosial, dan penghapusan konsep barang publik atau hajat hidup orang banyak. Akibatnya, sektor masyarat yang punya kemampuan ekonomi dan pendapatan lebih rendah, akan kesulitan mendapatkan akses terhadap pemenuhan kebutuhan dasar mereka.

Disebabkan dukungan pemerintah terhadap anjuran dan kebijakan IMF dan Bank Dunia, melalui sebuah paket kebijakan struktural (SAP), yang memaksakan restrukturisasi perekonomian negara dunia ketiga, sehingga terjadi kehancuran sektor pertanian, PHK besar-besaran, penutupan pabrik, dan kejatuhan tingkat kesejahteraan ekstrem.

Untuk itu, Dika Muhammad menilai, kebutuhan sekarang ini adalah pengorganisasian rakyat miskin Indonesia, yang bukan saja untuk mempertahankan standar kehidupan mereka dari rongrongan neoliberalisme, tapi juga mendesakkan sebuah aksi atau gerakan politik bersama.

Bagi Dika Muhammad, kaum miskin perlu menggelorakan kembali semangat revolusi kemerdekaan di dalam sanubari mereka, sebagai kondisi awal untuk merebut kembali kemerdekaan yang disalah-gunakan oleh para elit. Tidak ada pilihan lain, rakyat miskin harus menjadi motor utama dalam gerakan pembebasan nasional, untuk menghentikan neoliberalisme dan imperialisme.


RUDI HARTONO dan ULFA ILYAS

Tulisan ini diambil dari : http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=428&Itemid=44



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative

Refleksi HUT Kemerdekaan (2) : Kaum Tani dan Belenggu Penjajahan Baru

KETIKA semarak peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 64 sedang bergema, sejumlah petani di Polombangkeng Utara, Kabupaten Takalar, justru berjuang mati-matian mempertahankan tanah mereka, yang diklaim dan hendak dikuasai oleh PT Pertanian Nusantara (PTPN). Dalam kejadian itu, puluhan petani terluka tertembak oleh peluru polisi, sebuah aparat negara yang seharusnya melindungi rakyat.

Di tempat lain, dua orang aktifis petani sedang di adili oleh Pengadilan Negeri Bangkinan, pengadilan resmi negeri ini, hanya karena mereka mempertahankan tanahnya dari keserakahan perusahaan swasta. Selain itu, ada 75 petani dari dusun Suluk Bongkal, bengkalis, yang juga berhadapan dengan persidangan pengadilan republik ini. Mereka dituduh sebagap penyerobot, padahal mereka sudah menguasai tahan itu sudah beratus-ratus tahun. Sialnya, banyak diantara para petani ini didakwa berdasarkan KUHP, yang jelas masih warisan kolonial itu.

Ini hanya contoh kecil. Di berbagai tempat di negeri ini, para petani berhadapan dengan todongan senjata yang mereka subsidi lewat pajak mereka sendiri, dan dikokang oleh mereka-mereka yang berkewarga negaraan sama dengan mereka. Sungguh menyedihkan.

Menurut catatan BPN, data sengketa agraria tahun 2006 berjumlah 1423 kasus, sedangkan konflik berjumlah 322 kasus, perkara 1065 kasus. Sehingga total kasus adalah 2810 kasus. Setelah diverifikasi kembali data tahun 2007: jumlah sengketa menjadi 4581 kasus, konflik berjumlah 858 kasus, dan perkara 2052 kasus sehingga total kasus menjadi 7491 kasus.

Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah konflik yang bersifat struktural sampai dengan tahun 2001 saja telah mencapai 1753 (Jauh lebih besar dari 858 yang dikategorikan konflik oleh BPN tahun 2007) dan terjadi di 2834 desa/kelurahan, 1.355 kecamatan di 286 daerah Kabupaten/Kota, dengan mempersengketakan tanah seluas 10.892.203 ha dan mengakibatkan 1.189.482 KK menjadi korban.

Di bawah Orde Baru, pemberian konsesi berupa HGU dimaksudkan untuk memfasilitasi bisnis kroni dan pihak swasta lainnya. Bahkan, di PT Perkebunan Nusantara (PTPN), misalnya, sebagian besar direksi dan komisaris perusahaan ini adalah mantan pejabat tinggi dan kroni rejim orde baru.

Sekarang ini, seiring dengan proses liberalisasi ekonomi yang kian massif, proses perampasan tanah milik rakyat semakin meningkat. Pada kenyataannya, perusahaan raksasa dari berbagai penjuru dunia turut berebut tanah milik petani dan sumber daya lainnya, untuk memperkuat kerajaan bisnisnya.

Sialnya, pemerintah tidak berdiri untuk melindungi kepemilikan tahan milik petani, tapi justru memberi legitimasi politik, berupa Undang-undang, bagi pemodal untuk mempermudah proses pencaplokan ini. Lengkap sudah persekongkolan antara penjajah berambut pirang dan berambut hitam di negeri ini.

Penderitaan petani belum berakhir di sini. Jika ditelusuri dengan baik, diketahui bahwa kesejahteraan para petani kian merosot. Untuk diketahui, saat ini sekitar 70% rakyat miskin di Indonesia adalah petani.

problem ketimpangan kepemilikan tanah. Sensus pertanian tahun 2003 menyebutkan, jumlah rumah tangga petani dengan kepemilikan tanah di bawah 0,5 hektar, baik pemilik tanah sendiri maupun menyewa, telah meningkat 2,6% pertahun, dari 10,8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13,7 juta rumah tangga (2003).

Pada 1995, jumlah petani tuna-lahan di Jawa sebanyak 48,6 persen, meningkat jadi 49,5 persen (1999). Meski tak separah di Jawa, di luar Jawa cenderung sama. Pada 1995 jumlah petani tunalahan 12,7 persen, meningkat 18,7 persen (1999). Sebaliknya, 10 persen penduduk di Jawa memiliki 51,1 persen tanah (1995) dan jadi 55,3 persen (1999).

Di samping itu, petani Indonesia harus berhadapan dengan gempuran sistim neoliberalisme. Beberapa tahun terakhir, pemerintah begitu aktif mempromosikan perdagangan bebas dan penghapusan tarif produk pertanian, serta penghapusan segala bentuk proteksi terhadap petani di negeri berkembang.

Dengan penduduk sekitar 220 juta jiwa, Indonesia menjadi pasar sangat menggiurkan bagi produk pertanian negara maju. Sekarang ini, pemerintah lebih banyak mengimpor produk pertaniannya, diantaranya beras, kedelai, dan sebagainya. disamping itu, kandungan impor daging sudah mencapai 30%, sementara impor untuk kebutuhan konsumsi susu sudah mencapai 70%.

Untuk urusan kedelai, kondisinya lebih parah. Sebagian besar kebutuhan kedelai nasional, yang rakyat banyak mengonsumsinya dalam bentuk tahu-tempe, harus pula diimpor. Tahun lalu, misalnya, petani kedelai lokal hanya mampu memproduksi 745.000 ton kedelai. Sedangkan kebutuhan nasional mencapai 2 juta ton. Sisanya mau tak mau mesti mengimpor. Kedelai impor ini sekitar 80%-nya berasal dari Amerika Serikat. Tahun lalu, negara adidaya itu mengekspor 980.000 ton kedelai ke Indonesia.

