Perempuan Melawan Neoliberalisme

Apa dan Bagaimana Free Trade Agreement(FTA)?

Kamis, 2007 Juli 26

Oleh: Ulfa Ilyas

Perpindahan barang/komoditi antar suatu bangsa dengan bangsa lainnya bukan hal yang baru tapi sudah cukaup lama. Jauh sebelumnya bangsa persia, cycilia, ataupun romawi sudah mengenal jalur-jalur perdagangan dengan bangsa lain. Penganjur neoliberal di indonesia yang tergabung dalam friedrich Ebert Stiftung sering mengungkapkan bahwa interaksi dalam perdagangan antara bangsa adalah gejala yang lama dan sudah terjalin sejak ratusan tahun yang lalu. Namun pertukaran dan perdagangan komoditi semakin massif dan intensif setelah memasuki merkantilisme, raja/bangsawan berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan akumulasi kekaayaan dari merkantilisme. Lahirlah kongsi-kongsi dagang seperti VOC(19 bangsawan belanda), EIC(kerajaan Inggris), dan lain-lain.

Kapitalisme telah mendorong pasar tercipta dan terbuka seluas-luasnya, menyingkirkan penghambat-penghambatnya; kerajaan, tahtasuci, dan pemikiran kolot. Adam Smith menyimpulkan nilai-nilai yang dianggapnya merupakan pondasi teori pasar bebas: (1) kebutuhan manusia tidak terbatas; (2) sumber-sumber ekonomi yang relatif terbatas; dan (3) pengejaran pemenuhan maksimal kebutuhan individu (utility maximization of self interest) yang relatif tidak terbatas. Dari tiga nilai dasar ini, maka perebutan dan pertarungan untuk pemenuhan kebutuhan manusia mendapatkan pembenarannya. Dari konsepsi ini lahir pembenaran untuk persaingan dalam pasar; antar produsen, antar konsumena, dan antar produsen dan konsumen.

Dalam strategi perdagangan bebas dikenal tiga pintu yang sebenarnya tujuannya sama; (1) Multilateral yang melibatkan banyak negara dari berbagai kawasan; disini kuncinya dipegang oleh WTO, (2). Regional; perjanjian perdagangan bebas hanya dalam kawasan tertentu oleh beberapa negara di kawasan itu seperti AFTA, dan yang ke(3). Bilateral antara dua negara yang sepakat perjanjian perdagangan bebas seperti FTA-Indonesaia-AS. Ketiganya menjadi kunci yang dimainkan oleh pemilik modal asing dan negara imperialis untuk menguasai perekonomian negara dunia ketiga(baca; berkembang). Setelah perjanjian perdagangan bebas gagal (baca; macet) di putaran Doha maka jalan perdagangan regional dan bilateral semakin laris dan merebak. AS sebagai superpower imperialisme mulai melihat bahwa sangat sulit melihat kemajuan perdagangan bebas global(multilateral) lewat WTO karena semakin banyak negara yang berposisi mandiri dan kritik umum terhadap kegagalan WTO. AS kemudian menekan semua negara-negara yang menjalin hubungan bilateral dengannya untuk merundingkan kesepakatan perjanjian perdagangan bebasnya. AS saangat berkepentingan dengan akses sumber bahan baku dan sektor jasa negara-negara berkembang, dan sebagai konpensasinya membuka(memberi kuota khusus) untuk produk impor pertanian yang dilindungi di AS.

Langkah AS, ini juga di ikuti oleh Korea Selatan, China, Jepang dengan membuka negosiasi FTA dengan negara-negara Asia dan kelompok regional seperti ASEAN. Cina cukup agresip mengejar FTA ini. Ekonomi Cina yang tumbuh dengan laju 9% setahun sangat membutuhkan bahan mentah dan energi, juga beberapa produk pertanian dan kehutanan, yang ia ingin pastikan dengan FTA ini. Maka di Indonesia kita rasakan masuknya Cina secara cukup agresip di bidang energi (mengusahakan Kontrak Bagi Hasil di bidang migas). Lewat FTA dengan Asean dan negara anggotanya maka Cina juga berusaha untuk “mengatur” (manage) perdagangan bilateralnya agar tidak terlalu mencemaskan mitranya. (M. Sadli , Kompas,25/5/2005).

BFTA boleh dikatakan manuver politik dari negara-negara imperialis untuk menutupi kenyataan buruknya perdagangan bebas global(multilateral) yang di komandoi WTO. Kritik meluas terhadap intervensi dan dominasi negara-negara imperialis kuat seperti AS, Jepang, Inggris, dan lain-lain dalam pengambilan kebijakan perdagangan WTO. Oleh beberapa pemimpin negara berkembang mulai merasa ketidakberesan dalam mekanisme yang diinginkan WTO seperti pembukaan pasar dalam negeri negara berkembang sedangkan disisi lain AS dan Eropa masih menjalankan proteksionisme dan subsidi pertanian.

Dampak yang dtimbulkan oleh FTA juga tidak jauh beda dengan konsekuensi dari perjanjian multilateral ala WTO; Menurut Lutfiyah Hanim, Program Officer IGJ, “Karakteristik dasar dari kesepakatan perdagangan bebas, khususnya dengan AS, adalah WTO-plus. Maksudnya, tingkat liberalisasi yang dilakukan lebih tinggi dibandingkan liberalisasi yang dilakukan di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization –WTO).” . selain itu dampak dari pemaksaan pengakuan hak paten terhadap tumbuhan/tanaman misalnya dapat berdampak pada petani susah mendapatkan akses terhadap benih atau sumber daya tersebut karena semua telah di monopoli oleh perusahaan asing yang telah memiliki paten tersebut. di Thailand menopoli hak paten oleh perusahaan AS dalam perjanjian BFTA-US-Thailand telah menyebabkan konsumen tidak mampu menjangkau harga-harga obat-obatan. Masalah terpenting dari FTA ini, hanya terletak pada persoalan kedok imperialisme mendekati dan menekan pemerintahan dunia ketiga. Bayangkan, pemerintahan seperti SBY-Kalla yang tidak memiliki wibawa politik di mata internasional harus melakukan negosiasi/perundingan dengan Bush---yang merupakan mandornya, yang terjadi adalah penyerahan semua kedaulatan nasional terhadap sumber kekayaan alam kepada imperialis. BFTA indonesia-singapura, sangat meruagikan indonesia dari segi politik(keamanan) dan ekonomi.

Penulis adalah aktivis Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND) Jakarta Pusat.

Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: Maret 2008

Liberalisasi Ekonomi, dan Nasib Pekerja









Jumat, 20 Agustus 2007

Oleh : Ulfa Ilyas

Persoalan kemiskinan adalah persoalan pokok yang dirasakan oleh mayoritas rakyat indonesia, meskipun secara sadar coba dimanipulasi oleh Biro Pusat Statistik(BPS). Dalam laporan terbarunya BPS menyatakan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia mengalami penurunan sebesar lebih dari satu persen, yaitu dari 39.30 juta orang miskin pada Maret 2006 (17,75%) menjadi 37,17 juta orang pada Maret 2007 (16,58%). Artinya pemerintah dalam satu tahun terakhir berhasil memberantas kemiskinan sebesar 2,13 juta. Laporan ini sangat kontras dengan hasil temuan Tim Indonesia Bangkit(TIB) yang menyatakan bahwa angka kemiskinan meningkat dari 39.01 pada tahun 2006 menjadi 46 juta hingga 48 juta pada tahun 2008. Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa meluncurkan Laporan Tahunan Pembangunan Manusia (Human Development Report) 2006 yang bertajuk Beyond Scarcity: Power, Poverty, and the Global Water Crisis. Laporan itu selalu menjadi rujukan perencanaan pembangunan dan menjadi salah satu indikator kegagalan atau keberhasilan sebuah negara mensejahterakan rakyatnya. Selama satu dekade, Indonesia berada pada tier medium human development peringkat ke-110, terburuk di Asia Tenggara setelah Kamboja. Posisi Indonesia anjlok. Kemerosotan kualitas hidup manusia Indonesia juga ditunjukkan dalam laporan regional pencapaian Millennium Development Goal Asia Pacific yang diluncurkan 16 Oktober 2006 oleh ADB-UNDP-UNESCAP. Dalam laporan berjudul The Millennium Development Goal, Progress Report in Asia and the Pacific 2006, Indonesia ditempatkan pada peringkat terburuk negara-negara yang terancam gagal mencapai target MDGs tahun 2015 bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Niugini, dan Filipina. Bank Dunia secara resmi meluncurkan hasil studi tentang kemiskinan di Indonesia (Kompas, 11 Desember 2006). Studi itu menghasilkan estimasi jumlah orang miskin hampir 108 juta (49 persen) dari total penduduk Indonesia.

Realitas ini semakin diperburuk kenyataan bahwa Dari 108 juta rakyat miskin yang hidup dibawah Rp. 19.000/hari, kaum perempuan menempati lebih dari setengahnya. PHK sepihak oleh berbagai industri manufaktur yang bangkrut mengorbankan angkatan kerja perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Antara bulan Februari 2005-2006, sebanyak 971.200 perempuan terlempar dari pasar kerja. Deindustrialisasi nasional juga menyebabkan terus meningkatnya angkatan kerja buruh migran perempuan hingga mencapai 72% dari jumlah laki-laki dalam 10 tahun ini, di mana setiap tahunnya Indonesia mengirimkan 400.000 buruh ke luar negeri tanpa ada status hukum dan perlindungan yang jelas. Tingginya angka pengangguran perempuan juga dimanfaatkan oleh bisnis prostitusi dan pornografi, termasuk peningkatan jumlah pelacur. Jumlah pelacur anak saja mencapai 30%, dan setiap tahun 100.000 anak diperdagangkan.

LIBERALISASI EKONOMI MEMASUNG KESEJAHTERAN PEKERJA KHUSUSNYA PEREMPUAN!

Jika ditelusuri jejak langkahnya, sejak tahun 1967 liberalisasi ekonomi telah sukses menciptakan kesenjangan ekonomi dan kemiskinan yang luar biasa. Liberalisasi ekonomi yang diperkenalkan oleh IMF paska krisis ekonomi tahun 1997, dan dijalankan oleh rejim Habibie lewat Letter Of Intent(LoI) adalah liberalisasi dalam derajat yang lebih massif dan agressif. Konsekuensi dari liberalisasi ini terutama terhadap kelas pekerja adalah: (1) serangan terhadap kesejahteraan kelas pekerja; salah satu komponen yang di potong oleh pemerintah (atas desakan pemodal) adalah upah pekerja. Hal ini yang menyebabkan politik upah murah warisan orde baru masih terus dipertahankan, dengan berbagai argumentasi yang tidak objektif. (2) pelembagaan sistem Kontrak dan Outsourcing ;Pemberlakuannya akan semakin melemahkan posisi kaum buruh dan menghilangkan hak-hak mendasar (normatif) kaum buruh seperti hak Cuti, jaminan upah layak, jam kerja, dan lain sebagainya. (3) melemahkan organisasi/serikat buruh dan pembentukan lembaga pengadilan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dalam sengketa hubungan industrial posisi serikat pekerja sebagai alat perjuangan di hilangkan dan kaum buruh dihadapkan mekanisme peradilan yang mempertemukan pengusaha dengan segenap kekuatannya berhadapan dengan pekerja yang sudah dilemahkan.

Lahirnya UU No.13 tahun 2003 (terlebih dalam drat rencana revisinya) adalah manifestasi dari upaya merestrukturisasi hubungan ekonomi-politik perburuhan agar fleksibel dengan kehendak liberalisasi ekonomi tersebut. Krisis kapitalisme telah memaksa negara-negara imperialis memperluas jangkauan kekuasaan modalnya, dan menambah kemampuan akumulasinya. Liberalisasi ekonomi bermakna (1) penghilangan batas-batas yang menghambat pergerakan modal untuk mengakumulasikan/ menumpukkan nilai baru untuk kemakmuran segelintir orang. Penghalang tersebut bisa saja ideologi (Nasionalisme, faham kerakyatan, ataupun Fundamentalisme), birokratisme(pajak, bea barang masuk/keluar), maupun peraturan perundang-undangan yang menghambat laju modal seperti UUPA 1960 yang dianggap bisa menguntungkan kaum tani. (2). Penghilangan tersebut juga akan bermakna pencaplokan lansung sumber daya alam/bahan baku untuk menopang industri kapitalis yang dililit krisis. Transfer bahan baku murah bukan lagi lewat pemerintahan nasional ataupun BUMNnya(karena sudah di privatisasi) tetapi lansung ke negara-negara induk imperialis yang membutuhkannya. (3). Karena bahan bakunya telah dirampas, serta BUMN yang dikuasai negara telah di obral negara kepada asing sehingga industri nasional sekarang tinggal ditangan borjuasi domestik. Pertanyaannya adalah apakah borjuasi domestik sanggup menghadapi korporasi asing (MNC/TNC)? TIDAK bisa karena borjuasi indonesia bukanlah borjuasi tangguh sehingga mereka pun tergulung dalam proses liberalisasi tersebut. Akibatnya de-industrialisasi nasional berujung pada PHK massal. (4) karena industri nasionalnya telah di lumat habis, dan profuktifitasnya dihambat maka rakyat indonesia telah dirubah sebagai pasar paling potensial. Apalagi kepribadian bangsa indonesia yang telah dirusak oleh orde baru menjadikan bangsa indonesia sepenuhnya konsumtif tetapi lemah produktifitas.

Kapitalisme telah melempar kaum perempuan dalam hubungan industri kapitalis sebagai buruh upahan. Dengan hanya 14,9% perempuan yang lulus SMA, dan 2,8% lulus Diploma dan Strata 1-3, maka 83% perempuan Indonesia hanya mengantongi ijazah SMP, SD atau malah tidak berijazah sama sekali alias tidak pernah sekolah. Selain putus sekolah akibat tidak mampu membayar biaya sekolah, motivasi anak-anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan juga dihambat oleh konservatisme keluarga yang patriarkis, dimana anak laki-laki yang harus diprioritaskan. Menurut Depdiknas, kawin usia muda kemudian menjadi pilihan para perempuan desa yang putus sekolah ini (5,13% tingkat SD dan 16,72% tingkat SMP). Dengan kualifikasi semacam ini, jangan harap kaum perempuan bisa memiliki kesetaraan posisi tawar di pasar tenaga kerja, baik dalam dan luar negeri. Lalu, pada saat yang bersamaan, para pengusaha dan pemerintah mengeluhkan rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja kita, dibandingkan buruh-buruh di Vietnam atau Cina, sebagai salah satu faktor yang membuat Indonesia tidak kompetitif. Di dalam negeri pun, 70% tenaga perempuan bekerja di sektor informal (44%-nya adalah pembantu rumah tangga), yang rendah keterampilan, minim upah serta tanpa perlindungan hukum. Didalam lingkungan pabrik kaum perempuanlah yang paling rentan mendapat perlakuan tidak adil dalam hal upah dan promosi jabatan, atau tindak kekerasan(violence) dan pelecehan seksual. Di sebuah pabrik Garmen di Jawa Tengah perempuan yang cuti melahirkan tidak di ijinkan lagi masuk kerja, dan kalaupun di ijinkan tidak memperoleh kesempatan untuk menyusui anaknya. Ini adalah gambaran bahwa neoliberalisme lebih menyerupai perbudakan(slavery) dijaman pra –kapitalisme.
Namun terhadap perempuan, serangan kebijakan neoliberlisme dirasa belum cukup. Budaya patriarki yang masih kuat berakar di berbagai komunitas, kelas sosial dan kelompok masyarakat, membuat tambahan beban yang tak kalah hebatnya. Kemiskinan, bagi perempuan, adalah hasil dari sebuah kerja sama erat antara strategi ekonomi penguasa dengan praktek patriarki dalam hidupnya sehari-hari.
“Habis Gelap Terbitlah Terang” Bangkitnya Perempuan Pekerja Harus Melawan!
Seolah-olah sudah menjadi takdir kaum perempuan untuk selalu menjadi masyarakat klas kedua; keberadaannya dalam lingkungan sosial masyarakat umum di nomorduakan oleh masih kuatnya budaya patriarkhi dan dalam hubungan produksi kapitalisme pun kaum perempuan masih sering mendapatkan diskriminasi. Namun tidak ada hukum sosial yang berlaku absolut dan tidak dapat dirubah, mungkin demikianlah keyakinan R.A Kartini sehingga menuliskan “habislah gelap terbitlah terang”. Kaum perempuan sebagai populasi yang jumlahnya cukup besar harus bangkit dari ketertindasannya dan menciptakan tatanan sosial yang lebih adil menempatkan kaum laki-laki dan perempuan setara, dan perempuan bisa memperoleh akses sosial ekonomi yang demokratis.

Penulis adalah aktivis Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND)

Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: Maret 2008

Kampus, Penerimaan Mahasiswa Baru dan Kualitas Pendidikan








Oktober 4, 2007

Oleh : Ulfa Ilyas

Sudah menjadi kebiasaan rutin kampus-kampus di Indonesia tiap tahunnya pada periode Juni-November di sibukkan dengan aktivitas penerimaan Mahasiswa baru. Berbagai selebaran, poster, booklet, spanduk, baliho, pengumuman di koran, Radio, televisi menjadi ajang sosialisasi sekaligus promosi bagi kampus-kampus tersebut untuk menggaet minat mahasiswa baru. Umumnya kampus negeri tidak terlalu disibukkan dengan kegiatan promosi tersebut karena berhitung peminat, kampus negeri masih menjadi harapan begitu banyak calon mahasiswa apalagi mitos lama kampus negeri sebagai “Kampus Murah”, dan “tempatnya orang-orang pintar”. Namun, nasib malang menimpa kampus swasta –terutama yang dikelolah oleh yayasan atau pemodal kere’—harus kerja keras melakukan promosi kemahasiswa baru karena kalau tidak maka peminatnya pun sepi.

Promosi adalah langkah yang bijak dalam teori ekonomi pasar, bagaimana penjual produk menawarkan produknya dengan serangkaian propoganda tentang keunggulan produknya di mata pembeli. Namun, terkadang promosi yang ditampilkan dalam bentuk selebaran, poster,spanduk dan famplet tersebut sangat bertolak-belakang dengan kenyataan di lapangan. Alih-alih membicarakan persoalan kualitas pendidikan di kampus-kampus di Kota Makassar, image orang masih di kuasai oleh pencitraan bahwa mahasiswa dan kampus makassar adalah sarangnya “para pendekar” bukan kaum intelektual. Image buruk ini sudah melekat kuat bahwa mahasiswa makassar rajin tawuran, lebih senang membawa badik(senjata khas bugis-makassar), kelewang, dan sejenisnya ketimbang membawa buku-buku dan peralatan belajar. Inilah ironi dalam penyambutan mahasiswa baru tahun ini?

KAMPUS, DAN KUALITAS INTELEKTUALITAS

Kampus sebagai lembaga pendidikan bertujuan untuk mencetak manusia-manusia intelek garda depan untuk menopang pembangunan nasional, posisi kampus sebagai pusat studi ilmiah tercantum dalam tri-dharma perguruan tinggi (pendidikan, Penelitian dan Pengabdian masyarakat). Kampus bukan hanya pusat belajar-mengajar tetapi lebih jauh merupakan lembaga riset dan praksis bagi problem-problem sosial di masyarakat, inilah yang membedakan kampus dengan lembaga pendidikan di bawahnya SD,SMP, dan SMU. Sedangkan mahasiswa sebagai salah satu lapisan sosial khusus dalam masyarakat dianggap sebagai cikal bakal yang akan menentukan masa depan bangsa, karena keistimewaan yang diperolehnya dari lembaga pendidikan kampus(baca; Intelektualitas). Agar ini bisa terwujud, maka interaksi sosial dalam kampus seharusnya mencerminkan kehidupan sosial yang ilmiah, demokratis dan kerakyatan( baca; bervisi untuk kepentingan rakyat).

Melihat hal diatas maka sangat susah menemukan bentuk interaksi sosial yang mencerminkan intelektualitas, pembentukan karakter, dan fungsi sosial dalam kehidupan kampus di makassar. Fenomena tawuran masih dominan terjadi diberbagai kampus di makassar bukan hanya kampus swasta ( Universitas “45” Makassar, STIEM Bongayya, Universitas Muslim Indonesia(UMI) Makassar, STIMIK Dipanegara, UKI-Paulus, Universitas Veteran-UVRI Makassar) tetapi juga menyeret kampus negeri (Universitas Negeri Makassar/UNM—dulu IKIP, dan IAIN Alauddin). Memahami fenomena sosial dalam kacamata teori sosial tidak hanya bisa disimpulkan sebagai persoalan missed-comunication tetapi juga harus diletakkan dalam konteks perkembangan sosial masyarakat. Fenomena perang, saling memusnahkan, saling menghancurkan, dan perebutan wilayah kekuasaan dengan mengadalkan otot/kekuatan fisik merupakan fase dalam perkembangan masyarakat feodal. Ini adalah ekspresi dari eksistensi penguasa-penguasa yang ingin menunjukkan kekuasaannya terhadap penguasa lain. Dalam kehidupan kampus ini tercermin dengan pembagian batas-batas fakultas, himpunan, jurusan, angkatan, organisasi, tempat tongkrongan dan lain-lain. Analisa ini semakin di kuatkan dengan wacana “orang-orang kampung” untuk menjelaskan latarbelakang mahasiswa-mahasiswa ini. mereka adalah orang-orang dari kampung dengan sentimen feodal yang masih kuat, masuk kedalam kultur kampus yang kultur demokrasinya tidak ada, malah menyuburkan pemikiran konservatif tersebut.

Di Makassar, sangat susah menemukan mahasiswa di angkutan kota(Angkot) membaca buku, atau berdiskusi dengan temannya dengan tema –tema ilmiah. Bahkan yang paling miris sekaligus memalukan adalah banyak mahasiswa yang sama sekali tidak membawa peralatan kuliah kekampus, dan banyak diantara mereka menghabiskan waktunya di kampus dengan bersenda gurau, atau hal-hal lain yang jauh dari nuansa akademis. Bagaimana membangun kultur ilmiah, demokratis dan modern dalam kehidupan lembaga pendidikan jika syarat-syarat materialnya tidak diciptakan. Dan anehnya lagi, munculnya organisasi alternatif (organisasi Gerakan Mahasiswa diluar kelompok Cipayung) yang mencoba mengembangkan wacana kritis di kampus justru dicap ilegal dan dimatikan, menjadi lahan subur menguatnya gejala anti intelektualitas.

MAHASISWA BARU, DAN HARAPAN MASA DEPAN.

Mahasiswa baru sebagai calon pendatang baru di dalam lingkungan sosial yang baru ini harus menghadapi beberapa tantangan diantara; (1) kehidupan sosial kampus yang tidak mengkondisikan lahirnya kaum intelektual, pemikir masa depan, dan memanusiakan manusia(Paulo Freire), (2). Sosialisasi dan booming promosi dari pihak kampus terkadang menutupi dan memanipulasi keadaan membuat mahasiswa baru bisa memiliki pilihan yang salah.(3). Problem pendidikan secara umum seperti persoalan Neoliberalisme dan anggaran pendidikan menjadi aspek yang justru luput dari pengetahuan calon mahasiswa baru, padahal aspek ini cukup luas cakupannya karena meliputi biaya pendidikan, kurikulum dan mutu pendidikan, dan orientasi pendidikan itu sendiri.

Menjamurnya sekolah-sekolah akademi, dan sekolah penyedia layanan pemberi keterampilan seperti lembaga kursus adalah gejala lain dari semakin merosotnya kualitas pendidikan secara umum di Sulawesi Selatan. Semakin banyak orang mengambil pilihan untuk memperoleh keterampilan, ijazah di lembaga profesi seperti LP3I, dan akademi kesehatan merupakan gejala merosotnya derajat keilmuan. Kenapa tidak, Universitas sebagai penyedia manusia dengan kualifikasi keilmuan(sains) semakin ditinggalkan dan semakin banyak lulusannya masuk dalam barisan pengangguran massal. Sedangkan perluasan investasi sebagai ekses pembukaan pintu bagi modal asing oleh proyek otonomi daerah membutuhkan tenaga kerja siap pakai (asal bisa mengoperasionalkan komputer, mengerti dasar-dasar pembukuan, dan pengetahuan dasar soal tekhnik—politeknik). Kondisi ini sangat berbahaya karena kondisi ini akan menyebabkan ketergantungan terhadap tekhnologi asing sedangkan kita tidak bisa menghasilkannya karena tidak punya ilmuan bermutu.

Mahasiswa baru, harus lebih kritis dalam memantapkan pilihan-pilihannya jika betul-betul punya cita-cita besar dalam dirinya untuk keluarga, daerah dan bangsa. Jika tidak, maka mereka akan terbawa arus pencitraan buruk kampus-kampus yang ada di makassar saat ini. terima kasih.***

Penulis adalah Aktivis Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi(LMND)

Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: Maret 2008

(EMPAT MATA) TUKUL; DAN TUBUH KAUM PEREMPUAN






Oktober 4, 2007

Oleh: Ulfa Ilyas

Dalam sekejap nama Tukul Arwana melejit menjadi artis/Presenter papan atas, lewat acara yang dipandunya “ Empat-Mata”. Beberapa kata-kata Tukul seperti “ ta’ sobek-sobek mulutmu”, “ Puas..Puas..Kamu”, “Katro”, “Ndeso” menjadi kata-kata yang begitu familiar di masyarakat. Tidak bisa di pungkiri bahwa kepiawaian(Kekocakan) Tukul Arwana dalam memandu acara ini menjadi faktor penting acara “ empat mata” masuk Reality Show dengan rating tertinggi. Tetapi di balik kesuksesan ini satu hal yang telah di lupakan, yang sekaligus menjadi kunci sukses Tukul dan Acara ini adalah persoalan “ Tubuh Perempuan”. Sejak dahulu persoalan tubuh perempuan telah menjadi perdebatan pokok gerakan perempuan. Dalam tatanan masyarakat patriarkis, konstruksi sosial budaya atas tubuh perempuan digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan dominasi laki-laki atas perempuan. Dominasi ini terlihat dari sikap masyarakat yang menempatkan seksualitas perempuan sebagai pemuas hasrat seksual laki-laki. Jadi, pusar perempuan menjadi masalah, tetapi pusar laki-laki dianggap biasa saja. Di sinilah bias jendernya! Begitu tukul menerima bintang tamu perempuan yang notabene artis-selebritis yang menarik/seksi(Kata mereka), maka perbincangan pun tidak jauh dari soal lekukan tubuh, dan persoalan ranjang. Dan kemudian disambut dengan ketawa-ketiwi penonton seperti orang kesurupan (huah..huah..puas..puass). Memang tingkah laku kocak tukul juga mempengaruhi ketawa-ketiwi penonton, tetapi bakat alami( Tukul) ini tidak mendongkrak popularitasnya ketika jadi pelawak di acara lainnya. Memang Orang-orang yang memuja patriarkhi adalah orang-orang “katro”, dan budayanya orang-orang “Ndeso”.

Kenapa membicarakan tubuh perempuan sangat menarik? tubuh yang dibicarakan pun hanya seputar pusar dan sekitarnya. Ada apa dengan organ tubuh perempuan ini? Apa bedanya dengan kaki, Tangan, telinga, telapak kaki, atau lainnya. Bagi masyarakat Indonesia yang masih di pengaruhi budaya feodalisme, perempuan hanya di tempatkan sebagai manusia kedua yang layak ditempatkan sebagai pelengkap; dan hal itu dipertegas dengan pandangan adat, budaya, dan ideologi yang diterima oleh masyarakat luas (rakyat jelata) yang harus bekerja keras dan membayar upeti dan tenaga kerja—misalnya untuk laki-laki dijadikan pasukan perang dan untuk perempuan dijadikan selir dan pembantu istana—diabdikan pada para tuan tanah, raja dan bangsawan, yang dibantu para pendeta dan pujangga-pujangganya sebagai pemasok kesadaran anti-kesetaraan melalui fatwa-fatwa dan seni-sastra. Yang lebih penting, masyarakat feodal-kolot adalah lahan subur bagi kebodohan massa rakyat dan minimnya teknologi yang membuat masyarakat tidak dapat berpikir secara objektif dan demokratis. Pandangan masyarakat dan landasan teori dalam melihat masalah sosial sepenuhnya dikuasai oleh kaum minoritas yang berada di sekitar keluarga bangsawan. Dalam konteks Indonesia muncul budaya cacat; yakni kita sekarang menginjakkan kaki di alam kapitalisme, tetapi karena kapitalisme yang masuk adalah kapitalisme cangkokan(kolonialisme) maka sisa-sisa budaya feodalisme masih sangat kuat. Inilah problem pokok yang dialami kaum perempuan Indonesia sekarang, sejak Kartini memulainya, hingga sekarang perjuangan melawan patriarkhi masih terus berlanjut termasuk menghadapi Negara yang telah turut men-sahkan patriarkhi dengan kebijakan Politiknya.

Sekali lagi persoalan tubuh perempuan telah menjadi komodit——-karena dari acara itu Tukul dan Trans TV mendapat keuntungan yang begitu besar. Memang ideology seksisme dalam kapitalisme telah menempatkan perempuan di hargai hanya karena daya tarik seksualnya, sisanya dilempar menjadi buruh-upahan dengan upah murah(dalam pabrik industri kapitalis). Dalam masyarakat yang menganut demokrasi seperti Indonesia, Kok perempuan masih terus di rugikan hanya karena kelaminnya? Persoalan tubuh perempuan terus menerus di persoalkan di negeri ini. Dulu RUU APP tentang Pornografi dan Pornoaksi, seolah-olah persoalan bangsa di sebabkan karena persoalan bagaimana kaum perempuan berpakaian sehingga (Negara) harus mengaturnya. Dengan kata lain, bila perempuan Indonesia baik-baik (tidak pakai pakaian terbuka/seksi serta tank top dan tidak tampil di majalah playboy), maka, moral bangsa dan agama akan terjaga dengan baik. Apa buktinya? Omong KOSONG! Di Negara –negara di mana kaum perempuan seluruh badannya di tutupi tingkat pemerkosaan, pelecehan seks, dan trafficking justru sangat tinggi. Berapa banyak TKW kita yang telah menjadi korban pelecehan seksual, dan pemerkosaan di Negara-negara Arab?

Andrea Dworkin menulis buku Pornography: Men Possessing Women pada tahun 1981. Di buku tersebut ia mendefinisikan pornografi sebagai alat bagi laki-laki untuk menguasai perempuan. Ia ber-argumen bahwa pornografi bukan hanya persoalan seks akan tetapi lebih pada persoalan dominasi dan kekerasan laki-laki. Baginya, pornografi merupakan isu feminis. Bagi feminis Libertarian memang tidak ada salahnya membicarakan persoalan seks secara terbuka, bahkan kaum perempuan berhak untuk memiliki fantasi seksual seliar mungkin karena itu bentuk perlawanan terhadap hasrat seksualitas perempuan yang terefresi oleh norma-norma yang kaku. Sehingga kaum feminis libertarian mengejek kaum Feminis yang menuntut pembatasan terhadap publikasi fornografi sebagai kelompok perempuan yang ingin di sebut “Perempuan Baik-Baik”.

Dalam hal ini perempuan klas atas, selebriti yang di untungkan oleh system komoditi merasa sama sekali tidak di rugikan dengan perbincangan soal- tubuh perempuan, atau tentang hubungan seks tanpa cinta. Sangat beda dengan perempuan klas bawah yang telah diskreditkan, dicap “tidak bermoral”, bahkan ungkapan seperti Jablai semakin merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan.

Write your body! Stop eksploitasi Tubuh Perempuan


Jika kita mengakui perjungan R.A Kartini maka kita harus menghargai nila-nilai yang diperjuangkan Kartini, sejak dulu beliau memperjuangkan hak kesetaraan kaum perempuan dan laki-laki dalam semua aspek kehidupan ( Pendidikan, Politik, sosial, budaya, termasuk dalam media). Write Your Body! Teriak Aktivis –aktivis feminis sekarang, saatnya kaum perempuan melakukan interpretasi terhadap tubuhnya sendiri. Seks, tubuh, dan sensualitas merupakan eskpresi kebebasan intelektual yang tidak mengandung bahaya apapun. Dalam kasus “ Empat Mata; Tukul Arwana” itu hanyalah salah satu contoh bagaimana adegan patriarkhal menjadi tontonan menarik, mungkin kesimpulan yang di ambil penulis sangatlah cupet, tetapi sesempit apapun bentuk penindasan terhadap kaum perempuan itu harus di suarakan karena jika tidak ini akan menjadi pembenaran terus-menerus. Tayangan-tayangan berbau religi pun sebenarnya kental dengan stereotype perempuan sebagai makhluk lemah, tidak berdaya, dan biang pengumbar Nafsu, jadi setiap lelaki harus mempertebal keimanannya untuk mencegah rayuan perempuan.
Seksisme tidak bisa di pisahkan dari praktek kapitalisme, sehingga adalah mustahil menghilangkan ideology dalam susunan masyarakat kapitalis. Dalam pengertian ini bisa di ambil kesimpulan bahwa perjuangan perempuan membebaskan dirinya tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa dipisahkan, dengan perjuangan gerakan sosial secara umum. Di bawah pemerintahan SBY-JK kita tidak menemukan perbaikan-perbaikan dalam persoalan hak-hak kaum perempuan.

Ulfa Ilyas:Peneliti di Lingkar Study Perempuan(LSP), Anggota Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokarsi (LMND).

Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: Maret 2008

Habis Gelap Terbit “Suram”; Nasib Pekerja Indonesia







Oktober 4, 2007

Oleh : Ulfa ILyas

SEOLAH-OLAH sudah menjadi takdir klas pekerja di Indonesia, bahwa kemiskinan dan tekanan hidup sudah menjadi hukum alam yang tidak bisa di ubah. Setelah kaum pekerja berhasil menahan upaya revisi UU Ketenagakerjaan yang sangat merugikan buruh, pemerintah kembali bermanuver lain, dengan menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai berbagai klausul kontroversial dalam UU No 13/2003 yang masih menjadi pokok sengketa antara buruh dan pengusaha. Pemerintah dan DPR yakin bahwa keluarnya RPP ini bisa mengatasi kemacetan dalam implementasi UU ketenagakerjaan. Paket rancangan tersebut berisi dua judul RPP. Pertama, RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak. Kedua, RPP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK).

Kembali sebuah logika terbalik di jadikan alasan pembahasan klausul perundanga-undangan perburuhan untuk memanipulasi dan menipu buruh agar menerima paket-paket liberalisasi sektor perburuhan. Bahwa pemerintah mencoba menyelesaikan beberapa klaususl tersebut hanya dengan merubah redaksi, tetapi sama sekali tidak menyentuh problem pokoknya. Sangat jelas bahwa dalam UU Ketenagakerjaan ada dua semangat yang sangat di tentang oleh kaum buruh yakni Sistem kontrak dan Outsourcing. Ketika persoalan fundamental ini tidak di selesaikan, maka bagaimanapun klausul yang di tawarkan oleh pemerinatah tidak akan menyelesaikan masalah. Erman Suparno, menteri tenaga kerja dan Transmigrasi menganggap bahwa RPP pesangon dan RPP Jaminan PHK ini adalah modal plus bagi hak-hak buruh selain hak buruh yang sebelumnya di jamin: Selain jaminan kesehatan, kecelakaan, hari tua, dan kematian.

Memang sungguh hal miris, bahwa masih ada sekitar 60 ribu kasus pemutusan hubungan kerja(PHK) dengan nilai pesangon sekitar 500 Milyar rupiah, sampai saat ini belum diselesaikan. Tentunya ini adalah sebuah realitas yang tidak bisa di tutupi, dan butuh tindakan darurat untuk memberikan jaminan hukum dan mobilisasi anggaran hingga pekerja terpastikan menerima hak-hakanya tersebut.

Deregulasi Untuk reformasi system Perburuhan Indonesia

Secara umum perdebatan yang mengemuka antara beberapa Aliansi serikat Pekerja (terutama serikat buruh kuning) dengan pemerintah bertitik pada beberapa problem mendasar dalam Rancangan RPP itu, antara lain: soal premi 3 % yang ditawarkan oleh pemerintah (dan merupakan posisi mutlak Asosiasi Pengusaha) dan persoalan patokan perhituangan pesangon ditetapkan batas atas gaji yang menjadi faktor pengkali jumlah pesangon sebesar lima kali pendapatan tidak kena pajak (PTKP), yang saat ini sebesar Rp 1,1 juta. Artinya, gaji maksimal pekerja yang dijamin pesangonnya, hanya Rp 5,5 juta per bulan. Serikat pekerja melihat bahwa dengan patokan Rp.5,5 juta maka RPP ini diskriminatif karena otomatis pekerja yang berpendapatan diatas gaji tersebut tidak akan memperoleh jaminan. Disisi lain, Erman Suparno, mewakili pemerintah beranggapan bahwa dengan patokan Rp.5,5 Juta itu sebenarnya tidak terlalu berpengaruh ke mayoritas pekerja karena dari total jumlah pekerja Dari 27 juta tenaga kerja, terdapat 99% pekerja yang berpenghasilan di bawah 5 kali PTKP (Rp. 5,5 juta) sedangkan yang berpendapatan di atas lebih kecil.

Esensi perdebatan ini sebenarnya tidak menyentuh asal –muasal dan kepentingan pokok yang ingin di targetkan pemerintah sebagai kelanjutan dari reformasi perburuhan agar mengikuti standar yang di inginkan oleh investor (pemilik Modal). Apa sebenarnya yang menjadi kehendak pemodal dan pemerintah dalam pembahasan RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak dan RPP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK). (1) Melestarikan sistem Kontrak dan Outsorcing. Kenapa? tuntutan perombakan sistem perburuhan seperti yang dikehendaki pemilik modal(investor) adalah sesuatu yang tidak bisa di tunda-tunda lagi (baca; dikompromikan), sehingga harus di cari jalan untuk memaksakan sistem kontrak dan outsourcing tetap menjadi pilihan penguasaha. Dengan adanya jaminan pesangon, dan bahwa logika “Makin lama bekerja makin banyak gajinya” membuat buruh tidak teralalu pusing dengan status pekerjaannya (kontrak). (2). Di masa yang akan datang, Pemutusan hubungan kerja(PHK) akan semakin massif dengan berbagai alasan oleh pengusaha, dan bagi buruh setelah di PHK mereka mendapat jaminan mendapatkan pesangon. Sebenarnya ini hanyalah politik pengusaha dan pemerintah untuk melemahkan posisi buruh di tempat kerjanya (organisasi unit kerja) karena massifnya PHK, karena dengan PHK dan di topang outsourcing maka pengusaha bisa secara sepihak bisa menekan buruh dalam persolan upah, dan hak-hak normatif lainnya. (3). Bahwa kedua RPP, ini hanya bentuk lain dari revisi UU Ketenagakerjaan yang sudah di rubah bentuknya namun tidak menghilangkan substansi dan tujuan semulanya. (4) ini bisa di curigai strategi pemerintah untuk menghimpun dana tambahan dari masyarakat (utamanya pekerja) yang sebenarnya harus di simpan untuk jaminan hari tua/atau setelah di PHK, di sedot untuk di spekulasikan di bursa saham. Karena dalam prosesanya bentuknya bukan asuransi tetapi cenderung dalam bentuk reksadana.

Metode legislasi Kebijakan yang berulang-ulang

Metode yang di tempuh pemerintah, DPR dan pengusaha ini bukanlah “modus operandi” yang sama sekali baru, tetapi sudah berulangkali dilakukan. Kebijakan pemerintah yang dianggap mendesak oleh mereka, namun mendapat perlawan luas dari massa rakyat akan seolah-olah di hentikan, di rubah, dai modifikasi kemudian lahir kebijakan baru yang bentuknya di pecah-pecah agar tidak kasat mata di lihat kaum pekerja. SUDAH jelas bahwa RPP pesangon yang ditetapkan oleh Parlemen tersebut sama sekali tidak menjawab problem mendasar dari pekerja. Kalaupun RPP itu menjamin hak-hak pekerja untuk mendapat pesaangon sesuai dengan ketentuan pendapatan tidak kena pajak (PTKP), tetapi dilapaangan praktek UU itu tidak mampu memaksa pengusaha yang melanggar ketentuan tersebut. dalam ketentuan penerapan Upah Minimum Propinsi saja misalnya, masih banyak perusahaan yang melanggar dan membayar di bawah standar namun karena berbagai alasan irasional, pemerintah seolah-olah membiarkannya. Disamping itu, ada celah yang tersedia di RPP ini bahwa tanggung jawab membayar pesangon bukan lagi tanggung jawab pengusaha bersangkutan tetapi bisa di alihkan ke perusahaan asuransi.

Sebenarnya jikalau pemerintah ingin memberikan perlindungan terhadap pekerja, termasuk berbagai kasus PHK yang upahnya belum dibayarkan (menurut menakertrans) maka persoalan fundamentalnya adalah merombak regulasi perburuhan kita dengan tidak mengijinkan sistem Kontrak, outsourcing, membuat aturan yang melarang PHK, dan tidak mendiskreditkan serikat buruh—utamanya serikat buruh radikal. Tidak ada lagi diskriminasi antara sektor formal dan informal, dan pemerintah mestinya lebih berpihak kepada buruh dalam persoalan industrial. Pemerintah harus tegas dan berdaulat dalam menghadapi dan menekan perusahaan yang seenaknya saja memasukkan dan memindahkan investasi dari indonesia keluar.

Cukup sudah alasan investasi, dijadikan tameng untuk melepaskan gandul yang akan memukul lonceng kematian kaum buruh, karena tanpa klas pekerja sebenarnya negara tidak ada apa-apanya.

Penulis adalah Aktifis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHM) dan Aktivis Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi.

Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: Maret 2008

Menakar Kualitas Demokrasi Dalam Pilkada Sulawesi Selatan










Oktober 4, 2007

Oleh : Ulfa Ilyas


Pemilihan Kepala Daerah Gubernur Sulawesi-Selatan sebentar lagi akan digelar. Berbagai macam Partai-partai politik yang akan bertarung nanti, telah menyiapkan calonnya untuk didaftarkan dalam pemilihan Kepala Daerah periode ini. Berbeda dengan pemerintahan otoriter yang ada pada masa soeharto(masa Orde Baru) yaitu Sentralisasi Kekuasaan, dimana kepala daerah pada masa itu ditunjuk, diangkat dan dipilih langsung oleh pemerintah pusat (presiden). Pilkada harus diletakkan dalam kerangka sebagai proses maju dalam proses politik demokrasi di Indonesia, terlepas dari sana-sini masih begitu banyak kelemahan dan kekurangan. Namun, seperti yang ditakutkan oleh banyak bahwa proses demokratik ini bisa di bajak oleh elit politik oportunis yang memainkan posisinya sebagai raja-raja lokal.

Seiring dengan ditetapkannya dan disahkannya UU Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah mengenai proses Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung(baca; Pilkada Langsung), sejak bulan Juni tahun 2005 kemarin berbagai daerah-daerah yang ada di Indonesia telah banyak melakukan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Dilihat dari Proses Pilkada di daerah-daerah yang sudah dilaksanakan ternyata begitu banyak kecurangan-kecuranganyang terjadi seperti maraknya praktik-praktik money politik oleh calon dan jauh sebelum pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung praktik money politik sudah banyak terjadi di berbagai-bagai tempat. Pasangan calon harus mengeluarkan uang yang banyak dan begitu besar untuk sekedar “menjadi calon” mengeluarkan uang untuk partainya, konstituen, broker-broker politik lokal, sebagai uang suap agar memilih pasangan calon tersebut.

Yang sangat ekstrem adalah pandangan yang menganggap hal lumrah pelanggaran-pelanggaran seperti money Politik, Kampanye terselubung, curi star, mempergunakan jalur birokrasi dan black Kampanye. Padahal sistem demokrasi mengisyaratkan bahwa peningkatan kualitas demokrasi hanya akan mungkin jika kompetisi para kandidat bisa berjalan dengan objektif—dalam pengertian bahwa biarkan rakyat yang akan memilih.

Mengutip Muhammad Asfar dalam artikelnya berjudul ( Pilkada langsung dan masa depan demokrasi) “Dalam suatu pemerintahan dimana para pejabat publik dipilih secara langsung oleh rakyat, penyelenggaraan pemerintahan haruslah dilakukan oleh pemerintah yang representatif (representatif goverment). Jadi dalam suatu pemerintahan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, pemerintahan daerah haruslah yang representatif. Representatif goverment adalah suatu penyelenggaran pemerintahan yang dicirikan setidaknya ada tiga karakteristik. Pertama, responsive terhadap aspirasi masyarakat, kedua, mampu mengartikulasikan isu-isu, program dan janji-janji partai politik dalam pemilu (kampanye) menjadi kebijakan publik, ketiga, akuntabel. Dalam hal ini penyelenggaraan pemerintahan pemilihan kepala daerah haruslah mendengar semua aspirasi-aspirasi masyarakat, menawarkan program-program dan isu-isu untuk kesejahteraan rakyat dan bukan hanya untuk sekedar hanya janji-janji semata.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN : PILKADA

Seperti telah dipahami bersama bahwa dengan digantikannya UU Nomor 22 tahun 1999 dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka proses perbaikan dalam politik lokal tengah berlangsung. Saat disahkannya UU Nomor 32 tahun 2004 ini oleh DPR-RI itu sangat mengundang polemik dan begitu banyak tentangan-tentangan mengenai proses penyusunan aturan hukum pilkada langsung dalam UU Nomor 32 tahun 2004 yang kurang transparan dan tidak melibatkan publik secara luas.

Dalam proses Pemilihan kepala daerah(Pilkada) di berbagai daerah-daerah dapat kita lihat ada begitu banyak kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya, pertama, bahwa pilkada bisa mendorong partisipasi politik rakyat, karena jaman orde baru rakyat tidak bisa terlibat langsung dalam partisipasi politik pilkada karena adanya sentralisasi kekuasaan. Kedua, Antara rakyat dengan calon ada kedekatan secara politik (“masih bisa diperdebatkan karena mekanisme pencalonan yang tidak partisipatif/mengakar”). Jika dibandingkan dengan model penunjukan lansung jaman Orde Baru maka bisa dikatakan interaksi calon dengan massa pendukung lebih kuat. Ketiga menjadi proses pendidikan politik bagi rakyat, mobilisasi-mobilisasi massa akan membangkitkan kesadaran berpolitik dan berdemokrasi. Sangat salah pandangan yang melihat mobilisasi-mobilisasi umum, dan rapat-rapat akbar sebagai sesuatu hal yang negatif, sistem demokrasi manapun mengakui saluran politik aksi massa sebagai sebuat metode demokratis penyampaian aspirasi.

Adapun kekurangan-kekurangan dalam proses pemilihan kepala daerah, pertama, mekanisme pencalonan yang kurang transparan, tidak demokratis dan kadang menjadi alat monopoli partai politik. Kedua, masih lemahnya kontrol rakyat dalam proses pilkada, rakyat hanya dijadikan sebagai kekuatan mobilisasi untuk partai politik tertentu. Ketiga, masih terjadinya praktik money politik, penggelembungan suara dan pemanfaatan struktur birokrasi unutk memenangkan calon tertentu. Keempat, masih kuatnya kultur primordialisme dan etnisitas sehingga cenderung pemilih kurang rasional dalam menentukan pilihan karena terjebak oleh simbol-simbol primordialisme. Kelima, kurangnya sosialisasi secara massa pada masyarakat tentang calon, program-program, dan syarat-syarat pemlih. Keenam, undang-undang pilkada dan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah belum memberikan kesempatan bagi calon independen yang didukung oleh organisasi-organisasi massa sehingga pemilihan kepala daerah menjadi pertarungan politik bagi partai-partai korup.

PILKADA SULSEL; DEMOKRASI VERSUS PRIMORDIALISME

Melihat aroma pertarungan politik menjelang pelaksanaan pilkada sulawesi selatan, bentuk-bentuk lama dalam mobilisasi dukungan seperti pemanfaatan jabatan, kekayaan dan money politik, dan terutama pendekatan primordialisme masih sangat kental. Bisa dilihat dari beberapa nama yang sudah muncul mewakili blok-blok etnisitas yang ada di sulawesi selatan seperti Syahrul Y Limpo (mewakili Etnis Makassar, Gowa, takalar, jeneponto, bantaeng) Amin Syam (mewakili etnis Bugis—Bone, Wajo, dan lain-lain), Abdul Azis Kahar Musakkar (mewakili etnis Luwu dan sekitarnya). Untuk proyeksi politik dalam pertarungan pilkada ini kelihatannya masih kental dengan kepentingan elit politik lokal untuk memperebutkan porsi kekuasaan yang lebih tinggi di daerah yang dikenal dengan kekayaan alamnya ini.

Memang, calon-calon tersebut memiliki basis politik dalam pengertian bahwa mereka didukung oleh partai-partai dan organisasi kemasyarakatan tertentu. Meskipun pendukung (baca; Keanggotaan Partai) melampaui batas-batas etnisitas, agama, daerah, dan lain-lain namun kepentingan elit partai sungguh fragmentatif sehingga menyulut perpecahan/konflik di internal partai. Partai kemudian tidak berdaya berhadapan dengan batas-batas primordialisme yang begitu kental tersebut, belum lagi kualitas elit politik dalam partai memang kapasitas sangat rendah.

Dan kemunculan calon independen (kalaupun dibolehkan oleh Judicial Review MK) tidak akan merubah konfigurasi politik tersebut. Malah jika tidak didukung oleh organisasi massa yang plural dan demokratis, maka wacana calon independen hanya akan menyuburkan hubungan patron-klien. Dan saya pikir ini semakin mengarah pada jalan berkuasanya raja-raja kecil di daerah diatas dukungan pemilih yang tidak rasional.***

(Penulis adalah aktivis Lingkar Study Perempuan(LSP), Aktivis Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi(LMND

Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: Maret 2008

Kekalahan Para Perempuan di Gelanggang Pilkada



Maret 4, 2008

Oleh: Ulfa Ilyas

Persoalan-persoalan yang dirasakan oleh perempuan, hingga saat ini, disadari sebagian besar karena faktor-faktor ekonomi-politik. Kekerasan terhadap perempuan, perdagangan perempuan (tracficking), kemiskinan, pelacuran, dan banyak lagi, merupakan persoalan yang sangat politis bahkan ideology (baca; patriarkhi). Mayoritas gerakan perempuan, terutama dari lapisan terdidik klas menengah keatas yang sudah mengenyam pendidikan merasa perlu ada sebuah Affirmatif Action dalam bidang politik yang memberikan ruang bagi perempuan membicarakan hak-hak dan tuntutannya. Sehingga, tuntutan perempuan terlibat luas dalam gelanggang politik merupakan bentuk tindakan konkret gerakan perempuan untuk membebaskan dirinya.

Bagaimana kiprah perempuan dalam gelanggang politik?

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi lapangan pertarungan, sekaligus ruang (kesempatan) yang luas bagi perempuan untuk mengaktualisasikan perjuangan politiknya, program-programnya, dan tuntutan-tuntutannya. Apalagi dengan mekanisme pemilihan langsung gerakan perempuan menganggap peluang ini semakin mudah, tinggal bagaimana mengasah kesanggupan (capable) dan logistic untuk bisa bertarung dalam arena. Namun dari sinilah problemnya, dari berbagai proses pemilihan kepala daerah yang berlangsung sangat sedikit kaum perempuan yang berhasil memenangkan pertarungan. Hingga saat ini, hanya Ratu Atut Chosiyah, yang saat ini menjabat gubernur Banten, yang berhasil memenangkan pertarungan tersebut (11/06). Dalam putaran pertama pilkada tahun 2005 (Propinsi dan Kab/kota) yang berlangsung 160 daerah pemilihan, hanya 6 perempuan yang menang menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah. Menurut Lembaga Survey Indonesia (LSI); hingga akhir desember 2006, dari 296 kali pilkada yang dilangsungkan, hanya ada 61 (20,6%) daerah yang tercatat ada kandidat perempuan. Dari 38 Pilkada yang berlangsung tahun 2007, hampir tidak ada calon perempuan yang menang.

Faktor Penghambat Perempuan dalam Gelanggang Politik

Azzan Karam(1991), pernah melakukan penelitian di sejumlah Negara untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat keterwakilan perempuan dalam politik. Dalam peneletiannya, Karam menyimpulkan bahwa bukan hanya faktor-faktor seperti kemiskinan, tingkat pendidikan, dan kesanggupan logistic yang menghambat perempuan terjun dalam dunia politik, tetapi juga ada faktor ideologis yakni patriarkhi. Dunia politik masih diasosiasikan sebagai “dunia laki-laki”, dimana kaum perempuan tidak pantas terlibat di dalamnya. Dalam masyarakat Indonesia, masih terpatri dengan kuat pandangan bahwa “perempuan yang baik adalah perempuan yang tinggal dalam rumah; melayani suami dan mendidik anak.” Gambaran-gambaran masyarakat yang patriarkhis ini menjelma dalam kehidupan ekonomi-politik, termasuk dalam system politik-pemerintahan. Hal ini, masih nampak jelas dalam dinamika politik nasional yang masih sering tarik-menarik soal partisipasi perempuan dalam kehidupan politik. Kendati, ada wacana dari berbagai partai politik untuk membuka kesempatan bagi kaum perempuan duduk dalam kepengurusan partai, menjadi kandidat, dan sebagainya. Namun, kebanyakan itu hanya maneuver atau boleh dikatakan sebagai “kedok” semata, untuk memanipulasi suara perempuan masuk kedalam partainya. Pada kenyataannya, jajaran kepengurusan partai-partai baik nasionalis, maupun yang bertendensi agama, masih sangat sedikit mengakomodir perempuan dalam jabatan strategis. Dalam isu “keterwakilan 30% Perempuan dalam parlemen” saja, partai-politik masih belum memperlihatkan niatnya yang jelas dan tegas untuk mendukung.

Di pilkada Jawah Tengah, Poppy Dharsono tersungkur dari pencalonannya lewat kendaraan PKB, karena ada wacana di PKB Jawa Tengah yang lebih memilih “calon yang kuat dan tegas”. Dalam Pilkada Aceh, ada 2 perempuan yang mendaftarkan diri sebagai calon, namun kedua-duanya di gugurkan karena alasan administrative. Di Kutai Timur, Kalimantan Timur, Sitti Nur Aeni, tetap semangat maju dalam pencalonan pilkada kendati dukungannya hanya datang dari PBB yang notabene tidak memiliki kursi di DPRD. Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dua kandidat perempuan yakni; Hj Daris Susilawati dan Hj Norhayati MT, kedua-duanya dikenal sebagai aktivis perempuan, belum mendapatkan kendaraan politik yang real untuk maju dalam Pilkada.

Dari uraian diatas, jelas bahwa hambatan terberat bagi perempuan dalam pilkada bukanlah faktor kesanggupan, karena rata-rata kandidat perempuan punya kemampuan dan kredibilitas bersih, akan tetapi mereka tidak mendapatkan ruang (kendaraan politik) dari parpol. Kebanyakan parpol masih menjadikan wacana “pemimpin kuat, tegas, dan berani” sebagai pilihan mereka, bukan kepada kemampuan, kapasitas, program dan visinya.

Perombakan Parpol dan kemungkinan Calon Perseorangan.

Kelihatan jelas bahwa hambatan terbesar bagi perempuan dalam bertarung di Pilkada adalah system kepartaian kita yang memang masih tidak mengakomodir perempuan. Kinerja partai yang buruk, serta mentalitas orang didalamnya yang bobrok, tidak sanggup menciptakan sebuah aturan main (ruler game) yang fair. Padahal, diantara mereka, kaum perempuan yang mendaftarkan diri dalam proses pencalonan pilkada, punya konsep dan program yang bagus, ditambah komitmen kerakyatan yang pantas untuk di uji. Poppy Dharsono misalnya, mengusung program pendidikan dan kesehatan gratis, ekonomi kerakyatan, kesetaraan gender, ekologis, dan sebagainya, namun harus meminum pil pahit karena system kepartaian yang tidak bersih, tidak demokratis, tidak sehat, dan patriarkhis.

Di tengah merebaknya kebusukan dan ketidakberesan partai-politik, wacana calon perseorang (independent) seharusnya menjadi lokomotif alternative bagi berjalannya system demokrasi dinegara ini, termasuk mengakomodir partisipasi perempuan. Jika, pemerintah dan DPR memang berpihak kepada demokrasi dan hak perempuan, semestinya mereka menjadi kekuatan utama yang mendorong pengesahan calon perseorangan. Namun kelihatannya, wacana calon perseorangan pun tinggal wacana, tanpa realisasi, karena parpol dan pemerintah begitu hebat membendung wacana ini untuk tidak terealisasi, setidaknya hingga tahun 2009. Sekali lagi, system politik Indonesia menjadi hambatan bagi tegaknya hak-hak kaum perempuan. Selamat hari perempuan internasional.

***

Penulis adalah Aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Jakarta Pusat

Artikel ini pernah dimuat harian KOMPAS, tanggal 3 Maret 2008, di Rubrik Teropong

Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: Maret 2008

Gerakan Mahasiswa; Perjuangan Politik Yang Malu-Malu.



Februari 12, 2008

Oleh: Ulfa Ilyas

Gerakan mahasiswa—dengan tidak menafikan kelebihan dan kelemahannya, telah menjadi salah satu kekuatan signifikan dalam konteks perubahan ekonomi-politik di Indonesia. Beberapa proses politik kekuasaan di Indonesia tidak terlepas dari buah tangan gerakan mahasiswa, baik dalam aktifitas lansung maupun dengan bentuk-bentuk solidaritas. Agaknya, dalam membicarakan gerakan mahasiswa Indonesia perlu di lihat konteks sosial-histori (baca; kurun sejarah) dan dinamika politik yang membentuknya. Karena gerakan mahasiswa secara objektif digerakkan oleh kondisi-kondisi material baik dalam lingkungan sosial kampus, maupun lingkungan ekonomi –politik sekitarnya yang menyesaki dada para mahasiswa. Maka, sudah seharusnya pilihan tindakan yang diambil merupakan ukuran-ukuran politis dalam kaitan dengan Negara (State). Penjelasan ini sekaligus membenarkan kesimpulan bahwa sebenarnya sejak awal gerakan mahasiswa Indonesia sudah mengambil bentuk perjuangan politik. Kalaupun ada periodeisasi terhadap gerakan mahasiswa, itu hanya dalam kepentingan seberapa jauh dan mendalam pengaruh tindakan politik mahasiswa mempengaruhi struktur kekuasan politik yang menindas.

Setidaknya, tindakan-tindakan yang merendahkan perjuangan mahasiswa dalam batasan-batasan perjuangan moral ataupun semacam reaksi spontan terhadap keadaan adalah sebuah pandangan ahistoris, dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Demikian pula, dengan upaya-upaya untuk membatasi perjuangan-perjuangan politik mahasiswa hanya sebagai agen koreksi, atau ekstra-parlemen ansich, hanyalah sebuah bentuk pengkhianatan besar terhadap proses perjuangan mahasiswa Indonesia. kami (LMND) sudah sejak awal menegaskan dan memposisikan perjuangan politik sebagai bentuk perjuangan pokok gerakan mahasiswa Indonesia untuk saat ini.

Memaknai Perjuangan Politik Mahasiswa!

Perjuangan politik sebagai bentuk pokok bermaksud menjelaskan bahwa semua bentuk-bentuk perlawanan sporadis, spontan, ekonomis, dan sektoral sekalipun harus bermuara pada bentuk perjuangan politik. Perjuangan –perjuangan dalam perhitungan masih rendah, masih awal, dan ekonomis sudah harus diberi perspektif politik yakni pergantian system ekonomi-politik yang menindas dengan bangunan ekonomi-politik baru yang berkarakter; Demokrasi-Kerakyatan. Perjuangan politik dengan demikian memberi pengertian sebagai upaya dari massa mahasiswa yang sudah terpolitisasi dengan beraliansi dengan klas-klas tertindas yang lain untuk menghancurkan bentuk ekonomi-politik yang menindas dengan system ekonomi-politik yang baru. Dengan ukuran-ukuran seperti ini, maka bentuk perjuangan politik mencerminkan kontradiksi tajam antara- klas-klas sesuai dengan tahapan perjuangannya. Masing- masing klas yang eksis menemukan saluran mengekspresikan kepentingan ekonomisnya lewat perjuangan politik, mengingat bangunan supra-struktur yang bernama Negara merupakan cerminan dari basis struktur yang melahirkan klas-klas. Klas borjuis dengan sadar memahami bahwa kekuasaan politik akan menjadi instrument mengawetkan posisi klas berkuasa secara ekonomi, dan memudahkan dalam proses akumulasi capitalnya.

Kesadaran massa memang berangkat dari bentuk kesadaran yang paling rendah; awalnya berwujud kebencian tertentu terhadap individu borjuis, kemudian lewat pengalaman sosial, menyadari bahwa ada kepentingan yang berbeda antara dirinya dengan klas borjuis yang ada. Lompatan kemajuan dalam kesadaran massa sangat di tentukan oleh gambaran-gambaran material yang terekam dalam ingatan, pengalaman-pengalaman perjuangan, dan masukan-masukan berupa agitasi-propoganda kaum revolusioner. Namun kesadaran sendiri bukan sesuatu yang statis (baca;absolute) tetapi merupakan konsep yang sangat dinamis bergerak dengan hukum perkembangan sosial dan perjuangan klas. Sehingga, dalam perjuangan politik, tingkat-tingkat kesadaran hanyalah merupakan bentuk penyesuaian kebutuhan agitasi-propoganda yang tempat untuk mempercepat proses penyadaran. Jadi bukan maksud memberikan tahapanisasi dalam perjuangan, tetapi bagaimana memanfaatkan kapasitas pengetahuan dan kesadaran diolah untuk tujuan-tujuan yang lebih tinggi.

Dalam situasi normal klas-klas tertindas akan dengan mudah terpengaruh dan terbawa dalam hegeomini ideology klas borjuis. Namun, segalanya akan cepat berubah jika situasi ekonomi-politik menunjukkan gejala tidak seimbang, klas pekerja pun mengalami kegoyahan dengan ikatannya dengan klas berkuasa. Ketika kesadaran massa masih didominasi oleh pemikiran-pemikiran borjuis, maka gerakan revolusioner dibenarkan untuk selalu mengambil bentuk perjuangan apapun (moderat dan radikal) untuk menyingkirkan dominasi faham klas borjuis di tengah massa. Teori Marxisme mengajarkan bahwa politik adalah arena perjuangan kepentingan semua klas-klas sosial. Dengan demikian, politik merupakan kutub yang menjadi pusat pertarungan, semua kekuatan-kekuatan klas. Menghindari ruang politik sama saja dengan menghindari kepentingan klas-klas tertindas memperjuangkan kepentingan klasnya. Ini sangat erat berhungan dengan pendapat Marx Dalam The German Ideology diterangkan bahwa tahap pertama revolusi komunis adalah pengambilalihan kekuasaan politik oleh proletariat. Lebih jelasnya:

“setiap kelas yang ingin menegakkan dominasinya atau juga pada saat kaum proletariat sudah mendominasi dan hendak menghapuskan masyarakat lama secara keseluruhan segala bentuk dominasi pada umumnya, sebelum semuanya itu dicapai maka yang pertama-tama harus dilakukan adalah merebut kekuasaan politik”.

Penulis Adalah Aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)

Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: Maret 2008

Republik Di Ujung Tanduk: Saatnya Kaum Muda Memimpin!



Oktober 13, 2007

Oleh : Ulfa Ilyas


“Dalam sejarah modern kita selamanya Angkatan Muda menjadi motor perubahan ke arah yang lebih maju, kecuali angkatan 66.”

(Pramudya Ananta Toer)

Sejarah telah membuktikan bahwa kaum muda selalu menjadi motor perubahan, di berbagai belahan dunia, kaum muda muncul sebagai kekuatan pendobrak yang melahirkan perubahan. Gerakan pembebasan nasional di turki, di awali oleh kebangkitan kaum muda yang membangkitkan nasionalisme turki tahun 1889. Di Eropa, kondisi kehidupan pekerja yang sangat buruk di masa awal sistem kapitalisme membangkitkan aliansi pekerja muda dan mahasiswa dalam gerakan menuntut pemberlakuan 8 jam kerja sehari, dan penghilangan bentuk kekerasan terhadap pekerja. Dalam sejarah Indonesia sendiri, pelajar terdidik di Negeri belanda pertama kali mencetuskan konsep nasionalisme Indonesia dalam program perjuangannya. Bahkan sekarang, di Eropa, Amerika Latin, Afrika, dan Asia kebangkitan perlawanan rakyat berdampingan dengan kebangkitan kembali kaum muda. Kaum mudalah, di barisan terdepan dalam penolakan UU Kontrak Kerja Pertama (CPE) di Perancis, atau perlawanan terhadap rasialisme di Amerika yang semakin intensif hari ini. Semua itu adalah gejala sekaligus pembuktian bahwa sebenarnya kaum muda tidak boleh diremehkan, apalagi mencoretnya dalam proses penulisan sejarah.

Di Indonesia, wacana kepemimpinan kaum muda menimbulkan persilangan pendapat, yang terkadang perdebatan itu tidak berdasarkan logika berpikir ilmiah, dan objektif. Lihat saja, argumentasi beberapa kelompok yang tidak menghendaki kepemimpinan kaum Muda, menuduh bahwa sektor masyarakat yang satu ini tidak pantas untuk memimpin republik. Umumnya, kelompok penentang menganggap bahwa generasi muda Indonesia saat ini memiliki sentimen nasionalisme yang rendah, patriotisme yang kendor, dan moral yang rusak. Sedangkan dari kelompok pemuda sendiri, yang di motori oleh aktivis mahasiswa dan organisasi pemuda menilai bahwa wacana kepemimpinan kaum muda adalah mungkin. Apalagi jika di letakkan dalam perkembangan situasi nasional sekarang, panggung politik nasional diisi oleh tokoh-tokoh tua yang sudah tidak capable untuk memimpin negeri ini. Kepemimpinan nasional sekarang yang masih di dominasi oleh tokoh tua tidak memberikan perspektif perubahan, malah semakin menyeret bangsa Indonesia dalam situasi nasional yang memprihatinkan; kemiskinan, korupsi, kelaparan, pengangguran, diskriminasi, dan kediktatoran.

Namun, perlu kiranya kita membongkar sesat pikir generasi tua Indonesia saat ini yang meremehkan kepemimpinan kaum muda dengan membuka kembali dokumen sejarah tidak tertulis, teori-teori, dan gagasan kaum muda yang relevan dalam perdebatan Ini.

Sejarah Indonesia adalah Sejarah Kaum Muda

Sejarah tidak di tentukan oleh Massa tetapi oleh tokoh, teriak Karl Manhein. Dengan logika berpikir seperti ini maka penulisan sejarah lebih berorientasikan patriotisme/heroisme individual, biography sang tokoh, dan sangat meminimumkan peranan massa. Jika sejarah adalah mulut yang bisa meludah, mungkin dia akan meludahi muka Karl Manhein yang telah mengambil kesimpulan salah tersebut. Sebenarnya sejarah adalah totalitas perkembangan masyarakat, dalam berbagai aspek tergantung mana yang menjadi fokus pengamatan kita. Namun, jika di analisa perkembangan masyarakat sejarah detail, maka akan diketemukan bahwa pikiran maju dan kehendak massalah yang telah menjadi motor utama pergerakan sejarah. Lihat saja, gagasan progressif sejumlah pemuda Indonesia di negeri Belanda yang mendirikan Indische Party bergulir bagaikan air bah menyadarkan kelompok pemuda dan mahasiswa yang lain. Saat itu, organisasi kaum muda dan massa tumbuh bagaikan jamur di musim hujan, menyambut konsep gagasan nasionalisme Indonesia yang di lontarkan oleh kaum muda. Lahirnya sumpah pemuda tahun 1928 merupakan salah satu stage dari perjalanan kebangkitan kaum muda Indonesia dalam membebaskan bangsanya. Boleh dikatakan bahwa kaum mudalah sebagai sang pelopor, bahkan karena semakin menonjol, Benedict Anderson(1972) menyimpulkan bahwa jiwa revolusi indonesia adalah kaum muda.

Contoh paling konkret soal kepeloporan kaum muda dalam masa awal revolusi adalah peristiwa rengasdengklok yang melahirkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Peristiwa ini di latar belakangi oleh perbedaan pendapat antara tokoh muda dan tokoh tua soal kemerdekaan Indonesia. Bagi tokoh muda yang sebagian besar dari kelompok Asrama Menteng 31, bahwa kemerdekaan Indonesia haruslah hasil perjuangan rakyat Indonesia, bukan hadiah pemberian Jepang. Bagi kaum Muda, kekalahan Jepang dalam perang Asia Timur raya dan pasifik adalah ruang terbuka untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Sedangkan bagi tokoh tua, dalam hal ini Soekarno-Hatta bahwa “kita tidak boleh gegabah dengan mengambil tindakan radikal melawan pemerintah Jepang, dan lebih baik menunggu janji kemerdekaan dari Jepang, lewat Lembaga PPKI dan BPUKI. Kaum muda kemudian menculik Soekarno, dibawa kesebuah tempat bernama rengasdengklok, di tempat itu kaum muda meminta Soekarno (atas nama bangsa Indonesia) agar segera membacakan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus. Kejadian diatas di minimalkan, dan dikaburkan dalam penulisan sejarah Indonesia sekarang. Sehingga, banyak orang tua yang lupa bahwa sebenarnya bangsa dan negara yang bernama Indonesia, yang merayakan kemerdekaan tiap tanggal 17 Agustus adalah merupakan hasil perjuangan kaum muda.

Sangat penting melihat posisi kaum muda dalam konstalasi sejarah republik ini, sebab dari titik ini kita bisa menyimpulkan orientasi dan tindakan politiknya adalah merupakan upaya penyelesaian problem-problem pokok rakyat Indonesia. Setiap gagasan perubahan mesti memiliki orientasi dan tindakan politik yang berpihak kepada rakyat, ketiadaan orientasi dan tindakan politik yang jelas malah mengarahkan gerakan kaum muda pada ambiguitas. Sejarah Indonesia,memperlihatkan rekaman-rekaman tindakan politik mahasiswa sangat jelas keberpihakannya.

Penting untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi orientasi dan tindakan politik kaum muda dalam proses dinamika sejarah Indonesia. Setidaknya untuk membuktikan, sekaligus memilah tindakan politik mana dalam patokan sejarah yang betul-betul menunjukkan bentuk perjuangan kaum muda yang genuine. Karena seperti yang di katakan oleh Bung Karno (di Bawah Bendera revolusi) bahwa gerakan mahasiswa harus lahir dari rahim ibu kandungnya sendiri: Ibu Pertiwi. Faktor-faktor yang mempengaruhi orientasi dan tindakan politik gerakan kaum muda adalah: pertama pilihan ideologi perjuangan sebagai arah/petunjuk orientasi cita-cita ideal pergerakan kaum muda. Ideologi merupakan pijakan bertindak, ibarat obor dalam kegelapan yang menuntun arah dari perjuangan kaum muda itu sendiri. Lebih jauh, pemahaman ideologis juga bermakna pemahaman teoritik dan praktek soal jalan keluar dari problem ekonomi-politik yang dialami oleh rakyat. Kedua lingkungan sosial dan politik, kalau gerakan mahasiswa tidak memiliki pijakan ideologis yang kuat maka kesadaran mereka sangat di tentukan dengan kosntalasi kehidupan sosial politik sekitarnya. Kenyataan menunjukkan kebangkitan kaum muda dan mahasiswa di dorong oleh keadaan sosial-politik di sekitarnya. Awalnya hanya dalam bentuk protes-protes kecil namun ketika di tanggapi oleh penguasa dengan represif, maka dengan cepat berubah menjadi gelombang protes sosial bahkan berubah menjadi proses revolusioner. Pengalaman Mahasiswa Korea, mahasiswa tidak menerima perlakuan aparat kepolisan terhadap demonstrasi buruh menuntut perbaikan kondisi kesejahteraan. Mahasiswa melakukan mobilisasi dan aliansi dengan pekerja, perlawanan ekonomi dan solidaritas berubah menjadi sentimen anti terhadap rejim yang diktator. Di Indonesia, Watak dan karakter rejim Orde baru yang sangat militeristik dan tidak berpihak kepada rakyat mendorong protes-protes mahasiswa. Ketika, rejim Orde Baru merespon dengan menggunakan kekerasan militer, gerakan mahasiswa berubah menjadi gerakan politik yang melibatkan massa rakyat menuntut Soeharto turun dari kekuasaannya. Ketiga Pengalaman gerakan kaum muda di negara lain, kebangkitan pemuda-pemuda Indonesia di tahun 1900-an banyak di stimulasi oleh kebangkitan dan kemenangan gerakan kaum muda di negara lain. Gerakan mahasiswa tahun 1966, sangat dipengaruhi oleh kepentingan negara-negara Imperialis untuk menghentikan komunisme di Indonesia. Karena keberadaan PKI, yang makin kuat dalam hal politik(dekat dengan soekarno) dan mobilisasi menjadi ancaman terhadap aset-aset dan terutama kepentingan negara-negara Imperialis di Indonesia. Dan ini, bisa di buktikan dengan dokumen CIA yang baru di terbitkan soal keterlibatan CIA dalam kudeta militer di Indonesia, dimana kelompok mahasiswa menjadi salah satu agen sipilnya untuk melumpuhkan kekuasan soekarno dan kaum kiri. Itulah kenapa sastrawan Premoedya Ananta Toer tidak mau mengakui angkatan 66 sebagai salah satu stage dalam perjuangan mahasiswa.

Menimbang “Kemampuan/Capable” Kaum Muda untuk memimpin

Argumentasi pokok dari kelompok yang tidak yakin dengan kemampuan kaum muda dalam mengambil alih kepemimpinan nasional negeri ini adalah bahwa Kaum muda sekarang sangat lemah semangat patriotismenya, dan rendah “moralitas”, dan argumentasi yang sifatnya psikologis bahwa kaum muda adalah kelompok umur yang masih labil, plin-plan, dan cenderung mengutamakan emosional. Landasan argumentasi dari alasan diatas sangat lemah dan tidak berdasarkan basis material yang jelas. (1). Bahwa sebenarnya problem bangsa sekarang adalah bukanlah problem moral, dan untuk menyelesaikannya pun bukan dengan berkhotbah soal moralitas. Malah persoalan moral sekarang sangat efektif untuk meredam dan memanipulasi kesadaran rakyat untuk mnerimo dengan situasi. Problem kebangsaan sekarang adalah problem ekonomi-politik, akibat dari pola kebijakan rejim yang berkuasa tidak pernah berpihak kepada kepentingan rakyat. Kalaupun di katakan moral ini juga absurd! Karena terbukti moral generasi lebih tua tidaklah lebih baik. (2). Patriotisme tidak bisa di ukur dengan formalitas bahwa kita harus ikut ke medan perang, setia sampai akhir dengan merah putih, atau rajin upacara bendera. Patriotisme terbentuk berdasarkan lingkungan sosial dan politik pula, dan sudah barang tentu kesadaran patriotisme manifes dalam bentuk yang berbeda. Di jaman revolusi nasional, karena persoalan pokoknya adalah melawan penjajahan fisik maka bentuk manifestasi patriotismenya adalah mengangkat senjata. Di jaman sekarang, karena problem kemiskinan dan kesengsaraan datang dari bangsa sendiri maka protes dalam bentuk aksi massa yang marak hari ini adalah bentuk patriotisme baru rakyat Indonesia. (3) bahwa alasan umur ataupun perkembangan kejiwaan tidak bisa dijadikan patokan untuk ukuran seseorang “capable” atau tidak untuk memimpin. Karena sekali lagi, kepemimpinan politik hanya butuh dua syarat yakni dukungan politik yang luas dan kemampuan personal (kemampuan skill dan pemahaman ekonomi-politik). Dan menurutku syarat-syarat itu sama sekali tidak terkait dengan umur, meskipun pengalaman mempengaruhi. Seorang berumur 24 tahun belum tentu kalah cerdas dan kalah kemampuan dengan orang berumur 45 tahun.

Reformasi tahun 1998, telah menjadi investasi baru bagi kebangkitan kembali gerakan kaum muda dan mahasiswa Indonesia. Kaum muda dan mahasiswa yang hanya bersenjatakan pena telah berhasil merobohkan sebuah rejim yang sangat kuat dan kokoh; rejim Orde Baru. Sejak Juli 1997 krisis ekonomi global ikut menyapu Indonesia, nilai rupiah melemah terhadap dolar AS, harga-harga barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik, banyak perusahaan yang gulung tikar akibatnya banyak buruh yang ter-PHK. Dampak ini secara langsung juga menimpa mahasiswa, terutama mahasiswa perantauan, harga makanan melonjak, kertas naik, belum lagi orang tuanya yang di PHK atau perusahaan mereka yang bangkrut. Krisis ekonomi ini serta desakan IMF untuk reformasi ekonomi membuat Orde Baru tersudut. Bahkan hingga Sidang Umum MPR Maret 1998 tidak ada perbaikan kehidupan yang memicu kemarahan rakyat.

Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan tuntutan-tuntutan ekonomis, seperti turunkan harga. Akan tetapi kelompok mahasiswa radikal yang masih minoritas secara kuantitatif tetap melancarkan tuntutan politik, seperti suksesi kepemimpinan nasional, pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Secara perlahan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang semakin memuncak, usaha-usaha kelompok radikal untuk menarik dari kesadaran “ekonomis” menjadi kesadaran politik mulai berhasil. Aksi-aksi mahasiswa yang semakin membesar mulai meneriakkan tuntutan politik, meminta Soeharto turun. Ini merupakan sejarah maju dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Tuntutan yang selama ini “diharamkan” tidak ditabukan lagi. Seperti halnya dalam tulisan Aspinal tentang tuntutan mahasiswa yang semakin politis:

Tipe demostrasi mahasiswa merupakan reduksi dari naiknya harga barang, menuntut dihapuskannya korupsi, kolusi dan nepostisme, dan menuntut reformasi. Dari awal kebanyakan protes secara ekplisit menuntut Soeharto turun dari jabatan sebagai presiden ( sebuah ekpresi dari sentimen ini dapat dilihat pembakaran gambar Soeharto pada sebuah aksi di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 11 Maret).

Namun, meski berhasil menjatuhkan sebuah kedikatoran yang kokoh, gerakan mahasiswa tahun 1998 bukan tanpa kelemahan dan cacat. Salah satu point paling hangat diantara perdebatan yang muncul pada saat itu adalah soal kepemimpinan nasional dan bagaimana pokok-pokok tugas perjuangan mahasiswa Indonesia selanjutnya. Setidaknya perbedaan pandangan ini secara umum bisa di tarik dalam dua garis pandangan yakni gerakan moral dan gerakan politik. Kelompok gerakan moral yang kebanyakan dari unsur Cipayung (HMI, PMII,GMKI, PMKRI,GMNI,IMM) dan kelompok BEM (badan Eksekutif Mahasiswa) menganggap bahwa tugas gerakan mahasiswa telah selesai. Bagi mereka, tugas pokok hanyalah menjatuhkan soeharto dan setelah itu eksekusi/penyelesaian akhirnya di serahkan kepada tokoh politik/politisi. Kelompok inilah yang banyak menyokong Amien Rais, Gusdur, dan Megawati muncul dalam panggung politik paska Orde Baru. Tugas mahasiswa kembali ke kampus (Back to Campus) dan sesekali keluar ketika di butuhkan, untuk mengawal reformasi bisa berjalan konsisten. Sosiolog Arief Budiman bahkan mengkritik gerakan moral dengan mengistilahkannya sebagai “koboi”. Ia datang ketika ada kerusuhan dan kekacauan yang dilakukan oleh para penjahat di suatu daerah. Setelah para penjahat dibasmi dan keadaan kembali tenang, maka sang koboi pun pergi lagi mengembara kemana-mana. Demikian seterusnya setiap ada kekacauan, sang koboi datang dan pergi lagi.

Kelompok kedua beranggapan bahwa jatuhnya soeharto hanyalah salah satu tahapan dari perjuangan mahasiswa. Tugas selanjutnya adalah menghancurkan sisa-sisa Orde baru dan melapangkan jalan bagi terwujudnya demokrasi sejati. Untuk menciptakan prasyarat tersebut bagi kelompok gerakan politik adalah menciptakan pemerintahan transisi demokratik yang mencerminkan semua kekuatan prodemokrasi dan unsur-unsur gerakan rakyat. Usulnya beranekaragam misalnya Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dengan konsep “Pemerintahan Koalisi Oposisi Demokratik Kaum Muda dan Rakyat Miskin”, Forkot dengan Komite Rakyat Indonesia (KRI), dan FAMRED dengan Dewan Rakyat. Kelompok ini menolak Habibie (pengganti Soeharto) karena menurut mereka masih kelanjutan dari sistem politik Orde Baru, dan menganggap yang berubah hanya orangnya namun karakter, watak, dan cara-caranya masih kental dengan Orde Baru.

Benar, pemilu 1999 yang dilaksanakan di bawah pemerintahan Habibie malah menjadi alat untuk konsolidasi kekuatan Orba. Proses reformasi yang mestinya di perdalam dan di perluas geografinya hingga kepedalaman justru ter-interupsi dengan masih kuatnya sisa-sisa Orde Baru dalam pemerintahan. Disisi lain, tokoh-tokoh reformis yang di percaya sebagian gerakan mahasiswa bisa membawa menuntaskan reformasi malah mengambil jalurnya sendiri. Pemerintahan Gusdur meskipun punya komitmen kuat mengadili Soeharto dan kroninya, namun tindakan politiknya ambigu sehingga membuat kekuatan pro-orde baru bisa mengkonsolidasikan diri dan menyusun “Impeachment” terhadap pemerintahannya. Gusdur di gantikan Megawati (di belakangnya adalah kekuatan Orde Baru), proses penuntasan reformasi semakin di tarik ke titik Nol. Megawati sejak jadi presiden sangat agressif dalam menjalan agenda neoliberalisme seperti pencabutan subsidi, liberalisasi impor, dan privatisasi BUMN yang berimbas pada keterpurukan ekonomi nasional. Pada titik ini, muncul kekecewaan dan rasa tidak puas massa rakyat terhadap arah reformasi yang tidak berjalan konsisten. Proses politik paska reformasi pun menggelinding di lingkaran elit politik baru maupun lama, demokrasi dan kesejahteraan semakin jauh dari harapan rakyat.

Saatnya Kepemimpinan Nasional di tangan Kaum Muda

Reformasi sebetulnya belumlah gagal total, karena beberapa aspek kemenangan menjatuhkan rejim orde baru, diantaranya: keterbukaan ruang demokrasi (space Of Democracy) meskipun masih dalam pengertian yang minimum masih bertahan. Menurutku disinilah letak kesalahan kaum muda dan gerakan mahasiswa paska reformasi, tidak mampu memanfaatkan ruang politik yang sedikit terbuka untuk masuk kedalam politik real dengan membawa agenda demokrasi dan program kerakyatan di dalamnya. Pemilu 1999, yang merupakan titik balik dari gerakan kaum muda dan mahasiswa justru di lewatkan begitu saja. Mayoritas kekuatan kaum muda masih menganggap arena pemilu sebagai arena yang tidak boleh di manfaatkan karena terlalu politis dan malah bisa menceburkan gerakan kaum muda dalam politik kotor. Padahal esensi mengintervensi ruang pemilu sebenarnya tidak lebih untuk menggempur dominasi politisi tua yang sudah terbukti gagal, dan mengolah ruang tersebut untuk lahirnya sebuah kekuatan politik alternatif.

Gerakan kaum muda dan mahasiswa saat ini masih di kuasai prasangka heroisme (baca;Advonturir) sehingga cenderung terjebak pada penyakit kekiri-kirian. Pandangan mendikotomikan ruang ekstra-parlementer dan parlementer adalah sebuah bentuk lain dari kesalahan gerakan mahasiswa memandang ruang politik real. Akibatnya, gejala menjadi aktivis muda dan mahasiswa hanya semasa masih muda, atau semasa menjadi mahasiswa. Setelah itu, aktivis-aktivis ini melakukan diaspora (menyebar) ke berbagai bidang pekerjaan dengan afiliasi politik yang sangat fragmentatif. Sekarang kita bisa melihat banyak mantan aktivis yang menduduki pos-pos jabatan di partai politik besar, jabatan di pemerintahan, atau ormas. Tetapi, mereka sama sekali tidak lagi merefresentasikan pandangan politik waktu semasa menjadi aktivis, karakter dan jiwanya lebih mirip dengan elit baru dalam kekuasaan.

32 tahun kekuasaan Orde baru telah menghancurkan semua tradisi politik dan gerakan yang ada dalam rakyat Indonesia termasuk kaum muda. Akibatnya tidak ada satupun organisasi pemuda yang mencerminkan kepentingan politik kaum muda, kebanyakan di isi oleh orang-orang yang segi umur bukan muda lagi. Lihat saja Yapto Suryosumarno tokoh Pemuda Pancasila (kelahiran 16 Desember 1949), atau KNPI, BMI, GP-ANSOR, dan lain-lain kebanyakan Ormas kepemudaan tersebut di pimpin generasi tua yang meniti karir untuk partai. Organisasi yang betul-betul merefresentasikan kepentingan dan perjuangan kaum muda kebanyakan organisasi mahasiswa, namun pandangan politik mereka sangat lemah. Kebanyakan organisasi-organisasi tersebut di bentuk untuk memenuhi kepentingan partai mendapatkan konstituen di kalangan kaum muda (yang sudah bisa memilih), dan kadang-kadang di jadikan alat pertahanan (defensif Unit) untuk partai atau memukul kelompok lain.

Sebenarnya ada beberapa problem pokok gerakan kaum muda yang harus di selesaikan sebagai salah satu stage menuju konsolidasi kekuatan yang lebih kuat; pertama problem ideologi, yakni lemahnya pemahaman akan orientasi perjuangan kedepan. Kebanyakan organisasi mahasiswa dan pemuda yang ada sekarang masih di dominan pendekatan emosional, bukan pendekatan ideologis. Kedua problem organisasional, sampai saat ini belum ada organisasi pemuda mahasiswa secara nasional yang bisa menyatukan semua ormas pemuda dan mahasiswa. Di Indonesia, akibat pengaruh depolitisasi dan deorganisasi jaman Orde baru selama puluhan tahun, sekarang kita menyaksikan pemilahan yang kuat antara mahasiswa, pelajar (SMU), dan pemuda (non-SMU/mahasiswa). Tentunya, ini sangat menghambat pengorganisasian, dan proses kaderisasi dan penguatan ideologi perjuangan karena variasi pengetahuan. ketiga fragmentasi gerakan yang masih amat kuat di kalangan kaum muda, tidak ada upaya konsolidasi nasional yang sifatnya massal dan melibatkan semua ormas pemuda/ mahasiswa. Keempat masih sangat kaku dalam melihat momentum politik, misalnya momentum pemilu, pemilihan kepala daerah langsung (pilkada), dan lain-lain. Sehingga sangat susah untuk menemukan arena lain untuk menggusur generasi tua di luar mekanisme formal elektoral tersebut.

Bagaimana dengan perspektif kedepan? Sebenarnya situasi politik saat ini dan problem yang dialami oleh rakyat Indonesia mengharuskan kaum muda harus tampil kedepan, dengan landasan;(1) Bahwa rakyat sudah tidak percaya dengan formasi elit politik saat ini yang dinilai sudah gagal menciptakan perubahan. Krisis kepemimpinan ini jika tidak dimanfaatkan oleh kaum muda, malah bisa berbuntut oligarkhi politik, maksudnya adalah bahwa sistem politik sekarang di monopoli kekuatan tertentu yang berkuasa bukan karena dukungan rakyat melainkan karena faktor modal dan kekuasaan. (2). Ruang politik kedepan harus di manfaatkan, harus di olah oleh gerakan kaum muda, di kombinasikan dengan gerakan ekstra-parlementer(parlemen jalanan) untuk memperoleh dukungan kuat dari rakyat. Menurut Alan R.Ball (1993), kumpulan pendesak merupakan agregat sosial dengan tahapan yang padu serta berkolaborasi untuk tujuan yang sama yang pada akhirnya dapat mempengaruhi proses membuat keputusan politik. (3). Bahwa untuk kepentingan menciptakan kekuatan politik alternatif, gerakan pemuda-mahasiswa tidak perlu membentuk Partai pemuda yang isinya semua pemuda. Karena malah menyempitkan dukungan politik rakyat, lagipula tidak ada rumus perubahan dimanapun yang mengajarkan bahwa suatu sektor bisa berkuasa tanpa dukungan sektor lainnya. (4). Bahwa dalam menggagas kekuatan politik baru ini, gerakan mahasiswa dan pemuda harus membangun aliansi strategis dengan sektor rakyat yang lain seperti petani, buruh, pegawai rendahan, kaum miskin kota, pekerja seni, dan perempuan. (5) menyusun program –program perjuangan strategis yang merupakan solusi atau jalan keluar dari problem-problem pokok yang di alami oleh rakyat Indonesia sekarang ini. Misalnya untuk mengatasi kemiskinan, program kita adalah menghentikan proyek neoliberalisme yang saat ini sangat massif di jalankan, menggantikannya dengan program ekonomi kerakyatan. Semaksimal mungkin program-program yang di usung mencerminkan tuntutan mendesak/darurat rakyat; seperti pendidikan dan kesehatan gratis, turunkan harga-harga, dan lain-lain.

Dalam lingkaran partai politik, berdiri Partai Pemuda Indonesia (PPI) tanggal 27 Mei 2007 oleh beberapa aktivis pemuda. Partai ini berharap menjadi saluran politik mahasiswa, pemuda dan pelajar dalam pemilu 2009. Namun, jelas orientasi dan tindakan politiknya tidak mencerminkan muara perjuangan politik kaum muda karena miskin program, konsep, dan pengalaman bersentuhan dengan gerakan mahasiswa dan rakyat. Berbeda hal dengan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS) yang diinisiatif oleh partai pemuda dan mahasiswa radikal dalam menggulingkan Soeharto yakni Partai Rakyat Demokratik(PRD). Papernas memproyeksikan program-programnya untuk menyelesaikan problem-problem rakyat indonesia, yang menurut aktivisnya di sebabkan oleh imperialisme. Geliat kaum muda mulai kelihatan, setidaknya ini adalah langkah maju untuk mengkonkretkan wacana bahwa “Sudah Saatnya Kaum Muda Yang Memimpin”. Terima kasih.***

Lihat Alexander Irwan, Jejak-Jejaj Krisis Asia, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1999.

, Edward Aspinal, The Indonesia Student Uprising of 1998.

Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: Maret 2008