Liberalisasi Ekonomi, dan Nasib Pekerja








Jumat, 20 Agustus 2007
Oleh : Ulfa Ilyas
Persoalan kemiskinan adalah persoalan pokok yang dirasakan oleh mayoritas rakyat
Realitas ini semakin diperburuk kenyataan bahwa Dari 108 juta rakyat miskin yang hidup dibawah Rp. 19.000/hari, kaum perempuan menempati lebih dari setengahnya. PHK sepihak oleh berbagai industri manufaktur yang bangkrut mengorbankan angkatan kerja perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Antara bulan Februari 2005-2006, sebanyak 971.200 perempuan terlempar dari pasar kerja. Deindustrialisasi nasional juga menyebabkan terus meningkatnya angkatan kerja buruh migran perempuan hingga mencapai 72% dari jumlah laki-laki dalam 10 tahun ini, di mana setiap tahunnya Indonesia mengirimkan 400.000 buruh ke luar negeri tanpa ada status hukum dan perlindungan yang jelas. Tingginya angka pengangguran perempuan juga dimanfaatkan oleh bisnis prostitusi dan pornografi, termasuk peningkatan jumlah pelacur. Jumlah pelacur anak saja mencapai 30%, dan setiap tahun 100.000 anak diperdagangkan.
LIBERALISASI EKONOMI MEMASUNG KESEJAHTERAN PEKERJA KHUSUSNYA PEREMPUAN!
Jika ditelusuri jejak langkahnya, sejak tahun 1967 liberalisasi ekonomi telah sukses menciptakan kesenjangan ekonomi dan kemiskinan yang luar biasa. Liberalisasi ekonomi yang diperkenalkan oleh IMF paska krisis ekonomi tahun 1997, dan dijalankan oleh rejim Habibie lewat Letter Of Intent(LoI) adalah liberalisasi dalam derajat yang lebih massif dan agressif. Konsekuensi dari liberalisasi ini terutama terhadap kelas pekerja adalah: (1) serangan terhadap kesejahteraan kelas pekerja; salah satu komponen yang di potong oleh pemerintah (atas desakan pemodal) adalah upah pekerja. Hal ini yang menyebabkan politik upah murah warisan orde baru masih terus dipertahankan, dengan berbagai argumentasi yang tidak objektif. (2) pelembagaan sistem Kontrak dan Outsourcing ;Pemberlakuannya akan semakin melemahkan posisi kaum buruh dan menghilangkan hak-hak mendasar (normatif) kaum buruh seperti hak Cuti, jaminan upah layak, jam kerja, dan lain sebagainya. (3) melemahkan organisasi/serikat buruh dan pembentukan lembaga pengadilan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dalam sengketa hubungan industrial posisi serikat pekerja sebagai alat perjuangan di hilangkan dan kaum buruh dihadapkan mekanisme peradilan yang mempertemukan pengusaha dengan segenap kekuatannya berhadapan dengan pekerja yang sudah dilemahkan.
Lahirnya UU No.13 tahun 2003 (terlebih dalam drat rencana revisinya) adalah manifestasi dari upaya merestrukturisasi hubungan ekonomi-politik perburuhan agar fleksibel dengan kehendak liberalisasi ekonomi tersebut. Krisis kapitalisme telah memaksa negara-negara imperialis memperluas jangkauan kekuasaan modalnya, dan menambah kemampuan akumulasinya. Liberalisasi ekonomi bermakna (1) penghilangan batas-batas yang menghambat pergerakan modal untuk mengakumulasikan/ menumpukkan nilai baru untuk kemakmuran segelintir orang. Penghalang tersebut bisa saja ideologi (Nasionalisme, faham kerakyatan, ataupun Fundamentalisme), birokratisme(pajak, bea barang masuk/keluar), maupun peraturan perundang-undangan yang menghambat laju modal seperti UUPA 1960 yang dianggap bisa menguntungkan kaum tani. (2). Penghilangan tersebut juga akan bermakna pencaplokan lansung sumber daya alam/bahan
Kapitalisme telah melempar kaum perempuan dalam hubungan industri kapitalis sebagai buruh upahan. Dengan hanya 14,9% perempuan yang lulus SMA, dan 2,8% lulus Diploma dan Strata 1-3, maka 83% perempuan Indonesia hanya mengantongi ijazah SMP, SD atau malah tidak berijazah sama sekali alias tidak pernah sekolah. Selain putus sekolah akibat tidak mampu membayar biaya sekolah, motivasi anak-anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan juga dihambat oleh konservatisme keluarga yang patriarkis, dimana anak laki-laki yang harus diprioritaskan. Menurut Depdiknas, kawin usia muda kemudian menjadi pilihan para perempuan desa yang putus sekolah ini (5,13% tingkat SD dan 16,72% tingkat SMP). Dengan kualifikasi semacam ini, jangan harap kaum perempuan bisa memiliki kesetaraan posisi tawar di pasar tenaga kerja, baik dalam dan luar negeri. Lalu, pada saat yang bersamaan, para pengusaha dan pemerintah mengeluhkan rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja kita, dibandingkan buruh-buruh di Vietnam atau Cina, sebagai salah satu faktor yang membuat Indonesia tidak kompetitif. Di dalam negeri pun, 70% tenaga perempuan bekerja di sektor informal (44%-nya adalah pembantu rumah tangga), yang rendah keterampilan, minim upah serta tanpa perlindungan hukum. Didalam lingkungan pabrik kaum perempuanlah yang paling rentan mendapat perlakuan tidak adil dalam hal upah dan promosi jabatan, atau tindak kekerasan(violence) dan pelecehan seksual. Di sebuah pabrik Garmen di Jawa Tengah perempuan yang cuti melahirkan tidak di ijinkan lagi masuk kerja, dan kalaupun di ijinkan tidak memperoleh kesempatan untuk menyusui anaknya. Ini adalah gambaran bahwa neoliberalisme lebih menyerupai perbudakan(slavery) dijaman pra –kapitalisme.
Namun terhadap perempuan, serangan kebijakan neoliberlisme dirasa belum cukup. Budaya patriarki yang masih kuat berakar di berbagai komunitas, kelas sosial dan kelompok masyarakat, membuat tambahan beban yang tak kalah hebatnya. Kemiskinan, bagi perempuan, adalah hasil dari sebuah kerja sama erat antara strategi ekonomi penguasa dengan praktek patriarki dalam hidupnya sehari-hari.
“Habis Gelap Terbitlah Terang” Bangkitnya Perempuan Pekerja Harus Melawan!
Seolah-olah sudah menjadi takdir kaum perempuan untuk selalu menjadi masyarakat klas kedua; keberadaannya dalam lingkungan sosial masyarakat umum di nomorduakan oleh masih kuatnya budaya patriarkhi dan dalam hubungan produksi kapitalisme pun kaum perempuan masih sering mendapatkan diskriminasi. Namun tidak ada hukum sosial yang berlaku absolut dan tidak dapat dirubah, mungkin demikianlah keyakinan R.A Kartini sehingga menuliskan “habislah gelap terbitlah terang”. Kaum perempuan sebagai populasi yang jumlahnya cukup besar harus bangkit dari ketertindasannya dan menciptakan tatanan sosial yang lebih adil menempatkan kaum laki-laki dan perempuan setara, dan perempuan bisa memperoleh akses sosial ekonomi yang demokratis.
0 komentar:
Posting Komentar