Perempuan Melawan Neoliberalisme

Reformasi Gagal; Saatnya Kaum Muda Yang Memimpin!



Oktober 5, 2007

Oleh : Ulfa Ilyas

“Dalam sejarah modern kita selamanya Angkatan Muda menjadi motor perubahan ke arah yang lebih maju, kecuali angkatan 66.”
(Pramudya Ananta Toer)

Diakui atau tidak, kata-kata Almarhum Pramoedya Ananta Toer bisa di buktikan dalam fakta sejarah. Ada beberapa rentetan peristiwa kebangsaan, dimana kaum muda mengambil peranan yang paling pokok dan menentukan. Lihat saja, ketika semangat nasionalisme itu belum muncul, pergerakan kaum muda Indonesia di negeri Belanda sudah merumuskan konsep sebuah “Nation” yang sekarang di sebut Indonesia. Apa jadinya bangsa-bangsa yang tercerai berai dalam semangat kesukuan (etnisisme), lokalitas/kedaerahan, dan feodalistik ini, kalau tidak ada peranan kaum muda tersebut. Meskipun di kerdilkan peranannya dalam teks-teks sejarah Indonesia Modern, sebelum banyak mengulas banyak hal soal pergerakan kaum muda bangsa ini, marilah menundukkan kepala sebagai penghormatan kepada mereka.

Peranan kaum muda memang tidak bisa di lepaskan dari konteks jamannya, serta lingkungan sosial, dan ekonomi-politik yang melingkupinya. Gerakan Mahasiswa Tahun 1998 yang melahirkan reformasi, telah menjadi momentum kebangkitan kembali (The Uprising) Gerakan Mahasiswa Indonesia. Peristiwa ini menjadi sejarah besar, karena rejim yang berdiri kokoh dengan dukungan kekuatan dan kekuasaan yang begitu besar sanggup di robohkan oleh mahasiswa (yang saat itu populasinya hanya 2% dari penduduk Indonesia). Keberhasilan Menjatuhkan rejim Orde baru tentunya menjadi pengalaman baru bagi gerakan mahasiswa. Namun, dalam aspek lain, keberhasilan itu telah melahirkan eufhoria luar biasa, sehingga seolah-olah menganggap bahwa tugas gerakan mahasiswa telah selesai.

Harusnya gerakan mahasiswa tersebut bermuara pada pemenuhan harapan rakyat, penyelesaian problem-problem rakyat, dari titik inilah pengujian dan pembuktian kebenaran gerakan mahasiswa. Orientasi dan tindakan politik merupakan cermin dari bagaimana mahasiswa Indonesia memahami masyarakatnya, menentukan pemihakan pada rakyatnya serta kecakapan merealisasi nilai-nilai tujuan atau ideologinya. Tidak bisa tidak perdebatan dalam gerakan mahasiswa (termasuk Kaum Muda) harus di buka seluas-luasnya, sekeras-kerasnya, untuk menemukan kesimpulan yang benar soal arah dan gerak perjuangan kaum Muda.

Namun siapakah Kaum Muda itu? Apakah kaum muda di tentukan oleh pendefinisian menurut umur (Usia)? Ataukah Kaum Muda penyebutan dalam pergulatan fikiran atau gagasan?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kedua (1995) kata pemuda disatukan pengertiannya dengan remaja yang berarti sudah mulai dewasa dan sudah sampai umur untuk kawin. Dalam UU Perkawinan Usia kawin adalah 16 tahun (wanita) dan 19 tahun(laki-laki), dan dalam penjelasan UU tersebut di katakan bahwa usia cakap atau dewasa adalah 21 tahun. Menurut antropolog James Siegel (1986), dalam definisi budaya Orde Baru, seseorang tidak serta merta menjadi remaja karena berusia muda, tapi karena memiliki selera dan aspirasi yang menandakan bahwa dirinya seorang remaja. Selera dan aspirasi para remaja tersebut tercermin dalam kegemarannya pada musik pop dan mode pakaian yang terbaru, yang sedang ngetrend, yang pada umumnya mengacu pada perkembangan di negeri Barat. Dengan kata lain menjadi remaja adalah sebuah gaya hidup. Namun Bagi Pramoedya; pemuda bukan hanya umur tetapi gagasan, yakni progressif, radikal dan militant. Hal ini senada dengan pandangan Cak Nur, yang mengatakan bahwa Usia 30 tahun membuat orang sudah berpikir mapan, tidak progressif, dan status Quo.

Memang sangat disayangkan, proses depolitisasi selama 32 tahun terhadap pemuda dan mahasiswa di bawah rejim orde baru berimbas pada matinya organisasi pergerakan kaum muda. Jangan heran, kalau organisasi kepemudaan di jaman orde baru hingga sekarang di komandoi oleh orang-orang yang notabene sudah tidak muda seperti Yapto Suryosumarno tokoh Pemuda Pancasila (16 Desember 1949).

Perjuangan Moral dan Perjuangan Politik

Pada tahun 1998, ketika gerakan mahasiswa berhasil menjatuhkan rejim Orde Baru muncul polemik dalam pergerakan mahasiswa dan kaum Muda soal kepemimpinan politik paska Soeharto. Perdebatan ini adalah perdebatan lama yang kembali menguat pasca penjatuhan soeharto, dan sikap gerakan melihat proses transisi yang ada ketika soeharto di gantikan Habibie dan sebahagian gerakan kemudian melihat sebagai proses transisi demokrasi. Mereka menganggap bahwa pemerintahan di bawah Habibie akan mampu melakukan perubahan –perubahan secara mendasar walaupun perlahan-lahan menuju Indonesia yang demokratis dan berkeadilan sosial. Ada dua pokok perdebatan kaum muda dan mahasiswa, soal tugas-tugas pokok dan bagaimana memposisikan gerakan mahasiswa dalam proses perubahan yang terjadi. (1) kelompok mahasiswa yang menganggap bahwa tugas mahasiswa hanya membuka kemacetan politik, dalam hal ini, mereka berkesimpulan bahwa setelah menjatuhkan Soeharto maka tugas gerakan mahasiswa telah selesai. Proses selanjutnya diserahkan kepada ahlinya yakni para politisi dan elit politik, mahasiswa tidak masuk dalam wilayah-wilayah yang sifatnya politis. Kelompok Ini kemudian di kenal sebagai Kelompok gerakan moral (moral Force), terdiri dari kelompok Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan kelompok mahasiswa Cipayung. (2). Kelompok mahasiswa yang menganggap bahwa proses penjatuhan Soeharto hanyalah awal dari perjuangan membuka ruang demokrasi, bahwa proses tersebut harus dimajukan dengan menciptakan tatanan baru yang lebih demokratis. Mereka menggangap bahwa pemerintahan Habibie masih kelanjutan dari Sistem politik Orde Baru, sehingga mereka pun menolak pelaksanaan SI MPR tahun 1999. dalam hal konsep kelompok ini menyiapkan bentuk pemerintahan transisi menuju Indonesia demokratis sepenuh-penuhnya. Forkot (Forum Kota) memberikan konsep Komite Rakyat Indonesia (KRI), sedangkan LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi) mengusulkan Pemerintahan Koalisi Oposisi Demokratik kaum Muda dan Rakyat Miskin, dan HMI-MPO (Himpunan Mahasiswa Islam-Majelis Penyelamat Organisasi) dengan tawaran Presidium Nasional.

