Perempuan Melawan Neoliberalisme

Liberalisasi Ekonomi, dan Nasib Pekerja









Jumat, 20 Agustus 2007

Oleh : Ulfa Ilyas

Persoalan kemiskinan adalah persoalan pokok yang dirasakan oleh mayoritas rakyat indonesia, meskipun secara sadar coba dimanipulasi oleh Biro Pusat Statistik(BPS). Dalam laporan terbarunya BPS menyatakan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia mengalami penurunan sebesar lebih dari satu persen, yaitu dari 39.30 juta orang miskin pada Maret 2006 (17,75%) menjadi 37,17 juta orang pada Maret 2007 (16,58%). Artinya pemerintah dalam satu tahun terakhir berhasil memberantas kemiskinan sebesar 2,13 juta. Laporan ini sangat kontras dengan hasil temuan Tim Indonesia Bangkit(TIB) yang menyatakan bahwa angka kemiskinan meningkat dari 39.01 pada tahun 2006 menjadi 46 juta hingga 48 juta pada tahun 2008. Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa meluncurkan Laporan Tahunan Pembangunan Manusia (Human Development Report) 2006 yang bertajuk Beyond Scarcity: Power, Poverty, and the Global Water Crisis. Laporan itu selalu menjadi rujukan perencanaan pembangunan dan menjadi salah satu indikator kegagalan atau keberhasilan sebuah negara mensejahterakan rakyatnya. Selama satu dekade, Indonesia berada pada tier medium human development peringkat ke-110, terburuk di Asia Tenggara setelah Kamboja. Posisi Indonesia anjlok. Kemerosotan kualitas hidup manusia Indonesia juga ditunjukkan dalam laporan regional pencapaian Millennium Development Goal Asia Pacific yang diluncurkan 16 Oktober 2006 oleh ADB-UNDP-UNESCAP. Dalam laporan berjudul The Millennium Development Goal, Progress Report in Asia and the Pacific 2006, Indonesia ditempatkan pada peringkat terburuk negara-negara yang terancam gagal mencapai target MDGs tahun 2015 bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Niugini, dan Filipina. Bank Dunia secara resmi meluncurkan hasil studi tentang kemiskinan di Indonesia (Kompas, 11 Desember 2006). Studi itu menghasilkan estimasi jumlah orang miskin hampir 108 juta (49 persen) dari total penduduk Indonesia.

Realitas ini semakin diperburuk kenyataan bahwa Dari 108 juta rakyat miskin yang hidup dibawah Rp. 19.000/hari, kaum perempuan menempati lebih dari setengahnya. PHK sepihak oleh berbagai industri manufaktur yang bangkrut mengorbankan angkatan kerja perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Antara bulan Februari 2005-2006, sebanyak 971.200 perempuan terlempar dari pasar kerja. Deindustrialisasi nasional juga menyebabkan terus meningkatnya angkatan kerja buruh migran perempuan hingga mencapai 72% dari jumlah laki-laki dalam 10 tahun ini, di mana setiap tahunnya Indonesia mengirimkan 400.000 buruh ke luar negeri tanpa ada status hukum dan perlindungan yang jelas. Tingginya angka pengangguran perempuan juga dimanfaatkan oleh bisnis prostitusi dan pornografi, termasuk peningkatan jumlah pelacur. Jumlah pelacur anak saja mencapai 30%, dan setiap tahun 100.000 anak diperdagangkan.

LIBERALISASI EKONOMI MEMASUNG KESEJAHTERAN PEKERJA KHUSUSNYA PEREMPUAN!

Jika ditelusuri jejak langkahnya, sejak tahun 1967 liberalisasi ekonomi telah sukses menciptakan kesenjangan ekonomi dan kemiskinan yang luar biasa. Liberalisasi ekonomi yang diperkenalkan oleh IMF paska krisis ekonomi tahun 1997, dan dijalankan oleh rejim Habibie lewat Letter Of Intent(LoI) adalah liberalisasi dalam derajat yang lebih massif dan agressif. Konsekuensi dari liberalisasi ini terutama terhadap kelas pekerja adalah: (1) serangan terhadap kesejahteraan kelas pekerja; salah satu komponen yang di potong oleh pemerintah (atas desakan pemodal) adalah upah pekerja. Hal ini yang menyebabkan politik upah murah warisan orde baru masih terus dipertahankan, dengan berbagai argumentasi yang tidak objektif. (2) pelembagaan sistem Kontrak dan Outsourcing ;Pemberlakuannya akan semakin melemahkan posisi kaum buruh dan menghilangkan hak-hak mendasar (normatif) kaum buruh seperti hak Cuti, jaminan upah layak, jam kerja, dan lain sebagainya. (3) melemahkan organisasi/serikat buruh dan pembentukan lembaga pengadilan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dalam sengketa hubungan industrial posisi serikat pekerja sebagai alat perjuangan di hilangkan dan kaum buruh dihadapkan mekanisme peradilan yang mempertemukan pengusaha dengan segenap kekuatannya berhadapan dengan pekerja yang sudah dilemahkan.

