Perempuan Melawan Neoliberalisme

Dunia Ketiga Harus Bersatu Atau Mati

Fidel Castro

Pengelompokan negeri-negeri dunia ketiga di Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah Kelompok-77 (G77), yang dibentuk tahun 1964 dan kini berjumlah 133 negeri. Pada pertengahan April tahun 2000, bangsa-bangsa yang mewakili mayoritas rakyat sedunia ini bertemu di Havana, Kuba, dan mengeluarkan proklamasi yang sangat kritis terhadap kebijakan Bank Dunia (WB) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Pidato berikut oleh Presiden Kuba saat itu Fidel Castro disambut dengan tepukan tangan yang menggeluruh pada saat KTT G77, tapi pers di AS tidak meliput pidato Castro maupun kritik lainnya yang berasal dari G77.

Belum pernah umat manusia memiliki potensi ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian hebatnya dengan kapasitas yang luar biasa untuk menghasilkan kekayaan dan kesejahteraan, namun belum pernah pula terdapat kesenjangan dan ketaksetaraan yang begitu mendalam di dunia.

Keajaiban teknologi yang telah menyusutkan planet ini dalam hal komunikasi dan jarak, kini hadir bersamaan dengan jurang yang semakin lebar memisahkan kekayaan dan kemiskinan, pembangunan dan ketertinggalan.

Globalisasi adalah realitas obyektif yang menggarisbawahi kenyataan bahwa kita semua adalah penumpang dalam kapal yang sama - planet ini di mana kita semua bertempat tinggal. Tapi penumpang kapal ini melakukan perjalanan dalam kondisi yang sangat berbeda.

Sejumlah kecil minoritas melakukan perjalanan dalam kabin mewah yang dilengkapi dengan internet, telepon seluler dan akses terhadap jaringan komunikasi global. Mereka menikmati makanan yang bergizi, berlimpah dan seimbang berikut persediaan air bersih. Mereka memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang canggih dan seni budaya.

Sejumlah besar mayoritas yang menderita melakukan perjalanan dalam keadaan yang menyerupai perdagangan budak yang menakutkan dari Afrika ke Amerika dalam masa kolonial kami yang lalu. Jadi, 85 persen penumpang kapal ini disesakan ke dalam lambung kapal yang kotor, menderita kelaparan, penyakit, dan tak mendapat pertolongan.

Tentunya, kapal ini mengangkut terlalu banyak ketidak-adilan sehingga tidak akan terus mengapung, mengejar rute yang begitu tak rasional dan tak masuk akal sehingga tidak akan selamat sampai di pelabuhan. Kapal ini tampak ditakdirkan untuk karam menabrak bongkah es. Bila itu terjadi, kita semua akan tenggelam di dalamnya.

Para kepala negara dan pemerintahan yang bertemu di sini, yang mewakili mayoritas besar manusia yang mengalami penderitaan, tidak saja berhak tapi juga berkewajiban mengambil kepemimpinan dan mengoreksi arah perjalanan yang menuju bencana. Adalah tugas kita untuk mengambil tempat kita yang selayaknya sebagai pemimpin kapal dan menjamin bahwa semua penumpang dapat melakukan perjalanan dalam kondisi solidaritas, setara dan adil.

Dogma Pasar Bebas

Selama dua dekade, Negeri Dunia Ketiga telah berulangkali mendengarkan diskursus tunggal yang simplistik, sementara hanya terdapat satu kebijakan tunggal. Kita telah diberitahu bahwa pasar yang terderegulasi, privatisasi maksimum dan penarikan-diri negara dari aktivitas ekonomi merupakan prinsip-prinsip terampuh yang kondusif terhadap pembangunan ekonomi dan sosial.

Dalam dua dekade terakhir, segaris dengan ini, negeri-negeri maju, terutama Amerika Serikat, perusahaan transnasional besar yang diuntungkan oleh kebijakan di atas dan Dana Moneter Internasional (IMF) telah merancang tatanan ekonomi dunia yang paling merugikan kemajuan negeri-negeri kita dan paling tidak berkesinambungan dalam melindungi masyarakat dan lingkungan hidup.

Globalisasi telah dicengkram erat oleh pola-pola neoliberalisme; maka, bukanlah pembangunan yang menjadi global melainkan kemiskinan; bukanlah saling menghormati kedaulatan nasional negara-negara kita tapi pelanggaran sikap saling menghormati tersebut; bukannya solidaritas antara rakyat tapi sauve-qui-peut [masing-masing orang memikirkan dirinya sendiri] dalam kompetisi tak adil yang berlangsung di pasar.

Dua dekade dari apa yang disebut dengan penyesuaian struktural neoliberal telah memberikan kita kegagalan ekonomi dan bencana sosial. Adalah tugas para politikus yang bertanggung-jawab untuk menghadapi situasi yang menyulitkan ini dengan mengambil keputusan yang tak dapat dihindarkan dan kondusif untuk menyelamatkan Dunia Ketiga dari gang buntu.

Kegagalan ekonomi sudah terbukti. Di bawah kebijakan neoliberal, ekonomi dunia mengalami pertumbuhan global antara 1975 dan 1998 yang besarnya tidak mencapai setengah tingkat pertumbuhan yang diraih antara tahun 1945 dan 1975 dengan kebijakan regulasi pasar Keynesian dan partisipasi aktif negara dalam ekonomi.

Di Amerika Latin, di mana neoliberalisme diterapkan dengan ketat menurut doktrinnya, pertumbuhan ekonomi dalam tahap neoliberal lebih rendah daripada yang dicapai dalam kebijakan pembangunan negara sebelumnya. Setelah Perang Dunia II, Amerika Latin tidak memiliki utang tapi sekarang kita berutang sebesar hampir $1 trilyun. Inilah jumlah utang per kapita terbesar di dunia. Kesenjangan pendapatan antara miskin dan kaya di wilayah ini adalah yang terbesar di dunia. Terdapat lebih banyak rakyat miskin, menganggur, dan lapar di Amerika Latin pada saat ini dibandingkan pada saat mana pun dalam sejarahnya.

Di bawah neoliberalisme, ekonomi dunia tidaklah berkembang lebih cepat dalam hal-hal yang riil; justru terjadi lebih banyak ketakstabilan, spekulasi, utang luar negeri dan pertukaran yang tidak adil. Begitu juga, terdapat kecenderungan lebih besar bagi lebih sering terjadinya krisis finansial, sementara kemiskinan, ketaksamaan dan jurang antara negeri Utara yang kaya dan negeri Selatan yang jadi korban penjarahan terus melebar.

Krisis, ketakstabilan, gejolak dan ketakpastian merupakan kata-kata yang paling umum digunakan dalam dua tahun terakhir untuk menggambarkan tatanan ekonomi dunia.

Deregulasi yang menyertai neoliberalisme dan liberalisasi rekening kapital memberikan dampak negatif yang mendalam terhadap ekonomi dunia di mana berkembang subur spekulasi mata-uang asing dan pasar derivativ; sementara transaksi harian yang kebanyakan spekulatif, besarnya tak kurang dari 3 trilyun dolar AS.

Negeri-negeri kita dituntut untuk lebih transparan dalam informasi dan lebih efektif dalam pengawasan bank tapi institusi finansial seperti hedge funds tidak perlu membuka informasi tentang aktivitasnya, dan sepenuhnya tak teregulasi dan menjalankan operasi yang melebihi semua cadangan devisa yang dimiliki oleh negeri-negeri Selatan.

Dalam atmosfir spekulasi yang tak terkendali, pergerakan kapital jangka-pendek membuat negeri-negeri Selatan rentan terhadap ancaman di masa depan. Dunia Ketiga dipaksa untuk menahan sumber daya finansialnya dan semakin banyak berhutang untuk mempertahankan cadangan devisa mata uang asing dengan harapan dapat digunakan untuk bertahan dari serangan spekulator. Sebesar 20% pemasukan kapital dalam beberapa tahun belakangan ditahan sebagai cadangan devisa tapi mereka tidak cukup untuk mempertahankan diri dari serangan-serangan tersebut sebagaimana dibuktikan dalam krisis finansial baru-baru ini di Asia Tenggara.

Saat ini, cadangan devisa Bank-bank Sentral di dunia sebesar 727 milyar dolar AS berada di Amerika Serikat. Ini menciptakan paradoks bahwa dengan cadangan devisanya, negeri-negeri miskin memberikan pendanaan murah berjangka-panjang kepada negeri terkaya dan terkuat di dunia, padahal cadangan devisa tersebut dapat diinvestasikan dalam pembangunan ekonomi dan sosial.

Tuntut Pembubaran IMF

Bila Kuba berhasil menjalankan pendidikan, layanan kesehatan, budaya, ilmu pengetahuan, olah-raga dan program-program lainnya dengan sukses, yang mana hal ini tidak lagi dipertanyakan oleh dunia, meskipun selama empat dekade diblokade ekonomi, dan melakukan revaluasi mata uangnya terhadap dolar AS sebanyak tujuh kali dalam lima tahun terakhir, itu berkat posisi istimewanya sebagai non-anggota Dana Moneter Internasional (IMF).

Suatu sistem finansial yang dengan paksa menahan mobilisasi sumber daya yang demikian besar, yang amat dibutuhkan oleh negeri-negeri itu untuk melindungi diri dari ketakstabilan yang diakibatkan oleh sistem tersebut, yang menyebabkan rakyat miskin mendanai kaum kaya - itu harus dihapuskan.

Dana Moneter Internasional adalah organisasi yang melambangkan sistem moneter saat ini dan Amerika Serikat menikmati hak veto terhadap segala keputusannya. Terkait krisis finansial terakhir, IMF menunjukkan ketidakmampuan dalam membayangkan apa yang akan terjadi dan telah menangani situasi dengan ceroboh. Ia menerapkan klausa persyaratan yang melumpuhkan kebijakan pembangunan sosial pemerintah sehingga menciptakan bencana domestik yang serius dan menghalangi akses terhadap sumber daya yang penting justru ketika mereka sedang paling dibutuhkan.

Sudah saatnya negeri-negeri Dunia Ketiga menuntut keras pembubaran institusi yang tidak memberikan stabilitas kepada ekonomi dunia maupun berfungsi memberikan dana pencegahan kepada peminjamnya untuk menghindari krisis likuiditas; sebaliknya, ia justru melindungi dan menolong para pemberi pinjaman.

Di manakah letak kerasionalan dan etika dari suatu tatanan moneter internasional yang memungkinkan segelintir teknokrat, yang posisinya bergantung pada dukungan Amerika, untuk merancang di Washington program-program ekonomi yang identik untuk diterapkan ke dalam beragam negeri untuk menghadapi problem-problem spesifik Dunia Ketiga?

Siapa yang bertanggung-jawab ketika program-program penyesuaian menghadirkan kekacauan sosial, sehingga melumpuhkan dan mendestabilisasi bangsa-bangsa yang memiliki sumber daya manusia dan alam yang besar, seperti kasus Indonesia dan Ekuador?

Adalah suatu keharusan yang krusial bagi negeri-negeri Dunia Ketiga untuk mengupayakan pembubaran institusi sinister tersebut, dan filosofi yang dipertahankannya, untuk digantikan dengan badan regulasi finansial internasional yang akan beroperasi atas landasan demokratik di mana tak satu pun memilik kekuasaan veto; sebuah institusi yang tak hanya mempertahankan para kreditor kaya dan menerapkan syarat-syarat yang mengintervensi, tapi akan memungkinkan penerapan regulasi pasar finansial untuk menghentikan spekulasi liar.

Cara yang mungkin untuk ini adalah menerapkan - bukannya pajak sebesar 0,1 persen terhadap transaksi finansial spekulatif sebagaimana diusulkan dengan brilian oleh Mr Tobin - tapi pajak sebesar minimum 1 persen yang akan memungkinkan pembentukan dana yang besar, yang melebihi $1 trilyun pertahunnya untuk menggalakkan pembangunan yang berkelanjutan dan komprehensif di Dunia Ketiga.

Utang Dunia Ketiga Sudah Dilunasi

Utang-utang luar negeri dari negeri kurang berkembang telah melebihi $2,5 trilyun dan dalam tahun 1990an itu telah bertambah dengan lebih berbahaya dibandingkan tahun 1970an. Sebagian besar dari utang baru tersebut dapat dengan mudah berpindah tangan dalam pasar sekunder; ia saat ini lebih tersebar luas dan lebih susah untuk dijadwal ulang.

Sebagaimana telah kami katakan sejak 1985: Utang tersebut sudah dilunasi, bila kita memperhatikan cara pembayarannya, peningkatan yang cepat dan semena-mena terhadap tingkat suku bunganya dalam dolar AS pada tahun 1980an dan penurunan harga komoditas dasar - suatu sumber pendapatan fundamental bagi negeri-negeri berkembang. Utang tersebut terus memakan dirinya sendiri dalam suatu lingkaran setan di mana uang dipinjam untuk membayar bunga dari utang lama.

Saat ini, terlihat lebih jelas bahwa utang bukanlah persoalan ekonomi tapi politik, oleh karena itu, ia membutuhkan solusi politik. Tidaklah mungkin menutup mata dari kenyataan bahwa solusi terhadap problem ini harus berasal dari mereka yang memiliki sumber daya dan kekuasaan, yakni, negeri-negeri kaya.

Inisiatif Pengurangan Utang Negeri-negeri Miskin (Heavily Indebted Poor Countries Debt Reduction Initiative - HIPC) menunjukkan nama yang besar tapi hasil yang kecil. Ia hanya dapat digambarkan sebagai upaya konyol untuk menghapus 8,3 persen total utang negeri-negeri Selatan. Hampir empat tahun setelah penerapannya hanya empat di antara tiga-puluh-tiga negeri termiskin telah menyusuri proses yang rumit hanya untuk menghapus angka yang tak seberapa sebesar $2,7 milyar, yakni sepertiga dari jumlah uang yang dibelanjakan Amerika Serikat untuk kosmetik tiap tahunnya.

Saat ini, utang luar negeri adalah rintangan terbesar bagi pembangunan dan bom waktu yang siap meledakkan fondasi ekonomi dunia saat krisis ekonomi.

Sumber daya yang dibutuhkan sebagai solusi yang mengarah pada akar permasalahan ini tidaklah besar bila dibandingkan dengan kekayaan dan pembelanjaan negeri-negeri kreditor. Tiap tahun $800 milyar digunakan untuk membiayai persenjataan dan pasukan, bahkan setelah usai Perang Dingin, sementara tak kurang dari $400 milyar dihabiskan untuk narkotika, dan milyaran lainnya untuk publisitas komersial yang menciptakan alienasi yang sebanding dengan narkotika.

Sebagaimana telah kami katakan sebelumnya, pada kenyataannya, utang luar negeri Dunia Ketiga adalah tak dapat dibayarkan dan tak dapat dipungut.

Perdagangan Dunia

Di tangan negeri-negeri kaya, perdagangan dunia adalah alat dominasi. Di bawah globalisasi neoliberal, perdagangan telah memelihara ketimpangan dan menjadi ruang penyelesaian sengketa antara negeri-negeri maju dalam upaya mereka mengontrol pasar pada saat ini maupun masa depan.

Diskursus neoliberal menyarankan liberalisasi komersial sebagai formula terbaik dan satu-satunya bagi efisiensi dan perkembangan. Sementara neoliberalisme terus menerus mengulangi diskursusnya tentang peluang yang diciptakan oleh pembukaan perdagangan, partisipasi negeri-negeri miskin dalam ekspor dunia menurun pada tahun 1998 dibandingkan tahun 1953. Brasil dengan area 3,2 juta mil persegi, penduduk sebesar 168 juta dan nilai ekspor sebesar $51,1 milyar pada 1998, ekspornya lebih sedikit dibandingkan Belanda yang berarea 12.978 mil persegi, dengan populasi 15,7 juta dan nilai ekspor sebesar $198,7 pada tahun yang sama.

Liberalisasi perdagangan pada intinya terdiri atas penyingkiran instrumen proteksi negeri-negeri Selatan secara sepihak (unilateral). Sementara, negeri-negeri berkembang tidak bisa melakukan hal yang serupa untuk membolehkan ekspor-ekspor Dunia Ketiga memasuki pasar mereka.

Bangsa-bangsa yang kaya telah membangun liberalisasi dalam sektor-sektor strategis yang diasosiasikan dengan teknologi maju - jasa, teknologi informasi, bioteknologi, dan telekomunikasi - di mana mereka menikmati keuntungan besar yang semakin meningkat dengan deregulasi pasar.

Di sisi lain, pertanian dan tekstil, dua sektor yang secara khusus signifikan bagi negeri-negeri kita, tidak mampu menyingkirkan rintangan yang telah disetujui dalam Putaran Uruguay karena ini bukanlah kepentingan negeri-negeri maju.

Dalam OECD [Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi], kelompok negeri-negeri terkaya, tarif rata-rata yang diterapkan pada ekspor manufaktur dari negeri-negeri kurang berkembang adalah empat kali lebih tinggi daripada yang diterapkan pada negeri anggota kelompok tersebut. Tembok penghalang antara tarif dan non-tarif sesungguhnya telah ditegakkan untuk menyingkirkan produk-produk negeri Selatan.

Komoditas dasar tetaplah rantai terlemah perdagangan dunia. Bagi 67 negeri Selatan, komoditas semacam itu berjumlah setidaknya lima puluh persen pendapatan ekspornya.

Gelombang neoliberal telah menyapu skema pertahanan yang termuat dalam panduan (terms of reference) komoditas dasar. Diktum supremasi pasar tak dapat mentolerasi distorsi apa pun, dengan demikian Kesepakatan Komoditas Dasar (Basic Commodities Agreements) dan formula lainnya yang membahas ketimpangan pertukaran (unequal exchange) ditinggalkan begitu saja. Atas alasan inilah maka kini daya beli komoditas seperti gula, kokoa, kopi dan lainnya hanya dua puluh persen dari angka sebelumnya pada 1960; akibatnya, pendapatan penjualan bahkan tidak menutupi biaya produksi.

Perlakuan khusus dan berbeda bagi negeri-negeri miskin telah dipandang sebagai, bukannya tindakan adil dan kebutuhan yang tak dapat diabaikan, melainkan tindakan kemurahan hati yang hanya sementara. Sesungguhnya, perlakuan berbeda bagi negeri-negeri miskin bukan saja merupakan pengakuan terhadap perbedaan besar dalam perkembangan tiap negeri, sehingga mencegah digunakannya penggaris yang sama bagi negeri kaya dan miskin, tapi juga menyadari masa lalu kolonial yang menuntut kompensasi.

Signifikansi Perlawanan di Seattle


Kegagalan pertemuan WTO di Seattle menunjukkan bahwa kebijakan neoliberal menciptakan oposisi yang semakin intensif di antara semakin banyak rakyat, baik di negeri Selatan dan Utara. Amerika Serikat mempresentasikan Putaran Negosiasi Perdagangan yang seharusnya dimulai di Seattle sebagai langkah liberalisasi perdagangan yang lebih maju, padahal negeri itu masih memberlakukan Akta Perdagangan Asing-nya sendiri yang agresif dan diskriminatif. Akta tersebut menyertakan peraturan seperti "Super 301", sebuah pertunjukkan diskriminasi dan ancaman yang sesungguhnya dalam menerapkan sangsi bagi negeri-negeri lainnya atas alasan yang berkisar dari asumsi bahwa suatu negeri menerapkan rintangan untuk menolak produk-produk Amerika, hingga penilaian yang sewenang-wenang dan sering kali sinis oleh pemerintah AS terkait situasi hak asasi manusia di negeri-negeri lainnya.

Di Seattle, terjadi perlawanan terhadap neoliberalisme. Preseden terkininya adalah penolakan terhadap penerapan Multilateral Agreement on Investments (MAI). Ini menunjukkan bahwa fundamentalisme pasar yang agresif, yang telah mengakibatkan kerusakan besar terhadap negeri-negeri kami, menghadapi penolakan sedunia yang keras dan sudah sepantasnya.

Jurang Teknologi


Dalam sebuah ekonomi global di mana pengetahuan adalah kunci bagi pembangunan, jurang teknologi antara Utara dan Selatan cenderung melebar dengan meningkatnya privatisasi penelitian ilmiah dan hasil-hasilnya.

Negeri-negeri maju di mana berdiam lima belas persen penduduk dunia, pada saat ini mengonsentrasikan delapanpuluh-delapan persen pengguna Internet. Terdapat lebih banyak komputer di Amerika Serikat dibandingkan dengan gabungan seluruh jumlah komputer di negeri lainnya di dunia. Negeri-negeri kaya mengontrol sembilanpuluh-tujuh persen hak paten secara global dan menerima lebih dari sembilan-puluh persen hak lisensi internasional, sementara bagi banyak negeri-negeri Selatan penerapan hak milik intelektual tidaklah eksis.

Dalam riset swasta, elemen lukratif (keuntungan besar) mendahului pertimbangan kebutuhan; hak milik intelektual menjadikan pengetahuan berada di luar jangkauan negeri-negeri kurang berkembang, dan legislasi tentang hak paten tidak mengakui transfer pengetahuan atau pun sistem kepemilikan tradisional yang begitu penting di Selatan. Penelitian oleh swasta berfokus pada kebutuhan konsumen yang kaya.

Vaksin telah menjadi teknologi yang paling efisien untuk mempertahankan pembelanjaan kesehatan yang rendah karena dapat mencegah penyakit dengan hanya menggunakan satu dosis. Walau begitu, karena itu memberikan profit yang rendah, vaksin dikesampingkan untuk mengutamakan pengobatan yang membutuhkan dosis berulang kali dan memberikan keuntungan finansial yang lebih tinggi.

Pengobatan baru, bibit terbaik, dan, pada umumnya, teknologi terbaik telah menjadi komoditas yang harganya hanya dapat dijangkau oleh negeri-negeri kaya.

Akibat sosial yang suram dari perlombaan neoliberal menuju bencana ini sudah ada di depan mata. Dalam seratus negeri, pendapat perkapita lebih rendah dibandingkan lima belas tahun lalu. Pada saat ini, 1,6 milyar orang bernasib lebih buruk dibandingkan pada awal 1980an.

Lebih dari 820 juta orang kekurangan gizi dan 790 juta di antaranya hidup di Dunia Ketiga. Diperkirakan 507 milyar orang yang hidup di Selatan saat ini tidak akan menyaksikan ulang-tahunnya yang ke-40.

Dalam negeri-negeri Dunia Ketiga yang terwakili di sini, dua dari lima anak menderita hambatan pertumbuhan dan satu dari tiga menderita kekurangan berat badan; 30.000 anak yang dapat diselamatkan, tiap harinya menderita sekarat; 2 juta anak perempuan terpaksa menjalani prostitusi; 130 juta anak tidak memiliki akses terhadap pendidikan dasar dan 250 juta anak di bawah 15 tahun terpaksa bekerja. Tatanan ekonomi dunia berfungsi baik bagi dua puluh persen penduduknya tapi mengabaikan, memojokkan dan memperburuk delapan puluh persen sisanya.

Kita tak dapat begitu saja memasuki abad baru dalam barisan akhir yang terbelakang, miskin, dan tereksploitasi; korban rasisme dan xenofobia dihalangi dari akses pengetahuan, dan menderita alienasi budaya kita akibat pesan-pesan asing berorientasi-konsumerisme yang diglobalisasikan oleh media.

Bagi Kelompok 77, ini bukanlah saat untuk mengemis dari negeri-negeri maju atau untuk patuh, mengalah, atau saling menghancurkan. Inilah saatnya untuk mengembalikan semangat berlawan kita, kesatuan dan kohesi kita dalam mempertahankan tuntutan kita.

Lima puluh tahun lalu kita diberikan janji bahwa suatu hari nanti tidak akan ada lagi jurang antara negeri-negeri maju dan kurang-berkembang. Kita dijanjikan roti dan keadilan; tapi hari ini kita memiliki semakin sedikit roti dan semakin banyak ketidakadilan.

Dunia dapat diglobalisasi di bawah kekuasaan neoliberalisme, tapi tidaklah mungkin menguasai milyaran lebih orang yang lapar akan roti dan haus akan keadilan. Gambaran ibu-ibu dan anak-anak di bawah derita kekeringan dan bencana lainnya di seluruh wilayah Afrika mengingatkan kita akan kamp konsentrasi di Jerman Nazi; mereka mengembalikan memori tentang tumpukan mayat dan orang sekarat, perempuan, dan anak-anak.

Perlu digelar semacam Nuremberg untuk mengadili tatanan ekonomi yang dipaksakan ke kita: sebuah sistem yang dengan menggunakan kelaparan dan penyakit yang tersembuhkan telah membunuh lelaki, perempuan, dan anak-anak tiap tiga tahun dalam jumlah yang melebihi korban jiwa Perang Dunia II yang berlangsung enam tahun.

Di Kuba kami biasa berkata: "Merdekalah Tanah Air atau Mati!" Pada KTT Dunia Ketiga ini kita akan harus berkata: "Bersatulah dan Bangun Kerjasama Erat, atau kita mati!"
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diambil dan disunting dari berbagai sumber, di antaranya adalah Thirdworldtraveler.com
Diterjemahkan oleh NEFOS.org



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: 2008

SKB EMPAT MENTERI: SOLUSI ATAU MASALAH BARU?

DITA INDAH SARI*

Krisis ekonomi global melahirkan berbagai tambahan beban bagi ekonomi dalam negeri, khususnya dunia usaha atau sektor riil. Sebenarnya, tanpa krisis jilid berapa pun, industri dalam negeri kita memang tidak memiliki pondasi yang solid. Jangankan menjadi tuan di negeri sendiri, untuk survive saja industri domestik kesulitan akibat besarnya ketergantungan pada impor serta berbagai problem akut lainnya.

Dengan tujuan mengurangi beban industri nasional, Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri menyangkut dasar penetapan upah minimum kemudian dikeluarkan. Jika dikaitkan dengan kepentingan memperkuat pondasi dunia usaha yang rapuh, SKB ini lebih tepat dianggap sebagai cara menyelesaikan masalah dengan masalah. Dengan mengupayakan agar kenaikan upah tidak lebih dari nilai pertumbuhan ekonomi (sesuai isi SKB tersebut), maka pemerintah memangkas daya beli kaum pekerja yang selama ini memang sudah menurun akibat kenaikan harga BBM dan barang-barang lain.

Dalam tempo 1-2 bulan ke depan anjloknya daya beli ini mungkin belum terasa. Namun, dengan kenaikan upah minimum hanya sekitar 6% (sesuai pertumbuhan ekonomi), kaum pekerja sudah jelas akan buru-buru memangkas biaya konsumsinya. Industri yang pertama kali bakal menuai dampak dari pengurangan upah ini adalah industri rokok, otomotif, elektronik, garmen dan ritel. Industri-industri tersebut merupakan sumber kebutuhan non primer yang lebih mungkin dikurangi konsumsinya, kalau perlu secara drastis. Industri makanan minuman sendiri akan terkena pula dampaknya dalam jangka menengah karena keluarga pekerja harus semakin selektif dalam mengonsumsi (baca : mengurangi) makanan, baik karena tekanan kebutuhan pendidikan dan kesehatan anak maupun agar dapat melakukan saving.

Koreksi-koreksi kebijakan ekonomi semacam ini tidak bisa diharapkan dapat “memelihara momentum pertumbuhan ekonomi” kita, sebagaimana bunyi judul SKB tersebut. Perspektifnya yang parsial dan jangka pendek akan menjadi seperti senjata makan tuan bagi industri nasional. Menganggap industri dalam negeri akan terdongkrak produktivitasnya dengan pengurangan upah (yang memang sudah rendah) adalah paradigma yang tidak manusiawi dan agak primitif.

Pasar Kerja yang Fleksibel


Labour market flexibility pun kemudian diundang masuk dengan dikuatkannya model bipartit sebagai mekanisme penentuan upah, dimana peran pemerintah dalam proses ini pun menghilang. Mekanisme ini sebetulnya sudah lama diusulkan oleh kalangan dunia usaha. Krisis global ini menjadi momentum dimana usulan tersebut didesakkan lagi.

Dalam situasi dimana 69% pekerja kita ada di sektor informal (mayoritas pertanian) serta tingkat pendidikan dan keahlian pekerja sangat rendah, bagaimana mungkin kita berharap daya tawar pekerja dalam sistem bipartit dapat setara/equal dengan pengusaha? Bagaimana mungkin mayoritas pekerja kita yang berpendidikan terbatas dapat bernegosiasi tentang hak-haknya secara efektif? Sebagai informasi, tingkat unionisasi (menjadi anggota serikat pekerja) di kalangan pekerja kita baru berkisar antara 8-10% dari total pekerja. Jika pemerintah lepas tangan dalam proses ini, lalu siapa yang akan menjaga 90% pekerja lainnya yang tidak memiliki wadah dalam memperoleh hak-haknya?

Melindungi Pekerja dan Industri Dalam Negeri

Industri dalam negeri yang kuat adalah kunci membangun ketahanan ekonomi kita. Sesungguhnya kita tidak kehabisan stok solusi untuk mengatasi krisis ini sekaligus melindungi industri dan pekerja. Kalau targetnya adalah untuk menghemat biaya produksi, penghapusan pajak ekspor yang telah dilakukan pemerintah merupakan solusi yang baik. Mengapa ini tidak diikuti dengan penurunan suku bunga, seperti yang telah dilakukan semua negara saat ini (kecuali Indonesia)? Daripada menghadang kenaikan upah, solusi ini jauh lebih signifikan untuk membantu industri dalam negeri (dalam jangka panjang), karena mengurangi biaya produksi investasi dan harga jual.

Mengapa tidak diikuti dengan menurunkan kenaikan harga BBM, yang selama ini telah membuat biaya operasional perusahaan membengkak? Kita berada dalam situasi yang emergency, sehingga langkah-langkah yang diambil pun harusnya merupakan sebuah terobosan yang berbeda dari situasi normal. Sebagai catatan, baru-baru ini negara jiran Malaysia telah mengurangi harga BBM nya 2,5 ringgit/liter. Harga minyak dunia yang turun seharusnya direspon secepatnya dengan menurunkan harga BBM domestic, secepat pemerintah menaikan harga BBM saat harga minyak meroket naik.

Melemahnya nilai tukar rupiah juga tidak perlu menjadi alasan agar upah pekerja dibatasi kenaikannya, khususnya bagi industry yang berbasis impor. Kewajiban pemerintahlah untuk mengatur dan membatasi secara ketat transaksi valas dan keluar masuknya dolar atau mata uang asing lainnya. Semua pembatasan ini tentu saja tidak berlaku bagi aktivitas dunia usaha.

Kalaupun pembatasan kenaikan upah tersebut tetap dirasa perlu diberlakukan, sebaiknya diterapkan hanya bagi pekerja dengan gaji di atas 5 juta/bulan. Kemampuan mereka untuk bertahan dalam situasi krisis ini jelas jauh lebih besar daripada para pekerja dengan upah minimum yang rata-rata kurang dari 1 juta/bulan. Para pekerja kerah putih ini (white collar workers) pun rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang relatif baik, sehingga dapat melakukan negosiasi yang lebih efektif dengan pihak perusahaan. Dengan catatan policy “diskriminasi” ini berlaku sementara dengan batas waktu yang jelas.

Melindungi kepentingan industry tanpa mengurangi hak-hak mendasar pekerja adalah sesuatu yang sangat mungkin untuk dilakukan saat ini. Jika hal ini tidak menjadi pegangan dalam menyusun kebijakan industry nasional, maka setiap langkah kebijakan ekonomi akan menempatkan kaum pekerja dan masyarakat miskin sebagai korban. Jika ini yang terjadi, maka kita pun sampai pada kesimpulan yang jelas : bahwa pemerintah ini bukan hanya dokter yang gagal, tapi juga melakukan malpraktek terhadap pasien-pasiennya yang mayoritas miskin.

*Aktifis Serikat Buruh, Caleg DPR RI PBR, Dapil Jateng V




Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: 2008

Krisis dan Kontestasi Ideologi

Oleh : Dominggus Oktavianus

Diskusi ideologi kembali menemukan ruangnya sebagai upaya mencari cara pandang terbaik untuk benahi dunia dari kekacauan sistemik. Momentumnya adalah krisis finansial di Amerika Serikat yang merambat cepat bagai efek ledakan ke hampir seluruh negeri di Eropa, Amerika Latin dan Asia.

Sorak kemenangan pendukung kapitalisme yang masih sempat berdengung sejak berakhirnya perang dingin, sesaat menjadi senyap. Sebaliknya, dari kubu pendukung sosialisme, sayup-sayup terdengar beragam reaksi. Sebagian di antaranya, spontan sudah berseru, ”Kan, benar kata Karl Marx. Kapitalisme menggali liang kuburnya sendiri!”

Dalam situasi tersebut, wacana untuk mencari jalan lain turut hadir. Tetapi belum jelas benar, apakah jalan lain tersebut sama dengan Jalan Ketiga-nya Anthony Giddens, atau suatu versi baru yang lebih membumi atau lebih sesuai dengan konteks situasi negeri ini.

Pastinya, wacana ini diawali dengan premis, bahwa sosialisme hanyalah ”Khayalan tentang indahnya pemerataan”, dan senyatanya adalah ”Kemelaratan massal yang ditumpuk di bawah glamor yang dinikmati elite politik”. Sedangkan kapitalisme atau liberalisme telah kehilangan kehormatan, sejak ditelanjangi oleh (saya simpulkan) kesenjangan dan krisis. Jadi, yang dibutuhkan saat ini adalah kontestasi pemikiran genial yang tidak diikat fanatisme dua fundamentalis ideologi itu. Demikian diungkap ekonom Ahmad Erani Yustika dalam opini Harian Kompas (13/10).

Belum Selesai

Kenyataan sekarang, kedua ideologi tersebut sama-sama masih hidup dengan kesadaran manusia sebagai lapangan pertempurannya. Juga wilayah material bagi praktik kedua gagasan ini pun masih berjalan dinamis di berbagai negeri.

Ketelanjangan kapitalisme tidak sama dengan kematiannya, karena kuburan yang digali ternyata belum terisi sosok jasadnya. Ini fakta, bukan harapan. Sangat mungkin, dengan kekuatan hegemoninya, kapitalisme sanggup mengelak dari tudingan ideologis—bahwa krisis ini berakar pada produksi berlebih tanpa daya beli, sambil melempar kesalahan pada ”perilaku menyimpang individu” dan ”ketiadaan regulasi” sebagai biang kerok. Artinya, kapitalisme senantiasa berusaha menutupi auratnya dengan variasi gaya akumulasi yang katanya berbeda dari bentuk sebelumnya. Tidak pula tertutup kemungkinan, sebentar lagi akan ada pendukungnya balik mengklaim, bahwa kapitalisme telah berhasil keluar dari krisis.

Demikian sebaliknya, keburukan dan kegagalan sosialisme ala Eropa Timur memang belum hilang dari ingatan kolektif masyarakat dunia. Dampaknya, sikap phobi, skeptis, dan prasangka terhadap sosialisme Eropa Timur, telah tergeneralisir menjadi sikap terhadap gagasan sosialisme secara umum. Padahal, gagasan sosialisme tidak berwajah tunggal Eropa Timur, sehingga sebagai pisau analisa dan solusi strategis, gagasan ini belum pernah benar-benar dicampakkan.

Justru sekarang, kibaran bendera Sosialisme abad 21 yang diserukan Presiden Venezuela, Hugo Chavez, mulai mendapat sahutan dari negeri-negeri lain di Amerika Latin. Di sampingnya, sosialisme Kuba masih mengundang decak kagum banyak pakar pendidikan dan kesehatan dunia karena sejumlah prestasi yang ditorehnya; atau, gemerlap ”model Swedia”, yang seperti telah memasang pagar pembatas berupa program minimum sosialis dalam sistem ekonomi— yang prestasinya antara lain pernah mencatat pengangguran nol persen.

Karena itu, kontestasi antara dua ideologi tersebut untuk menemukan solusi terbaik dan diterima luas belum bisa dibilang selesai—apalagi lantas meminta keduanya keluar dari gelanggang. Momentum krisis sedang membukukan tambahan satu babak kemenangan bagi gagasan sosialisme dalam lebih dari dua abad sejarah kapitalisme. Kemenangan kongkret gagasan sosialisme kali ini adalah membesarnya tuntutan untuk memindahkan konsentrasi kapital dari tangan segelintir penguasa Wall Street ke tangan rakyat di seluruh dunia.

Wilayah Pencarian

Wacana menghadirkan jalan lain dapat dilihat sebagai upaya mencari kemerdekaan berpikir—sekaligus ketenangan batin, (meminjam analogi B. Herry Priyono) di antara riuh angin pendulum sejarah kapitalisme yang bergerak ke kiri dan ke kanan. Namun, saat ini dibutuhkan uraian konsep untuk menjawab masalah-masalah kongkrit dan strategis oleh setiap wacana yang muncul. Gagasan sosialisme dan kapitalisme mampu mengurai konsep, maka perang berselang perundingan antara kedua ideologi itu masih mengambil peran dominan.

Ideologi lahir dari dialog antara pikiran dan realitas yang tidak luput dari kerelatifan. Dengan demikian, fanatisme atas pemikiran fundamentalis—yang tidak kontekstual atau menjurus dogmatisme sudah keliru sebelum diungkapkan. Sekalipun demikian, tantangan untuk memunculkan pemikiran genial (apalagi yang bukan kiri dan bukan kanan), hendaknya tidak disertai prasangka dangkal terhadap gagasan yang ada.

Sebagaimana kita tahu, Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Amir Syarifuddin, dan para founding parents lainnya, telah merambah wilayah ide sosialisme untuk menemukan bahan-bahan pembangunan bangsa Indonesia. Bukankah saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi persoalan global yang serupa dengan situasi ketika Bung Hatta menerjemahkan Manifesto Partai Komunis (karya Karl Marx & Frederich Engles) ke dalam bahasa Indonesia? Bukankah krisis dan ketertindasan sebagai bangsa terjajah di bawah kapitalisme kolonial telah merajut kesatuan ideologi pro bangsa (nasionalis) dan pro rakyat (sosialis) di lapangan politik?

Mestinya, dalam menghadapi krisis sekarang, kita pun bisa merajutnya. Bisa dimulai dengan konsolidasi komitmen untuk memberikan jawaban kongkrit pada persoalan kemiskinan rakyat, kemandirian nasional, serta kebinekatunggalikaan bangsa. Lantas, bila pemikiran sosialis ternyata perlu diangkat kembali sebagai referensi untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut, pertanyaannya adalah; kenapa tidak?

Dominggus Oktavianus, aktivis sosial dan politik, kontributor Mediabersama.com



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: 2008

Manu Chao, Globalisasi dan Persahabatan

Oleh : Dominggus Oktavianus

Pernah mendengar Manu Chao? kecuali di dunia berbahasa Inggris, ia disebut-sebut sebagai musisi paling populer atau super star, setidaknya untuk daratan Eropa, Afrika, dan Amerika Latin.

Lintas Batas

Seorang musisi revolusioner yang dilahirkan oleh zaman globalisasi neoliberal beserta segala dampaknya dalam periode persaingan bebas saat ini, dia adalah adalah Manu Chao. Dia dikenal sebagai pencampur musik yang bandel, pemberontak yang merakyat dan bintang yang menggotong sendiri tas pakaiannya tiap bepergian—kesederhanaan yang di kalangan bintang besar, konon hanya dijalani oleh Bob Marley dan Joe Strumer.

Manu Chao lahir di Paris, 21 Juni 1961 dengan nama Jose-Manuel Thomas Arthur Chao dari orang tua berkebangsaan Spanyol. Kedua orang tuanya melintas ke Prancis sebagai pengungsi politik, sejak kakeknya dijatuhi hukuman mati oleh diktator Franco. Manu kecil tumbuh di pinggiran kota Paris, yang dikelilingi para seniman, ilmuwan, dan kaum imigran. Ia bermain bola bersama anak-anak kelas pekerja di komunitasnya, dan bermusik dengan kawan kawannya.

Musik rekaman ia rintis pada awal 1980-an. Di tahun 1987, Manu bersama saudara dan beberapa kawannya membentuk sebuah band punk multiras, Mano Negra--yang dijuluki ”The Clash dari Prancis”. Band ini sempat mengeluarkan beberapa album dan terkenal, sebelum resmi bubar tahun 1995.

Sebelum bubar mereka sempat melakukan perjalanan ke Amerika Latin antara tahun 1992-1994, yang kemudian memberi pengaruh besar pada musik Manu Chao. Mereka melintas dari Eropa ke Amerika Selatan dengan kapal laut. Di sana Manu dan kawan-kawan berkampanye untuk perdamaian, menyikapi konflik domestik yang banyak terjadi di benua itu.


Di Kolombia, ia membeli sebuah kereta api tua untuk menjangkau pedalaman, berdialog dengan para gerilyawan, agar bisa pentas di desa-desa basis gerilya mereka. Pernah juga ia pentas di hadapan orang-orang yang semuanya membawa senjata api. Pengalaman ini turut mempengaruhi dan memperkuat pandangan politiknya yang sedari awal sudah anti diskriminasi dan penindasan.

Dalam perjalanan yang berlanjut ke beberapa negeri Afrika itu, ia menyimpulkan, kebudayaan rakyat di pedalaman negeri-negeri dunia ketiga tidak begitu akrab dengan hentakan musik rock. Sejak itu aransemen lagu Manu kental dengan campuran irama Latin, reggae, ska, salsa, dan musik Afrika, tanpa menghilangkan cita rasa punk dalam karyanya. Karena pencampuran itu, musik Manu sempat diberi label ”Musik Dunia” oleh Radio 3 BBC Inggris. Namun Manu menolak label tersebut karena dianggap sebagai kebiasaan neo-kolonial Inggris dan Amerika Serikat untuk menandai musisi dari luar dunia berbahasa Inggris (Anglo-Amerika).

Lagu-lagunya dinyanyikan dalam sejumlah bahasa, seperti Inggris, Prancis, Spanyol, Portugis, Italia, Arab, Galicia, dan Wolof (dari Afrika Barat). Tapi sebagian besar ditulis dalam bahasa Spanyol, bahasa yang pertama kali ia kenal. Debut album solo Manu Chao El Clandestino: Esperando La Ultima Ola (si Ilegal: Menanti Gelombang Terakhir) tahun 1998 terjual lebih dari 5 juta kopi. Album terbarunya La Radiolina (2007), bertahan dalam sepuluh besar album terpopuler di 15 negara. Suatu indikator yang menonjol di tengah kompetisi ribuan musisi yang menerbitkan ribuan album.

Skala Eropa dan Amerika Latin, Garth Cartwright, seorang penulis dan jurnalis lepas BBC berani membandingkan popularitas Manu Chao dengan The Beatles. Lebih banyak lagi yang membandingkan Manu dengan sang legendaris Bob Marley dalam hal popularitas, warna musik dan kesederhanaan hidup.

Mungkin sebuah perbandingan yang berlebihan, mungkin juga tidak. Tapi Manu sendiri mengungkap ketidaksenangannya terhadap perbandingan itu. ”Bob adalah Bob. Dia lah yang terbaik. Bob berada di divisi satu, sedangkan saya di divisi tiga. Bagi saya itu sudah cukup,” ujar dia dalam wawancaranya dengan Radio 3 BBC.

Politik

Mengenai tema politik yang melekat pada karya-karyanya, Manu berkomentar, ”Politik ada di mana-mana. Saat saya menulis lagu, saya selalu dipengaruhi oleh keadaan sekitar. Ke mana pun saya pergi di dunia, keadaan sekitar yang saya temui adalah politik.”

Banyak di antara lagunya bercerita tentang realitas penindasan. Rainin' in Paradise (Hujan di Nirwana), misalnya, mengkritik tajam pemerintah Amerika Serikat atas berbagai tragedi yang terjadi di Zaire, Kongo, Irak, Palestina, sampai di Kolombia. Demikian halnya lagu Clandestino (Bawah Tanah), La Primavera (Musim Semi), dan Politik Kills (Politik yang Membunuh), menggambarkan sikap politiknya.

Ada juga lagu berbahasa Arab berjudul Denia, tentang rasa prihatinannya atas nasib rakyat Aljazair. Kerap ia menempatkan pemerintahan Bush, beserta para politisi yang doyan menipu, sebagai musuh nomor wahid dalam orasinya di atas panggung konser. ”Anda tidak bisa melawan teror dengan teror, atau kekerasan dengan kekerasan. Kekerasan hanya bisa dilawan dengan menyediakan pendidikan, pangan, dan saling pengertian yang baik.”

Layaknya grup band Rage Against the Machine, Manu sumbangkan royalti penjualan albumnya kepada kelompok pejuang Zapatista di Mexico. Ia juga bersedia konser gratis di Genoa, di hadapan puluhan ribu massa aksi anti-globalisasi, atau pada acara Forum Sosial Dunia (WSF) di Porto Alegre.

Pada kesempatan lain, konser gratis diselenggarakan di Mexico City yang tanpa publikasi luas mampu mengumpulkan lebih dari 100.000 penonton. Konser ini sebagai bentuk dukungannya kepada para mahasiswa Mexico yang ditangkap saat aksi menentang kenaikan biaya kuliah. Satu lagi hal yang membuat sulit untuk tidak mengidektikkan Manu sebagai musisi aktivis adalah ia merupakan salah satu pendiri organisasi Anti Globalisasi Pajak Transaksi Keuangan untuk Membantu Warga Negara (ATTAC).

Penyanyi Sahabat

Tidak hanya tema besar seperti perang, imigran, dan globalisasi. Lagu-lagu Manu juga menggambarkan budaya sehari-hari kaum yang terpinggirkan. Seperti pada hits Minha Galera (Orang-orangku) yang berirama pelan, Manu Chao membangkitkan ingatan pada kampung halaman, pada kawan-kawan penggemar sepak bola, pada musik daerah, gubuk-gubuk, penjara, tarian flamengga dan capoera, pada minuman khas daerah, dan pada asap marijuana.

Cerita serupa diangkat dalam tembang Bienvenida A Tijuana (Selamat Datang di Tijuana). Pada lagu yang lain, ia tuturkan ketertindasan dan harapan masa depan para pelacur. Lagu berjudul Me Llaman Calle (Mereka Memanggilku Jalanan) ini diilhami kehidupan perempuan penghibur--yang kemudian menjadi sahabat-sahabatnya--sekitar kafe tongkrongannya di Barcelona. Majalah Time memasukkan Me Llaman Calle sebagai salah satu lagu terbaik tahun 2007.

Selain di studio dan panggung, Manu bersama bandnya Radio Bemba Soundsystem biasa bermusik dan bernyanyi di mana saja dengan media berkualitas apa saja--tanpa menuntut standar peralatan atau soundsystem. Kadang di kafe, di jalanan, atau bisa juga bertemu Manu di suatu pelosok desa, sedang bernyanyi di halaman rumah petani. Keakraban dan solidaritas tampak melekat pada karakter Manu yang selalu merendah terhadap sanjungan dan keberatan terhadap penyematan ikon atau pengkultusan.

“Saya bukan pemimpin atau “penyambung lidah rakyat” (voice of the voiceless).... Saya sadar memiliki tanggung jawab, yang mungkin dapat membantu orang lain. Saya bisa menjangkau mikrofon yang tidak bisa dijangkau banyak orang. Tapi saya juga punya tanggung jawab terhadap keadaan di sekeliling saya, karena saya penyanyi untuk tetangga saya. Di sana ada seorang lelaki yang pergi menyetir taxi, ada seorang yang menjadi buruh di pabrik, sementara saya adalah penyanyi,” katanya dalam wawancara itu.

Meski terus merendah, Manu Chao tidak menjadi rendah. Ia tetap dicintai oleh jutaan penggemarnya. Mungkin karena musik dan liriknya mewakili semangat kolektif masyarakat dunia di zaman kapitalisme neoliberal yang mengharapkan perubahan. Mungkin juga karena ia mewakili kehangatan seorang sahabat yang melintasi batas-batas negera demi menghibur dan memberi rasa optimis pada yang menderita dan tertindas.

Dominggus Oktavianus, aktivis sosial dan politik, kontributor Mediabersama.com




Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: 2008

Memajukan Politik Perempuan dalam Pemilu 2009

Oleh: ULFA ILYAS


Pemilu sudah didepan mata. Hiruk pikuk partai-partai menggelar kampanye; baik dengan alat peraga maupun iklan, sudah dimulai. Ada 38 partai politik Nasional yang telah dinyatakan lolos verivikasi oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum), plus 6 partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai peserta pemilu 2009. Diantara 38 partai politik nasional tersebut ada 18 partai politik baru dan 20 partai politik lama pemilu 2004. Pemilu 2009 memiliki makna penting, selain karena merupakan pemilu ketiga paska reformasi, juga disebabkan oleh sinyalemen bahwa pemilu 2009 merupakan kesempatan terakhir bagi semua partai untuk berbakti kepada rakyat. Partai-partai menjadi begitu serius mempersiapkan diri, tidak terkecuali persiapan gerakan perempuan.

Berbagai isu soal kesiapan perempuan beradu kekuatan di pemilu pun dikedepankan. Selain mengemuka dengan isu kuota 30% perempuan di Parlemen, kepengurusan partai dan pencalegkan, perempuan juga begitu aktif mendirikan partai, bertarung dalam pilkada-pilkada (gubernur dan walikota), ataupun maju dalam pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Derap Langkah Perempuan

Di Aceh, beberapa kelompok perempuan, aktifis dan pekerja sosial mendirikan Partai Aliansi Rakyat Aceh Peduli Perempuan (PARA) yang begitu mengedepankan perempuan. Kendati tidak lolos verifikasi, tetapi gaung politiknya begitu memberikan warna baru dalam politik lokal di Aceh. PARA adalah partai pertama Aceh yang khusus mengusung masalah perempuan, bahkan pertama di Indonesia. Inisiatif mendirikan PARA tidak terlepas dari pengalaman bahwa perempuan susah diakomodir dalam partai-partai yang sudah ada.

Beberapa politisi perempuan di Parlemen begitu getol memperjuangkan “kuota 30% perempuan” di parlemen. Pansus RUU Pemilu Legislatif telah sepakat mencantumkan kuota 30 persen pada daftar calon legislatif (caleg). Bahkan ada usulan untuk menerapkan Zipper System, sistem selang-seling seperti gigi resleting. Mekanismenya adalah dalam setiap tiga caleg harus ada satu orang caleg perempuan. Metode ini banyak diterapkan di negara-negara eropa, terutama parlemen Swedia. Metode ini diperlukan guna memperbesar ruang bagi perempuan mengakses kehidupan politik karena selama ini partisipasi perempuan masih begitu rendah. Sebut saja di MPR, hanya ada 18 perempuan atau 9,2%, sedangkan laki-laki sebanyak 177. Di DPR, terdapat 45 (9%) anggota perempuan, sisanya 455 adalah laki-laki. Untuk MA hanya 7 orang perempuan (14,8%) dan 40 laki-laki.



Dalam panggung pilkada, perempuan terus menerus meramaikannya dan memperlihatkan sebuah keyakinan bahwa calon perempuan patut diperhitungkan. Dalam Pilkada Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa yang berpasangan dengan Mudjiono dan didukung partai-partai kecil, memberikan porsi khusus pada perempuan dalam setiap kampanyenya. Poppy Dharsono begitu bersemangat mendaftarkan diri di KPUD Jawa Tengah untuk menjadi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dengan diiringi pendukungnya yang mayoritas perempuan dan rakyat miskin. Ajang pilkada dan pencalonan DPD jelas-jelas tidak terlepas dari derap-langkah perempuan menyesaki panggung politik.


Perempuan dalam Pemilu 2009


Ronald Inglehart dan Pippa Norris dalam bukunya Rising Tide: Gender Equality & Cultural Around the World (2003) menyebutkan, bahwa ada 3 hambatan bagi perempuan dalam berpolitik, yakni; Pertama, hambatan struktural seperti pendidikan, pekerjaan, dan status sosial ekonomi perempuan. Kedua, hambatan institusional seperti sistem politik, tingkat demokrasi, dan sistem pemilu. Dan terakhir adalah hambatan kultural, yakni budaya politik, serta pandangan masyarakat terhadap kesetaraan gender. Perempuan merupakan kelompok sosial yang cukup signifkan secara kuantitatif. Menurut sensus Biro Pusat Politik (BPS) tahun 2000, jumlah perempuan di Indonesia adalah 101,6 juta jiwa atau 51% dari seluruh populasi.

Hambatan-hambatan ini harus diatasi. Beberapa taktik terobosan digencarkan, diantaranya dengan memperjuangkan “affirmative action” soal penerapan kuota dan porsi perempuan dalam partai politik, jabatan publik, dan parlemen. Tentunya affirmative action hanya merupakan salah satu taktik perjuangan, yang tidak terpisah dengan pekerjaan pengorganisasian, pendidikan politik, dan pengorganisasian produksi (guna memberi nilai tambah ekonomis).

Meskipun sudah ada affirmative action, akan tetapi bukan berarti perjalanan perempuan akan mulus. Kendala utamanya adalah; bagaimana perempuan bertarung memperebutkan dukungan ditengah tipikal mayoritas pemilih yang masih agak patriarkal? Tentu, hal tersebut membutuhkan strategi politik, yakni cara mengelolah isu dan metode kampanye agar menyentuh kebutuhan sosial rakyat. Selain itu, perwakilan perempuan yang kelak terpilih di parlemen harus mendemonstrasikan praktik politik yang berbeda (pro-rakyat) dengan praktek politik politikus sekarang ini.



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: 2008

Presiden (Seharusnya) Tergelitik Film “Laskar Pelangi”

Oleh: Ulfa Ilyas

Setelah melejit dengan novelnya dalam menarik pembaca, kini giliran film “Laskar Pelangi” menarik dukungan dan apresiasi dari para penggemar film. Bagaimana tidak, sejak pertama-kali diputarkan di Bioskop, film “Laskar pelangi” telah menarik1,3 juta penonton. Berbeda dengan film-film Indonesia sebelumnya, yang menawarkan perselingkuhan, poligami, percintaan, kekerasan, dan horror, film laskar pelangi justru menonjolkan idealisme, nilai-nilai luhur, dan begitu banyak inspirasi. Pendeknya, film laskar pelangi sedang meraup sukses.

Di tengah-tengah badai krisis financial yang sedang berkecamuk di AS; ditengah kesulitan ekonomi yang melilit mayoritas rakyat, hingga berujung kematian; ditengah kemerosotan sistem pendidikan nasional akibat belenggu neoliberalisme, presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bersama dengan istri, anak dan sejumlah pejabat Negara, menyempatkan ikut menonton laskar pelangi di Auditorium I Blitz, Megaplex, Jakarta. Setelah selesai menonton film tersebut, presiden begitu antusias mengapresiasi film tersebut, tanpa sedikitpun ketersindiran, tanpa sedikit rasa malu, bahwa begitu banyak anak Indonesia berjuang sendiri merebut masa depannya hanya dengan mengandalkan diri-sendiri, tanpa keterlibatan Negara. Padahal, UUD 1945 dengan tegas menyebutkan, bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mencerdeskan kehidupan bangsa.


Laskar Pelangi adalah Miniatur Kecil

Laskar pelangi berhasil mengangkat potret pendidikan di sebuah daerah, bernama desa Gantong, Bangka Belitung. Di daerah yang kaya dengan tambang ini, dimana selama ratusan tahun kekayaan alam tersebut tak sedikitpun mengalir ke masyarakatnya, tercipta sebuah masyarakat pekerja keras, namun kurang beruntung. Kesuksesan orang-orang itu, seperti yang tergambar dalam film itu, adalah karena mereka memiliki semangat, ketekunan, tak kenal menyerah. Bukannya kekayaan alam melimpah yang menopang orang-orang disana menuju ke pintu sukses, tapi tekad dan semangat. Sesuatu yang begitu susah diketemukan ditengah kalangan menengah ke atas, terutama di Jakarta, yang mana anak-anak mereka menghabiskan waktunya di tengah “dunia konsumtifisme” masyarakat kapitalis.

Laskar pelangi hanya menggambarkan salah satu daerah di Indonesia, yang mana gambaran kota seperti Bangka Belitung ada banyak di Indonesia. Tidak usah jauh-jauh mencari di daerah lain, di kota Bekasi yang notabene dekat dengan pusat kekuasaan, masih ada sekolah yang kondisinya hampir serupa dengan film laskar pelangi. Artinya, presiden SBY tidak perlu menonton film hanya untuk menemukan “keharuan” soal muramnya sistem pendidikan nasional, tapi hal tersebut dapat ditemukan di seluruh bagian di negeri ini, bahkan di Jakarta.

Di Jakarta Timur, 127 gedung sekolah rusak berat. Di Kota Bekasi sedikitnya terdapat 80 gedung SD Negeri yang kondisinya sudah ringkih atau lapuk. Di Sumatra Utara, jumlahnya mencapai angka 37.879 gedung sekolah. Di Jambi, tepatnya di kabupaten Muara Jambi, dari 223 SD yang ada, 76 di antaranya rusak berat. Di Kalimantan Selatan terdapat 12.238 ruang kelas yang rusak, sebanyak 5.036 ruang kelas dalam kondisi rusak berat dan sebagian sudah tidak dapat dipergunakan. Sejauh ini, menurut catatan Kompas, jumlah bangunan SD di seluruh Indonesia yang mengalami kerusakan berat selama tahun 2003-2004 mencapai 883.750 ruang kelas atau 22,9 persen. Sementara untuk SLTP mencapai 196.178 ruang kelas atau 4,5 persen, serta untuk sekolah lanjutan tingkat atas mencapai 83.569 ruang kelas atau 1,4 persen.


Salah Tangkap atau Manipulasi


Akhirnya, setelah menonton film itu saya menemukan sebuah inspirasi kuat dari penciptanya, termasuk si penulis novel, untuk mengungkapkan sebuah fakta tentang pendidikan nasional dan keinginan kuat sejumlah anak-anak, terutama dari kalangan miskin, untuk mendapatkan pendidikan. Selain menciptakan kesedihan, ternyata film itu juga berkali-kali mendorong saya mengumpat-ngumpat, serta mengobarkan kemarahan kepada Negara sebagai pihak yang bertanggung-jawab atas hilangnya kesempatan anak hebat dan cerdas, seperti Lintang, dalam memperoleh pendidikan, karena masalah ekonomi.

Beda halnya dengan SBY, beliau justru tidak tergelitik sedikitpun atas film tersebut. Bahkan, presiden justru merendahkan ide dan tujuan penulis novel dan sutradara film, yang berkehendak membeberkan fakta sekaligus memberikan inspirasi baru, dengan hanya menilai aspek bahwa film tersebut begitu berkualitas. Film laskar pelangi jelas film berkualitas, tapi jangan melupakan pesan yang hendak disampaikannya.

Setidaknya untuk saya, bahwa film laskar pelangi telah mengungkapkan beberapa hal; pertama, sektor pendidikan sejak jaman kolonial hingga sekarang tidak pernah merdeka. Sektor pendidikan berjalan ditempat, tanpa sedikitpun perhatian dari pemerintah. Kedua, ide yang menyebutkan, bahwa pendidikan harus mahal jika mau mendapatkan kualitas adalah ide salah. Kualitas pendidikan ditentukan kondisi pengajaran yang demokratis, mengutamakan nilai-nilai luhur, dan keadilan sosial, bukan ide-ide pasar dan individualisme. Ketiga, kesenjangan pendidikan antara kota besar dan pedalaman terlampau jauh. Kesenjangan tersebut sengaja diciptakan oleh modal (capital), yang hanya mau berputar di sekolah-sekolah yang telah dikomersialisasikan.
Dan semoga penonton bisa lebih objektif dalam menafsirkan film ini!

*Penulis adalah Pemerhati FILM dan masalah-masalah social. Staff Dept. Kaderisasi dan Komunikasi Massa DPP- Papernas, Kontributor Mediabersama.com.



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: 2008

Krisis Besar di Utara, Kerusakan Besar di Selatan

Oleh: RUDI HARTONO

Beberapa bulan terakhir, badai krisis sektor financial yang berkecamuk di AS dan dengan cepat menjalar ke Negara Eropa dan Asia, telah menjadi “subjek” pembicaraan utama berbagai debat-debat bukan saja diantara para ekonom, tapi juga aktifis gerakan sosial. Lebih jauh, perdebatan-perdebatan tersebut telah melahirkan ketidakpercayaan besar terhadap solusi neoliberal, yang diprakarsai oleh Negara kapitalis maju dan institusi keuangan internasional, untuk dapat menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi dan keadilan sosial pada saat ini. Kendati harus memohon “Negara” untuk turun tangan mengatasi krisis yang paling besar mengancam piring orang-orang kaya, akan tetapi derap laju krisis kian tak terhambat.

American International Group (AIG), penerima dari $ 85 miliar pinjaman dari pemerintah, hanya beberapa hari telah menghabiskan $ 61 miliar, tapi tanda-tanda krisis berakhir belum kelihatan. Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy mengatakan, bahwa “ide pasar adalah selalu benar adalah ide gila”. Hal senada diungkapkan Menteri Keuangan Jerman, Steinbrück, bahwa ide laisse-faire, yang selama ini dipraktekkan dan membimbing pada krisis subprime-mortage, adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Pemimpin Perancis dan Jerman telah memanggil seluruh pemimpin eropa untuk membahas strategi regional dan global dalam menangani krisis financial yang bermula di AS.


Makna politik dan ideologis dibalik Krisis finansial

Krisis financial yang melanda AS saat ini, sebenarnya bagian dari penyakit kapitalisme; sebuah sistim yang memelihara konflik inheren dalam system produksi dan produksi barang-jasa. Namun, seperti yang ditunjukkan Marx lebih dari 150 tahun yang lalu, kapitalisme memiliki mekanisme internal – menekan upah pekerja, reorganizing produksi, dan intervensi negara - yang memungkinkan untuk pulih dari krisis ini. Sehingga tak dapat disimpulkan, bahwa serangkaian krisis akan secara otomatis menggulingkan kapitalisme.

Seperti yang dijelaskan oleh Walden Bello, dalam artikelnya “Sebuah Pengantar Tentang Ambruknya Wall Street”, bahwa Ambruknya Wall Street tidak hanya disebabkan oleh keserakahan dan ketiadaaan regulasi pemerintah terhadap sektor yang hiperaktif. Ia berasal dari krisis produksi-berlebih (overproduction) yang telah menjangkiti kapitalisme global sejak pertengahan dekade tujuh-puluhan. Kita telah menyaksikan krisis semacam ini sejak 25 tahun yang lalu; dimulai dengan ledakan pasar modal tahun 1987, kolapsnya simpanan dan pinjaman diakhir 1980-an dan awal 1990-an, dan ledakan dari gelembung dot.com pada bagian awal dekade ini. Tetapi itu hanya satu aspek krisis keuangan itu sendiri, yang merupakan masalah besar dari masalah financialization dari ekonomi kapitalis yang telah berlangsung selama beberapa dekade.

Sejak periode kemunduran ekonomi kapitalis era-1970-an, kita menemukan bahwa perkembangan ekonomi kapitalis cenderung pada perlambatan dan stagnasi. Ini nyata dalam ekonomi AS, dimana mereka mencoba merangsang ekonomi yang stagnan dengan menggenjot permintaan, salah satu caranya adalah peningkatan anggaran untuk kemiliteran. Cara lainnya adalah merombak system kekuangan, yakni keuntungan besar dari pemilik modal tidak menemukan saluran untuk di-investasikan, selain sektor financial. Terjadilah pertumbuhan sektor financial yang melebihi sektor ekonomi real. Finansialisasi ekonomi telah mengubah ekonomi riil (ekonomi yang berpusat pada produksi) untuk spekulasi keuangan. System ini berkembang hiper-aktif dan tanpa kendali dari institusi manapun, termasuk Negara.

Karena keuntungan tidak didasarkan atas nilai yang diciptakan, operasi investasi dapat menjadi sangat rentan dan harga-harga saham, surat hutang, dan bentuk investasi lainnya dapat dengan sangat radikal menjauhi nilai riilnya - contohnya, saham untuk memulai perusahaan Internet (startups) yang nilainya terus meningkat karena didorong terutamanya oleh penilaian finansial yang meroket, dan kemudian jatuh. Dengan begitu, profit bergantung dari pengambilan keuntungan terhadap harga yang menanjak menjauhi nilai komoditasnya, kemudian penjualan dalam kenyataannya akan memaksakan 'koreksi', yakni kejatuhan kembali ke nilai riil. Peningkatan harga aset yang secara radikal menjauhi nilai aslinya adalah apa yang disebut dengan pembentukan gelembung. Karena keuntungan sangat bergantung pada aksi-aksi spekulatif, maka tidaklah mengejutkan bila sektor finansial hinggap dari satu gelembung ke gelembung lainnya, atau dari satu mania spekulatif ke mania lainnya. Karena dikendalikan oleh mania spekulatif, kapitalisme yang dikendalikan finansial mengalami serangkaian krisis finansial sejak pasar modal dideregulasi dan diliberalisasi pada tahun 1980an. (Walden Bello, 2008)

Akan tetapi, krisis yang terjadi sekarang ini berikut tindakan-tindakan politik yang diambil pemerintah AS (dana talangan sebesar USD 700 Milyar, nasionalisasi fannie mae, freddie mac, dan AIG (Perusahaan asuransi terbesar di dunia), uang penjaminan deposito reksadana sebesar USD 3,4 trilyun, larangan penjualan saham keuangan dalam waktu singkat) telah melahirkan sejumlah kesimpulan; pertama, krisis ini telah berdampak luas dan susah dipulihkan dalam waktu singkat. Hal tersebut beresiko melahirkan ketidakpercayaan terhadap “kemanjuran model ekonomi Anglo-Amerika” atau neoliberalisme secara umum. Kedua, Beberapa langkah ekonomi yang dilakukan Pemerintah AS, otoritas keuangan internasional, dan petinggi dunia , telah menggugurkan keyakinan orang terhadap “neoliberalisme” dan Washintong consensus”. Boleh jadi, system ini sudah tamat riwayatnya. Ketiga, krisis ini telah merosotkan wibawa dan hegemoni AS dalam geopolitik global dan membuka “ruang baru” bagi pemain non-barat, seperti Cina, Brazil dan India. Kemerosotan dunia imperialis juga memberikan kekuatan berlipat ganda bagi kemajuan kerjasama Negara-negara yang sedang mengembangkan alternatif, terutama Amerika Latin (Venezuela, Bolivia, Kuba, Paraguay, Argentina, Ekuador). Inisiatif pembangun Bank Selatan yang dimotori Venezuela akan memberikan dorongan kuat bagi lahirnya tatananan alternatif.

Dampak Terburuk dari Krisis

Skema bailout akan mengalami kemacetan. Solusi gampangan ini tidak akan dapat meredam pendalaman. Setidaknya ada beberapa alasan untuk mengatakan bahwa skema ini akan mengalami kegagalan;

Pertama, Krisis bukan terutama terletak pada masalah likuiditas, tapi ini adalah masalah kerakusan luar biasa untuk memperoleh keuntungan, tanpa ada penambahan nilai baru. Ini hanya untuk menaikkan moral investor dan menghilangkan kepanikan pasar, tapi tak akan menyentuh pada akar persoalan itu sendiri. Ibaratnya memasukkan angin pada ban kempes tanpa menutup “lobang anginnya”.

Kedua, skema bailout tidak berfungsi dan tak berguna karena nilai dana talangan tidak sebanding dengan nilai asset yang telah melayang/menguap. Menurut Laporan Washington Post (29/09/08) :
Dua puluh lembaga keuangan terbesar didunia memiliki gabungan total $ 2,3 triliun di subprimemortage hingga 30 Juni. Dan mereka melaporkan penjualan lain $ 1,2 triliun di Subprimemortage yang berhubungan dengan investasi, di mana berharap ratusan milyar dolar uang. Angka-angka itu tidak termasuk investasi yang berasal dari pinjaman dalam cara lebih rumit, seperti Agunan kewajiban hutang.
Kategori nilai kerugian subprime-mortage bertambah menjadi 4,7 Trilyun dollar AS untuk kewajiban 20 lembaga keuangan. Ini hampir sama dengan tujuh kali lipat dari nilai yang ditawarkan oleh Paulson/Bernake sebesar 700 Milyar dollar.

Ketiga, masalah bailout hanya untuk mengatasi masalah lembaga keuangan yang memiliki masalah asset, tapi tidak sudi menyelesaikan persoalan “kesalahan financial” itu sendiri. Baliout tidak mengurangi penderitaan orang miskin yang terancam kehilangan rumah (tunawisma), kehilangan dana pensiun, kehilangan asuransi kesehatan, bahkan lapangan pekerjaan. Skema ini hanya mengalihkan beban ekonomi kepada orang miskin dan mengamankan dapur orang kaya.

Krisis financial di AS benar-benar memukul anggaran AS, yang sebelumnya dihambur-hamburkan guna membiayai perang “membunuh kemanusiaan” di Irak dan Afghanistan. Dalam enam bulan terakhir, upah pekerja terus-menerus menurun hingga Juni lalu. Total penurunan tersebut belum setengah dari tujuh bulan pertama dari resesi sebelumnya, tahun 2001.

Yang cukup beresiko dari prospek ekonomi AS kedepan adalah masalah utang, yang nilainya sudah mencapai “US $ 637 triliun” (Hodges, 2008). utang pemerintah (sebagian besar itu hasil pengeluaran militer dan potongan pajak dan lainnya "insentif" untuk perusahaan dan kaum kaya), konsumen dari semua jenis hutang, dan hutang perusahaan. Di AS, hutang rumah tangga mencapai $ 12 triliun. Rata-rata orang menghabiskan 14 persen dari pendapatan mereka hanya untuk melayani pembayaran hutang. Amerika Serikat memiliki deficit pada account berjalan di sekitar $ 2 miliar per hari dan jumlah hutang telah meningkat dari 1,5 kali dari produk domestik bruto (PDB) di pertengahan 1970-an dan 3,5 kali PDB hari ini. Peningkatan hutang akan berarti pemotongan belanja publik dan privatisasi.

Seperti yang sering diulang dalam pandangan Marxisme, bahwa kapitalisme tidak begitu mudah untuk digulingkan. Pertama, istilah krisis tidak berarti roboh, dan tidak berarti tidak menumpuk (resesi, depresi, menurun). Sebuah krisis adalah menimbulkan perpecahan atau gangguan pada jaringan hubungan ekonomi yang tetap beroperasi dengan cara biasa. Apakah ia memicu kegagalan atau bahkan menumpuk persoalan, sangat tergantung pada apa yang terjadi selanjutnya. Ekonomi AS, untuk saat ini belum roboh, dan isu ini terlalu dini untuk memprediksi bahwa AS akan roboh seketika. AS dengan kekuasaan imperium yang sudah dibangunnya sekian lama akan memobilisasi seluruh bangsa untuk mengatasi krisisnya. Kedua, bahwa krisis financial telah melahirkan keguncangan dan instabilitas dalam salah satu sub-sistem kapitalisme global, yakni keuangan, tapi masih bisa disubtitusi oleh system itu sendiri. Apa yang dikatakan sebagai rancangan ekonomi baru, semacam new-deal di era-great depression 1930an, sedang melonggarkan intervensi Negara untuk membalikkan kepercayaan public terhadap system keuangan AS.

Siapun yang terpilih dalam pemilu Presiden pada bulan November 2008 kemungkinan akan menghadapi persoalan yang sama "stagflation" - kombinasi dari harga inflasi dan stagnasi ekonomi - yang mana Nixon, Ford, dan Carter bergumul pada masalah yang hampir sama pada tahun 1970-an.
Pengaruh Terdekat terhadap Ekonomi Indonesia

Globalisasi telah menyatukan unit-unit nasional yang terpisah dalam sebuah unit tunggal yang beroperasi secara global. Sehingga susah untuk memikirkan adanya keterpisahan ekonomi (decoupling) ditengah globalisasi tersebut. Kejatuhan Wall-street, yang dengan segera diikuti dengan kejatuhan bursa saham di berbagai belahan dunia, termasuk bursa saham primadona di Asia. Mata uang Jepang saat ini perdagangkan di sekitar ¥ 141 per-dollar AS. Akibatnya, produk Jepang begitu murah dan impornya menjadi rendah. Perhatian juga mengarah pada ekonomi Cina. Seperti yang diketahui, bahwa pelemahan mata uang yen akan berdampak terhadap perdagangan China yang dikendalikan nilai tukar.

Indonesia sendiri akan menderita kerugian besar. Pertama, krisis financial di AS akan berdampak buruk terhadap perdagangan Indonesia. AS merupakan tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia setelah Jepang. Gangguan financial di Negara tersebut akan berpengaruh pada kemampuan financial mereka dalam membiayai impornya dan tentu saja mengurangi volume ekspor kita.

Kedua, kerusakan yang mengganggu system financial di AS dan Negara-negara kapitalis maju membutuhkan mobilisasi sumber anggaran dan dana yang cukup besar. Hal tersebut harus dipenuhi dengan menarik semua dana-dana yang mengalir dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, untuk disuntikkan dalam ekonomi AS. Sebagai Negara yang bergantung pada investasi asing, tentu ekonomi Indonesia begitu “terganggu” dalam beberapa tahun kedepan jika aliran investasi tersebut terhenti/mengecil.

Ketiga, guna mencegah “krisis financial” tidak mematikan system yang sedang berjalan, maka segala jalan untuk memobilisasi dana, termasuk dana dari kaum pekerja dan rakyat miskin diberbagai belahan dunia, harus dilakukan. Mereka akan mengintensifkan “penghisapan” terhadap tenaga pekerja, dengan upah rendah, pengurangan anggaran public guna dialirkan lewat skema pembayaran utang luar negeri, kebijakan moneter yang longgar, dan cara-cara lainnya. ekonomi Indonesia akan sangat rentan terhadap pelarian capital (capital outflow) akibat desakan-desakan tersebut.

Keempat, krisis financial akan menjalar pada perbankan. Kebijakan uang ketat, sektor usaha kecil dan industri menengah yang bergantung pada kredit murah dan lunak akan mendapatkan kesulitan besar. Sektor usaha kecil dan menengah yang selama ini menggerakkan perekonomian terancam kolaps.

Kelima, dampak meluas dari krisis financial di AS, jika solusinya tidak dikelolah dengan baik oleh pemerintah akan memicu meningkatnya inflasi. Sebagai contoh, pendekatan pemerintah Indonesia masih sangat moneteris, dan mengabaikan aspek-aspek lain yang begitu rentan mempengaruhi inflasi; seperti harga kebutuhan pokok, daya beli masyarakat, dan sebagainya.

Dapatkah Krisis sekarang Ini Seperti Krisis tahun 1997

Ini merupakan kekhawatiran terbesar sejumlah analis ekonomi. Tapi, persoalan kekhawatiran tersebut tidak terlalu terletak pada dampak langsung dari krisis financial di AS, akan tetapi dari model pengelolaan (model antisipasi) yang dilakukan pemerintah. Meskipun, pemerintah berkali-kali mewanti-wanti, bahwa fundamental ekonomi Indonesia sudah lebih baik ketimbang tahun 1997, tetapi penutupan BEI selama beberapa hari menciptakan kekhawatiran besar, belum lagi pemerintah masih begitu percaya terhadap solusi neoliberalisme.

Dari segi daya merusaknya, jelas bahwa krisis sekarang ini jauh lebih dalam ketimbang krisis tahun 1997, karena sejumlah problem ekonomi yang mendahului sudah ber-akumulasi dan akan menghadirkan kombinasi merusak dengan hebat. Tapi belum terbayang bahwa krisis akan datang seketika dan menghancurkan seluruh perekonomian Indonesia (spontan). Setidaknya ada beberapa alasan untuk ini;

pertama, bahwa kejatuhan permintaan dari AS akan disubtitusi oleh permintaan dari China. Perlambatan ekonomi yang berlangsung di AS dan Negara lainnya akan bergeser pada pertumbuhan internal dari ekonomi China.

Kedua, krisis mungkin masih berlangsung pada tahap likuiditas, belum pada Solvabilitas (kemampuan membayar utang). Sejumlah pengamat berpendapat bahwa krisis masih berkonsentrasi pada likuiditas dan kepanikan dipasar keuangan, dan belum pada kesanggupan membayarkan hutang. Lagipula, keuntungan perusahaan dari non-keuangan masih tinggi.

Ketiga, Pemerintah sedikit sudah menetralisir dan mempertahankan likuiditas perbankan dengan mengeluarkan Perppu menyangkut perubahan terhadap UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang menaikkan jumlah penjaminan simpanan dari Rp100 juta, menjadi maksimal Rp. 2 miliar bagi setiap nasabah.

Keempat, pertimbangan untuk mempertahankan iman dan kepercayaan terhadap “kemakmuran” financial boleh jadi ditinggalkan, sebagai jalan terbaik menghindari krisis dan kehancuran yang berdaya rusak lebih besar. Boleh jadi, intervensi Negara semakin diperlukan untuk menata kembali jalan berkuasanya capital dan memperluas ekspansinya.

Tapi ada beberapa catatan penting menurut saya, yang tetap mengundang kekhawatiran, bahwa pengaruh krisis financial di AS akan merobohkan perekonomian Indonesia; pertama, kebijakan pemerintah untuk mendorong BUMN untuk mem- buy-back kembali sahamnya, guna menenangkan pasar saham, justru bermakna menggelontorkan modal yang cukup besar untuk menalangi investor asing dan perusahaan financial. Seharusnya, triliunan rupiah yang dianggarkan untuk buyback dipakai untuk memperkuat produksi nasional dan menciptakan lapangan kerja.

Kedua, kebijakan pengetatan perbankan akan menyusahkan industri nasional, pengusaha menengah dan kecil untuk mendapatkan akses permodalan. Kesulitan ini dapat mendorong kolapsnya industri dalam negeri ---yang dalam beberapa tahun terakhir sudah cukup menderita akibat liberalisme ekonomi, yang berpotensi mendorong PHK massal.

Ketiga, selama krisis financial berlangsung, kemungkinan pengalihan capital pada spekulasi harga komoditi dan energi akan terjadi, sehingga mendongkrak harga komoditas dan harga energi. Jika hal ini tidak cukup diantisipasi, maka mendorong inflasi cukup tinggi, termasuk beban ekonomi yang harus ditanggung rakyat miskin makin membesar.

Ekonom INDEF Iman Sugema memaparkan, bahwa Krisis moneter 1998 disinyalir akan terulang saat ini. Bahkan, indikator krisis saat pada tahun ini jauh melampaui indikator saat krisis pada 10 tahun silam. Indikatornya adalah total hot money hingga 1998 sebesar USD14,8 miliar. Sementara total hot money dari 2002-2007 senilai USD24,5 miliar. Sementara total utang luar negeri hingga 1998, menurutnya, sebesar USD54 miliar. Saat ini total utang luar negeri USD88 miliar.

Tipe krisis yang dihadirkan neoliberalisme justru sudah menjadi gambaran nyata hari ini. System neoliberal telah membelah masyarakat; dimana mayoritas terus-menerus digerogoti dan miskin, sedangkan minoritas semakin kaya dan makmur.

Anti-Neoliberal Mendekati Pemilu 2009

krisis di AS, yang juga merupakan Negara utama penyokong neoliberalisme, telah melahirkan sejumlah pertanyaan dan keraguan; pertama, soal validitas untuk memelihara dan mempertahankan system neoliberal yang sudah terbukti gagal, bahkan di Negara asalnya. Kedua, menyuburkan harapan untuk melakukan transformasi sosial yang sifatnya mendasar dalam system untuk keluar dari kapitalisme.

Banyak orang harus mengakui kegagalan tersebut, meskipun tidak mau mengakui kegagalan sistim kapitalisme secara mendasar. Tapi setidaknya, kegagalan neoliberalisme, ambruknya wall-street, dan keterlibatan Negara untuk menyelamatkan kaum kaya dari krisis, akan menjadi menyuburkan lahan propaganda kaum pergerakan, dalam segala arena.

Jika krisis financial berdampak luas, dan bermula di hadapan pemilu 2009, boleh jadi akan menjadi kesulitan besar bagi politisi neoliberal dan lahan propaganda menguntungkan bagi kalangan anti-neoliberal. Terlepas dari itu, kejatuhan neoliberal akan dimanfaatkan banyak spektrum politik dan ideology untuk mencari dukungan dari rakyat. Mereka akan berlomba-lomba memanfaatkan retorika anti-neoliberal dalam pengertian yang kacau balau, untuk mendulang keuntungan politik lewat pemilu.

Sehingga, perlu sebuah desain kampanye dari kaum pergerakan, yang benar-benar substansial menghajar kelemahan ekonomi neoliberal, yang disodorkan sekaligus untuk menjembatani kampanye “haluan ekonomi baru”. Menurut saya, sehubungan dengan krisis ini, kaum pergerakan dapat memikirkan beberapa hal;

Pertama, pengontrolan terhadap pertukarang mata uang dan pengetatan system keuangan guna mencegah semakin banyaknya pelariang keluar capital (capital outflow).

Kedua, pengelolaan anggaran seharusnya memberikan ruang yang lebih besar untuk belanja public (pendidikan dan kesehatan), perbaikan upah pekerja, pembukaan lapangan kerja, perbaikan infrastruktur, dan strategi industrialisasi. Pos anggaran yang selama ini mengalir ke tangan orang kaya (BLBI), dana rekapitulasi, dan hutang luar negeri, secepatnya dihentikan dan kucurkan untuk pengembangan ekonomi rakyat.

Ketiga, mendukung proyek pembangunan alternatif yang berlandaskan solidaritas, seperti yang diperjuangkan Chaves dengan Bank Selatan, kerjasama ALBA, dan proyek kerjasama diluar skema neoliberal.

Keempat, menghentikan sepenuhnya praktek neoliberalisme di Indonesia.


Penutup

Krisis ini benar-benar akan merombak keyakinan politik sejumlah politisi di Indonesia. Angin “ketidakpercayaan” terhadap neoliberal akan terus bertiup, setidaknya mendekati pemilu 2009. tapi terlepas dari hal semacam itu, kaum pergerakan tetap punya kewajiban untuk menciptakan “sedikit ruang” untuk mendiskusikan masalah ini, dan respon politik yang dibutuhkan. Setidaknya dalam proyek memperdalam ketidakpercayaan terhadap neoliberalisme.



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: 2008

Menemukan Potensi Politik Hari ini untuk dibuat Mungkin Di Hari Esok; Tanggapan Terhadap Budi Wardoyo

Oleh: RUDI HARTONO[1]

Langkah menuju 2009 semakin akbar saja. Tak tersisa sedikitpun ruang yang tak dimanfaatkan oleh para politisi dan partai-partai untuk mengkampanyekan partai, caleg, dan capresnya, agar didukung oleh rakyat dalam pemilu tersebut. Disisi lain, diantara kaum radikal terjadi perdebatan sengit dan tak sedikit bermaksud saling merusakkan. Ketika hampir seluruh partai sudah merapatkan barisan, agar terjadi kesatuan dalam memenangkan pemilu, kaum pergerakan tetap saja sibuk berdebat dan berselisih. Tetap saja debat mereka tak konstruktif karena selalu saja mereka berlindung dari bangunan teori, tetapi meninggalkan realitas ( situasi real) yang mereka hadapi. Para teoritikus radikal, kaum demokrat, sosialis dan pimpinan partai kiri sibuk mencari rasionalisasi atas kegagalan-kegagalan mereka (membendung kenaikan harga BBM, elipiji, dan sekarang RUU anti-pornografi).


Meskipun dibayang-bayangi oleh skeptisme kaum radikal, pemilu 2009 tetap menjadi magnet politik bagi seluruh lapisan sosial, tak terkecuali lapisan pekerja, kaum tani, miskin kota, dan juga perempuan. Terlepas dari agitasi kaum radikal bahwa pemilu 2009 bukan pemilu rakyat, tapi ekspektasi bahwa pemilu 2009 merupakan tempat bagi rakyat menggantungkan harapan terus berkumandang, tanpa henti, dan semakin bergema seandainya capres independenpun akhirnya diakomodir.

Pemilu 2009 dan situasi Politik Kita

Seperti yang seringkali kusampaikan, bahwa pemilu 2009 boleh jadi akan menjadi pertempuran menentukan bagi seluruh kekuatan-kekuatan sosial dan spektrum politik yang berebut kekuasaan. Pemilu 2009 akan menjadi “ The Battle of Waterloo” antara pihak yang menghendaki perubahan dengan pihak yang tetap mempertahankan kelanjutan dari situasi sekarang ini. Dan, ini akan semakin bertambah sengit, karena neoliberalisme akan tetap mencari “jalan masuk” untuk mengembang-biakkan kekuasaannya sedangkan disisi lain, muncul ketidakpuasan, keresahan, protes, bahkan perlawanan terhadap ekses-ekses neoliberalisme ataupun neoliberalisme itu sendiri.

Memanasnya suhu politik menjelang pemilu 2009, merupakan medan pertempuran seluruh partai, politisi, dan kekuatan politik guna meraih dukungan rakyat. Di pihak lain, rakyat akan semakin menjaga pilihan politiknya, ibarat keris warisan leluhur, karena mereka sudah terlanjur belajar dari pengalaman masa lalu, dan ditambah gejolak persoalan ekonomi yang melilit, memaksa mereka untuk “pelit” terhadap bujukan elit politik. setidaknya, beberapa pilkada dan hasil survey menunjukkan bahwa rakyat menghendaki perubahan; rakyat mendekati calon yang berbasis program.

Sejumlah partai sebenarnya sudah menangkap sindikasi tersebut. Beberapa tema dan program politik yang digelindingkan dalam pemilu mendatang, memperlihatkan bahwa elit mencoba menangkap kerasahan massa. Lihat saja Hanura yang begitu getol menyodorkan isu kemiskinan sebagai kegagalan pemerintah; Gerindra menyodorkan isu kemandirian nasional, pembenahan sektor pertanian, dan perhatian terhadap pedagang pasar sebagai komoditi politik yang mau dijual; dan begitu banyak partai lain yang juga menyusun strategi politik yang sama untuk memenangkan dukungan.

Pemilu 2009 merupakan pemilu ketiga dalam periode rejim neoliberal; pemilu demokratis dalam ukuran demokrasi borjuis dan sekaligus menegaskan akhir dari era orde baru. Tahun 1998 melahirkan perubahan besar, bukan saja pergantian kekuasaan, tetapi yang mendasar adalah perubahan politik dan ekonomi, yang sudah sangat jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Perubahan tersebut bukan saja berlangsung dilevel atas, yang berkait dengan kehidupan politik, parlemen, lembaga Negara, penegakan hukum, dan sebagainya, akan tetapi juga berlangsung di level bawah yang ditandai dengan bangkitnya kritisisme dihampir semua lapisan social masyarakat. Perubahan yang terjadi, seperti juga perubahan yang berlangsung dibanyak Negara dan lingkungan social, menciptakan pertentangan (kontradiksi) antara sistem lama dengan sistem yang baru, antara seluruh kekuatan-kekuatan social yang berkepentingan. Perubahan mengidealkan sebuah bentuk yang baru, termasuk bentuk institusinya, sehingga terwujud kesesuaian (keselarasan) antara berbagai kepentingan social-masyarakat dengan institusi-institusi yang menyalurkannya.

Dalam kasus Indonesia, reformasi 1998 telah melahirkan perubahan politik; berupa penerapan demokrasi liberal ekstensif, otonomi daerah (desentralisasi), keterbukaan pers dan media massa, serta melemahnya peran militer dalam lapangan politik dan ekonomi. Perubahan-perubahan politik ini masih begitu labil, dan begitu dominan berlangsung diatas, sedangkan diakar rumput seolah-olah ada hambatan. Perubahan politik yang disertai ekstensifikasi apa yang disebut “demokrasi liberal” dan jargon-jargonnya, ternyata tidak melahirkan perubahan signifikan terhadap derajat kesejahteraan rakyat. Padahal, ukuran paling sederhana kesuksesan sebuah pegelaran perubahan dimata rakyat miskin adalah kesejahteraan.

Perubahan politik yang terjadi hanya mewadahi perluasan “liberalisasi ekonomi”, yang dibungkus dengan kebijakan Letter of Intent (LoI), tetapi tidak mewadahi partisipasi rakyat untuk merebut akses terhadap sumber-sumber ekonomi. Gempuran kuat neoliberalisme menyebabkan kerusakan luar biasa; kemiskinan, pengangguran, standar hidup yang buruk (gizi buruk, busung lapar, dan kelaparan), biaya kesehatan yang mahal, serta kerusakan lingkungan (ekosistem). Sumber daya ekonomi yang melimpah, bukannya jatuh ketangan rakyat Indonesia, malahan dinikmati oleh multinasional dan blok Negara imperialis. Kemiskinan di Indonesia begitu mengkhawatirkan; Bank Dunia mengklaim jumlah orang miskin di Indonesia mencapi 49,2% atau sekitar 110 juta orang; Indonesia merupakan penyumbang sekitar 60% orang miskin dikawasan regional ASEAN.

Ditengah kerusakan tersebut, terutama kerusakan ekonomi yang benar-benar memiskinkan mayoritas dari populasi, opensif neoliberal juga menghadirkan pembelahan cukup mendalam antara segelintir orang yang semakin kaya dan mayoritas rakyat yang semakin miskin. Membelah keterpisahan desa dan kota, antara region miskin dan region yang kaya.

Dan dilapangan politik, sebuah faksionalisme terbentuk dan fragmentasi politik luar biasa mendalam, akibat desakan neoliberal. Seperti di ungkapkan Lenin, kendati perkembangan sosial dan produksi tak mengubah karakter seorang borjuis—mengejar akumulasi profit, akan tetapi tak disangkal bahwa mereka dapat berganti wajah sesuai dengan periode dan fase-fase perkembangan tertentu. Kehidupan politik paska 10 tahun reformasi betul-betul berbeda dengan era-orde baru; Ada faksi elit yang tersingkir dan sama sekali tidak mendapatkan tempat dalam formasi yang baru. Ada faksi politik yang mencoba berasimilasi dengan formasi yang baru, sembari menjaga kepentingan-kepentingannya. Dan ada faksi politik dari elit politik sekarang ini, yang semakin solid kelompoknya, dan membangun ikatan dibelakang pemerintahan SBY-JK (golkar dan Demokrat).

“Tidak ada yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan”. Dan karena kepentinganlah, sebuah partai atau seorang politisi bisa menggeser sikap politik dan orientasinya. Di jaman orde baru, semuanya boleh dikatakan seragam, satu induk, dan satu kongsi-kepentingan. Tapi di jaman liberal ini, seorang politisi bisa menggeser sikap politiknya dalam hitungan waktu singkat, sesuai dengan prediksi politik yang menguntungkan mereka. Tak heran, di jaman sekarang banyak orang seperti Agus Tjondro, seorang koruptor yang insaf[1], Zaenal Maarif (bisa berpindah-pindah partai dengan leluasa), dan banyak lagi sosok lainnya, yang bisa merubah kepribadian dalam sekejap.

Selain itu, diluar isu diatas, beberapa elit bergeser dari akomodatif terhadap neoliberal kemudian bersifat kritis, bahkan anti-neoliberal. Fenomena ini pun sebenarnya gejala material yang inheren dalam pertikaian modal besar versus kecil, sektor ekonomi global versus domiestik, dan sebaianya. Tetapi diluar itu, ekspresi umum yang juga selalu hadir dan menuntut penyelesaian adalah garis pertentangan antara Negara penindas (oppressor) dan Negara tertindas (oppressed). Sentimen ini membidani kelahiran kaum nasionalis, dan terutama sekali; borjuis nasional progressif.

Nasionalisme dan Anti Neoliberalisme

Pada awalnya, nasionalisme selalu merupakan hasil pergaulan bangsa jajahan dengan Negara yang lebih modern, termasuk kemungkinan dibawah oleh penjajahannya. Karena itu, yang pertama kali menangkap sentiment nasionalisme dan sekaligus pertama kali tersadarkan adalah kaum intelektual, yang terutama sekali berasal dari kalangan atas atau cikal bakal borjuis nasional. Mereka menjadi progressif, karena mengambil jalan berbeda dengan kehendak penjajah—yang bermaksud memodernkan mereka—dan berbalik melawan, dengan menggunakan senjata “nasionalisme”. Nasionalisme semacam ini mengambil bentuk pembebasan nasional; melepaskan diri dari segala bentuk kolonialisme dan imperialisme.

Ketika desakan neoliberal kian tak terbendung, maka klaim “nasionalisme” juga begitu riuh dipertunjukkan oleh politisi nasional dan kalangan pengusaha. Di kawasan Amerika Latin, beberapa pengusaha nasional seperti Embraer, perusahaan penerbangan Brazil, mengajukan klaim nasionalisme guna menghadapi bombardir kompetitornya yang berasal dari Kanada. Neoliberalisme juga menceraikan berbagai lapisan pebisnis berdasarkan kepentingannya, misalnya pebisnis transnasional, pebisnis regional, dan pebisnis yang bergantung pada pasar domiestik. Sehingga, pendapat menyamaratakan wajah mereka, seperti argumentasi Gregorius Wardoyo, merupakan pendapat anti-materialisme dialektik, dan tidak berbau Marxism.

Di Indonesia, klaim “nasionalisme” oleh sejumlah politisi nasional dan kalangan pengusaha merupakan buah pertikaian tak seimbang dengan pemodal asing dan perusahaan trans-nasional. Pengusaha dalam negeri tumbuh dan berkembang dari kakinya, dan atas anjuran neoliberalism; pemerintah harus mencabut dukungan dana dan insentif kepada pengusaha nasional. Mereka tak berdaya berhapan dengan gempuran tersebut dan berharap Negara bisa menolong mereka. Perlu diketahui, bahwa kerusakan yang diderita oleh pengusaha nasional dan sektor industri dalam negeri, merupakan juga “pukulan” terhadap kelas pekerja secara umum.

Di eropa dan AS, klaim “nasionalisme” mungkin tak relevan dengan kepentingan bisnis mereka, yang butuh integrasi dalam pasar global. Meskipun ketika krisis financial, beberapa perusahaan financial AS dan Eropa harus diselamatkan oleh pertolongan Negara. Tetapi, di Negara-negara berkembang dan begitu tergantung (dependent) kepada Negara-negara maju, isu “nasionalisme” menjadi komoditi yang penting.

Di Indonesia, perjuangan anti-neoliberalisme dipararelkan dengan perjuangan anti-imperialisme, atau menggunakan retorika nasionalisme. Sedangkan di Negara maju (AS, Inggris, Jerman, Kanada, dll), anti –neoliberalisme tak bisa dipararelkan dengan sentimen nasionalisme, karena kedudukan borjuasi penghisap berada dinegaranya sendiri atau negaranya yang bertindak sebagai imperialis (penjajah). Kesuksesan perjuangan anti imperialis di Negara dunia ketiga akan menguntungkan perjuangan kelas pekerja di Negara-negara maju, demikian sebaliknya.

Beda halnya dengan Nasionalisme Chauvistik, yang merupakan kecenderungan borjuis kecil yang tak sabar, berkehendak mengalirkan penghisapan berdasarkan garis kebangsaan, keagamaan, dan kesukuan. Nasionalisme yang anti imperialis menggunakan Negara sebagai “tanggul” menghadapi terjangan negeri-negeri imperialis, dan mengutamakan kepentingan nasional dengan melibatkan seluruh lapisan sosial dari sebuah bangsa. Sedangkan, nasionalisme “chauvinistic” menggunakan Negara untuk sebagai mesin akumulasi yang efektif, dengan menjalankan kediktatoran Negara, agresi, dan peperangan.

Partai-partai yang mengobarkan nasionalisme, seperti Gerindra, dihasilkan oleh sebuah situasi dimana identitas dan karaktekter sebuah nasion telah merosot. Dan disisi lain, muncul keresahan kuat ditengah massa yang berpotensi melahirkan “guncangan sosial” yang cukup besar. Kehadiran nasionalis –chavunis adalah untuk menjembatani kepentingan massa dan kepentingan oligharki lama yang terkikis oleh pengaruh neoliberalisme. Ciri-ciri yang ditonjolkan berupa slogan-slogan nasional yang abstrak namum memukau, yang bertujuan meraup dukungan massa, terutama kalangan menengah dan kebawah--kelompok sosial yang paling menderita akibat dampak neoliberalisme.

Pemilu 2009 dan Strategi Politik Parlementaris
Meskipun keresahan, ketidakpusan, protes, hingga perlawanan, tak dapat dibantah lagi, merupakan ekspresi umum dari pekerja, petani, kaum miskin kota, mahasiswa, kalangan minoritas, dan termasuk pula sektor-sektor kapitalis yang menderita kerugian akibat desakan neoliberalisme. Namun, sudah menjadi kesimpulan yang tak terbantahkan pula bahwa mayoritas rakyat Indonesia masih mempercayai bahwa parlemen demokratik (tentu saja dalam ukuran borjuisme) masih begitu kuat. Dan tanpa meragukan lagi kebenaran teori, bahwa kaum pergerakan harus terus-menerus mendorong maju kesadaran tersebut, dengan segala keuletan dan ketabahan, termasuk terlibat aktif dalam penggalangan aksi massa, menyebarkan agitasi dan propaganda, dan bekerja konkret dikalangan tersebut. Tapi bagi saya, tak cukup bagi pergerakan mengandalkan satu ruang perjuangan saja, dan mengabaikan medan lain yang juga menyediakan potensi.

Menyakini bahwa parlementarisme merupakan salah satu medan perjuangan yang penting untuk situasi sekarang ini, maka perdebatan tak dapat dimundurkan lagi [pemilu rakyat atau bukan; ekstra-parlementer verus parlementer]; perdebatan yang menurut saya hanya meniadakan pilihan-pilihan strategi dan taktik politik dalam memanfaatkan ruang parlementer. Semenjak pemilu didesain dalam kepentingan masyarakat berkelas, dan syarat-syarat yang dibuat sendiri diantara mereka guna mengatur suksesi diantara mereka, maka selamanya tak ada pemilu rakyat. Dan sebenarnya system demokrasi rakyat tidak didesain dengan mekanisme semacam pemilu tersebut, tetapi dengan mekanisme demokrasi lansung dari bawah; mayoritas memimpin minoritas; mekanisme recall kapan saja, dan sebagainya.

Disini kita berbicara soal strategi politik. Strategi politik bagi kami adalah strategi mendefenisikan siapa musuh dan siapa kawan terdekat, maupun sektor-sektor tertentu yang dapat dinetralisir dalam tahap histories tertentu. Disini strategi politik tak mengacu pada tujuan-tujuan jangka panjang dari gerakan, seperti yang banyak dijadikan “hak paten” gerakan kiri.

Efek neoliberal telah memupuk perlawanan dimana-mana, tak saja sektor-sektor dari kalangan warga miskin, tapi juga menjangkau kalangan pengusaha nasional ataupun pelaku bisnis yang begitu bergantung pada pasar domestik. Dengan demikian, efek neoliberal sebenarnya berdampak luas dan cukup mendalam. Dalam kepentingan ini, strategi politik bisa disusun berdasarkan komposisi dari seluruh sektor sosial yang jelas-jelas dirugikan, dengan catatan bahwa ada “core” yang berfungsi sebagai driving force dalam perjuangan anti neoliberal, sekaligus menjaga koalisi tersebut berjalan dalam koridor “kerakyatan".

Sehingga tak cukup dengan koalisi dengan partai tertentu, tapi seharusnya sebuah blok politik yang lebih lebar lagi, yang menghimpun seluruh kekuatan politik; partai, individu, organisasi massa, yang berkecenderungan dirugikan oleh neoliberalisme. Blok politik yang lebih lebar dan beranggotakan luas, akan memberikan pengaruh besar dari perimbangan politik didalam negeri, dan sekaligus memberikan kesempatan besar menciptakan dan menjaga polarisasi antara kekuatan politik yang anti-neoliberal dan pro-neoliberalisme.

Gambaran lengkap dari strategi politik ini tak bisa sekedar dengan ukuran memasuki badan parlementer, tetapi seharusnya dipahami luas; yakni memanfaatkan semua institusi formal demokrasi liberal, pemerintahan-pemerintahan lokal, badan-badan partisipasi warga hingga yang terendah, seperti musrembang, dekot, dekel, dan RT/RW.

Pandangan Yoyok dan Pendukungnya
Berbeda dengan saya, pandangan Yoyok justru berada diseberangnya. Setidaknya dengan memagari diri dalam perdebatan soal alat politik yang dipergunakan, ia terus bersikukuh bahwa alat politik tersebut harus genuine dari gerakan, partai kiri sejati, dan terang mendukung sosialisme. Baginya, memanfaatkan partai lain dalam basis kesepakatan program sebagai jembatan menjalankan strategi mengintervensi pemilu, merupakan sebuah kapitulasi kanan, kooptasi, peleburan diri, dan pendeknya; oportunisme kanan.

Dalam artikelnya, pemilu 2009 dan (ilusi) kaum pergerakan[3], ia merangkum pendapatnya sebagai berikut;

"...Pemilu sebagai sebuah momentum politik nasional, jelas tidak bisa di tolak adalah panggung politik yang besar, yang menjadi perhatian (baik terpaksa maupun “sukarela”) sebagian besar rakyat Indonesia, namun panggung yang besar ini tidak secara otomatis akan menjadi panggung yang efektif bagi kaum pergerakan, dengan menjadi peserta pemilu. Ketidak efektifan ini disebabkan alat politik yang digunakan oleh kaum pergerakan bukanlah alat politik yang dibangun sendiri oleh kaum pergerakan; dengan programnya sendiri, dengan metode perjuangannya sendiri, dengan model organisasinya sendiri maupun dengan tokoh-tokonya sendiri. Dengan tidak adanya alat politik kaum pergerakan ini (sekalipun telah diupayakan dengan segala kelebihan maupun keterbatasannya), maka kaum pergerakan harus masuk atau menjadi bagian dari alat politik yang lain, dan tepat pada point ini, alat politik yang ada (yakni partai-partai politik yang menjadi peserta pemilu 2009) tidak ada satupun yang mendekati apa yang selama ini di perjuangkan oleh kaum pergerakan Indonesia, sehingga menjadi bagian dari kekuatan penindas ini,tentu saja akan semakin memperkuat posisi politik kaum penindas ini untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat yang sudah semakin mengecil".

Dengan mengacu pada argumentasi diatas. Yang dipersoalkan Yoyok, terutama sekali, adalah soal alat politik yang digunakan. Dalam mengajukan argumentasinya, bung Yoyok selalu menyandarkannya hanya pada satu aspek, yakni alat politik, dan meniadakan keperluan mendiskusikan aspek yang lain, yakni tujuan intervensi pemilu itu sendiri. Memisahkan alat dan tujuan bukan merupakan solusi untuk berdebat (kecuali untuk debat kusir ansich!). tanpa mau menjerumuskan diri dalam pragmatisme, bahwa perdebatan soal alat seharusnya menimbang kepentingan luas dari sebuah tujuan. Sehingga, sesulit apapun mencari alatnya yang tepat dan sesuai, tetap harus dipecahkan demi tidak melepaskan tujuan, atas nama; KEPASRAHAN.

Saya menganggap bahwa ukuran dan persyaratan bagi sebuah kendaraan politik adalah kesepakatan program; anti-neoliberalisme. Bahkan, menjadi keharusan menurut saya, membangun sebuah formasi politik, blok lebar, atau semacam front persatuan yang lebar dengan merangkum semua sektor sosial yang dirugikan oleh neoliberalisme, termasuk sektor-sektor kapitalis yang menderita dan berkehendak melawan. Sedangkan Yoyok, memagari diskusinya untuk merunut sebuah partai-partai yang benar-benar kiri, sosialis, anti-imperialis. Dan kalau tak ada yang seperti itu, maka menurut Yoyok, lebih baik kaum pergerakan menunggu sambil mengusahakan persatuan gerakan rakyat. Pertanyaannya! Jika alat politik yang demikian itu, tidak juga terbentuk karena berbagai faktor, dan belum lagi syarat yang diajukan oleh demokrasi borjuis di parlemen semakin tinggi pagarnya, sehingga tak memberi kesempatan sedikitpun bagi kaum pergerakan melongok kedalam, bahkan untuk tahun-tahun kedepan. Apa yang dia (Yoyok) akan lakukan?

Selanjutnya, dalam penjelesan yang lebih jauh soal efektifitas aktifitas parlementer dengan metode kerjasama-luas berbasiskan program, dia mengajukan sebuah prediksi berikut;

“Dengan biasnya program kerakyatan, ditambah dengan alat politik yang digunakan adalah alat politik milik borjuasi, maka sudah bisa dipastikan struktur organisasi yang akan meluas adalah struktur organisasi dari borjuis ini…….. Artinya peluang untuk masuk menjadi anggota DPR/D pun sangat kecil, dan jikapun berhasil (dengan cara-cara di atas) maka kemungkinan untuk menjadi anggota DPR yang radikal, yang sanggup memperjuangkan kepentingan rakyat menjadi sangat kecil, karena dalam proses menuju anggota DPR/D sudah menanggalkan prinsip-prinsip perjuangan, dan saya tidak percaya, dengan proses yang seperti itu, maka secara ajaib akan muncul anggota DPR/D yang diharapkan oleh rakyat”.

Benar-benar ahli berandai-andai, ahli nujum sosialisme abad 21 rupanya; belum juga taktik tersebut dijalankan, dipraktekkan, dan kelihatan hasilnya, dia (yoyok) sudah buru-buru menyimpulkan secara picik, bahwa taktik parlementer dengan kerjasama-luas berbasiskan program tidak akan berhasil. Perlu saya beritahukan, bahwa sebusuk apapun pandangan Yoyok terhadap badan parlementer secara institusional, tetapi tetap menyisakan beberapa individu yang baik, yang dengan dasar humanisme, kritis dan pro-rakyat, selalu berdiri menghadang kebijakan-kebijakan benar-benar anti -rakyat. Bisa disebutkan nama-namanya; Drajat Wibowo, Yacobus Mayongpadang, Yuddy Chrisnandi, dan lain-lain. Bahkan, dikalangan mereka ada yang berfikir anti-neoliberal, meskipun masih dalam statemen-statemen politik.

Saya termasuk penulis yang selalu mengacu kepada pendekatan klas, tapi saya tidak kaku memahami bahwa asal-usul klas menentukan seseorang menjadi revolusioner. Gerakan 26 Juli yang berdiri disekitar castro dan kawan-kawannya, terdiri dari orang-orang dari berbagai asal-usul klas yang berbeda, sebagian besar dari kota, tidak selamanya dari klas pekerja, tidak juga pernah aktif di organisasi buruh atau organisasi kaum pekerja lainnya sebelum bergabung dengan Castro, tetapi akhirnya mereka bisa menjadi “inti” dari kekuatan revolusioner Kuba.

Boleh saja kita mengatakan, bahwa banyak mantan aktifis yang terjung ke partai dan bahkan parlemen, tapi tidak bisa berbuat banyak. Tapi, pengalaman tersebut bisa saja menjadi acuan, tetapi tidak bisa di jadikan alat “mentah-mentah” untuk menghakimi strategi politik papernas, dan beberapa aktifis lain. Soal godaan oportunisme, bukan hanya di parlemen, tetapi juga ada dijalanan; brokeris (tukang dagang aksi), ada dilapangan perjuangan buruh (aristokrasi buruh, tawaran jabatan,dll) , tani, KMK, dan semuanya.

bahwa metode parlementer hanya salah sub-pekerjaan memanfaatkan semua ruang-ruang legal, konstitusional, badan-badan pemerintahan local (walikota-bupati), hingga struktur-struktur warga (Dekel, Musrembang, RT/RW)[4]. Rakyat miskin harus didorong untuk melibatkan dirinya, merebut badan-badan warga (RT/RW), local (Kades/bupati) hingga parlementer (DPRD, DPR, DPD). Dan papernas membuktikan hal tersebut; selain masuk dalam pencaleg-kan DPRD-DPR, juga berhasil mencalonkan beberapa anggotanya di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), termasuk salah satunya, Pak Benny, seorang sopir angkot, yang lolos verifikasi administratif dan faktual KPU sebagai calon DPD dari daerah DKI jakarta. Pak Benny mengusung program anti neoliberalisme, dan dalam membawa persoalan konkret rakyat miskin Jakarta kepanggung politik---agar makin terdengar, seperti; lapangan kerja, penolakan penggusuran, anggaran berbasiskan rakyat, dan sebagainya.

Seorang Bupati di Jembrana, Gede Winasa, bisa mempraktekkan pendidikan gratis di seluruh sekolah-sekolah didaerahnya. Meskipun tak memiliki latar-belakang aktifis, ataupun politisi, bupati Gede Winasa telah melelehkan cara berfikir birokrat dan pendukung neoliberal bahwa pendidikan memang sewajarnya mahal. Tindakan sang bupati, kendati tak didukung oleh organisasi kiri radikal dibelakangnya, telah mempengaruhi konstalasi politik nasional dan memberi inspirasi bagi pejabat didaerah lain. Program pendidikan gratis kini, sudah menjadi program “umum” hampir setiap pilkada gubernur, walikota, atau bupati. Itu capaian!

Pandangan Lain

Pandangan politik kaum pergerakan terhadap pemilu 2009 sungguh beragam. Beberapa kelompok, yang memiliki jaringan signifikan, mencoba memberikan solusi dengan menawarkan Golput. secara garis besarnya, bahwa pemilu 2009 tidak akan memberika solusi bagi persoalan yang dihadapi rakyat, dan malah menjadi ajang konsolidasi bagi kaum borjuasi dan elit politik penipu rakyat. Pendeknya, pemilu 2009 tidak akan memberikan perubahan bagi rakyat, karena secara institusional pemilu sendiri masih dirancang untuk kepentingan kaum borjuis.

saya tidak terlalu mendebat posisi tersebut, akan tetapi menurut hemat saya perlu ada catatan; misalnya, bahwa penolakan ini berlandaskan kesimpulan bahwa pemilu 2009 bukan pemilu rakyat. Ini harus diperjelas, seperti apa ukuran pemilu rakyat itu? Dan apakah benar bahwa pemilu 2009 sama sekali tidak memberikan potensi untuk melahirkan perubahan politik yang setidaknya sedikit memihak rakyat? Dan selanjutnya, apa tanggung jawab kita terhadap mayoritas rakyat Indonesia, yang merupakan korban utama neoliberalisme, tetapi“tetap” percaya terhadap ilusi parlemen?

Pemilu memang selamanya milik kaum borjuis, karena badan parlementer sejatinya adalah mekanisme pewadahan kepentingan semua bagian dari klas borjuis, dengan mekanisme penyaringan yang memagarinya dari partisipasi rakyat miskin. Seharusnya, pertanyaannya adalah; apakah pemilu 2009 menyediakan peluang bagi kaum pergerakan untuk memenangkan program2 alternatif, memenangkan dukungan rakyat, dan memelihara perimbangan politik diantara dua segi bertentangan; pemerintahan pro-neoliberal versus oposisi.

Tapi, terlepas dari kedua cara pandang yang berbeda tersebut, pekerjaan menyerukan golput oleh beberapa elemen pergerakan bisa berkontribusi dalam menjaga barisan massa rakyat yang sudah maju secara politik---rakyat yang tidak percaya lagi dengan institusional parlementer, sedangkan elemen pergerakan yang mengintervensi pemilu akan memelihara dan merangkum massa rakyat yang sudah tidak puas dengan pemerintahan dan kebijakannya namum masih percaya pada ilusi pemilu, berada dibelakangnya. Kombinasi diantara keduanya, atau adanya “koordinasi” diantara dua bentuk ini, akan menjadi blok politik alternatif dimasa depan, dengan dukungan luas.

Akan tetapi, Golput juga bisa melahirkan sebaliknya; abstain berarti membuka jalan kepada kekuatan lama yang lebih mapan dan terorganisir. Kenapa bisa terjadi? Pertama, karena ternyata motif utama golput beragam, salah satunya adalah persoalan kekacauan administratif, teknis, dan sosialisasi, seperti yang diyakini JPPR, sehingga susah ditarik kepentingan politisnya. Belum lagi, jika benar bahwa Gusdur akan mendorong pendukungnya untuk golput dalam pemilu 2009. Kedua, dari perkembangan situasi, jika benar-benar dua kutub (pro-neolib dan anti neolib) benar-benar bertarung secara terbuka, maka seruan golput akan menarik sebagian besar pendukung atau pemilih anti neolib yang paling militant dan radikal. Ketiga, jika golput dihubungkan dengan pemilu tidak jurdil, sarat penipuan, dan sebagainya, maka seharusnya taktik golput kurang tepat, karena kemajuan system informasi dan teknologi telah meminimalisir kemungkinan penipuan dan manipulasi. Dan kalaupun terjadi, rakyat bisa melakukan protes lansung ke panitia pemilihan, KPU, dan berbagai institusi yang terlibat. Kalau argumentasinya prinsipil, karena memang pemilu merupakan institusi borjuis yang mengilusi rakyat, maka seharusnya seruannya adalah BOIKOT aktif, dengan tindakan aktif mengerahkan massa menggagalkan pemilihan.

Partisipan atau Non-Partisipan

Tema ini selalu dipertentangkan dan dibangun tanggul pemisah diantara keduanya, seolah-olah yang satu tidak bisa melompati ke yang lainnya. Kalangan pergerakan mengidap ketidakpercayaan kuat terhadap partai-partai di parlemen dan meragukan adanya suasana kondusif di parlemen yang menjaga idealisme para aktifis. Selain itu, kerusakan politik yang diderita lembaga parlemen akibat korupsi, suap, dan skandal seks, telah melempar citra politik pada titik yang paling dangkal. Hal tersebut begitu kuat memupuk sentimen anti-politik dan anti-partai, terutama kalangan klas menengah dan LSM.

Diluar unsur-unsur yang cukup maju---yang menyadari perlunya pendirian partai politik alternatif, mayoritas lapisan luas kaum pergerakan masih memformulasikan kesadaran anti –kapitalisme dengan menolak berpartisipasi dalam ruang-ruang legal yang diciptakan oleh klas berkuasa. Mereka punya defenisi tersendiri terhadap aktifis yang masuk keparlemen, badan-badan pemerintahan, atau ruang-ruang politik lainnya, sebagai penghianat, penjual idealisme.

Terhadap proposisi tersebut, ada baiknya menyimak pendapat Marta Harnecker berikut ini;

….Terhadap kondisi itu, perlu ditambahkan tidak adanya kepercayaan rakyat kebanyakan terhadap politik dan politikus. Rakyat muak dengan janji-janji yang tak dapat dipenuhi dan dengan demikian hanya sekedar berpropaganda tentang masyarakat alternatif tidaklah cukup. Butuh untuk mendemonstrasikan dalam praktek-praktek sehari-hari apa yang dikhotbahkan. Ini hanya mungkin "dengan mengembangkan alternatif kerakyatan terhadap kapitalisme dengan cara membuang motif profit dan hubungan-hubungan yang dipaksakan olehnya dan menggantikannya dengan suatu logika baru yang humanistik dan didasarkan pada solidaritas dalam ruang-ruang yang dikuasai oleh kaum kiri" (Harnecker, 2001, 164-165).

Persoalannya adalah mantan aktifis gerakan yang terserap atau sukses masuk kedalam badan pemerintahan atau parlemen melakukan praktek politik yang tidak jauh berbeda dengan politisi kanan. Adalah merupakan tantangan dan tugas kaum aktifis di parlemen, bukan untuk memulihkan kepercayaan rakyat terhadap lembaga parlemen, akan tetapi memformulasikan sebuah pemahaman akan batasan-batasan yang sanggup dihadirkan neoliberal, dan sebaliknya mempromosikan “praktik konkret” yang sanggup melampaui keterbatasan tersebut.

Pemilu 2009 adalah pemilu menentukan; jalan lama atau perbaikan. Kegagalan berat kapitalisme neoliberal bukan sekadar ungkapan teoritis tetapi kini menjadi fakta. Kenyataan tersebut tidak lagi dapat menunggu; sampai sebuah formasi persatuan gerakan terbangun, tapi sejak sekarang harus digempur dan arena pemilu menyediakan ruang begitu luas untuk pertarungan tersebut. Tipe dominan dari pemilih dalam pemilu mendatang adalah massa mengambang, sisa-sisa proyek depolitisisasi orba. Pilihan politik mereka sangat tergantung ruang pragmatis yang menyediakan mereka kesempatan bertahan hidup (survival). Belum lagi, kurang lebih 70% masyarakat Indonesia menggantungkan pengetahuan dan akses mereka terhadap informasi berdasarkan audio-visual. Partai-partai besar yang memiliki duit, termasuk Golkar dan Demokrat, tentu sanggup menggunakan media visual seperti TV untuk pencitraan politik mereka. Partai-partai pendukung neoliberalisme akan memanfaatkan media untuk menghapus kerusakan dan cacat politik mereka karena kebijakan yang merugikan rakyat.

Dan karena itu, kaum pergerakan yang mengikuti pemilu tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan sendiri, apalagi potensi personal aktifis, tetapi harus menggandeng dukungan luas dari kaum pergerakan. Bukan itu saja, kaum pergerakan pun harus memenangkan sebuah blok sosial alternatif berkeanggotaan luas dan lebar sebagai jalan mengimbangi kekuatan lawan. Dalam situasi politik seperti itu, dimana dua arus politik (pro –neoliberal dan anti-neoliberal) bertemu dan bertempur, maka pilihan “non-partisan, abstain, bukanlah pilihan yang tepat. Konteks politik pemilu 2009 adalah mengusahakan perubahan politik guna mengakhiri neoliberalisme, bukan lagi sekedar “protes” dan mempropogandakan ketidakpercayaan terhadap neoliberal.

Bukan berarti saya menganjurkan dukungan tanpa kritis terhadap caleg aktifis, justru hal tersebut sangat dibutuhkan sebagai salah satu faktor untuk menjaga garis pro-rakyat dari aktifis tersebut.

Konfigurasi Politik Nasional dan strategi Konvergensi

Semenjak Letter of Intent (LoI) ditanda-tangani oleh pemerintahan Habibie, boleh dikatakan bahwa perekonomian Indonesia sedang berintegrasi dengan sirkuit pasar global, yang merupakan unit tunggal. Sejak itu pula, ekonomi nasional memutar-badan, bukan lagi melayani kapitalisme kroni, tetapi melayani sepenuhnya kepentingan korporasi transnasional dan Negara-negara maju. Hal tersebut patut dicermati, karena bukan saja sedikit merubah musuh utama yang kita hadapi, tetapi juga merubah berbagai medan perjuangan kaum pergerakan, isu utama dan tuntutan, dan strategi politik.

Golkar sekarang sudah berbeda jauh dengan Golkar dimasa orde baru. Jika dimasa orde baru, Golkar merupakan penyangga utama dari system kapitalisme kroni orba, maka dimasa sekarang, dibawah komando Jusuf Kalla, semakin berorientasi pada ekonomi pasa bebas (free market) dan politik liberal. Dengan kerjasama-solid bersama Demokrat, kedua partai ini semakin mendekat pada pengelompokan partai pendukung neoliberalisme paling depan di Indonesia. Beberapa individu dan tokoh loyalis orba di tubuh golkar sudah dibuang atau dipaksa mendirikan partai baru, seperti Hanura, Pakar Pangan, dan Gerindra.

Sementara itu, PDIP yang terdepak dari kekuasaan tahun 2004 lalu mulai menuai popularitas dari sikap partainya yang menegaskan beroposisi terhadap pemerintahan sekarang. Partai yang mengakui “nasionalis” ini, sebenarnya juga merupakan pendukung neoliberal seperti yang ditunjukkannya semasa berkuasa (2001-2004), hanya saja mencoba mengimplementasikan semacam “tanggung jawab sosial” dalam menghadapi dampak ekonomi yang liberal.

PKB merupakan unsur termaju di parlemen dari berbagai sikap politiknya; pluralis dan kritis terhadap neoliberalisme. Ketika Gus-Dur berkuasa pun, ia memakai ekonom-ekonom yang berada diluar lingkaran Wijoyonitisastro atau Mafia Barkeley, dengan memasang Risal Ramli dan Kwik Kian Gie. Hanya saja, patron klien yang terlampau kuat dipartai ini ditambah penggembosan dari luas, telah menyebabkan partai retak dan terbelah, dimana kubu progressif-Gusdur berada dalam kubu yang kalah dan Kubu Muhaimin—yang lebih pro- SBY—sebagai pihak pemenang.

PAN yang selalu memposisikan diri sebagai pendobrak reformasi telah terbukti semakin ditinggalkan rakyat, seperti yang ditunjukkan oleh merosotnya dukungan mereka dan ditinggalkan oleh kaum mudanya---yang mendirikan Partai Matahari Bangsa (PMB). Meskipun berkali-kali Amien Rais berposisi kritis terhadap perampokan kekayaan alam, terutama sektor pertambangan, oleh korporasi internasional, tetapi ternyata tidak memulihkan kepercayaan rakyat terhadap partainya. Terlebih Sutrisno Bachir, yang menjadi nahkoda partai, tidak memiliki kepiawaian dalam berpolitik dan tidak punya konsep programatik yang konkret, selain menawarkan iklan “katro” di TV.

Dari poros konservatif, yang meliputi PKS, PBB, dan PPP, hanya PKS-lah yang menunjukkan “cahaya terang” semakin mendapatkan keuntungan dari kerusakan politik yang diderita partai lain. PBB dan PPP yang semakin konservatif dan kemana-mana menjual ideology syariat islam jelas partai yang sedang merosot. PKS justru sebaliknya; kendati merupakan partai pendukung pemerintah, tapi berkat “maneuver politiknya” yang bisa zig-zag ---seperti kasus dukungannya terhadap hak angket—ditambah beberapa faktor; disiplin, kaderisasi, performa bersih dan egaliter, menjadikan PKS memiliki peluang besar dalam pemilu 2009. PKS adalah partai konservatif yang mengusung ekonomi liberal; berjuang keras memelihara tradisi dan moral konservatif tetapi begitu loyal terhadap kebijakan neoliberal. PKS jelas merupakan partai reaksioner yang harus diwaspadai karena dapat berpindah rel politik (pro-neoliberal atau oposisi), yang penting menguntunkan politik partainya.

Bagaimana dengan faksi tentara?

Tentara sementara ini terfragmentasi setidaknya dalam banyak faksionalisasi. Salah satu bentuk faksionalisasi dikalangan mereka tercermin dari kemunculan 3 partai yang sepenuhnya disokong oleh tentara, yakni Hanura, Gerindra, dan Pakar-Pangan, PKPI, dan Demokrat. Menariknya, bahwa beberapa faksi dalam kubu tentara justru memperlihatkan posisi kritis terhadap pemerintahan SBY, seperti yang ditunjukkan oleh iklan kemiskinan Wiranto, bahkan diantara mereka semakin sering melontarkan ide kemandirian bangsa, nasionalisme, anti-penjajahan asing. Beberapa mantan tentara terlibat dalam deklarasi Komite Bangkit Indonesia (KBI), yang sekaligus mendeklarasikan konsep jalan baru dan haluan ekonomi baru Indonesia bersama Rizal Ramli.

Fenomena ini bukan hal baru dan juga tidak aneh. Tentara seperti kehilangan induk ketika orde baru runtuh, dan malah kelihatan bahwa tentara kehilangan basis model kapitalis yang menguntunkan kelompoknya, yakni kapitalisme kroni. Dengan ekonomi liberal yang diperkenalkan, tentara bukan saja disingkirkan dari kehidupan ekonomi tapi perlahan-lahan dibatasi dijabatan politik. partai politik semakin mendominasi kehidupan politik dan jabatan pemerintahan; sesuatu yang begitu tidak disengangi tentara sejak awal.

Liberalisme ekonomi dan pengambil-alihan sebagian besar asset-aset mereka oleh perusahaan trans-nasional milik asing, menyebabkan tentara terpisahkan dari kehidupan niaga dan bisnis. Paling banter, mereka menerima “jumlah kecil” sebagai upah mereka menjaga asset-aset dan kepentingan asing di Indonesia, terutama di Aceh dan Papua. Inilah landasan kenapa sejumlah pemimpin tentara mengibarkan bendera nasionalisme, kemandirian bangsa, dan anti-penjajahan asing.

Tapi, terlepas dari itu semua. Angin demokratisasi yang mewadahi tentara professional, telah mendorong sejumlah tentara yang berfikiran maju untuk mulai mendedikasikan diri pada pergulatan untuk mencari konsep baru Indonesia yang lebih baik. Akan tetapi, mereka ini masih sangat kecil dan cenderung dibuang dari posisi strategis kemiliteran.

Nah, dengan fragmentasi politik yang begitu lebar tersebut, perlu ada kreasi untuk merangkai kekuatan-kekuatan politik yang memiliki cita-cita yang relatif sama, terutama dalam mengakhiri praktek ekonomi neoliberalisme di Indonesia. Masalahnya, tidak ada memang partai politik di Indonesia sekarang ini yang benar-benar anti-neoliberal, apalagi anti-kapitalisme. Tetapi, kerusakan ekonomi, sosial, budaya, dan ekologi akibat neoliberalisme sudah tak dapat ditutupi dan mengharuskan partai harus mengambil sikap kritis terhadap neoliberal. Potensi ini tetap akan kecil jika tidak dikoordinasikan oleh kaum pergerakan, sehingga menjadi penting bagi pergerakan untuk menempatkan pemilu 2009 sebagai arena penting dalam perjuangan anti-neoliberal kedepan.

Adalah keharusan bagi kaum pergerakan untuk menjaga dan mengintervensi momentum pemilu ini. Karena dengan ini, kaum pergerakan dapat memelihara pertentangan dan polarisasi kekuatan (anti –neoliberal dan pro-neoliberal) menghadapi pemilu.

Untuk itu, diperlukan strategi konvergensi, yang akan menyatukan dan sekaligus memusatkan kekuatan yang memiliki cita-cita jangka pendek relatif sama untuk menjadi pengelompokan tersendiri menghadapi poros neoliberal. Disini kaum pergerakan dituntut, untuk mendefenisikan siapa kawan dan lawan, serta sektor-sektor tertentu yang perlu dinetralisir dalam fase histories tertentu. Musuh utama kita adalah pendukung utama system ekonomi neoliberalisme, yaitu partai Golkar dan Demokrat. Kawan sementara kita adalah kekuatan-kekuatan politik yang beroposisi terhadap pemerintah SBY-JK, menentang Golkar dan Demokrat, serta berposisi kritis terhadap neoliberalisme. Sedangkan sektor-sektor yang perlu dinetralisir adalah kekuatan politik peragu, pling-plang; partai yang sikapnya cenderung berubah-ubah tergantung dari perimbangan kekuatan pro-neoliberal dan penentangnya.

Kekuatan yang akan menjadi sandaran utama kita, terutama dalam mendorong sentimen anti-neoliberal lewat tekanan massa adalah sektor-sektor sosial yang cukup dirugikan oleh system neoliberal, meliputi kaum pekerja, kaum miskin kota, petani, dan semua sektor sosial lainnya yang menjadi “korban” neoliberalisme, termasuk pengusaha nasional.

Merangkul Sektor Kapitalis Nasional

Neoliberalisme adalah merupakan sebuah serangan kapitalis global, terutama yang dipimpin oleh korporasi transnasional dan kapitalis financial dari Negara kapitalis maju, yang menyerang bukan saja kelas pekerja dan rakyat miskin Negara berkembang, tetapi juga sector-sektor kapitalis nasional yang sangat bergantung kepada pasar domestik. Neoliberalisme merupakan restrukturisasi system kapitalisme yang terus dijepit krisis dan merestorasi kepentingan klas kapitalis dominan yang merasa tertekan dibawah periode intervensi Negara (Keynesian).

Neoliberalisme menghilangkan semua hambatan-hambatan bagi pergerakan capital Negara kapitalis maju dan juga perusahaan transnasional. Selain itu, restrukturisasi ini juga memisahkan kewajiban pemerintah Negara berkembang memberi perlakuan khusus dan proteksi terhadap sector-sektor ekonomi didalam negeri. Akibatnya, sector kapitalis nasional tak memiliki “cukup kelonggaran” untuk menghadapi persaingan dengan sector kapitalis raksasa.

Ketidaksanggupan kapitalis nasional ditengah opensif ditengah neoliberal, bukan saja karena ketidaksetaraan kekuatan capital yang mereka punyai, tapi juga disebabkan oleh faktor histories. Sektor kapitalis nasional di Negara-negara berkembang begitu subordinat terhadap kapitalis raksasa dari Negara kapitalis maju. Hal tersebut disebabkan oleh kenyataan histories bahwa ekonomi-ekonomi Negara berkembang tidak pernah diberi kebebasan, kemerdekaan, dan kemandirian untuk menjalankan perekonomian, perencaanaan produksi, dan pengelolaan sumber daya yang dimiliki. Kendati ada kemerdekaan politik secara formal, namun faktanya ekonomi nasional tidak pernah lepas dari susunan ekonomi imperialis, yang berkehendak menahan laju ekonomi nasional dan menempatkannya sebagai basis pemenuhan kebutuhan industrialis di Negara kapitalis maju.

Melihat dari sejarah kehadirannya, perkembangan industri di Indonesia bukan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat, melainkan untuk mememenuhi kebutuhan Negara kapitalis maju dan mewadahi kelebihan capital asing. Sehingga wajar saja jika industri yang berkembang benar-benar tidak memiliki basis yang kuat; rendah teknologi, sebagian bahan bakunya sebagian besar masih di-impor, dan lemah dukungan modal. Kerentanan industri nasional untuk bertarung dengan kompetisi bebas bersama produk dan jaringan pasar industri Negara maju bersumberkan pada problem tersebut.

Memasuki neoliberalisme, industri dalam negeri dibiarkan “bertarung bebas” dengan perusahaan transnasional yang didukung kuat oleh teknologi, financial, dan sokongan mesin pemerintahnya. Satu persatu sector industri dalam negeri berjatuhan, yang korbannya bukan saja pengusahanya tetapi juga buruh-buruhnya yang harus rela terkena PHK. Belum lagi, Industri terus dibebani berbagai pungutan dan pajak-pajak yang terkadang tumpang tindih sehingga membuat daya saing menjadi lemah. Pungutan liar sejak barang keluar dari pabrik hingga menuju pelabuhan ekspor kian menggila, bahkan diperkirakan mencapai US$180 juta pada semester I/2008.

Jika dicermati lebih jauh, nilai impor bahan baku/penolong mencapai 79,03% selama semester I/2008 dengan nilai US$51,42 miliar. Di sisi lain, impor barang modal menurun 6,82% pada Juni terhadap Mei, sementara impor barang konsumsi meningkat 6,77% (US$4,4 miliar). Tingginya importasi bahan baku/penolong merupakan pertanda kian rapuhnya struktur industri nasional. Pengusaha nasional masih terus-menerus dipaksa “membayar mahal” kebijakan pemerintah yang memprioritaskan energi untuk diekspor keluar, ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri. Keinginan-keinginan normatif agar industri nasional berdaya saing dan bernilai tambah, mampu meningkatkan kapasitas produksi, leluasa berekspansi, dan ketersediaan bahan baku dan energi yang memadai, kini tak bisa menghindar dari situasi paradoks dan kontradiktif.

Perlu ditekankan, bahwa kehancuran industri nasional bukan saja berdampak pada ketersingkiran pengusaha nasional dari pertarungan ekonomi, tapi juga “lonceng kematian” bagi rakyat pekerja. Seperti yang pernah saya singgung dalam artikel saya berjudul “keluar dari rantai yang mengekang”, bahwa kekalahan dan kemunduran gerakan buruh tidak melulu karena faktor kurangnya militansi serikat pekerja atau pengkhianatan dari pemimpin serikat pekerja, akan tetapi seringkali disebabkan oleh kondisi ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan. Sebagai contoh, kehancuran industri nasional menyebabkan pengusaha susah menemukan titik kompromi terhadap perjuangan ekonomis kaum buruh. Tidak adanya kondisi yang sehat bagi produktifitas industri, termasuk melahirkan profit, membuat konsesi terhadap upah, dan jaminan kesejahteraan pekerja susah terakomodir. Jika tetap dipaksakan pemogokan, pertempuran terbuka tanpa ampun, maka itu sama saja dengan perjuangan “bunuh-diri”, yang bukan saja menurunkan moril perjuangan pekerja, tapi juga menurunkan kepercayaan buruh terhadap serikat buruh radikal.

Blok Sosial Alternatif dan Tawaran Platformnya

Bagi saya, ditengah pertempuran yang sebagian besar dimenangkan oleh kaum neoliberal dan kekalahan berulang kali diderita oleh kaum pergerakan, bahkan dalam arena perjuangan ekonomi, maka pembangunan blok-politik lebar dengan plaftform kongkret menjadi keharusan. Tugas ini tidak saja dibebankan kepada kekuatan pergerakan yang mengintervensi momentum pemilu, tapi juga terhadap elemen pergerakan yang tidak ambil-bagian. Saya tidak hanya berbicara soal pentingnya kombinasi perjuangan antara gerakan yang mengintervensi dan tidak dalam respon momentum ini, akan tetapi mengenai kemendesakan pembangunan sebuah formasi sosial-politik dengan komposisi luas berdasarkan kesepakatan programatik.

Unsur-unsur pergerakan yang tak menyepakati taktik intervensi dapat mengajukan dukungan kritis terhadap calon-calon legislative yang diusung kaum pergerakan. Artinya, seruan memberikan dukungan berbasiskan kesepakatan program-program yang menjadi agenda penting kaum pergerakan, seperti nasionalisasi perusahaan tambang asing, penghapusan utang luar negeri, penghapusan system kontrak dan outsourcing, landreform, kredit murah bagi pengorganisasian ekonomi rakyat miskin, pendidikan dan kesehatan gratis, dan sebagainya.

Perlu ada sebuah blok sosial alternatif yang mengkovergensi seluruh sektor-sektor sosial yang “dirugikan” oleh neoliberalisme. Dalam derajat nasional maupun global, kapitalisme neoliberal tidak sanggup mencari jalan keluar dari berbagai kerusakan ekonomi, kemiskinan, pengangguran, meningkatnya eksploitasi terhadap kalangan miskin, dan kerusakan lingkungan yang terjadi dimana-mana. Kecenderungan itu mendorong kolaborasi anti-neoliberalisme semakin memungkinkan untuk mendapatkan tempat dalam ruang-ruang politik. penting bagi elemen gerakan sosial untuk tidak sekedar meneriakkan alternatif neoliberalisme diluar pintu kekuasaan, tetapi juga dalam ruang kekuasaan, sekecil apapun.

Seperti diungkapkan diatas, keragaman sektor sosial yang dikorbankan oleh neoliberal membutuhkan sebuah bentuk pewadahan yang lebar pula, tapi dengan kesepakatan-kesepakatan minimum yang konkret. Pewadahan ini juga memerlukan kolaborasi yang kuat antara bagian luas kaum pergerakan dengan kekuatan-kekuatan politik di parlemen yang kritis terhadap neoliberalisme. Jadi semacam koalisi oposisi yang lebar dengan refresentasi luas; seluruh kelompok sosial, intelektual, partai politik, seniman, dan sebagainya.

Lantas, apa yang menjadi paltformnya? Sudah tak dapat ditutupi bahwa neoliberalisme merupakan masalah utama keterbelakangan ekonomi, politik dan kehidupan sosial di Indonesia. Neoliberalisme perlu menjadi agenda utama untuk disikapi, dihadapi, dan digantikan dengan sebuah alternatif baru yang lebih adil dan humanis. Partai-partai pendukung utama neoliberalisme, terutama Golkar dan Demokrat, harus ditempatkan sebagai musuh utama yang perlu diisolasi dan dilawan, dan selanjutkan kekuatan-kekuatan politik diluar itu perlu diklasifikasi, untuk menemukan siapa kawan dan mana partai yang harus dinetralisir.

Meskipun sudah terang, bahwa neoliberalisme merupakan problem pokok yang musti diatasi. Akan tetapi di dalam dinamika politik real, sentiment anti-neoliberal belum merupakan kesadaran “murni” dari partai-partai politik yang ada, tapi masih sebatas pernyataan-pernyataan politik atau manuver-manuver politik. Tapi tak dapat ditutupi lagi, bahwa tema “kemandirian nasional” kini menjadi tema umum dan menjadi “jualan” partai-partai oposisi, ataupun partai baru yang menjajikan perubahan. Dan bagi kaum pergerakan, tema “kemandirian nasional” dapat menjadi wadah yang baik untuk menampung program-program anti-neoliberalisme.

Perlu ditekankan, bahwa jalur pertama yang harus dimenangkan dalam kolaborasi anti-imperialisme di Indonesia adalah merebut kedaulatan nasional. Tahap ini mengkarakterisasikan prakondisi untuk proyek perubahan yang lebih berjangkau luas dan mendalam, yakni sosialisme. Dan bahwa proses ini pula mengkomfirmasikan pengalihan control terhadap sumber daya alam dan pembenahan tenaga produktif didalam negeri (pendidikan dan kesehatan) dari tangan imperialis.

Sentimen “kemandirian nasional” perlu dikonkretkan dan dipadukan dengan isu-isu anti-neoliberal, pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, dan termasuk kegagalan pemerintah mengelolah ekonomi. Sebagai contoh; keharusan meninjau ulang kontrak-kontrak migas yang merugikan kepentingan nasional, jaminan pemenuhan energi untuk industri dan rumah tangga, negosiasi soal utang luar negeri, dan penyelesaian sejumlah konflik agraria. Program ini dalam tahap awal mencoba merombak kebijakan neoliberal, yang mengalirkan hasil produksi kekayaan alam dan tenaga kerja Indonesia kenegeri induk kapitalis dan ketangan segelintir pemilik korporasi transnasional untuk kemudian diserahkan kepada pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.

Penutup

Jika kami mau membangun sosialisme, setidaknya sebagai projek alternatif atas kerusakan akibat kapitalisme yang semakin membusuk- neoliberalisme, maka kami harus merebut kedaulatan nasional dahulu; agar bias memegang kendali terhadap sumber daya alam, SDM, dan perusahaan-perusahaan strategis. Kami menyadari bahwa tak mungkin menjalankan proses ini pada tahap awal dengan sekali gebrakan; nasionalisasi dibawah control pekerja, penghapusan ekonomi pasar, dan melikuidasi institusi Negara borjuis. Tidak! Itu tak dapat dilakukan dengan sekaligus Bung Wardoyo. Seperti yang disebutkan Lenin, bahwa pada tahap awal sosialisme harus memperlihatkan keunggulannya dari segala aspek. Idenya adalah bahwa sosialisme harus menunjukkan superioritas di segala bidang.

Bahwa tugas terdekat kita adalah pembebasan nasional, melahirkan sebuah Negara berdaulat dan merdeka, yang akan menendang keluar imperialisme. Setelah ini, barulah kita memiliki “kesempatan dan peluang” untuk mengartikulasikan seluruh potensi kekayaan alam, tenaga produktif, guna memenuhi kebutuhan rakyat banyak. Pada tahap ini, terbuka pintu bagi kami untuk menunjukkan sebuah dunia baru yang lebih adil dan humanis! Terima Kasih.

Catatan:
[1]. Penulis adalah Pengelolah Jurnal Arah-KIRI dan peneliti Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS)
[2]. Dan karena pengakuannya, beberapa LSM dan perhimpunan sosial memberinya penghargaan anti-korupsi award. Seolah-olah pengakuan bisa menghapus dosa, jika benar demikian, maka enak benar politisi di negeri ini.
[3]. Bisa di akses di http://fnpbi-prm.blogspot.com/2008/08/respon-pemilu-2009.html
[4]. Baca artikel saya, berjudul “Memanfaatkan RT/RW untuk transfer (perlahan) Kekuasaan Ketangan Rakyat”, di http://arahkiri2009.blogspot.com/2008/08/memanfaatkan-rtrw-untuk-transfer.html.




Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: 2008