Melihat kebelakang, gerakan moral muncul pada setelah kemerdekaan, beberapa kelompok mahasiswa didaerah pendudukan Belanda membentuk Badan Koordinasi Mahasiswa Indonesia (BKMI). Kelompok ini menyerukan tugas mahasiswa hanya untuk menyelesaikan studi, dan tidak usah melibatkan diri dalam politik. Menjelang pemilu 1955, kelompok mahasiswa dari Majelis Permusyawaratan Mahasiswa(MPM) menyerukan agar mahasiswa kembali kedalam kampus, kebebasan akademik. konsep ini kemudian di sistematiskan oleh seorang aktivis Germasos, Soe Hok Gie, dalam Catatan Sang Demonstran dikatakan bahwa gerakan mahasiswa tidak seharusnya masuk dalam politik yang kotor dan atau sebagai pengikut sebuah gerakan ideologis karena menurutnya yang terpenting mengabdi kepada kepentingan kemanusiaan. Gerakan mahasiswa cukup menjadi seperti koboi-koboi yang menyelamatkan rakyat dari serangan Penjahat, dan setelah itu biarkan masyarakatnya tenang. Gerakan mahasiswa menurut moral force cukup sebagai gerakan mengkritisi kebuntuan politik ketika ada kebijakan pemerintah yang tidak populis dan mempelopori perubahannya, setelah itu tahap selanjutnya” eksekusi/penyelesainnya’ diserahkan kepada kekuatan politik—partai atau elit politik. Gerakan mahasiswa bisa kembali ke kampus untuk melaksanakan tugas sejatinya menimbah ilmu di Universitas dan berguna bagi semua orang kelak. Pandangan yang sedikit sama bisa kita lihat dalam uraian Arbi Sanit sebagai berikut:

“Perlu dicatat bahwa mahasiswa memang tidak menuntaskan koreksi dan perubahan sosial itu sendiri. Juga perlu diingat bahwa cetusan koreksi serta perubahan, dimasyarakatkan oleh mahasiswa bersama kekuatan masyarakat lainya. Terdapat kerjasama di antara mahasiswa dan kekuatan sosial lainnya, sejak awal mahasiswa menerima peranannya dalam suatu masalah, sampai pada penyelesainnya. Justru pada tahap penyelesaiannya, kekuatan sosial dan politik non mahasiswa beserta lembaga-lembaga masyarakat yang ada, mengambil alih dan menyelesaikan kegitan yang dirintis oleh mahasiswa tersebut.

Dalam hal proses serah tugas seperti itu telah berlangsung, mahasiswa kembali ketugas utamanya yaitu studi dan mempersiapkan diri untuk memasuki berbagai bidang profesi. Dan berkenaan dengan posisi serta perannya sebagai bagian kaum intelektual, mahasiswa kembali ke kegiatan analisa dalam rangka memahami kelanjutan proses kehidupan dan menentukan sikap terhadap proses tersebut.

Dalam film GiE, produksi Miles Production karya sutradara muda Riri Reza, di gambarkan bagaimana konsep gerakan moral yang dianut oleh Gie sendiri dalam pertarungan pemilihan Ketua Dewan Mahasiswa Fakultas Sastra UI. Dilatarbelakangan kondisi sosial politik indonesia menjelang peristiwa 1965 pertarungan antara dua kubu; Pro Imperialisme vs Anti Imperialisme—termasuk di dalam gerakan mahasiswa. Perebutan ketua DEMA UI ditandai dengan pertarungan kedua kelompok tersebut, dimana Gie Menolak kedua-duanya karena mengekspresikan kepentingan politik dari dua kekuatan yang bertarung sekarang dalam politik nasional. Gerakan mahasiswa harus mencari bentuknya sendiri, tidak perlu mengekspresikan kepentingan politik dari partai-partai politik ataupun gerakan politik. Gie kemudian mendorong temannya (Herman Lantang) untuk muncul sebagai calon independen, yang tidak mengekspresikan kekuatan politik manapun kecuali mahasiswa. Dalam pemilihan tersebut calon Gie kalah, dan pemilihan dimenangkan oleh kubu anti imperialis; GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Gerakan Moral atau Moral Force menjadi bentuk pokok perjuangan mahasiswa indonesia, ini bisa kita lihat dalam beberapa peristiwa pasca 66 seperti protes terhadap pembangunan TMII oleh soeharto 1971, peristiwa Malari 1974, bahkan ketika menolak pencalonan Soeharto dan perampingan partai politik 1979. Gerakan moral bersumber dari kacamata positivisme yang menilai bahwa sesuatu itu bebas nilai, bahwa netral—tidak memihak adalah berarti bebas dari memilih padahal menurut Habermas tidak ada yang bebas nilai, tidak ada yang ber-diri sendiri, tidak memilih pun berarti sebuah pilihan dan mengekspresikan kepentingan yang lain. Maksudnya bahwa kawan-kawan yang mengambil gerakan moral dan tidak mau mewakili kepentingan politik manapun sebenarnya sudah terjebak dalam sebuah kepentingan politik tertentu. Dan kalau di ukur lebih merefresentasikan kepentingan politik status Quo karena moral force berarti mengendorkan serangan.

Gerakan politik bertentangan dengan perjuangan moral, bagi gerakan politik tugas gerakan mahasiswa bukan hanya mengkritisi dan meluruskan kebuntuan politik kembali kepada rel-nya, tetapi gerakan mahasiswa harus mampu menghantarkan rakyat Indonesia sampai pada tatanan baru yang betul-betul demokratis. Bagi gerakan politik, mahasiswa sebagai sektor rakyat yang beruntung menikmati pendidikan di Universitas dan mendapatkan akses informasi yang lebih banyak tentu lebih melek politik. Selama ini gerakan politik telah disalah artikan dan direduksi sekedar politik praktis, padahal gerakan politik meliputi banyak aspek; Pendidikan, penyadaran, mobilisasi, program alternative, dan lain-lain. Membangun gerakan politik bukanlah berarti mengekor —membuntut pada politik elit tetapi membangun gerakan politik sendiri yang mengabdi kepada kepentingan rakyat tertindas. Gerakan politik berarti meng-agendakan kerangka kerja perjuangan mulai dari pengorganisasi, pewadahan, penyuntikan kesadaran, hingga penjungkirbalikan system ekonomi-politik yang dianggap menindas. Dalam bukunya, Di bawah Bendera revolusi, Soekarno menyatakan bahwa revolusi harus tercipta dari pergerakan aksi massa yang sadar, bukan sekedar massa aksi termobilisasi. Hakekat dari perjuangan politik adalah penjungkirbalikan system, karena metode reform tidak akan sanggup menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar (pokok).

Memang gerakan politik akan mengambil bentuk perjuangan radikal/tanpa kompromi dengan musuh-musuh rakyat karena berangkat dari pandangan bahwa antara rakyat dan penguasa ada dua kepentingan politik yang sama sekali berbeda dan ber-antagonis—tidak bisa di damaikan. Sehingga perjuangan ekonomis untuk menolak kebijakan pemerintah yang merampas hak-hak ekonomi rakyat bisa di katakan sebagai embrio dari perjuangan politik karena memaksa pemerintah untuk merubah kebijakannya; makanya banyak perjuangan ekonomis berubah menjadi pemberontakan politik. Presiden Venezuela yang ber-idelogi kiri pernah mengatakan;

“bila kita hendak mengentaskan kemiskinan, kita harus memberikan kekuasaan kepada si miskin, pengetahuan, tanah, kredit, tekhnology, dan organisasi. Itulah satu-satunya cara mengakhiri kemiskinan

Maksudnya adalah bahwa syarat pokok demokrasi adalah mengembalikan kekuasaan kepada rakyat, biarkan rakyat mengorganisir diri dan merumuskan paket kebijakan yang menjadi kebutuhan mendesaknya.

Sekarang Saatnya Kaum Muda Berkuasa!

Di sini, di antara buruh dan tani, kami generasi yang kalah menemukan kebenaran dan kekuatannya kembali. Inilah satu-satunya rumah kami.

(Emmanuel Lacaba)

SEBAGAIMANA setiap periode kebangkitan sebuah generasi yang melakukan perubahan di berbagai belahan dunia, selalu lahir karya-karya sastra yang merupakan ungkapan semangat zamannya. Dan kutipan di atas adalah petikan dari sebuah puisi seorang penyair dan aktivis mahasiswa Filipina yang menggambarkan semangat generasi muda negeri tersebut yang tengah bergelora memperjuangkan demokrasi melawan kediktatoran Marcos pada dekade 1970-an. Kiranya kutipan tersebut tepat untuk menggambarkan semangat kaum muda Indonesia saat ini. Perjuangan bagi transformasi masyarakat hanya bisa terwujud apabila kita berada di tengah-tengah massa rakyat, hidup dan berjuang bersama mereka.