Lahirnya UU No.13 tahun 2003 (terlebih dalam drat rencana revisinya) adalah manifestasi dari upaya merestrukturisasi hubungan ekonomi-politik perburuhan agar fleksibel dengan kehendak liberalisasi ekonomi tersebut. Krisis kapitalisme telah memaksa negara-negara imperialis memperluas jangkauan kekuasaan modalnya, dan menambah kemampuan akumulasinya. Liberalisasi ekonomi bermakna (1) penghilangan batas-batas yang menghambat pergerakan modal untuk mengakumulasikan/ menumpukkan nilai baru untuk kemakmuran segelintir orang. Penghalang tersebut bisa saja ideologi (Nasionalisme, faham kerakyatan, ataupun Fundamentalisme), birokratisme(pajak, bea barang masuk/keluar), maupun peraturan perundang-undangan yang menghambat laju modal seperti UUPA 1960 yang dianggap bisa menguntungkan kaum tani. (2). Penghilangan tersebut juga akan bermakna pencaplokan lansung sumber daya alam/bahan baku untuk menopang industri kapitalis yang dililit krisis. Transfer bahan baku murah bukan lagi lewat pemerintahan nasional ataupun BUMNnya(karena sudah di privatisasi) tetapi lansung ke negara-negara induk imperialis yang membutuhkannya. (3). Karena bahan bakunya telah dirampas, serta BUMN yang dikuasai negara telah di obral negara kepada asing sehingga industri nasional sekarang tinggal ditangan borjuasi domestik. Pertanyaannya adalah apakah borjuasi domestik sanggup menghadapi korporasi asing (MNC/TNC)? TIDAK bisa karena borjuasi indonesia bukanlah borjuasi tangguh sehingga mereka pun tergulung dalam proses liberalisasi tersebut. Akibatnya de-industrialisasi nasional berujung pada PHK massal. (4) karena industri nasionalnya telah di lumat habis, dan profuktifitasnya dihambat maka rakyat indonesia telah dirubah sebagai pasar paling potensial. Apalagi kepribadian bangsa indonesia yang telah dirusak oleh orde baru menjadikan bangsa indonesia sepenuhnya konsumtif tetapi lemah produktifitas.

Kapitalisme telah melempar kaum perempuan dalam hubungan industri kapitalis sebagai buruh upahan. Dengan hanya 14,9% perempuan yang lulus SMA, dan 2,8% lulus Diploma dan Strata 1-3, maka 83% perempuan Indonesia hanya mengantongi ijazah SMP, SD atau malah tidak berijazah sama sekali alias tidak pernah sekolah. Selain putus sekolah akibat tidak mampu membayar biaya sekolah, motivasi anak-anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan juga dihambat oleh konservatisme keluarga yang patriarkis, dimana anak laki-laki yang harus diprioritaskan. Menurut Depdiknas, kawin usia muda kemudian menjadi pilihan para perempuan desa yang putus sekolah ini (5,13% tingkat SD dan 16,72% tingkat SMP). Dengan kualifikasi semacam ini, jangan harap kaum perempuan bisa memiliki kesetaraan posisi tawar di pasar tenaga kerja, baik dalam dan luar negeri. Lalu, pada saat yang bersamaan, para pengusaha dan pemerintah mengeluhkan rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja kita, dibandingkan buruh-buruh di Vietnam atau Cina, sebagai salah satu faktor yang membuat Indonesia tidak kompetitif. Di dalam negeri pun, 70% tenaga perempuan bekerja di sektor informal (44%-nya adalah pembantu rumah tangga), yang rendah keterampilan, minim upah serta tanpa perlindungan hukum. Didalam lingkungan pabrik kaum perempuanlah yang paling rentan mendapat perlakuan tidak adil dalam hal upah dan promosi jabatan, atau tindak kekerasan(violence) dan pelecehan seksual. Di sebuah pabrik Garmen di Jawa Tengah perempuan yang cuti melahirkan tidak di ijinkan lagi masuk kerja, dan kalaupun di ijinkan tidak memperoleh kesempatan untuk menyusui anaknya. Ini adalah gambaran bahwa neoliberalisme lebih menyerupai perbudakan(slavery) dijaman pra –kapitalisme.
Namun terhadap perempuan, serangan kebijakan neoliberlisme dirasa belum cukup. Budaya patriarki yang masih kuat berakar di berbagai komunitas, kelas sosial dan kelompok masyarakat, membuat tambahan beban yang tak kalah hebatnya. Kemiskinan, bagi perempuan, adalah hasil dari sebuah kerja sama erat antara strategi ekonomi penguasa dengan praktek patriarki dalam hidupnya sehari-hari.
“Habis Gelap Terbitlah Terang” Bangkitnya Perempuan Pekerja Harus Melawan!
Seolah-olah sudah menjadi takdir kaum perempuan untuk selalu menjadi masyarakat klas kedua; keberadaannya dalam lingkungan sosial masyarakat umum di nomorduakan oleh masih kuatnya budaya patriarkhi dan dalam hubungan produksi kapitalisme pun kaum perempuan masih sering mendapatkan diskriminasi. Namun tidak ada hukum sosial yang berlaku absolut dan tidak dapat dirubah, mungkin demikianlah keyakinan R.A Kartini sehingga menuliskan “habislah gelap terbitlah terang”. Kaum perempuan sebagai populasi yang jumlahnya cukup besar harus bangkit dari ketertindasannya dan menciptakan tatanan sosial yang lebih adil menempatkan kaum laki-laki dan perempuan setara, dan perempuan bisa memperoleh akses sosial ekonomi yang demokratis.

Penulis adalah aktivis Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND)

0 komentar: