Perempuan Melawan Neoliberalisme

Kekerasan Mahasiswa versus Kebrutalan Negara

Oleh: Ulfa Ilyas
Diskursus tentang kekerasan kembali menguat akhir-akhir ini. Setidaknya, ada beberapa rentetan kejadian yang tertangkap oleh media massa dan masyarakat umum yang kemudian dipersepsikan sebagai “gejala menguatnya aksi kekerasan”. Kita bisa menyebut tragedi monas, penyerbuan polisi kedalam kampus UNAS, dan terakhir demo mahasiswa yang berakhir rusuh di depan gedung DPR. Ada perbedaan mencolok dalam kejadian-kejadian diatas, antara peristiwa monas dan kasus kekerasan yang dijalankan kepolisian di kampus UNAS, ataupun bentrokan didepan DPR. Akan tetapi, media massa merangkumnya menjadi satu tema yakni “kekerasan”, yang semua kesalahannya dilimpahkan kepada sipil yang harus patuh kepada hukum.
Demonstrasi mahasiswa bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Gerakan mahasiswa merupakan sebuah bagian dari proses ekonomi-politik yang melingkupi perkembangan bangsa ini. Gerakan mahasiswa tidak bisa dipilah-pilah menjadi “demonstrasi damai” dan “aksi kekerasan”, karena kedua hal itu merupakan metode perjuangan yang diletakkan berdasarkan kondisi ekonomi-politik dan respon dari pemerintah.


Metode Kekerasan
Kita tidak dapat menyalahkan gerakan intifadah yang dilakukan oleh militan palestina untuk mengusir penjajah(Israel). Pilihan jalan konfrontasi atau kekerasan, merupakan pilihan akhir ketika jalan dialog dan perundingan secara baik-baik mengalami kebuntuan dan tidak memperlihatkan kebaikan. Penggunaan cara-cara yang keras, tidak kompromi, dan tidak sopan merupakan dorongan-dorongan emosinal sebagai akumulasi kemarahan atas sebuah situasi. Kemarahan ini berada diluar batas-batas yang bisa ditampung oleh sistem, sehingga bentuk pengekpresiannya berada diluar batas-batas yang ditoleransi oleh sistem.
Demo mahasiswa yang berakhir rusuh didepan DPR dan depan kampus Atmajaya merupakan ekspresi kemarahan terhadap tindakan politik pemerintah yang diluar batas. Sejak awal, gerakan mahasiswa sudah memperingatkan kepada SBY-JK perihal kebijakan ekonominya yang salah, yang menurut mahasiswa selalu memihak kepada kepentingan modal asing. Kenaikan harga BBM merupakan konsekuensi dari kebijakan ekonomi pemerintah yang bertumpu pada neoliberalisme; perdagangan bebas, liberalisasi ekonomi, dan mekanisme pasar. sehingga sejak awal, mahasiswa bukan saja menentang kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, tetapi mengkoreksi arah kebijakan ekonomi pemerintah yang berbau “neoliberalisme”. Dimana-mana resep “neoliberal” terbukti gagal dan justru menimbulkan sebaliknya; kemiskinan, kelaparan dan kerusakan terhadap lingkungan.
Dan akhirnya, akhir bulan Mei lalu (23/05), meskipun gelombang protes meluas dari mahasiswa, buruh, petani, dan rakyat miskin lainnya, tetapi pemerintah tetap “ngotot” menaikkan harga BBM. sikap “ngotot” pemerintah menaikkan harga BBM dan tetap menjadi budak negara-negara imperialis mendorong kemarahan dan sikap anti-pemerintah dikalangan mahasiswa. Terlebih kemarahan itu makin berkembang takkala Maftuh fauzi yang jelas-jelas korban kekerasan aparat, kemudian oleh team dokter dinyatakan AIDS.
Kekerasan Pemerintah, Kekerasan Negara
Wacana kekerasan yang direproduksi oleh BIN, aparat kepolisian, ataupun pihak istana bertumpu pada cara pandang hukum yang begitu sempit. Jika memakai hukum secara buta, maka dapat disimpulkan bahwa para pejuang kemerdekaan, tokoh-tokoh pergerakan melawan kolonial yang telah mengobarkan perang kekerasan melawan penjajah telah melakukan tindakan kekerasan pula, yang melanggar hukum. Sehingga, wacana kekerasan tidak dapat didefinisikan dari sudut pandang hukum formal saja, tetapi harus diletakkan pada latar-belakang ekonomi-politik.
Sebenarnya, metode kekerasan yang dipergunakan mahasiswa bertujuan untuk membendung bentuk kekerasan negara yang dilancarkan pemerintah dengan kenaikan harga BBM, yang menyerang seluruh lapangan ekonomi rakyat. Kekerasan ekonomi berimbas pada melonjaknya angka kemiskinan, semakin terpukulnya daya beli rakyat, dan semakin sempitnya kesempatan untuk hidup (survival) dinegara ini. Jadi negara telah melakukan kekerasan ekonomi, yang juga berefek kekerasan sosial (kriminalitas), kekerasan psikologis (banyak yang gila dan bunuh diri), dan kekerasan budaya(rakyat semakin kehilangan mental produktifnya). Kekerasan yang dijalankan negara itu tidaklah sebanding dengan kerusakan pintu DPR ataupun sebuah Avanza merah yang terbakar didepan Atmajaya akibat kemarahan mahasiswa. Pun demikian, metode kekerasan yang dijalankan mahasiswa tidak mengarah pada kerusakan umum tetapi lebih mengarah pada symbol-simbol pemerintah dan apparatus kekerasannya (polisi); plat merah, pos polisi, mobil patroli, dan lain-lain.
Disini ada gerakan anti pemerintah yang direproduksi oleh kebijakan pemerintah yang tidak populer. Pemerintah harus menyikapi ini dengan melakukan koreksi terhadap kebijakannya, serta mengajak semua kelompok oposisi untuk mendiskusikan jalan terbaik (alternative), bukan menjalankan serangan balik. Penangkapan, penggeledahan, dan pengejaran sejumlah aktifis yang diduga terlibat kekerasan hanya akan memperpanjang dan memperuncing pertentangan antara rakyat dan pemerintah. Seolah-olah pemerintah mau memperlihatkan watak negara yang jauh lebih kuat pada rakyat, inilah otoritarianisme.
Penulis adalah Aktifis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: Juli 2008