Kaum muda selalu di remehkan sebagai suatu kelompok social yang belum sanggup memimpin dirinya sendiri, apalagi memimpin Negara. Landasannya sederhana, factor umur yang masih muda menyebabkan secara psikologis kaum muda sangat labil, dan emosional yang meletup-letup. Padahal, jika diperiksa dalam sejarah perjuangan gerakan mahasiswa justru kaum muda selalu menjadi motor utama perubahan. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, merupakan hasil konkret perjuangan mahasiswa dan kaum Muda Indonesia. Pada saat itu, kelompok pemuda dari Gerakan Menteng 31 menganggap bahwa masa kekosongan kekuasaan (karena Jepang baru saja kalah dalam perang Asia Timur Raya) harus dimanfaatkan untuk menyiapkan kemerdekaan. Kaum muda tidak sepakat dengan metode yang ditempuh golongan tua (Soekarno dan Hatta) dengan berharap belas kasihan Jepang, dengan bekerja di BPUPKI dan PPKI. Terjadilah peristiwa rengasdengklok, mahasiswa dan pemuda menculik Soekarno –Hatta dan memaksa mereka untuk menandatangani teks proklamasi dan membacakannya tanggal 17 Agustus. Kalau bukan kepeloporan kaum muda, tidak mungkin kita mempringati kemerdekaan tiap tanggal 17 Agustus.

Dalam analisa sejarahnya soal revolusi social di Jawa tahun 1945-1946, Ben Anderson menyebut gejolak tersebut sebagai revolusi pemuda, karena pada saat itu golongan pemuda merupakan motor dari revolusi yang tengah bergulir. Bahkan, peranan mereka sekaligus mengalahkan peranan kaum intelegensia dan kelompok lainnya dalam kancah perpolitikan saat itu.

Setelah rejim orde baru runtuh, memang muncul rejim-rejim yang berkuasa dari proses electoral (Pemilu yang lebih demokratis ketimbang di bawah rejim Orde Baru), namun hasilnya ketika mereka berkuasa justru menjalankan orientasi politik dan ekonominya menurut scenario Neoliberal (baca;Imperialisme). Bagaimana bentuk dominasi tersebut berlangsung; sejak kolapsnya rejim Habibie- dan model kapitalisme kroni maka rejim habibie penerus soeharto kemudian memberi ruang yang besar bagi IMF sebagai syarat pencairan utang luar negeri sebagai dana segar untuk menyelesaikan krisis moneter di Indonesia. Utang luar negeri, dalam prakteknya hanyalah alat bagi Imperialis—debt trap -indonesia kemudian semakin tergiring dalam perangkat utang luar negeri dan semakin di paksa untuk menjalankan syarat-syarat ekonomi ketentuan IMF yang disebut Struktural Adjusman Program[SAP]- itulah neoliberalisme. Jeffrey Winters menyebutkan hingga krisis ekonomi 1997, hutang Indonesia yang layak disebut hutang najis (odious debt) sedikitnya US$30 miliar, dimana US$10 miliar dari Bank Dunia, sisanya dari ADB, serta lembaga multilateral dan bilateral lainnya. Rejim-rejim yang berkuasa kemudian melaksanakan paket2 kebijakan ekonomi neoliberal tersebut seperti; pencabutan subsidi, liberalisasi perdagangan, privatisasi/swastanisasi, restrukturisasi perbankan, regulasi perundang-undangan dan lain sebagainya.

Sektor pertambangan adalah lumbung rejeki yang selama ini memperbesarkan kantong2 imperialis, sejak jatuhnya rejim nasionalis Soekarno dan Soeharto naik; sektor pertambangan telah menjadi upeti utama bagi imperialis; masuknya Freeport tahun 1968, Newmont, Astra International, ExxonMobil, Shell, Petronas, Total, Chevron, dan Texaco semakin menjelaskan kuatnya dominasi imperialisme Indonesia dan merampas kedaulatan negara kita. Legitimasi lewat Undang-Undang Migas tahun 2001 untuk memberi keleluasaan MNC/TNC Migas untuk menjarah kekayaan Migas kita. Coba bayangkan! Ditengah kekayaan alam negara kita, disektor Migas saja, sebuah perusahaan multi nasional (MNC) yang bergerak dalam bidang eksplorasi dan eksploitasi migas meraup keuntungan untuk tahun 2005 sebesar 36,2 miliar dolar AS ( 362 triliun rupiah ). Sedangkan disisi lain sekitar 120-140 juta rakyat indonesia di garis kemiskinan menurut Versi Bank Dunia dan Asian Develovment Bank.

Krisis energi di pusat-pusat imperialis, seperti AS, semakin memaksa mereka untuk mencari sumber-sumber energi—lading-ladang minyak untuk mensupport industri mereka, maka jalan kekerasan pun bisa ditempuh untuk maksud tersebut. Di Indonesia untuk memastikan ketundukan SBY-JK, Menlu condoleezza Rice dan George W. Bush berturut-turut datang ke Indonesia menemui kaki-tangannya, sebelumnya presiden SBY juga mengunjungi AS. Perluasan dominasi imperialis AS dan sekutunya ke negara-negara dunia ketiga mensyaratkan dominasi langsung ; pencaplokan bahan mentah ini disahkan dengan berbagai perangkat Undang2, penguasaan sektor eksplorasi tambang Hulu-hilir oleh imperialis juga berimplikasi pada matinya industri-industri dalam negeri, lihat saja tutupnya indutri pupuk dalam negeri seperti Industri Pupuk Iskandar Muda [PIM] yang ber-batasan tembok dengan ExxonMobile penghasil bahan bakar. Imperialisme hanya akan menjadikan negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia sebagai pemasok bahan baku sekaligus pasar bagi produk-produk mereka.

Sedangkan disisi lapangan politik saat ini, panggung politik masih diisi sepenuhnya oleh elit politik lama dari partai politik yang sudah terbukti gagal dalam menyelesaikan problem rakyat. Proses pemilu electoral,jika tidak memunculkan tokoh baru yang memiliki komitmen kerakyatan, bisa jadi hanya akan menjadi mekanisme procedural untuk melahirkan oligarkhi politik. Artinya, semua mesin-mesin politik di kuasai dan dimanfaatkan sepenuhnya oleh kekuatan politik lama yang memiliki modal kuat. Tentunya, ini merupakan bahaya bagi demokrasi karena demokrasi menghendaki adanya seleksi adil bagi munculnya kepemimpinan politik yang mencerminkan kehendak mayoritas. Maka dengan tesis ini, wacana kepemimpinan kaum muda dalam panggung politik nasional semakin relevan untuk di bahas.

Dan dalam realitas politik real saat ini, sudah semakin banyak kaum muda baik secara individual maupun secara organisasional merealisasikan dirinya dalam panggung politik yang ada. Karena lepas dari kerangka dan agenda gerakan, aktivis mahasiswa yang menyebrang masuk kearena politik ini menjadi terfragmentasikan, tidak diberdayakan, dan malah mereka tercebur dalam mekanisme politik lama. Tokoh-tokoh seperti Budiman Sudjatmiko, dan beberapa mantan aktivis Forkot bisa dijadikan contoh untuk kasus ini. Sebenarnya aku melihat ini bukan problem moralitas, tetapi aku melihatnya pada konsepsi strategi-taktik perjuangan kita (kaum muda) yang belum padu dan konkret.

Terima kasih,

Selamat Hari Sumpah Pemuda….

Selamat Berjuang….

Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Arbi Sanit, Lingkaran Studi Indonesia, hal. 9

Pidato tahunan, presiden Hugo Chaves Friaz, Presiden republic Bolivarian Venezuela, di depan majelis nasional, Gedung Parlemen, tanggal 14 januari 2005.

0 komentar: