Perempuan Melawan Neoliberalisme

Perempuan Membebaskan Dirinya: Sejarah Gerakan Perempuan


Oleh: Ulfa Ilyas

Sejarah memberikan banyak contoh tentang para perempuan yang memiliki kekuasaan, keberanian dan bakat yang luar biasa. Para perempuan semacam itu kita kenal sebagai kaisar-kaisar perempuan dan ratu-ratu yang terkenal, pejuang-pejuang perempuan yang gagah berani, orang-orang suci, tukang-tukang sihir perempuan, ilmuwan-ilmuwan perempuan, penyair-penyair perempuan dan seniman-seniman perempuan. Mereka adalah orang-orang yang terkenal dalam sejarah kaum perempuan. Namun mereka tidak lebih dari pengecualian-pengecualian individual yang tidak (dan tak bisa) berpengaruh atau memajukan secara nyata status dari mayoritas luas kaum perempuan awam dan tertindas. Kita bisa melihat Boadicea (61M), prajurit ratu yang menentang pendudukan Roma atas inggris, Ratu Elisabeth II (1533-1603) penguasa besar kerajaan Inggris yang menginspirasi renaisans Inggris, Kaisar catherina yang Agung(1729-1796) orang Jerman memerintah rusia selama 35 tahun, Sappho (650 SM) penyair besar pada masa Yunani kuno.

Di Indonesia, kita mengenal ada ratu Sima, penguasa kerajaan Kalingga di jawa tengah. kemudian ada Cut Nyak Dien (1850-1908), seorang perempuan Aceh yang gagah berani dalam melawan Belanda, Laksamana Malahayati( 1585-1604), Cristina Marta Tiahahu (Maluku) dan juga Cut Mutia (aceh). Selain itu kita juga mengenal R.A Kartini(1879-1904), anak dari seorang pejabat tinggi, menetang poligami, perkawinan paksa dan penjajahan, dan menyerukan hak-hak perempuan terhadap pendidikan, kartini juga mendirikan sebuah sekolah untuk gadis-gadis dengan 120 orang muridnya-namun dia meninggal secara tragis saat melahirkan anak pada usia 25 tahun.

Dalam sejarah, yang dituliskan oleh Frederick engels dalam bukunya: asal-usul keluarga, kepemilikan pribadi dan Negara, bahwa perempuan pernah menjadi pemimpin politik di fase-fase awal perkembangan masyarakat, terutama tribalisme. Dalam masyarakat Indian Iroquis, misalnya, kedudukan perempuan dan laki-laki benar-benar setara. Bahkan, semua laki-laki dan perempuan dewasa otomatis menjadi anggota dari Dewan Suku, yang berhak memilih dan mencopot ketua suku. Jabatan ketua suku dalam masyarakat Indian Iroquis tidaklah diwariskan, melainkan merupakan penunjukan dari warga suku melalui sebuah pemilihan langsung yang melibatkan semua laki-laki dan perempuan secara setara. Keadaan ini berlangsung sampai jauh ke abad ke 19. Dalam masyarakat Jermania, ketika mereka masih mengembara di luar perbatasan dengan Romawi, berlaku juga keadaan yang sama. Kaum perempuan mereka memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan kaum laki-lakinya. Peran yang mereka ambil dalam pengambilan keputusanpun setara karena setiap perempuan dewasa adalah juga anggota dari Dewan Suku.Demikian pula yang berlaku di tengah suku-suku Schytia dari Asia Tengah. Di tengah mereka, bahkan perempuan dapat diangkat menjadi prajurit dan pemimpin perang.

Namun kenapa ada diskriminasi terhadap perempuan?

Pada umumnya, kaum konservatif dan penganut keyakinan (religi) menempatkan perempuan dalam posisi nomer dua dalam struktur sosial. Ini nampak jelas dalam ungkapan “perempuan ada tiang negara, kalau perempuan rusak maka rusaklah negara”. Pendukung mereka juga memberikan stereotype bagi kaum perempuan yang meninggalkan rumah sebagai hal yang buruk. Dalam kehidupan sehari-hari, diskrimanis terhadap perempuan terjadi dalam berbagai aktib\vitas sosial, antara lain: di transfortasi umum, di mall, pasar, lembaga pendidikan, dan lain sebagainya. Dalam masyarakat Indonesia, yang sistem transfortasi dan pelayanan publiknya sangat buruk, perlakukan tidak senonoh terhadap perempuan kerap kali terjadi. Di mall atrium senen, seorang anak perempuan SMU dilecehkan oleh petugas security mall (25/03/2008). Beban ekonomi turut menjadi beban yang harus dipikul oleh perempuan, terutama mereka yang hidup dinegara-negara miskin. Di Indonesia, Seorang ibu membunuh kedua anaknya karena stress diduga karena faktor ekonomi yang menyelimuti keluarganya. Persoalan-persoalan diatas yang dihadapi perempuan sungguh sangat miris dan sangat menyedihkan. Perempuan-Perempuan masih ditempatkan dalam wilayah domestik. Sehingga dalam hal ini, menyebabkan perempuan selalu dibebankan persoalan-persoalan, seperti: belanja dapur, perabot rumah tangga dan biaya sekolah anak, dll. Selain persoalan kemiskinan diatas, persoalan diskriminasi, pelecehan seksual dan persoalan pendidikanlah yang membuat kaum perempuan menjadi terbelakang dan tertindas. Dalam hal pekerjaan, perempuan masih terjanggal dalam memperoleh posisi –posisi penting dan promosi jabatan. Umumnya, perempuan tidak memperoleh jabatan penting karena faktor-faktor gender yakni seperti haid, hamil dan melahirkan. Di beberapa daerah, diberlakukan aturan bahwa Perempuan tidak boleh kerja malam, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa perempuan masih dianggap manusia kelas dua dalam lapisan masyarakat Indonesia.

Di tengah derasnya arus globalisasi, semestinya perempuan diberikan ruang yang lebih luas—setara dengan kaum lelaki, untuk mengaktualisasikan dirinya, bukan hanya sekedar dijadikan pekerja upahan yang murah dan dieksploitasi. Dalam hal persoalan pendidikan, perempuan masih sangat terbelakang, sehingga sangat susah untuk bisa mengakses informasi. seharusnya akses pendidikan yang baik dan berkualitas harus diberikan kepada kaum perempuan, sehingga kaum perempuan bisa memberdayakan dirinya untuk bisa lebih maju , memikirkan bagaimana kaumnya secara menyeluruh bisa terbebas dari bentuk- bentuk penindasan yang selama ini terjadi, kemiskinan dan persoalan-persoalan perempuan yang lainnya.

kemiskinan perempuan Indonesia berwatak struktural, kenapa? Karena kemiskinan ini dilatarbelakangi oleh struktur ekonomi-politik yang meminggirkan peran perempuan. Perempuan masih terbelakang dalam lapangan ekonomi, terkadang mereka tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber ekonomi. Kelemahan ini masih ditambah dengan fakta bahwa umumnya kaum perempuan terbelakang dalam hal pendidikan, ketrampilan (skill) dan kesehatan.

Kenapa itu bisa terjadi?

Penyebab dari persoalan-persoalan yang dirasakan perempuan bukanlah hanya sekedar persoalan Mentalitas atau karena persoalan fisik, atau persoalan biologis saja, tapi persoalan itu dikarenakan ada faktor histories dan ideologis yang menyebabkan kenapa kaum perempuan tertindas.

(1) Patriarkhi

Patriarkhi berasal dari bahasa Yunani:Patria Berarti bapak, dan Arche berarti aturan. merupakan istilah antropologis yang digunakan untuk merumuskan kondisi sosiologis anggota laki-laki suatu masyarakat cenderung menguasai posisi kekuasaan; semakin berkuasa mereka, maka makin kuat dorongan seorang laki-laki untuk memegang posisi tersebut. Istilah patriarkhi juga dipergunakan dalam sistem tingkat-tingkatan kepemimpinan laki-laki dalam hirarki gereja atau lembaga agama.

Patriarkhi adalah sebuah ideologi yang mengukuhkan dominasi laki-laki/maskulinitas atas kaum perempuan/female, ideologi ini muncul bukanlah dalam proses alamiah(kodrat/sudah semestinya) tetapi lebih pada faktor histories.

Dalam penelitian seorang antropolog bernama Lewis H.Morgan menyebutkan dalam penelitiannya bahwa perempuan pernah menempati posisi sosial sejajar bahkan menentukan dalam organisasi sosial masyarakat. Dalam Masyarakat Indian Iraquis yang ditelitinya, dijelaskan bahwa kaum perempuan mengambil posisi yang menentukan, bahkan kaum perempuan bisa dipilih memimpin sukunya. Dalam masyarakat Iraquis segala sesuatu ditentukan secara kolektif –melibatkan semua anggota kelompok, dan tidak ada diskriminasi dalam pembagian makanan karena perbedaan seks, umur, dan keahlian. Bahkan yang paling ekstrem dalam penelitian Morgan belum dikenal istilah keluarga inti (ayah,Ibu, dan anak) garis keturunan ditentukan secara matrineal yaitu: garis ibu yang menggabungkan kelompok ibu, saudara laki-laki mereka dan anak-anak dari pihak ibu. Dia menegaskan perkembangan hubungan gender dari kebebasan seksual dan organisasi sosial yang berdasarkan pada peniruan kekerabatan melalui garis ibu, apa yang di sebutnya sebagai sebuah bentuk keluarga yang berdasarkan dengan pada siapa bisa melakukan hubungan seksual dan famili manakah yang membentuk satu kelompok sosial yang inti.

Pemeliharan binatang dan perkembangan dari pemeliharaan persediaan makanan menambah lebih besar akumulasi kekayaan dan hal ini mengarahkannya pada hubungan sosial yang baru yang merubah hubungan jender. Kepemilikan kekayaan mulai dirubah dari kepemilikan klan (turun-temurun) kepada kepemilikan pribadi dalam keluarga. Bentuk lain dari kepemilikan juga mengakumulasi (peralatan logam, barang-barang mewah) dan kebutuhan akan perkembangan tenaga manusia. Perkembangan kekayaan memberikan status yang lebih kepada keluarga dan memberikan rangsangan untuk menjatuhkan warisan matrilineal dalam rangka memapankan institusi patriarki. Engels berpendapat bahwa revolusi gender ini menggantikan dalam jaman pra sejarah., sebelum penciptaan tulisan, sehingga menjadi bagaimana dan kapan hal tersebut digantikan, belum diketahui. Tetapi hal itu bisa ditunjukkan secara etnografi.

Patriarkhi muncul pada saat pertanian mulai dianggap hal yang sangat penting untuk menghasilkan bahan makanan yang banyak dan untuk bisa bertahan hidup. Data-data arkeologi dan antropologi menunjukkan bahwa manusia mulai bertani ketika mereka terdesak oleh perubahan kondisi alam, di mana kondisi yang baru tidak lagi memberi mereka kemungkinan untuk bertahan hidup hanya dari berburu dan mengumpul bahan makanan.

Menurut data arkeologi, setelah manusia menemukan tempat atau lahan subur yang pas untuk dijadikan tempat tinggal dan juga untuk bercocok tanam dan mengumpulkan bahan makanan maka saat itulah kaum perempuan muncul sebagai juru selamat. Kaum perempuan menggunakan ketrampilan mereka untuk mengolah biji-bijian menjadi tanaman untuk mendapatkan bahan makanan bagi seluruh komunitas yang ada disekitarnya. Dan apa yang tadinya bahwa perempuan pada saat itu menganggap bahwa pertanian hanya sebagai pengisi waktu senggang kini menjadi sumber penghidupan utama seluruh masyarakat.

Setelah ditemukannya alat modern untuk bisa mempertahankan hidup dan untuk bisa memberi keuntungan penghasilan yang banyak kepada manusia, maka saat itulah muncul konsep kepemilikan pribadi, dimana pekerjaan yang biasanya dikerjakan secara bersama-sama, maka kini pekerjaan itu dikerjakan secara sendiri atau secara individual, ini karena semakin maju dan pesatnya pemikiran manusia pada saat itu dalam hal alat teknologi untuk menguasai lahan pertanian yang ada. Setelah Pertanian di perkenalkan, disinilah mulai terjadi perubahan-perubahan pada posisi kaum perempuan dan kaum laki-laki, khususnya pada pembagian peran.

Setelah Patriarkhi mulai menampakkan dirinya dengan dimulai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dari masa pertanian hingga masa sekarang, semakin diperjelas lagi perwujudannya dalam kehidupan kaum perempuan pada masa sekarang. Ini dibuktikan dengan mendominasinya peran laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai hal; dalam hal keluarga(Rumah tangga) laki-laki sebagai kepala keluarga yang bertugas mencari nafkah keluarga sedangkan perempuan hanya ditempatkan dalam wilayah domestic saja yang cukup dengan melahirkan,merawat, memasak dan mengurus anak-anak dan keluarga. Dalam hal diskriminasi, perempuan sering mendapat batasan-batasan baik itu dalam hal pekerjaan maupun dalam masyarakat . Bahwa perempuan itu lemah, perempuan itu bersifat emosional dan keibuan, perempuan itu tugasnya hanya bekerja dirumah mengurus rumah tangga, perempaun itu tidak perlu mendapat pendidikan yang tinggi karena nantinya juga akan pergi kedapur dan mengurus keluarga. Hal-hal yang seperti inilah yang merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempaun secara langsung, belum lagi atuaran-aturan atau kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang diskriminasi terhadap perempuan.

(2) kapitalisme-Neoliberalisme

Kapitalisme telah melahirkan wujud barunya dengan bentuk Neo-Liberalisme. Dan ini akan menjadi pukulan untuk rakyat miskin, karena neo-liberalisme adalah cara baru untuk penguasaan secara langsung sumberdaya di negara terbelakang oleh penguasa-penguasa modal di negara-negara maju, ini berarti membuat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Ini dibuktikan dengan diambilnya paket-paket kebijakan yang di bawah oleh Neoliberalisme, berupa paket kebijakan perdagangan bebas, swastanisasi dan pemotongan subsidi, itu semuanya adalah paket-paket untuk membuat agar tuan-tuan modal bisa mengeruk sebesar-besarnya kekayaan yang ada di negara-negara miskin, bisa dengan leluasa menanamkan modal mereka, sehingga bisa berkembang biak, bisa bertambah kaya.

Kapitalisme telah melemparkan kaum perempuan, menjadi buruh-buruh upahan, menjadi bagian dari baling-baling industrialisasi, bersanding dengan mesin-mesin pabrik. Perempuan-perempuan dari golongan Rakyat miskin itu bagi kapitalisme adalah tenaga kerja yang melimpah dengan upah yang murah. Dari desa-desa, kaum perempuan miskin itu ditarik ke kota menjadi buruh-buruh pabrik, penjaga-penjaga toko, pelayan-pelayan restoran, pembantu orang-orang kaya, dan bahkan, karena kerja-kerja yang bermartabat tidak mereka dapatkan lagi, mereka bekerja menjadi pelacur-pelacur. Sedangkan perempuan-perempuan yang tidak tertampung untuk bekerja di Indonesia yang semakin sempit lapangan pekerjaanya, dibuang ke luar negeri, menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Di luar negeri, karena hanya tenaga yang mereka miliki, dengan sedikit ketrampilan untuk kerja-kerja rumah tangga, sering kali diperlakukan sewenang-wenang, dilucuti hak-hak sebagai manusia. Tidak ada yang bisa mengingkari lagi, sudah beribu-ribu TKW di Indonesia yang diperlakukan sewenang-wenang. Dari diperkosa, disiram dengan air panas, disetrika punggungnya, dipukul, bahkan ada yang sampai gila. Apakah kaum perempuan memang diciptakan untuk diperlakukan seperti itu?!

(3) Militerisme

Milititerisme lahir dari kebutuhan klas berkuasa untuk mempertahankan kekuasannya dengan alat-alat kekerasan. Dimanapun di dunia, militerisme menampilkan dirinya dalam aksi-aksi kekerasan terhadap perlawanan massif klas tertindas. Militer selalu muncul sebagai alat pemukul paling efektif untuk membuka periode kekuasaan yang berdasarkan kediktatoran. Sebagai alat pemukul, maka kita tentu menyadari bahwa militer dimana saja mengandal penyelesaian fisik, senjata dan kekerasan terhadap berbagai konflik-konflik social dan klas. Bagi gerakan perempuan, militer jelas merupakan hambatan sekaligus ancama paling nyata dalam kebebasan perempuan. Di daerah-daerah konflik, perempuan menjadi kelompok social yang paling rentan terhadap tindakan buruk militer, seperti: kekerasan fisik, pelecehan, perkosaan, kejahatan ekonomi, dan ancaman psikologis(trauma).

Di aceh seorang perempuan Diinterograsi oleh Kopassaus karena suaminya kabur dari tahanan dan lari ke daerah lain, karena di curigai suaminya telah bergabung oleh Milisi GAM, karena kopassus tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh istrinya, maka mereka menelanjangi dan memperkosanya di antara tentara-tentara lain yang menonton sambil tertawa. Sesudah itu dikenakan kejutan listrik di telinga, hidung, buah dada dan vaginanya. Perempuan itu mengalami luka-luka yang hingga saat ini belum sembuh. Untuk membungkamnya, tentara itu memasukkan kertas ke mulutnya dan menggunakan tali untuk mencekiknya, dan akhirnya perempuan itu menjadi pingsan. Lima hari kemudian ia dibebaskan dan diperingatkan agar tidak menceritakan kepada siapapun tentang apa yang dialaminya. Pada saat Presiden Habibie menghapuskan status Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM), ia menceritakan kisahnya. Seorang serdadu Kopassus datang dan mengancamnya. Akibat penyiksaan yang dialaminya, ia mengalami luka-luka internal dan tidak memiliki uang sedikitpun untuk membayar pengobatannya. (Dikutip dari Laporan Special Rapporteur on Violence Against Women, Misi ke Indonesia dan Timor-Timur, 20 November – 4 Desember 1998, Nursyahbani K: 2002).

Dalam lapangan politik yang maskulin, sosok militer selalu menjadi sosok ideal dalam masyarakat patriarkhis. Tidak salah kalau kemudian, di beberapa kali proses pemilihan (RT,kepala desa, camat, bupati, DPR, gubernur, dan jabatan politik lainnya), kaum perempuan seakan terpinggirkan, buah dari pemikiran maskulin yang mengidealkan laki-laki gagah perkasa. Di tahun 1960-an, nampak jelas bahwa militer banyak menjadi hambatan dalam perkembangan gerakan perempuan. Kecenderungan militer untuk menutup ruang demokrasi juga bisa berdampak tertutupnya ruang aktivitas dan berorganisasi bagi kaum perempuan. Penghancuran Gerwani dan gerakan-gerakan perempuan progressif merupakan bentuk konkret bagaimana militerisme menghalalkan segala cara untuk menghancurkan gerakan revolusioner, termasuk yang digagas oleh kaum perempuan.

Bagaimana perempuan akan bangkit

Kesadaran bahwa penindasannya bersifat histories, hanya dalam fase-fase tertentu dalam perkembangan masyarakat, kaum perempuan mulai bangkit untuk mengorganisasikan perlawanan. Perempuan pertama yang menyadari hal ini adalah perempuan perancis yang terpicu oleh kebangkitan revolusi perancis menjungkirbalikkan tirani feudal. Revolusi telah menjadi ide dalam pergerakan perempuan. Revolusi perancis juga telah memberikan inspirasi kepada perempuan seluruh dunia soal persamaan hak, kebebasan, dan kemerdekaan. Kaum perempuan yang tergabung dalam sans-colluttes­- yang kebanyakan adalah tukang cuci, penjahit, pelayan toko, dan buruh melakukan demostrasi ke pusat kota paris, menuntut roti yang murah. Mereka perempuan-perempuan Jacobin, telah menjadi inspirasi kebangkitan bagi perempuan dibelahan dunia lain, untuk melawan dunia feudal yang merusak dan menyesatkan.

Di Indonesia, seiring dengan perluasan pengaruh politik etis dalam pergaulan kaum pribumi, telah muncul seorang perempuan dari keturunan aristocrat yang menentang patriarkhi dan sistem kolonialisme. Ya, R.A Kartini merupakan pelopor dalam kebangkitan kaum perempuan di Indonesia. lewat catatan-catatannya “habis gelap, terbitlah terang”, Kartini menjadi sosok perempuan yang berani menentang budaya dan sistem yang meminggirkan kaum perempuan. Selain Kartini, di Jawa Barat ada Dewi Sartika, rohana kudus, dan lain-lain. Organisasi perempuan mulai tumbuh dan menyebar, ibarat cendawan yang tumbuh dimusim hujan. Suasana negeri jajahan seperti Indonesia dimana semangat nasionalisme mulai tumbuh, telah menjadi ‘penyubur’ bagi tumbuh dan berkembannya gerakan perempuan. “Benih itu ditanam pada lahan yang subur”. Tidak mengherankan kalau memasuki awal abad ke-20, mulailah berdiri organisasi perempuan modern. Tahun 1912 lahirlah organisasi perempuan Putri Merdika [1]. Setelah organisasi ini berdiri, bermunculanlah organisasi perempuan yang lain. Di Garut pada tahun 1920 berdiri Wanodyo Oetomo, sementara itu pada tahun 1925 berdiri Puteri Serikat Isalam, dll[2]. Mungkin ada sedikit yang menarik disekitar tahun 1940, yaitu tentang berdirinya serikat buruh perempuan[3].

Dari gambaran diatas, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan tentang pembangunan gerakan perempuan, yaitu: (1). Bahwa kesadaran perempuan akan pengertian mereka adalah second sex lahir dari perkembangan pendidikan dikalangan kaum perempuan. Perluasan pengaruh politik etis telah menggiring perempuan berpendidikan kepada sebuah kesadaran baru akan keberadaan kaumnya dalam sistem sosial. (2). Kesadaran untuk membentuk organisasi sebagai alat perjuangan modern. Kaum perempuan saat itu, sangat menyadari arti penting organisasi untuk menghimpun kaum perempuan dalam perjuangan. (3). Bahwa dalam menghancurkan bentuk sistem-sistem yang menindas perempuan, perjuangan perempuan tidak boleh terpisah dengan perjuangan rakyat terhisap.

(1). Organisasi perempuan

Pembangunan organisasi perempuan merupakan kebutuhan mendesak saat ini. Organisasi akan mengambil peranan dalam pengorganisasian dan menghimpun kaum perempuan dalam platform perjuangan. Penghancuran gerakan perempuan tahun 1965-1966, kemudian terus diintensifkan dibawah rejim Orde Baru, juga disertai dengan pemberangusan organisas-organisasinya, terutama yang berideologi kiri. Tanpa sebuah organsiasi perjuangan akan mustahil menuju kemenangannya. Harus diakui sampai saat ini belum ada gerakan perempuan bersekala nasional, yang ada hanya gerakan perempuan lokal, itupun masih dengan ‘isi kepala’ yang berbeda-beda, sehingga gerakan yang ada masih terpecah-pecah. Watak organisasinyapun juga tidak boleh sektarian, dalam artian harus terlibat aktif dengan gerakan sektor rakyat tertindas lainya – buruh, tani, kaum miskin perkotaan, mahasiswa. Sekali lagi haruslah dipahami bahwa masalah penindasan terhadap perempuan, bukan masalah perempuan semata, tapi juga masalah dari rakyat tertindas lainya. Juga harus menjadi kesadaran, sudah saatnya membangun jaringan dengan gerakan perempuan yang ada di negara lain, apa yang dirasakan perempuan di Indonesia juga dirasakan oleh perempuan di negara lain.

Organisasi perempuan yang akan kita bangun harus terlibat seaktif-aktifnya dalam upaya perjuangan rakyat Indonesia, dengan mengupayakan integrasi semaksimal mungkin dengan kelompok-kelompok demokratik lainnya. Juga sebaliknya, dengan upaya tanpa ragu-ragu terus meyakinkan berbagai unsur dalam gerakan demokratik agar selalu memberikan dukungan dan solidaritas kepada perjuangan kaum perempuan, dalam bentuk apapun yang memungkinkan. Karena hanya dengan menggenapkan Revolusi Demokratiklah, kaum perempuan akan mendapatkan ruang politik yang jauh luas dan bebas, juga akses ekonomi yang relatif lebih baik, untuk memperjuangkan kesetaraan dan melenyapkan diskriminasi, baik diskriminasi gender, maupun kelas-kelas sosial.

(2). Gerakan politik perempuan

Organisasi perempuan mulai menjadi politis baru terlihat pada tahun 1920-an, ketika organisasi-organisasi politik yang besar seperti Sarekat Islam, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI) mempunyai divisi perempuan. Organisasi-organisasi perempuan ini mempunyai anggota yang bervariasi dalam latar belakang sosial dan politiknya. Cakupannya meliputi tingkat kelas menengah-bawah yang meluas. Isu-isu yang dilontarkan adalah seputar partisipasi perempuan dalam politik dan keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan (decision-making). Pada suasana seperti inilah hadir Soekarno yang pada akhir tahun 1920-an mulai mengemuka sebagai tokoh nasionalis. Ia mulai terlibat dalam politik pada tahun 1926, dan satu tahun kemudian pada tahun 1927 ikut menggagas PNI. Ketika Kongres Ibu diadakan pertama kali pada tanggal 22 Desember 1928, Soekarno mengambil kesempatan ini untuk mengemukakan pendapatnya tentang perempuan.

Mau tidak mau, perjuangan perempuan harus merupakan perjuangan politik. Penindasan yang menindih kaum perempuan merupakan penindasan yang berlapis; sisa-sisa feudal dan sistem kapitalisme yang sekarang berkuasa. Hakekat perjuangan politik adalah bahwa pembebasan perempuan ataupun emansipasi perempuan, hanya akan dimungkinkan, kalau perempuan masuk dalam arena perjuangan politik. Harus diakui bahwa selama ini intervensi partai terhadap gerakan perempuan amat minim. Dalam prakteknya, selama bertahun-tahun kerja-kerja pengorganisasian, advokasi dan kampanye persoalan-persoalan perempuan telah menempatkan sejumlah LSM sebagai kiblat dan mainstream gerakan perempuan. Karenanya, berbagai isu yang menyangkut langsung kepentingan dan tubuh perempuan seperti persoalan aborsi, kebebasan untuk memakai dan memilih kontrasepsi, kekerasan dalam rumah tangga, pelacuran (bukan pekerja seks), dll., telah terdistorsi oleh kelompok-kelompok itu. Upaya memoderasi gerakan perempuan terus dilakukan dalam berbagai bentuk, mulai dari penolakan terhadap tuntutan –tuntutan pergantian pemerintah, memagari aktivitasnya dari keterlibatan partai politik revolusioner semacam PRD, sampai mereduksi ekspresi perlawanan kaum perempuan yang seharusnya diradikalisasi dan didorong maju, menjadi sekedar ekspresi seni budaya yang kosong dan sunyi dari besarnya energi dan tenaga kaum perempuan sendiri untuk melawan.

Ulfa Ilyas, Aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eskot Jakarta Pusat

*****



[1] Tujuan organisasi ini memperjuangkan pendidikan untuk perempuan, mendorong perempuan agar terampil di depan umum, membuang rasa ‘takut’ dan ‘mengangkat’ perempuan ke kedudukan yang sama seperti laki-laki, lebih lanjut lihat tulisan Saskia E.W, dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Garba Budaya, 1999.

[2] ibid

[3] Serikat buruh perempuan itu bernama Pekerja Perempuan Indonesia. Anggotanya terdiri dari pekerja di kantor, guru, buruh pabrik. Disamping program mereka latihan kerja, mereka juga melakukan perlawanan terhadap diskriminasi dalam kenaikan pankat dan upah. Lebih lanjut baca tulisan Saskia E.W, dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Garba Budaya, 1999.

Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: April 2008

Grameen Bank: (Salah satu) Cara Mengatasi Kemiskinan Perempuan


Oleh: Ulfa Ilyas

Kemiskinan adalah penyakit. Penyakit kemiskinan menyerang korbannya dengan tidak memberikan sedikitpun toleransi untuk memperpanjang hidup. Penyakit yang satu ini bisa memaksa penderitanya untuk melakukan tindakan-tindakan esktrem, termasuk hal-hal yang diluar batas kewajaran. Di Bekasi, Jawa Barat, Ny. Ismiati rela mengakhiri nyawa dua anaknya, masing –masing Fuadi Rasyid (4 bulan) dan Mutiara Yusuf (2 tahun), diduga kerena tekanan stress. Ny. Ismiati adalah potret perempuan miskin di Indonesia yang diperhadapkan dengan situasi harus menanggung beban ekonomi keluarganya. Di Indonesia, predikat kemiskinan masih melekat kuat ditengah-tengah kaum perempuan. Hal ini diperkuat fakta yang dirilis oleh Women Development Index bahwa jumlah perempuan miskin di Indonesia adalah antara 111 juta jiwa. Belum lagi dalam aspek pendidikan, perempuan jauh tertinggal dari laki-laki. Anak laki-laki yang tidak tamat sekolah dasar 5,34% dan anak perempuan 11,9%.

Di bangladesh, situasinya lebih mirip dengan Indonesia. Tahun 1974, Bangladesh mengalami bencana kelaparan. Di seluruh kota Islamabad terlihat pemandangan orang-orang miskin yang menyerupai tengkorak. Di desa-desa, hanya demi 40 sen dolar, kaum perempuan itu memanfatkan bobot tubuh dan gerakan kaki tanpa alas untuk mengirik padi selama 10 jam sehari! Bangladesh sendiri merupakan langganan banjir besar dan bencana alam yang menewaskan ribuan penduduknya. Banyak perempuan yang menjanda setelah banjir pergi, atau mereka ditinggal pergi oleh suaminya dengan meninggalkan ana-anak yang harus ditangung.

Kemunculan Grameen Bank

Grameen bank (Bank Pedesaan) mulai dirintis oleh Muhammad Yunus tahun 1976, peraih Nobel Perdamaian 2006, namun baru bisa berdiri secara formal pada tahun 1983. Grameen Bank sendiri merupakan bentuk eksperimen M. Yunus untuk menjawab kemiskinan yang melanda Bangladesh yang mayoritas perempuan. Perempuan Bangladesh yang bekerja sepanjang hari untuk mendapatkan 2 sen dolar, setelah di bagi dengan rentenir. Salah satu hambatan produktifitas perempuan di Bangladesh adalah keberadaan rentenir dan para mullah. Ketika muhammad Yunus memulai pekerjaannya, ia banyak mendapat penentangan dari kelompok para mullah yang menuduh grameen bank sebagai alat kristenisasi atau mengajak menjadi kafir.

Grameen Bank memberikan kredit-mikro kepada orang-orang miskin dengan syarat-syarat yang sangat mudah. Bagi Yunus, penyebab orang menjadi miskin bukan karena faktor kelamasan, akan tetapi kesempatan mereka untuk memiliki modal usaha dan menjalankannya. Yunus tidak takut para peminjam tersebut tidak akan mengembalikan pinjaman, karena prinsip grameen bank adalah kepemilikan bersama. Peminjam yang tidak mengembalikan pinjaman sama saja dengan menghilangkan kesempatan untuk mendapat pinjaman berikutnya. Sehingga, orang-orang miskin yang memperoleh pinjaman dari grameen bank memiliki tanggung jawab besar untuk mengembalikan pinjaman tersebut, demi kelanjutan program ini. Penelitian Lutfun Nahar Khan Osmani (1998) untuk desertasi doktornya di Fakultas Ekonomi Oueen’s University, Belfast, memperlihatkan, perempuan penerima kredit Grameen meningkat secara nyata daya tawarnya di dalam keluarga. Itu bila diukur dari perasaan terhadap besarnya sumbangan pada sumber daya keluarga dan posisi status quo, dibandingkan dengan mereka yang tidak ikut di dalam kredit Grameen.

Dari Bangladesh untuk Perempuan Indonesia.

Kemiskinan perempuan mencapai lebih dari setengah jumlah populasi, dan mayoritas di antara mereka menetap dipedesaan. Berdasarkan penelitian komnas perempuan, kemiskinan keluarga turut memberikan andil kepada tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Akibat jeratan kemiskinan, sekitar 700 ribu perempuan Indonesia dipekerjakan sebagai PSK di berbagai negara, terutama Malaysia dan Singapura. Perempuan di Indonesia memang paling rentan dari kemiskinan, mengingat struktur sosial yang masih mengebiri hak-hak kaum perempuan terlibat dalam lapangan ekonomi. Belum lagi tingkat pendidikan perempuan Indonesia yang menyebabkan mereka sulit terserap dalam lapangan kerja.

Perempuan harus diberdayakan dengan memanfaatkan potensi yang dilikinya. Banyak kasus menunjukkan bahwa jika perempuan diberikan kesempatan dan akses modal, mereka akan sanggup memberdayakan ekonominya. Di Indonesia, banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga, mereka umumnya membuka warung makan, jual kue keliling, buka kios, hingga home industri. Umumnya, perempuan-perempuan tersebut kesulitan dalam mengakses modal dari bank umum karena persoalan syarat dan kriteria yang berat. Pembangunan Bank Model Grameen Bank bisa menjadi solusi bagi perempuan Indonesia. Kemungkinan di Indonesia bisa dilakukan penyesuaian dengan lebih sfesifik Bank Perempuan, yang menyalurkan kredit-mikro khusus bagi perempuan miskin.

*****

Ulfa Ilyas: Pemerhati masalah perempuan, aktifis Bidang Perempuan –Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Staff Sekretariat Nasional DPP Papernas. Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: April 2008