Perempuan Melawan Neoliberalisme

Persoalan Demokrasi dan Affirmative Action Bagi Perempuan

Ulfa Ilyas

Mahkamah Konstitusi telah memutuskan membatalkan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Dengan demikian, calon anggota legislatif terpilih pada Pemilu 2009 tidak bisa berdasarkan nomor urut, tetapi harus meraih suara terbanyak. Putusan ini berkarakter demokratis, karena telah memberikan kesempatan kepada kandidat yang mendapat dukungan mayoritas. Seperti diketahui, karena penetapan calon terpilih berdasarkan nomor urut, maka calon legislatif yang mendapat dukungan mayoritas tapi berada dibawah nomor urut bahwa tidak bisa ditetapkan sebagai calon terpilih.

Disisi lain, berbagai perwakilan aktifis perempuan menolak putusan ini. mereka menganggap putusan MK tersebut akan menyulitkan pemenuhan kuota 30% perempuan di parlemen seperti yang diatur di UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Dengan putusan MK ini, Kuota 30 persen perempuan dan sistem akan menjadi mandul.


">Persoalan Demokrasi

Keputusan MK jelas berkarakter demokratis. berdasarkan keputusan ini, penetapan calon terpilih akan didasarkan kepada suara terbanyak. Artinya, calon yang terpilih nantinya punya basis dukungan dan legitimasi yang kuat, meskipun dalam demokrasi keterwakilan aturan prosedural lebih penting ketimbang substantif (partisipasi dan kesukarelaan).

Selama puluhan tahun, sistem politik indonesia dikangkangi oleh elit yang mendasarkan kekuasaannya pada pengusaan sumber daya ekonomi. Dengan uang yang dimiliki, mereka sanggup memastikan jabatan politik tetap berada di tangannya. Kursi DPR ibaratnya barang dagangan yang dipasarkan lewat etalase politik. dan hal semacam ini, merupakan penghasilan tambahan bagi sejumlah partai. Meskipun tidak ada jaminan bahwa system suara terbanyak akan menghapus tradisi elit membeli suara rakyat dengan uang yang dimilikinya.

Akan tetapi, mayoritas aktifis perempuan berada diseberang keputusan ini. Alasan mereka cukup bisa diterima; pasalnya, affirmative action yang diperjuangkan dengan susah payah agar perempuan punya cukup ruang dalam ruang parlemen harus mental oleh keputusan ini. Mereka pun menuduh putusan ini tidak demokratis, karena mengebiri hak-hak perempuan.

Muncul pertanyaan; kenapa keputusan yang berkarakter demokratis dianggap kurang demokratis.

Baiklah kita lihat pengaruhnya dalam sistim politik Indonesia sekarang ini; pertama, kerangka politik Indonesia yang cukup lama dikontrol oleh otoritas partai akhirnya sedikit berubah. Caleg-caleg yang berkomitmen, terutama yang mewakili massa luas, akhirnya punya kesempatan sedikit untuk bermain di dalam partai besar. Meskipun perubahan kerangka politik ini belum bisa menghapus politik jual beli suara, tetapi setidaknya telah mengikis pemberian upeti kepada pejabat partai oleh kandidat/calon. Kedua, situasi ini akan mendorong calon/kandidat untuk lebih aktif mendekati massa, atau kalau tidak harus berjuang mendongkrak popularitasnya. Dalam hal bersentuhan dengan massa, kandidat aktifis (laki-laki/perempuan) punya nilai plus ketimbang kandidat-kandidat tersebut, karena ia lebih tahu mengarahkan massa, punya pengalaman perjuangan bersama mereka, dan tentu saja tidak kesulitan dalam berinteraksi.

Disisi lain, perempuan sudah lama tersisih dari arena ini. Rasanya akan sulit merubah kultur politik semacam ini, setidaknya dalam kerangka mendorong reformasi structural secara perlahan-lahan, jika tidak ada advokasi berupa affirmative action.

Jalan Lain Buat Perempuan

Menurut saya, gerakan perempuan tidak perlu berada dalam posisi berhadapan dengan keputusan ini, karena kendati diuntungkan oleh sistim zipper system tetap saja tidak ada keleluasaan jika kerangka politik partai masih dimonopoli pejabat partai. Koordinator CETRO Hadar N. Gumay justru mengatakan inilah saatnya kaum hawa melihat komitmen serius dari partai untuk melakukan affirmative action terhadap keterwakilan perempuan. Menurutnya, Zipper system belum tentu pararel dengan kepentingan politik perempuan jika keseriusan dan kebijakan partai tetap dikontrol segelintir orang. Ia mencontohkan PPP yang "terbaik" soal zipper system hanya memiliki sekitar 14 perempuan dari 77 dapil.

Disamping itu, ada kebutuhan kepada caleg perempuan untuk memunculkan seni berpolitik yang berbeda dengan para elit politisi sekarang ini. Disini, metode-metode kampanye dan menggali dukungan perlu dipararelkan dengan pekerjaan mengorganisir massa, terutama perempuan, untuk diarahkan pada aksi-aksi konkret baik di wilayah legislasi (fungsi-fungsi DPR/DPD) maupun dalam aksi-aksi protes melawan kebijakan yang tidak pro-feminis dan pro-rakyat.

Untuk mengatasi ketimpangan sistim politik, yang kurang menerima perempuan, maka setidaknya KPU harus mengeluarkan aturan baru, misalnya mengatur bahwa setiap partai yang memperoleh kursi diatas dua disetiap dapil (nasional, DPRD I, dan DPRD II), maka satu kursi harus diserahkan kepada perempuan yang memperoleh suara terbanyak.


Ulfa Ilyas, Aktifis Sosial dan pemerhati masalah politik perempuan


Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: Januari 2009