Ketika pemerintah SBY begitu riuh berkampanye soal "swasembada beras", kaum tani di Indonesia sedang merintih akibat tirani pasar bebas. Tekanan pasar yang begitu kuat tidak hanya menyulitkan petani memperoleh akses modal, pupuk, teknologi produksi, tetapi juga menghancurkan pasar di dalam negeri.

Sementara itu, sistim irigasi sebagai penunjang pokok dalam memacu produksi pertanian berada dalam kondisi buruk. Setidaknya, berdasarkan data, terdapat 80% sistim irigasi di Indonesia mengalami kerusakan. Jika benar, berarti klaim pemerintah bahwa sistim irigasi menunjang produksi pertanian adalah bohong. Dan memang demikian faktanya. Menurut Andreas Maryoto, seperti yang ditulis Kompas edisi 24 februari 09, ketersediaan air bagi pertanian bukan karena faktor irigasi yang baik, melainkan karena faktor cuaca pada musim kemarau yang cenderung basah seperti pernah terjadi pada 2003.

Bukti kebohongan "swasembada beras" pun nampak dengan jelas, seperti jatuhnya kesejahteraan kaum tani, mahalnya harga pangan di pasar, dan kekurangan pangan di berbagai daerah. Jika kita surplus pangan, kenapa Pada 2007 terdapat 4,1 juta balita yang mengalami malnutrisi, sebanyak 3,38 juta mengalami gizi kurang, dan 755.000 dengan risiko gizi buruk (sumber, Depkes). Jadi, meskipun dikatakan kita swasembada pangan, tetapi tingkat kelaparan juga masih tinggi.

Dengan kondisi seperti ini, dapat disimpulkan bahwa mayoritas kaum tani di Indonesia masih berada di bawah terjajah, yaitu di bawah penjajahan neoliberal.

Menurut Ketua Serikat Tani Riau (STR), Rinaldi, petani di Indonesia masih merupakan lapisan sosial rakyat jajahan, sebab negara belum pernah memberikan perlindungan dan perlakuan yang lebih baik terhadap kaum tani ini.

Sebagai contoh, menurut Rinaldi, ketika petani berhadapan dengan perusahaan pemodal, pemerintah justru menerbitkan peraturan dan perlindungan khusus bagi pemilik modal, bukan kepada petaninya.

Rinaldi juga mengeritik pemerintahan SBY, karena tidak mempunyai strategi jangka panjang untuk pembangunan pertanian. Kegagalan ini, katanya, menyebabkan sektor pertanian bukan lagi sektor produktif dan ekonomis bagi orang-orang di desa, sehingga mereka lebih memilih menjadi pekerja di kota atau TKI di luar negeri.

Sementara itu, Ketua Serikat Tani Nasional (STN), Yudi Budi Wibowo menyatakan, sektor pertanian tidak boleh diabaikan begitu saja oleh pemerintah, sebab sektor pertanian memegang peranan sangat vital dalam ekonomi nasional. Sekarang ini, sektor pertanian masih menyerap tenaga kerja paling besar, yakni 41,3 juta orang atau separuh dari angkatan kerja nasional (2008).

Sementara itu, sektor pertanian juga masih menjadi penyangga utama pertumbuhan PDB nasional, meskipun persentasenya cenderung menurun. Pada tahun 2008, kontribusi sektor pertanian pada pertumbuhan PDB nasional mencapai 4,89 persen, sedangkan surplus neraca perdagangan hingga Oktober 2008 senilai 12,39 miliar dolar AS. Hal ini, menurut Yudi, disebabkan oleh semakin merosotnya produktifitas sektor pertanian di dalam negeri.

Baik Rinaldi maupun Yudi Budi Wibowo, keduanya menganggap pemerintahan sekarang ini tidak akan sanggup membangun kembali sektor pertanian, apabila mereka tetap berpegang kepada mashab neoliberalisme. Untuk itu, STN mengajukan gagasan haluan ekonomi baru, yaitu haluan ekonomi kerakyatan, anti imperialisme, serta berlandaskan kepada solidaritas dan kerjasama.

Rudi HArtono dan Ulfa Ilyas

Artikel ini diambil dari :http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=422&Itemid=1


Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative

Refleksi HUT Kemerdekaan (1) : Kaum Pekerja Belum Merdeka

Oleh : Rudi Hartono dan Ulfa Ilyas

Menjelang perayaan HUT Kemerdekaan RI tahun ini, Supiarso (40 th), seorang buruh pabrik Roti di Tangerang, masih dipusingkan dengan persoalan-persoalan ekonomi yang menggeluti keluarganya. Pasalnya, gaji yang diperolehnya, hanya bisa menutupi seperdua dari kebutuhan keluarganya.


Setiap bulannya, Supiarso hanya mendapatkan upah sebesar Rp600 ribu perbulan, lebih rendah dari Upah Minimum Kota (UMK) Tangerang yang tercatat Rp1.054.660. Disamping itu, Suhemi juga harus berhadapan dengan kondisi kerja yang sangat sulit, sebab perusahaan belum menerapkan hak-hak normatif.

"Kami bekerja sangat berat sekali. Terkadang, kalau ada buruh yang sakit, mereka tidak disediakan obat atau K3," ujarnya.

Demi menutupi kebutuhan keluarganya, Supiarso harus mengambil sisa istirahat setelah pulang bekerja, untuk menjadi tukang ojek. Istrinya pun turut bekerja, dengan menjual sayur di pasar pagi, hanya untuk menambah keuangan keluarga.

Suhemi tidak sendirian. Penderitaan serupa juga di jalani Sulastri (26 th), seorang buruh yang bekerja di sebuah perusahaan garment di KBN Cakung. Menurut dia, upah yang diterimahnya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Padahal, Sulastri juga dibebani tanggung jawab moral dari keluarganya, yakni membiayai pendidikan dua orang adiknya di kampung. Untuk menghemat pengeluaran, Sutinah pun harus berkongsi dengan empat orang kawannya, untuk mengontrak sebuah kamar kost berukuran 4 X 4 meter.

Supiraso dan Sulastri merupakan contoh kecil, yang menggambarkan nasib kaum buruh Indonesia kini. Di luar sana, buruh yang mengalami nasib sama dengan Supiarso dan Sulastri cukup banyak.

Menurut penjelasan BPS, upah buruh industri pada triwulan ke III tahun 2008 dibandingkan triwulan II 2008, secara nominal, turun 8,74%. Secara riil, upah buruh industri pada periode yang sama turun sebesar 11,30%.

Sementara itu, menurut Yanuar Rizky, presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), tingkat pendapatan buruh, terutama upah, tidak dapat menutupi lonjakan kenaikan biaya konsumsi makan keluarga, kredit rumah, dan pendidikan. Menurutnya, buruh yang berpendapatan Rp1 juta kebawah, akan terkena tekanan daya beli yang tinggi.

Dalam menerapkan politik "upah", pemerintah masih menempatkan upah murah sebagai keunggulan komparatif di hadapan para investor, untuk menarik mereka menanamkan modalnya dan menggali keuntungan besar di Indonesia.

Di samping itu, kaum buruh Indonesia juga harus berhadapan dengan pasar tenaga kerja yang sangat liberal, yang sering disebut "labour market flexibility". Akibatnya, banyak pekerja yang harus dipaksa sebagai pekerja kontrak dan outsourcing, mirip dengan sistim kerja rodi di jaman kolonial.

Bukan itu saja, buruh Indonesia masih harus berhadapan dengan dampak krisis kapitalisme global. Seperti diketahui, rejim neoliberal di Indonesia mengandalkan kaum buruh sebagai sarung tangan mereka menghadapi krisis. Keputusan SKB empat menteri, contohnya, dijadikan sebagai penangkal krisis, menyebabkan pekerja tidak mendapatkan kenaikan upah yang berarti selama tahun 2009 ini.

Penderitaan buruh belum berakhir. Industri nasional, sebagai tempat bergantungnya pengusaha dan pekerja, juga berada diambang kehancuran. Dalam lima tahun terakhir, misalnya, memang terjadi pelambatan pertumbuhan industri manufaktur, yaitu dari 7,2% (2004) menjadi 5,1% (2007), dan diperkirakan turun lagi menjadi 4,8% (2008). Selain itu, pangsa sektor industri terhadap PDRB terus menurun secara sistematis dari 30,1% (2001) menjadi 28,1% (2005).

Di sisi lain, sebagai konsekuensinya, jumlah orang yang termasuk setengah pengangguran, yaitu orang yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu, terus meningkat, dari 29 juta (2006) menjadi 31 juta (2007). Sementara itu, orang yang bekerja pada kegiatan informal terus naik dari kisaran 60% menuju 70%. (sumber, organisasi Pekerja Seluruh Indonesia).

Panjangnya barisan penganggur (baca, pasukan buruh cadangan) bukannya menjadi keprihatinan pemerintah, sebagai cerminan dari kegagalan, justru dijadikan "bargaining position" untuk menekan daya tawar buruh di pasar tenaga kerja.

Bila kemerdekaan diartikan sebagai pembebasan rakyat dari segala belenggu kolonial, utamanya belenggu ekonomi, politik, dan sosial budaya, maka kaum buruh sekarang ini belumlah merdeka. Mereka berada dibawah belenggu baru, yaitu neoliberalisme.

Menurut Dominggus Oktavianus, ketua umum Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), kaum buruh masih merupakan lapisan sosial yang belum menikmati dampak kemerdekaan. Penyebabnya, menurut dia, syarat-syarat untuk memajukan bangsa, seperti sumber daya alam, SDM, dan teknologi, dikuasai dan didominasi oleh pihak asing. Untuk itu, kaum buruh harus terlibat aktif dalam perjuangan melepas belenggu penjajahan baru ini, yaitu menghentikan neoliberalisme di Indonesia.
Jadi, arti kemerdekaan bagi kaum buruh hanya merupakan formalitas belaka. Di belakang semua itu, buruh masih menjadi warga negara terhisap dan terjajah di negeri sendiri. Karena buruh merupakan lapisan sosial yang besar di Indonesia, disamping petani, kaum miskin kota, dan mahasiswa, maka sebetulnya sebagian besar rakyat Indonesia belum pernah merdeka.

Artikel ini diambil dari : http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=415&Itemid=1


Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative

Ras Muhamad; Musik Reggae Adalah Suara Rakyat

Oleh : Rudi Hartono dan Ulfa ILyas

Ras Muhamad, Sang Reggae Ambassador, kembali meramaikan musik di tanah air melalui album barunya, next chapter. Dalam album baru ini, Ras Muhamad kembali memancarkan semangat kuat untuk mengibarkan bendera reggae Indonesia, sebagai identitas dan kebanggan bangsa di kancah lokal maupun internasional.


Album baru Ras Muhammad, Next Chapter, diluncurkan secara resmi di Mario Palace, Menteng Huis, kemaren (13/8). Dalam acara ini, ratusan orang penggemar reggae, para rastafari, dan aktifis pergerakan turut memberikan dukungan dan apresiasinya. Selain itu, peluncuruan album kedunia ini disertai penampilan sejumlah band reggae Indonesia, diantaranya Smoke Gimbal, Boriz Got Soul, Shore, Primitive, Batik Tribe, The Babylonians, dan Matahari.

Di tengah opensif kebudayaan asing (baca; imperialis), hanya sedikit seniman atau pekerja senin yang mau bercermin pada kebudayaan bangsanya. Saat ini, mayoritas seniman bekerja sekedar untuk memuaskan kepentingan industri musik, dan, setelah itu, mereka puas dengan royalty dan ketenaran. Hanya sedikit seniman atau musisi Indonesia yang sanggup berdiri, dengan berpegang teguh pada prinsip berkesenian untuk rakyat.

Salah satu orang atau pemusik yang teguh pada berkesenian untuk rakyat itu adalah Ras Muhammad, pemuda Indonesia yang pernah bermukim di New York, Amerika Serikat, selama beberapa tahun.

Muhamad Egar, demikian nama aslinya, menghentakkan irama musik tanah air dengan pesan-pesan perdamaian, persatuan, kritik sosial, hingga seruan-seruan perjuangan revolusioner. Di album pertamanya, Reggae Ambassador (2007), Ras begitu terang mengusung kritik sosial dan perlawanan terhadap sistem yang membelenggu rakyat Indonesia. Di album ini pula, Ras mendedikasikan lagu "Siempre" kepada legenda revolusi Kuba, Ernesto Che Guevara.

Di album kedua ini, Next Chapter, Ras tampak makin matang mengusung tema-tema perdamaian, cinta, kritik sosial, dan optimisme terhadap masa depan yang lebih baik. Di single "Rebel Music" misalnya, ia mengajak semua orang untuk menjadikan harmoni musik sebagai simfoni yang melahirkan kedamaian, persaudaraan, dan persatuan.

Sementara itu, di single yang berjudul "Crisis", dia mencoba memperlihatkan ketegangan sosial di kalangan rakyat miskin, akibat keserakahan dan kerakusan sebuah sistim ekonomi yang hanya mengejar profit, yakni kapitalisme. Di Indonesia, akibat tekanan kapitalisme neoliberal, sekitar 60% penduduk Indonesia kini hidup dengan pendapatan di bawah 2 USD perhari, setara dengan nilai subsidi seekor sapi yang merumput di Eropa.

Di single lainnya, Make a Way, Ras malah lebih pedas mengeritik sistim politik di Indonesia yang hanya dihuni politi pengumbar janji, tapi akan segera membokongi rakyat takkala sudah memangku kekuasaan. Seperti diketahui, para politisi Indonesia begitu akrab dengan kolusi, korupsi, dan nepotisme. Selain itu, mereka benar-benar menjadikan politik sebagai arena mencari kekuasaan pribadi, ajang saling peras-memeras, dan menunjukkan status sosial.

"saya berharap mereka dapat menjadi generasi yang kuat, dan tidak bergantung terlalu banyak kepada pemimpin politik" ujarnya kepada wartawan BBC News, pada 22 Mei 2009 lalu.
Memang, banyak seniman yang menghindari kritik sosial yang lebih jauh, sebab takut dituduh sebagai seniman politik. Tapi bagi Ras Muhammad, seperti juga sang legenda Bob Marley dan Peter Tosh yang tidak khawatir dengan pengaruh politik pada musik mereka, reggae harus mencerminkan apa yang terjadi, apa yang sedang dihadai oleh rakyat. "musik reggae adalah selalu suara rakyat. kejadian apapun, saya merasa harus menyanyikanya," tegas dia.

Soal politik, yang kemudian terkesan ada yang baik dan buruk, memang begitu bergantung kepada warna kesadaran politik dan ideologi si pemusiknya. Dalam hal ini, Ras Muhammad memang masih sangat berhati-hati dengan label "musisi politis", sebab masih mempersamakan politik sebagai segala hal yang kotor, mungkin.

Filsuf perempuan, Hannan Arendt, dalam human condition, menyatakan politik itu punya kandungan moral dan etika yang tak dapat dicabut atau diabaikan.

"Seni itu harus berbicara soal perjuangan hidup, tidak bisa dipisahkan dengan soal kehidupan. Dan, politik adalah bagian dari kehidupan," ungkap penyair Inggris keturunan Hongaria, George Szirtes.

Dalam hal ini, saya sangat sepakat dengan WS Rendra. Dalam sajak sebatang lisong, dia berkata; apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan, apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan.

Di samping mengeritik soal politisi yang busuk itu, Ras juga mengungkapkan pentingnya nasionalisme Indonesia, sebagai senjata untuk membangkitkan kembali Indonesia dari keterpurukan. Tentunya nasionalisme yang dimaksud bukanlah nasionalisme sempit, tapi sebuah nasionalisme yang bersumber dari fikiran tokoh terkemuka pembebasan nasional Indonesia, Soekarno. Semua ini diungkapkan dalam lagu "45", yang melibatkan beberapa musisi reggae lokal, diantaranya Danar souljah, Nico Primitive, Che Babylonians, dan sebagainya.

Kritik-kritik sosial terhadap berbagai gambaran sosial nampak jelas dalam deretan lagunya di album kedua ini, diantaranya; Monster Industri, The System, dan sebagainya.

Soal warna dan tujuan bermusik, memang sangat dipengaruhi oleh pemikiran dari si pencipta musiknya. Menurut Ras Muhamad, pemikirannya begitu banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh besar, diantaranya Soekarno, Gandhi, Karl Marx, Che Guevara, dan Haile Salassie.

Memang, lagu-lagu Ras di album kedua ini cukup mengesankan, tak diragukan lagi. Namun, di luar itu, secara pribadi saya juga sangat tertarik dengan sampul album keduanya ini, utamanya mengenai kostum dia yang menggambarkan "petani ber-caping sedang memanggul senjata".

Iya, memang sudah saatnya bagi seniman progressif tampil kedepan.

Tulisan ini diambil dari : http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=432&Itemid=1


Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative

Kemerdekaan Perempuan dan Neoliberalisme

ULFA ILYAS

PERAYAAN kemerdekaan Indonesia, tahun ini, cukup menarik bagi perempuan Indonesia. Penyebabnya, perayaan kemerdekaan tahun ini bertepatan dengan periode transisional menuju pemerintahan baru, yakni pemerintahan hasil pemilu presiden (Pilpres) 2009.

Ada hal yang paradoksal di sini. Di satu sisi, ada pengakuan formal mengenai kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun, setelah 64 tahun kemerdekaan "formal" ini, mayoritas rakyat Indonesia masih terperosok pada sebuah situasi yang tidak jauh beda dengan jaman kolonial dulu, seperti kemiskinan, pengangguran, pembodohan, dan sebagainya.


Sementara itu, kaum perempuan Indonesia, yang menempati lebih dari separuh populasi, masih merupakan korban dari berbagai belenggu sosial, ekonomi, dan politik di negeri ini. Artinya, bila kemerdekaan dianggap sebagai pembebasan rakyat dari segala bentuk belenggu (ekonomi, politik, dan sosial budaya), maka sebagaian besar perempuan Indonesia belumlah merdeka. Sebab, belenggu sosial, ekonomi, dan politik itu masih menyisakan ruang bagi terjajahnya kaum perempuan.

Neoliberal dan Nasib Perempuan

Pada akhir abad 19, ketika Kartini muncul, musuh utama bagi kaum perempuan adalah sistim sosial patriarkal dan kolonialisme. Ketika itu, kedua belenggu ini menjelma sebagai kekuatan besar yang menghisap dan menindas perempuan.

Sekarang ini, bagi gerakan feminis di berbagai belahan dunia, neoliberalisme dipandang sebagai rejim baru yang menindas perempuan. Neoliberalisme, yang oleh banyak orang dikatakan kapitalisme tanpa sarung tangan, sangat agressif dalam menempatkan perempuan sekedar sebagai tenaga kerja ber-upah murah, hingga menjadikan perempuan sebagai komoditi yang diperdagangkan.

Joelle Palmieri, direktur Les Pénélopes dan the Association for the Promotion of the Social and Solidarity Economy (APRESS), menganggap neoliberalisme sebagai pengejawantahan bentuk patriarkhi baru di bidang ekonomi, karena sangat berlandaskan kepada kompetisi ekonomi bebas. Sementara itu, bagi sejumlah gerakan feminis di dunia ketiga, neoliberalisme dianggap sebagai ekspresi penjajahan di era modern. Penyebabnya, menurut mereka, neoliberalisme telah merampas segala sumber daya potensial, dan, karenanya, tidak menyisakan sedikitpun bagi perempuan dan generasi mendatang.

Sementara itu, beberapa feminis berpendapat bahwa perempuan terkena dampak neoliberal lebih keras dibanding laki-laki. Untuk kesimpulan ini, mereka punya dua penjelasan; pertama, perempuan sangat lemah aksesnya terhadap sumber daya ekonomi, sehingga mereka begitu bergantung kepada negara. Sehingga, ketika negara menghapus peran sosialnya, maka perempuan akan mendapatkan dampak cukup jauh. Kedua, sekarang ini perempuan masih mengalami penindasan berlapis; patriarkhi dan kapitalisme. Sehingga, karena hal itu, perempuan sangat bergantung kepada perlindungan negara, dan adanya sebuah regulator.

Di Indonesia, misalnya, potret kemiskinan memperlihatkan bahwa kaum perempuan masih menempati kelompok sosial paling miskin di Indonesia, mengutip studi ADB (2005), mencapai 70%. Sementara, kaum perempuan yang tidak tertampung dalam industri dimobilisasi menjadi buruh tani dan buruh kebun (69,32% dari 47,67% tenaga kerja di perdesaan), buruh migran (71.433). Sementara itu, jumlah perempuan Indonesia yang terseret pada perdagangan (tracficking) dan bisnis pelacuran mencapai 650 ribu hingga satu juta orang pertahun.

Anti Neoliberalisme


Dengan kemenangan SBY-Budiono, pada pilpres lalu, berarti gerakan perempuan di Indonesia sulit berharap adanya perubahan ekonomi, politik, dan sosial-budaya, yang akan mengeluarkan mereka dari ketertindasan dan eksploitasi.

Neoliberalisme, bagaimanapun, bukan takdir yang tak dapat diubah. Di berbagai belahan dunia, gerakan perempuan mengambil bagian paling aktif untuk menentang sistem keserakahan ini. Di negara tetangga kita, Papua New guinea, perempuan berada di garis depan perjuangan melawan swastanisasi tanah dan reformasi pendidikan, yang dianjurkan oleh IMF dan Bank Dunia. Di Bolivia, ketika privatisasi air digalakkan, perempuan menjadi unsur paling dinamis dan paling maju dari gerakan sosial.

Di Indonesia, sebetulnya, perempuan telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari perjuangan anti neoliberalisme. Hanya saja, memang, artikulasi politik dari aktifitas ini belum terlihat. Sebagai misal, kita merasa miris ketika mendengar bahwa, mengutip CSIS, ada 80% perempuan lebih senang memilih SBY-Budiono. Artinya, masih banyak perempuan yang belum menyadari bahwa masa depan mereka terancam oleh neoliberalisme, yang akan dipraktekkan oleh SBY-Budiono.

Ini merupakan tantangan terbesar: Menyakinkan mayoritas perempuan, utamanya kalangan perempuan miskin, bahwa musuh terbesar mereka sekarang ini adalah sistim neoliberalisme.

Hambatan lainnya, perempuan harus sanggup menyakinkan gerakan sosial lainnya, seperti gerakan buruh, petani, rakyat miskin perkotaan, mahasiswa, masyarakat adat, gerakan lingkungan, dan sebagainya, bahwa mereka harus menjadi "core" bersama untuk menghadapi gurita "neoliberalisme". Dengan jumlah kuantitatif yang lebih besar, maka perempuan menyimpan kekuatan yang sangat besar, tinggal bagaimana mengartikulasikannya secara tepat.

ULFA ILYAS peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), juga aktif mengelola media online progressif, Berdikari online.

Tulisan ini di ambil dari : http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=416&Itemid=44


Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative

Kegentingan Politik dan Ekonomi

Oleh : Rudi hartono

Pidato SBY mengenai nota keuangan 2010 tidak jauh berbeda dengan pidato-pidato sebelumnya, bahkan tidak berbeda sedikitpun dengan pidato kenegaraan pada tahun 2008, seperti yang dilangsir media online, inilah.com. Dalam pidatonya, presiden SBY kembali menebar janji dan sejumlah ambisi kosong, seperti program pro poor (baca, penghapusan kemiskinan), pro job (baca, penciptaan lapangan kerja), dan pro growth (baca, memacu pertumbuhan ekonomi).


Seperti diketahui, pidato nota keuangan SBY berlangsung dibawah bayang-bayang terbentuknya krisis ekonomi terburuk di dunia, setidaknya mempengaruhi dalam beberapa tahun kedepan, dan krisis politik berkepanjangan.

Selain itu, seperti biasa, presiden SBY begitu banyak memuji angka-angka fantantis, terutama di bidang ekonomi, sebagai angka pencapaian untuk menetapkan optimisme di masa depan. Padahal, angka-angka itu berkali-kali mendapat koreksi berbagai pihak, serta berbenturan dengan kenyataan objektif yang berlangsung di lapangan. Di bidang politik, pelaksanaan pilpres yang diwarnai kecurangan dan manipulasi, telah memberi basis awal bagi penjelasan bahwa pemerintahan paska pemilu adalah tidak legitimate.

Kegentingan Politik

Tidak bisa dipungkiri, Pemilihan presiden (Pilpres) 2009 lalu telah memelihara dan sekaligus memperdalam krisis politik di Indonesia. Pelaksanaan pemilu digugat di sana sini, dan banyak pihak yang melaporkan fakta-fakta kecurangan. Sementara itu, beberapa pihak memberi label "pemilu terburuk" untuk menegaskan kualitas pelaksanaan pemilu yang sangat buruk.

Di luar itu, pelaksanaan pilpres yang buruk ini telah menandai pertikaian jangka panjang antara SBY dan penentangnya. Tidak bisa tidak, cara SBY dalam menyelesaikan persaingan politik, tidak dapat diterima bukan saja oleh para pesaing politiknya, tapi juga lapisan luas masyarakat. Terakhir, kisruh pelaksanaan pilpres telah mendorong sejumlah lembaga negara (MK dan MA) dan KPU saling bertabrakan, sehingga semakin mengambrukkan bangunan politik kekuasaan klas kapitalis di Indonesia.

Bagi pesaing SBY, kecurangan pemilu merupakan manifestasi ketidakmampuan kubu SBY-Budiono memenangkan pilpres secara jujur. Artinya, kecurangan ini telah menghilangkan peluang mereka, tanpa menikmati sebuah bentuk kompetisi yang benar-benar sehat dan adil.

Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, terutama korban neoliberalisme, pemilu curang ini telah memaksakan mereka semakin bergeser ke tepi jurang kematian (baca; kemiskinan, pengangguran, dan PHK massal). Untuk itu, kemenangan SBY yang neoliberal, merupakan "lonceng kematian" bagi kesejahteraan 200 juta rakyat Indonesia.

Jadi, dalam beberapa tahun kedepan, SBY akan melanjutkan perseteruannya dengan kubu-kubu politik penentangnya, dan juga berhadapan dengan lapisan luas rakyat Indonesia.

Kegentingan Ekonomi


Dalam menyelesaikan persoalan ekonomi, yang merupakan persoalan paling krusial pada saat ini, SBY masih bersandar pada janji-janji perbaikan ekonomi, sogokan-sogokan khusus kepada sektor tertentu di masyarakat, serta menawarkan ekspektasi di masa depan.

Dalam pidato nota keuangannya, siang tadi (3/8), SBY menjanjikan pengurangan angka kemiskinan, pengurangan pengangguran, peningkatan anggaran sosial, dan sebagainya. Akan tetapi, pada tahun 2004, janji-janji seperti ini juga pernah dikobarkan, tapi hasilnya bukanlah kesejahteraan rakyat, melainkan keterpurukan ekonomi dan penderitaan rakyat yang tiada taranya.

Bagaimana tidak, ekonomi nasional seakan mengalami "terjun bebas" dalam beberapa tahun tahun terakhir. Di bidang industri, misalnya, pertumbuhannya terus menerus menurun setiap tahunnya, karena selain gempuran neoliberalisme, juga perilaku pemerintah yang mengabaikan sektor penting ini. Dalam lima tahun terakhir, misalnya, memang terjadi pelambatan pertumbuhan industri manufaktur, yaitu dari 7,2% (2004) menjadi 5,1% (2007), dan diperkirakan turun lagi menjadi 4,8% (2008). Selain itu, pangsa sektor industri terhadap PDRB terus menurun secara sistematis dari 30,1% (2001) menjadi 28,1% (2005).

Lebih dari itu, berbagai produk lokal di pasar dalam negeri juga mengalami kemerosotan. Sebagai misal, menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), penguasaan pasar domestik oleh produsen tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional merosot dari 57% (2005) menjadi 23% (2008), dan diperkirakan 70% di antaranya masuk secara ilegal. Laporan lain menunjukkan, sekitar 70% pasar produk-produk usaha kecil dan menengah (UKM) di dalam negeri telah digusur oleh produk impor.

Di sisi lain, sebagai konsekuensinya, jumlah orang yang termasuk setengah pengangguran, yaitu orang yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu, terus meningkat, dari 29 juta (2006) menjadi 31 juta (2007). Sementara itu, orang yang bekerja pada kegiatan informal terus naik dari kisaran 60% menuju 70%. (sumber, organisasi Pekerja Seluruh Indonesia).

Kegentingan ini, setidaknya, juga ditangkap oleh Asosiasi Pengusaha. Bambang Soesatyo, Ketua Komite Tetap Perdagangan Dalam Negeri Kadin, meragukan pemerintahan SBY dapat mengurai masalah pengangguran dan kemiskinan yang sampai saat ini masih menjadi benang kusut. Pasalnya, menurut dia, tiga motor utama pertumbuhan ekonomi, yakni investasi langsung, grafik ekspor, dan tinggat konsumsi (baca, permintaan efektif) di dalam negeri kian menurun.

Dapat dipastikan, tingkat konsumsi domestik semakin menurun, seiring dengan menurunnya daya beli rakyat dan gejala deflasi. Dalam beberapa bulan terakhir, khususnya di sela-sela pelaksanaan pemilu, tingkat konsumsi ditunjang oleh belanja pemilu, bukan oleh peningkatan pendapatan rakyat. Mengacu pada catatan Deperindag, tingkat konsumsi rumah tangga terus menurun tiap tahunnya. Pada tahun 2007, kontribusi konsumsi rumah tangga pada PDB masih mencapai 63,6%, kemudian menjadi 61% pada tahun 2008, dan akhirnya menjadi 57% pada tahun 2009 ini.

Dalam beberapa tahun terakhir, khususnya soal bagaimana pemerintah merespon krisis ekonomi dunia, faktor kesejahteraan dan pendapatan pekerja-lah yang paling banyak dipangkas, berupa penundaan kenaikan upah, dan sebagainya.

Namun, kesulitan bukan hanya menimpa kaum buruh, tapi juga kaum tani, sektor miskin kota, dan sektor-sektor sosial lainnya.

Bertemunya Dua Kegentingan


Menjadi kekuatan mayoritas, baik di parlemen maupun di eksekutif, bukan merupakan jaminan bahwa SBY-Budiono akan relatif aman dari gejolak sosial, khususnya dalam beberapa tahun kedepan. Bukan tidak mungkin kekisruhan politik akan menemukan pembenarannya pada krisis ekonomi, yang telah mendorong sebagaian besar rakyat ke tepi jurang "kemiskinan".

Sebelumnya, di beberapa negara, krisis ekonomi berhasil memicu sebuah gelombang krisis politik, dan berhasil mengakhiri kekuasaan rejim-rejim neoliberal yang berkuasa di sana. Di Eropa, tiga pemerintahan neoliberal-Latvia, Moldova, dan Iceland-- berhasil dijatuhkan oleh gelombang protes yang dipicu oleh krisis ekonomi.

Di Indonesia, pengalaman kejatuhan rejim orde baru patut menjadi pelajaran penting bagi rejim neoliberal, SBY. Pada saat itu, tahun 1997, rakyat memperlihatkan kemuakan dengan perilaku orde baru mencurangi pemilu, di samping perilakunya berkali-kali memukul gerakan pro-demokrasi. Akhirnya, ketika krisis ekonomi 1997 menjalar, sebuah gelombang protes segera merobohkan rejim korup yang telah berusia 32 tahun ini.

Perlu diketahui, SBY-Budiono hanya menegaskan neoliberalisme yang lebih agressif, sebagai koreksi terhadap apa yang disebut neoliberalisme yang dihambat oleh kelompok kepentingan di masa lalu. Sehingga, dengan menempatkan banyak "administratur dan professional" pada pemerintahannya, rejim baru ini hanya akan menambah dan memperluas cakupan dan agressifitas kebijakan neoliberal di negeri ini. Sebagai hasilnya, sudah pasti, kebijakan ini akan menyerang kesejahteraan 200 juta lebih rakyat Indonesia.

Dan, untuk hal itu, rakyat sudah fasih menjawab; setiap rejim yang anti rakyat, harus disingkirkan!

RUDI HARTONO, Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), juga aktif mengelola media alternatif; Jurnal Arah Kiri dan Berdikari Online.

Artikel ini diambil dari : http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=407&Itemid=1



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative

Corat Coret Pilpres

Oleh : Data Brainanta

H+1

Bertubi-tubi media memberitakan kemenangan SBY. Isu DPT bermasalah yang sempat terangkat menjelang hari H kini tenggelam sudah, begitu pun kasus2 kecurangan lainnya. Quick count yang mengetuk palu, bukan KPU; sementara suara-suara sesungguhnya masih dalam perhitungan. Media menyegel kemenangan incumbent, sambil membujuk yang kalah agar legowo - kadang bahkan mengejek: golput lebih besar dari mega atau jk! JK kalah di TPS rumahnya! (Omong2 siapa yang menang di TPS warga korban Lapindo ya?) Hanya segelintir kecil saja yg masih peduli memprotes kemenangan yang cacat hukum ini. Suara pembaruan, sbg salah satu yg bukan pendukung SBY, dalam editorialnya menyatakan bahwa kemenangan incumbent tidaklah terhormat di mata lawannya.



Mengapa penyelewengan demokrasi ini bisa berlalu begitu saja di depan mata publik? Barangkali jawabannya sederhana, siapa peduli teknis demokrasi yg bersih, toh semuanya juga kotor, yang penting jagoan gue menang. Atau lebih sederhana lagi: EGP!

Yah. Inilah realitas demokrasi neoliberal. Penjelasan yang jitu justru ada pada email Andi Mallarangeng (katanya palsu) yang menyatakan bahwa masyarakat kita sudah begitu konsumtif, sehingga nilai-nilai sosial dan ideologi sudah tak ada artinya. Alih-alih mempertahankan Pancasila, masyarakat kita justru lebih rela berjuang mati-matian, ngutang sana sini, untuk membeli Blackberry - katanya. Tepat sekali kan?

Konsumerisme atau sifat konsumtif konotasi umumnya adalah negatif. Tentu, ini tergantung perspektif juga. Dalam wacana neoliberalis itu diagung-aungkan sebagai penggerak masyarakat dan kemajuan peradaban. Tengoklah pendapat Sri Mulyani yang bilang bahwa Indonesia punya potensi dalam pasar global karena jumlah konsumen usia muda cukup tinggi. Bukan tingkat pendidikan, bukan budaya, bukan pula kemampuan produksi yang dijadikan acuan, melainkan sejauh apa masyarakat usia produktifnya keranjingan mengkonsumsi sehingga rela terus menerus bekerja keras untuk melunasi tagihannya. Dalam skala negara, negeri kita pun juga telah menjadi negeri konsumtif, yang berhutang gila-gilaan untuk memoles angka-angka ekonomi makro yang sesungguhnya tak lebih dari make-up untuk menyembunyikan kemiskinan yang meluas, akibat APBN yang digunakan untuk melunasi utang dan pembelanjaan yang tidak menambah kemampuan produksi negeri ini.

Kata Pram, akar korupsi berasal dari konsumsi yang melebihi produksi. Tak heranlah bila pemberantasan korupsi (KPK) hanya sekedar sandiwara berlakon tebang pilih. Gak percaya? Cek saja ke Transparancy International; peringkat korupsi Indonesia tidak ada perbaikan.

Kekorupan pemilu ini justru berlangsung terang-terangan. Untuk menang pemilu dalam masyarakat yang telah dibuat begitu konsumtif maka metodenya pun bukan program-program politik/ekonomi yang maju yang menarik perhatian rakyat, melainkan image, citra, seperti halnya tampil dalam American Idol atau reality show lainnya. Mau sosialisme, kapitalisme atau neolib sekali pun rakyat tidak peduli, yang dipedulikan adalah siapa calon yg paling menarik perhatian mereka, yang tampil paling keren. (Mallarangeng, 2009)

Di sini peran media jadi sentral. Siapa menguasai media, maka satu kakinya sudah melalui garis finish. Kaki lainnya tinggal pada kontrol pengerahan massa. Bagi incumbent yang telah solid menguasai organisasi negara, seperti tentara yang strukturnya nasional, maka yang ini bukan masalah besar. Tinggal bagaimana caranya mempertahankan diri dari tantangan-tantangan mobilisasi dari saingan-saingannya, termasuk dari gerakan massa. Ini pun dapat dinetralisir dengan sentimen anti-elektoral misalnya.

Monopoli media incumbent pun begitu terang, hingga sesungguhnya banyak melanggar aturan hukum. Siaran pooling seluruh stasiun TV yg biasa pada jaman Orba, kini bisa disaksikan lagi. Yang juga cukup mencengangkan, iklan kampanye lawan politik - Mega-Pro - ditolak oleh stasiun-stasiun TV. Bukan bawaslu yang menolak, tapi stasiun tv swasta. Tidak perlu lagi lembaga sensor negara. Kini siapa yang punya cukup uang bisa menyensor apa pun yang ia mau. (silahkan baca artikel R Chesney di notes saya yg lalu utk deskripsi ttg kritik media neoliberal)

Tak heran, yang paling awal merayakan kemenangan SBY adalah kerajaan uang, yakni bursa saham, bahkan sejak semalam sebelum pilpres dimulai - atau tepatnya, ketika DPT cacat tidak diproses oleh KPU. Goldman Sachs, bank investasi AS yang paling mengambil keuntungan dari keruntuhan finansial tahun lalu, paket bailout dan krisis saat ini (bahkan bisa dibilang turut mendalangi semua itu), yang orang-orangnya menguasai posisi ekonomi kunci dalam administrasi Obama, menaikkan peringkat Indonesia pada malam itu juga. Dan besoknya, barulah digelar pilpres.

Perlawanan terhormat thd fait-accompli ini ditunjukkan oleh Prabowo, yg pada malam sebelum pilpres menggelar orasi politik dan menuding - dengan tepat - bahwa SBY melakukan malapraktik.

Dalam pertarungan ini, Prabowo yang punya dosa besar pada gerakan pro-dem dekade lalu, kini seakan-akan menjadi pejuang terdepan bagi demokrasi yang bersih, jurdil. Tentunya, kali ini dia begitu berkepentingan untuk mendapatkan perlakuan yang adil, dia menuntut hak-hak demokratiknya - hak-hak yang dulu dirampas dari tangan rakyat oleh rejim Harto, yang mana ia menjadi salah satu tukang jagalnya.

Begitu pula dalam masa kampanye ini dia menjadi pembela ekonomi pro-rakyat, yang telah dicerabuti dari bumi nusantara dengan dijatuhkannya Sukarno dan dibunuhnya jutaan pengikut dan simpatisannya, lagi-lagi oleh Harto. Namun ayahnya Prabowo, Sumitro D, pernah pula turut berperan melawan rejim Sukarno yang pro-rakyat.

Kalau ada penebusan dosa, maka sesungguhnya Prabowo sudah ada di jalan yang benar. Walaupun masih sekedar retorika menegakkan demokrasi yang adil dan ekonomi pro-rakyat - dua hal yang ia maupun papinya pernah berperan dalam menghancurkannya.

Walaupun sepertinya gagal menghentikan kelanjutan rejim neoliberal tulen (SBY-Bud-Sri Mulyani) pilpres 2009 bisa dibilang cukup istimewa bagi pendidikan politik rakyat. Praktis sejak para kandidat telah mendaftar, isu yang terangkat adalah isu yang benar-benar membedah sebab-musabab ketertinggalan bangsa, yakni ekonomi politik, neolib. Susah memang, ini bukan barang jualan yang laris, isu ini bukan indomie yang sedap, massal, instan, murahan, tapi gak bergizi; melainkan gado-gado, yang handmade, bergizi tinggi, dan sebenarnya lebih sedap kalau mau nambahin duit lagi dikit. Dengan terangkatnya neolib, walaupun mungkin masih banyak yang belum menerima, setidaknya di masa depan kebijakan-kebijakan neoliberal yang anti-rakyat, seperti privatisasi, liberalisasi jasa sosial, tidak dapat lagi begitu saja didandani cantik seperti sebelumnya.

Pelajaran kedua adalah tentang bagaimana berdemokrasi. Gede Sandra benar, Rizal Ramli telah lebih dulu memperingatkan kecurangan elektoral dalam pilpres, bahkan pileg, namun memang para elit terlalu sibuk membangun koalisi mengatur posisi. Barangkali juga para elit tidak cukup berani mengambil isu itu karena dapat dengan mudah dipelintir oleh media, yang dikuasai incumbent, dengan menggambarkannya sebagai wujud keegoisan sang pemrotes. Anti-neolib lebih aman, karena SBY jelas-jelas ngerangkul anteknya neolib di Indonesia: Budiono.

Walau begitu persoalan demokrasi justru cukup penting dalam melawan neolib. Kaum neoliberalis sedapat mungkin melepaskan diri dari kontrol demokrasi, baik dengan menyuap utusan-utusan rakyat di DPR, maupun dengan memprivatisasi atau meliberalisasi fungsi-fungsi negara. Pendidikan yang kewajiban negara; coret, jadikan badan hukum/perusahaan. Kesehatan, Telekomunikasi, Energi, BBM,....daftar jagal kaum neoliberal sangat panjang. Hanya dengan kontrol demokrasi yang utuh maka kesewenang-wenangan kaum neoliberal ini bisa dibendung. Demokrasi utuh maksudnya adalah yang mensyaratkan akses informasi yang luas - bukan yang dibentuk semata-mata oleh korporasi media mainstream - serta aturan legislasi yang inklusif, tidak diskriminatif.

Mungkin secara praktisnya perlu mulai dipikirkan bagaimana mekanisme elektoral yang lebih baik, yang bisa menjamin independesi KPU, meminimalisir rekayasa daftar pemilih atau kecurangan lainnya, maupun mengontrol intervensi kekuatan opini seperti media dan lembaga survey swasta. Mungkin juga sudah saatnya mempelajari ide-ide yang lebih partisipatoris seperti pengaturan plebisit/referendum untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang kontroversial dan menyangkut hajat hidup rakyat banyak, sehingga rakyat memiliki kekuatan langsung dan legal dalam menolak penerapan legislasi dan kebijakan neoliberal, bukan lagi diserahkan kepada anggota DPR yang tidak susah untuk dibeli, maupun eksekutif yang sering kali tak berdaya di hadapan kepentingan finansial global. Tentu ini mensyaratkan perubahan legal yang lebih mendalam, yakni amandemen konstitusi. Dan ini perlu diusung oleh suatu gerakan politik persatuan yang nyata.

Demokrasi pada 2009 telah berjalan semakin cacat dibandingkan lima tahun lalu. Mereka yang peduli pada tetap terbukanya ruang demokrasi, apalagi memperdalam demokrasi, mestinya perlu mengevaluasi ini untuk merumuskan langkah ke depan. Gerakan pro-rakyat saat ini memang perlu mundur sementara untuk merapatkan barisan, karena perlawanan harus berlanjut selama penindasan berseru "lanjutkan".




Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative

IMF akan mengambil keuntungan dari krisis ini dengan memberikan pinjaman yang lebih banyak dan lebih besar.

Wawancara dengan Eric Toussaint oleh Radio France Internationale (RFI), Senin 27 Oktober 2008 pada 13H00

RFI: IMF berkeputusan menolong banyak negeri Eropa seperti Islandia, Ukraina, dan kini, Hungaria, dengan memberikan pinjaman penting kepada mereka. Kenapa khususnya negeri-negeri ini menurut Anda?

Eric Toussaint: Pertama-tama harus dijelaskan terlebih dulu bahwa IMF sendiri sedang mengalami krisis. Ia posisinya sedang sangat dilemahkan. Tahun lalu ia hanya memiliki satu klien saja: Turki. Hanya enam atau tujuh tahun sebelumnya, IMF memberikan pinjaman bertotal lebih dari 100 milyar dolar, sementara sebelum krisis ini, portfolio pinjamannya turun hingga 17 milyar dolar. IMF akan mengambil keuntungan dari krisis ini dengan memberikan lebih banyak pinjaman, karena keberadaannya bergantung pada pinjaman yang diberikannya. IMF sesungguhnya bergantung pada bunga yang dibayar oleh negeri peminjam untuk tetap beraktivitas.



RFI: Jadi IMF akan memilih memberikan pinjaman ke negeri-negeri yang lebih mampu membayar kembali utangnya...

Eric Toussaint: Tapi Anda harus berhati-hati. IMF juga akan menawarkan jasanya ke negeri-negeri Selatan; itu tak diragukan lagi. IMF hendak meraih kembali kekuasaannya setelah masa-masa pelemahannya baru-baru ini vis a vis sejumlah negeri-negeri Selatan. Dalam beberapa tahun belakangan ini banyak negeri di Asia dan Amerika Latin melunasi obligasi berlebihnya (outstanding obligation) lebih awal, yang artinya IMF kehilangan alat untuk menekan negeri-negeri ini. Sangat dimungkinkan IMF akan menawarkan pinjaman ke Afrika, Amerika Latin dan Asia, dengan berpura-pura bahwa negeri-negeri yang lebih miskin memang membutuhkan "uangnya" karena krisis ini. Namun, Anda harus tahu bahwa pinjaman IMF datang dengan lampiran persyaratan yang mengharuskan negeri-ngeri tersebut menerapkan kebijakan spesifik; kebijakan yang telah dengan rutin berdampak merugikan selama 20 tahun terakhir. Kebijakan ini terbukti merugikan karena Dana Moneter Internasional bergandengan tangan dengan Bank Dunia telah mendesakkan ekonomi pasar yang sepenuhnya bebas di negeri-negeri Selatan. Negeri-negeri Afrika dan secara lebih khusus penduduk negeri-negeri Afrika mengetahui bahwa mereka telah terpukul telak oleh krisis pangan.

Di Afrika, bagi kebanyakan orang, kepedulian utama dalam beberapa bulan ini bukanlah krisis finansial bank-bank di Eropa dan Amerika Serikat, melainkan peningkatan harga-harga pangan secara dramatis. Kebijakan yang didikte oleh IMF dan Bank Dunia secara langsung bertanggung-jawab terhadap kenaikan ini (Saya akan kembali ke persoalan ini nanti).

RFI: Apakah Anda, Eric Toussaint, mencoba mengatakan bahwa IMF lebih fleksibel terhadap beberapa negeri dibandingkan lainnya? Terkait persyaratannya?

Eric Toussaint: Ya, itu yang tentunya saya katakan. Tidak akan ia mendesakkan prasayarat yang sama kepada Islandia atau negeri Eropa lainnya. Ijinkan saya menekankan bahwa IMF tidak menuntut pihak berwenang Washington mengambil langkah-langkah konsolidasi anggaran publik, sementara di mana pun ia berurusan dengan pemerintahan negeri-negeri Selatan, ia tanpa variasi mencoba mendesakkan langkah-langkah ekonomi yang dinilainya pantas.

RFI: Jadi, menurut Anda, memang ada standar ganda?

Eric Toussaint: Pasti, tidak diragukan lagi. Dengarkan ini: ada 24 Direktur Eksekutif di IMF. Hanya dua dari mereka berasal dari Afrika. Dua administrator dari Afrika ini masing-masing mewakili lebih dari dua puluh negeri. Ketika mereka memberikan suara pemilihan, kedua ini (digabungkan) mewakili kurang dari 5% jumlah suara. Amerika Serikat saja memiliki 17% suara. Perancis saja memiliki sedikit di bawah 5%. Ini berarti bahwa ketika Perancis memberikan suara, ia bobotnya sama dengan gabungan seluruh negeri Afrika. Jadi ya, tentu ada standar ganda. Ini sangatlah jelas. Ini harus dirubah secepat mungkin. Situasi ini benar-benar tak dapat diterima dan tidak bisa berlangsung lebih lama lagi.

RFI: Apakah kita perlu mereformasi bantuan kepada negeri-negeri yang lebih miskin ketika kita mengetahui bahwa kadang kala permasalahannya adalah negeri yang "dibantu" oleh IMF secara umum dicap sebagai dalam kesulitan sehingga kemudian akhirnya membuat pemberi pinjaman kuatir? Haruskah kita lebih sembunyi-sembunyi dalam memberikan bantuan kepada negeri-negeri yang lebih miskin?

Eric Toussaint: Dengarkan, secara pribadi saya berpikir bahwa, pertama-tama, yang esensial adalah membayar harga yang tepat untuk barang-barang yang diimpor dari negeri-negeri yang dipandang sebagai "miskin" dan berhenti merekomendasikan kebijakan yang merugikan produsen lokal mereka. Inilah yang hendak saya katakan di awal terkait krisis pangan. Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia meyakinkan negeri-negeri Afrika untuk mengurangi produksi pangan domestiknya sementara menjamin mereka kedaulatan pangan, keamanan pangan, terutama dalam sereal. IMF dan Bank Dunia mendorong negeri-negeri ini untuk meningkatkan eksport mereka dalam bentuk teh, pisang, kakao, dsb. dan untuk menggantungkan diri kepada impor gandum dan beras dari Eropa dan Asia untuk memberi makan populasi mereka sendiri. Dan kini di saat harga-harga bahan tersebut secara harafiah meledak, negeri-negeri Afrika menemukan dirinya tak memiliki apa-apa, dan tidak ada lagi produsen lokal yang dapat memenuhi kebutuhan mereka.

Jadi jawaban saya adalah, daripada bicara tentang kemurahan hati terhadap negeri-negeri ini, dan saya tidak yakin dengan apa yang disebut-sebut "kemurahan-hati" ini, yang dibutuhkan negeri-negeri Afrika adalah lebih banyak keadilan.

RFI: Terimakasih Eric Toussaint, Presiden dari Komite Penghapusan Utang Dunia Ketiga, disiarkan langsung dari Brussels dan ijinkan saya mengutip buku terbaru anda Who Owes Who? 60 questions about World Debt, yang sudah diterbitkan dalam bahasa Perancis: 60 Questions/60 Réponses sur la dette, le FMI et la Banque mondiale, CADTM-Syllepse, Liège-Paris, 2008.

NB: Eric Toussaint juga penulis dari: The World Bank: A Critical Primer, Pluto Press / Between the lines / David Philip Publisher, London - Toronto - Cape Town, 2008; World Bank: A Never-Ending Coup d’Etat Editorial VAK (Mumbai-India), 2007.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diterbitkan dalam Situs Komite Penghapusan Utang Dunia Ketiga - Comite pour l'Annulation de la Dette du Tiers Monde (CADTM)
Diterjemahkan dari Bahasa Perancis ke Bahasa Inggris oleh Jinane Prestat dan Elizabeth Anne
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh NEFOS.org


Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative