Perempuan Melawan Neoliberalisme

Grameen Bank: (Salah satu) Cara Mengatasi Kemiskinan Perempuan


Oleh: Ulfa Ilyas

Kemiskinan adalah penyakit. Penyakit kemiskinan menyerang korbannya dengan tidak memberikan sedikitpun toleransi untuk memperpanjang hidup. Penyakit yang satu ini bisa memaksa penderitanya untuk melakukan tindakan-tindakan esktrem, termasuk hal-hal yang diluar batas kewajaran. Di Bekasi, Jawa Barat, Ny. Ismiati rela mengakhiri nyawa dua anaknya, masing –masing Fuadi Rasyid (4 bulan) dan Mutiara Yusuf (2 tahun), diduga kerena tekanan stress. Ny. Ismiati adalah potret perempuan miskin di Indonesia yang diperhadapkan dengan situasi harus menanggung beban ekonomi keluarganya. Di Indonesia, predikat kemiskinan masih melekat kuat ditengah-tengah kaum perempuan. Hal ini diperkuat fakta yang dirilis oleh Women Development Index bahwa jumlah perempuan miskin di Indonesia adalah antara 111 juta jiwa. Belum lagi dalam aspek pendidikan, perempuan jauh tertinggal dari laki-laki. Anak laki-laki yang tidak tamat sekolah dasar 5,34% dan anak perempuan 11,9%.

Di bangladesh, situasinya lebih mirip dengan Indonesia. Tahun 1974, Bangladesh mengalami bencana kelaparan. Di seluruh kota Islamabad terlihat pemandangan orang-orang miskin yang menyerupai tengkorak. Di desa-desa, hanya demi 40 sen dolar, kaum perempuan itu memanfatkan bobot tubuh dan gerakan kaki tanpa alas untuk mengirik padi selama 10 jam sehari! Bangladesh sendiri merupakan langganan banjir besar dan bencana alam yang menewaskan ribuan penduduknya. Banyak perempuan yang menjanda setelah banjir pergi, atau mereka ditinggal pergi oleh suaminya dengan meninggalkan ana-anak yang harus ditangung.

Kemunculan Grameen Bank

Grameen bank (Bank Pedesaan) mulai dirintis oleh Muhammad Yunus tahun 1976, peraih Nobel Perdamaian 2006, namun baru bisa berdiri secara formal pada tahun 1983. Grameen Bank sendiri merupakan bentuk eksperimen M. Yunus untuk menjawab kemiskinan yang melanda Bangladesh yang mayoritas perempuan. Perempuan Bangladesh yang bekerja sepanjang hari untuk mendapatkan 2 sen dolar, setelah di bagi dengan rentenir. Salah satu hambatan produktifitas perempuan di Bangladesh adalah keberadaan rentenir dan para mullah. Ketika muhammad Yunus memulai pekerjaannya, ia banyak mendapat penentangan dari kelompok para mullah yang menuduh grameen bank sebagai alat kristenisasi atau mengajak menjadi kafir.

Grameen Bank memberikan kredit-mikro kepada orang-orang miskin dengan syarat-syarat yang sangat mudah. Bagi Yunus, penyebab orang menjadi miskin bukan karena faktor kelamasan, akan tetapi kesempatan mereka untuk memiliki modal usaha dan menjalankannya. Yunus tidak takut para peminjam tersebut tidak akan mengembalikan pinjaman, karena prinsip grameen bank adalah kepemilikan bersama. Peminjam yang tidak mengembalikan pinjaman sama saja dengan menghilangkan kesempatan untuk mendapat pinjaman berikutnya. Sehingga, orang-orang miskin yang memperoleh pinjaman dari grameen bank memiliki tanggung jawab besar untuk mengembalikan pinjaman tersebut, demi kelanjutan program ini. Penelitian Lutfun Nahar Khan Osmani (1998) untuk desertasi doktornya di Fakultas Ekonomi Oueen’s University, Belfast, memperlihatkan, perempuan penerima kredit Grameen meningkat secara nyata daya tawarnya di dalam keluarga. Itu bila diukur dari perasaan terhadap besarnya sumbangan pada sumber daya keluarga dan posisi status quo, dibandingkan dengan mereka yang tidak ikut di dalam kredit Grameen.

Dari Bangladesh untuk Perempuan Indonesia.

Kemiskinan perempuan mencapai lebih dari setengah jumlah populasi, dan mayoritas di antara mereka menetap dipedesaan. Berdasarkan penelitian komnas perempuan, kemiskinan keluarga turut memberikan andil kepada tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Akibat jeratan kemiskinan, sekitar 700 ribu perempuan Indonesia dipekerjakan sebagai PSK di berbagai negara, terutama Malaysia dan Singapura. Perempuan di Indonesia memang paling rentan dari kemiskinan, mengingat struktur sosial yang masih mengebiri hak-hak kaum perempuan terlibat dalam lapangan ekonomi. Belum lagi tingkat pendidikan perempuan Indonesia yang menyebabkan mereka sulit terserap dalam lapangan kerja.

Perempuan harus diberdayakan dengan memanfaatkan potensi yang dilikinya. Banyak kasus menunjukkan bahwa jika perempuan diberikan kesempatan dan akses modal, mereka akan sanggup memberdayakan ekonominya. Di Indonesia, banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga, mereka umumnya membuka warung makan, jual kue keliling, buka kios, hingga home industri. Umumnya, perempuan-perempuan tersebut kesulitan dalam mengakses modal dari bank umum karena persoalan syarat dan kriteria yang berat. Pembangunan Bank Model Grameen Bank bisa menjadi solusi bagi perempuan Indonesia. Kemungkinan di Indonesia bisa dilakukan penyesuaian dengan lebih sfesifik Bank Perempuan, yang menyalurkan kredit-mikro khusus bagi perempuan miskin.

*****

Ulfa Ilyas: Pemerhati masalah perempuan, aktifis Bidang Perempuan –Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Staff Sekretariat Nasional DPP Papernas.

1 komentar:

  1. Anonim mengatakan...

    Mantap. semakin hari semakin memperlihatkan kemajuan dan kematangan dalam membuat artikel dan analysis. tetap semangat ul!