Perempuan Melawan Neoliberalisme

Kekalahan Para Perempuan di Gelanggang Pilkada



Maret 4, 2008

Oleh: Ulfa Ilyas

Persoalan-persoalan yang dirasakan oleh perempuan, hingga saat ini, disadari sebagian besar karena faktor-faktor ekonomi-politik. Kekerasan terhadap perempuan, perdagangan perempuan (tracficking), kemiskinan, pelacuran, dan banyak lagi, merupakan persoalan yang sangat politis bahkan ideology (baca; patriarkhi). Mayoritas gerakan perempuan, terutama dari lapisan terdidik klas menengah keatas yang sudah mengenyam pendidikan merasa perlu ada sebuah Affirmatif Action dalam bidang politik yang memberikan ruang bagi perempuan membicarakan hak-hak dan tuntutannya. Sehingga, tuntutan perempuan terlibat luas dalam gelanggang politik merupakan bentuk tindakan konkret gerakan perempuan untuk membebaskan dirinya.

Bagaimana kiprah perempuan dalam gelanggang politik?

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi lapangan pertarungan, sekaligus ruang (kesempatan) yang luas bagi perempuan untuk mengaktualisasikan perjuangan politiknya, program-programnya, dan tuntutan-tuntutannya. Apalagi dengan mekanisme pemilihan langsung gerakan perempuan menganggap peluang ini semakin mudah, tinggal bagaimana mengasah kesanggupan (capable) dan logistic untuk bisa bertarung dalam arena. Namun dari sinilah problemnya, dari berbagai proses pemilihan kepala daerah yang berlangsung sangat sedikit kaum perempuan yang berhasil memenangkan pertarungan. Hingga saat ini, hanya Ratu Atut Chosiyah, yang saat ini menjabat gubernur Banten, yang berhasil memenangkan pertarungan tersebut (11/06). Dalam putaran pertama pilkada tahun 2005 (Propinsi dan Kab/kota) yang berlangsung 160 daerah pemilihan, hanya 6 perempuan yang menang menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah. Menurut Lembaga Survey Indonesia (LSI); hingga akhir desember 2006, dari 296 kali pilkada yang dilangsungkan, hanya ada 61 (20,6%) daerah yang tercatat ada kandidat perempuan. Dari 38 Pilkada yang berlangsung tahun 2007, hampir tidak ada calon perempuan yang menang.

Faktor Penghambat Perempuan dalam Gelanggang Politik

Azzan Karam(1991), pernah melakukan penelitian di sejumlah Negara untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat keterwakilan perempuan dalam politik. Dalam peneletiannya, Karam menyimpulkan bahwa bukan hanya faktor-faktor seperti kemiskinan, tingkat pendidikan, dan kesanggupan logistic yang menghambat perempuan terjun dalam dunia politik, tetapi juga ada faktor ideologis yakni patriarkhi. Dunia politik masih diasosiasikan sebagai “dunia laki-laki”, dimana kaum perempuan tidak pantas terlibat di dalamnya. Dalam masyarakat Indonesia, masih terpatri dengan kuat pandangan bahwa “perempuan yang baik adalah perempuan yang tinggal dalam rumah; melayani suami dan mendidik anak.” Gambaran-gambaran masyarakat yang patriarkhis ini menjelma dalam kehidupan ekonomi-politik, termasuk dalam system politik-pemerintahan. Hal ini, masih nampak jelas dalam dinamika politik nasional yang masih sering tarik-menarik soal partisipasi perempuan dalam kehidupan politik. Kendati, ada wacana dari berbagai partai politik untuk membuka kesempatan bagi kaum perempuan duduk dalam kepengurusan partai, menjadi kandidat, dan sebagainya. Namun, kebanyakan itu hanya maneuver atau boleh dikatakan sebagai “kedok” semata, untuk memanipulasi suara perempuan masuk kedalam partainya. Pada kenyataannya, jajaran kepengurusan partai-partai baik nasionalis, maupun yang bertendensi agama, masih sangat sedikit mengakomodir perempuan dalam jabatan strategis. Dalam isu “keterwakilan 30% Perempuan dalam parlemen” saja, partai-politik masih belum memperlihatkan niatnya yang jelas dan tegas untuk mendukung.

Di pilkada Jawah Tengah, Poppy Dharsono tersungkur dari pencalonannya lewat kendaraan PKB, karena ada wacana di PKB Jawa Tengah yang lebih memilih “calon yang kuat dan tegas”. Dalam Pilkada Aceh, ada 2 perempuan yang mendaftarkan diri sebagai calon, namun kedua-duanya di gugurkan karena alasan administrative. Di Kutai Timur, Kalimantan Timur, Sitti Nur Aeni, tetap semangat maju dalam pencalonan pilkada kendati dukungannya hanya datang dari PBB yang notabene tidak memiliki kursi di DPRD. Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dua kandidat perempuan yakni; Hj Daris Susilawati dan Hj Norhayati MT, kedua-duanya dikenal sebagai aktivis perempuan, belum mendapatkan kendaraan politik yang real untuk maju dalam Pilkada.

Dari uraian diatas, jelas bahwa hambatan terberat bagi perempuan dalam pilkada bukanlah faktor kesanggupan, karena rata-rata kandidat perempuan punya kemampuan dan kredibilitas bersih, akan tetapi mereka tidak mendapatkan ruang (kendaraan politik) dari parpol. Kebanyakan parpol masih menjadikan wacana “pemimpin kuat, tegas, dan berani” sebagai pilihan mereka, bukan kepada kemampuan, kapasitas, program dan visinya.

Perombakan Parpol dan kemungkinan Calon Perseorangan.

Kelihatan jelas bahwa hambatan terbesar bagi perempuan dalam bertarung di Pilkada adalah system kepartaian kita yang memang masih tidak mengakomodir perempuan. Kinerja partai yang buruk, serta mentalitas orang didalamnya yang bobrok, tidak sanggup menciptakan sebuah aturan main (ruler game) yang fair. Padahal, diantara mereka, kaum perempuan yang mendaftarkan diri dalam proses pencalonan pilkada, punya konsep dan program yang bagus, ditambah komitmen kerakyatan yang pantas untuk di uji. Poppy Dharsono misalnya, mengusung program pendidikan dan kesehatan gratis, ekonomi kerakyatan, kesetaraan gender, ekologis, dan sebagainya, namun harus meminum pil pahit karena system kepartaian yang tidak bersih, tidak demokratis, tidak sehat, dan patriarkhis.

Di tengah merebaknya kebusukan dan ketidakberesan partai-politik, wacana calon perseorang (independent) seharusnya menjadi lokomotif alternative bagi berjalannya system demokrasi dinegara ini, termasuk mengakomodir partisipasi perempuan. Jika, pemerintah dan DPR memang berpihak kepada demokrasi dan hak perempuan, semestinya mereka menjadi kekuatan utama yang mendorong pengesahan calon perseorangan. Namun kelihatannya, wacana calon perseorangan pun tinggal wacana, tanpa realisasi, karena parpol dan pemerintah begitu hebat membendung wacana ini untuk tidak terealisasi, setidaknya hingga tahun 2009. Sekali lagi, system politik Indonesia menjadi hambatan bagi tegaknya hak-hak kaum perempuan. Selamat hari perempuan internasional.

***

Penulis adalah Aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Jakarta Pusat

Artikel ini pernah dimuat harian KOMPAS, tanggal 3 Maret 2008, di Rubrik Teropong

2 komentar:

  1. Anonim mengatakan...

    Ya..perombakan sistem yg lebih mengakomodir pergerakan kaum perempuan memang mesti segera dijalankan. Musti benar2 dihadirkan org2 yg punya orientasi yg tak melulu berkonsep patriarki.

    Salam kenal, Mba!

  2. Pendek DW mengatakan...

    1. Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia--perempuan dijadikan budak sex.
    2. Kehancuran Nazi--perempuan dijadikan budak sex.
    begitupun dengan Revolusi Bolshevik maupun Revolusi Prancis, tanpa perempuan2 proletar mereka tidak akan bisa melakukan sebuah revolusi.

    Perempuan itu tiang negeri. Manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan, rusaklah negeri. (Nabi Muhammad saw.)

    salam kenal dan salam pembebasan...