Habis Gelap Terbit “Suram”; Nasib Pekerja Indonesia





Oktober 4, 2007
Oleh : Ulfa ILyas
SEOLAH-OLAH sudah menjadi takdir klas pekerja di
Kembali sebuah logika terbalik di jadikan alasan pembahasan klausul perundanga-undangan perburuhan untuk memanipulasi dan menipu buruh agar menerima paket-paket liberalisasi sektor perburuhan. Bahwa pemerintah mencoba menyelesaikan beberapa klaususl tersebut hanya dengan merubah redaksi, tetapi sama sekali tidak menyentuh problem pokoknya. Sangat jelas bahwa dalam UU Ketenagakerjaan ada dua semangat yang sangat di tentang oleh kaum buruh yakni Sistem kontrak dan Outsourcing. Ketika persoalan fundamental ini tidak di selesaikan, maka bagaimanapun klausul yang di tawarkan oleh pemerinatah tidak akan menyelesaikan masalah. Erman Suparno, menteri tenaga kerja dan Transmigrasi menganggap bahwa RPP pesangon dan RPP Jaminan PHK ini adalah modal plus bagi hak-hak buruh selain hak buruh yang sebelumnya di jamin: Selain jaminan kesehatan, kecelakaan, hari tua, dan kematian.
Memang sungguh hal miris, bahwa masih ada sekitar 60 ribu kasus pemutusan hubungan kerja(PHK) dengan nilai pesangon sekitar 500 Milyar rupiah, sampai saat ini belum diselesaikan. Tentunya ini adalah sebuah realitas yang tidak bisa di tutupi, dan butuh tindakan darurat untuk memberikan jaminan hukum dan mobilisasi anggaran hingga pekerja terpastikan menerima hak-hakanya tersebut.
Deregulasi Untuk reformasi system Perburuhan Indonesia
Secara umum perdebatan yang mengemuka antara beberapa Aliansi serikat Pekerja (terutama serikat buruh kuning) dengan pemerintah bertitik pada beberapa problem mendasar dalam Rancangan RPP itu, antara lain: soal premi 3 % yang ditawarkan oleh pemerintah (dan merupakan posisi mutlak Asosiasi Pengusaha) dan persoalan patokan perhituangan pesangon ditetapkan batas atas gaji yang menjadi faktor pengkali jumlah pesangon sebesar lima kali pendapatan tidak kena pajak (PTKP), yang saat ini sebesar Rp 1,1 juta. Artinya, gaji maksimal pekerja yang dijamin pesangonnya, hanya Rp 5,5 juta per bulan. Serikat pekerja melihat bahwa dengan patokan Rp.5,5 juta maka RPP ini diskriminatif karena otomatis pekerja yang berpendapatan diatas gaji tersebut tidak akan memperoleh jaminan. Disisi lain, Erman Suparno, mewakili pemerintah beranggapan bahwa dengan patokan Rp.5,5 Juta itu sebenarnya tidak terlalu berpengaruh ke mayoritas pekerja karena dari total jumlah pekerja Dari 27 juta tenaga kerja, terdapat 99% pekerja yang berpenghasilan di bawah 5 kali PTKP (Rp. 5,5 juta) sedangkan yang berpendapatan di atas lebih kecil.
Esensi perdebatan ini sebenarnya tidak menyentuh asal –muasal dan kepentingan pokok yang ingin di targetkan pemerintah sebagai kelanjutan dari reformasi perburuhan agar mengikuti standar yang di inginkan oleh investor (pemilik Modal). Apa sebenarnya yang menjadi kehendak pemodal dan pemerintah dalam pembahasan RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak dan RPP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK). (1) Melestarikan sistem Kontrak dan Outsorcing. Kenapa? tuntutan perombakan sistem perburuhan seperti yang dikehendaki pemilik modal(investor) adalah sesuatu yang tidak bisa di tunda-tunda lagi (baca; dikompromikan), sehingga harus di cari jalan untuk memaksakan sistem kontrak dan outsourcing tetap menjadi pilihan penguasaha. Dengan adanya jaminan pesangon, dan bahwa logika “Makin lama bekerja makin banyak gajinya” membuat buruh tidak teralalu pusing dengan status pekerjaannya (kontrak). (2). Di masa yang akan datang, Pemutusan hubungan kerja(PHK) akan semakin massif dengan berbagai alasan oleh pengusaha, dan bagi buruh setelah di PHK mereka mendapat jaminan mendapatkan pesangon. Sebenarnya ini hanyalah politik pengusaha dan pemerintah untuk melemahkan posisi buruh di tempat kerjanya (organisasi unit kerja) karena massifnya PHK, karena dengan PHK dan di topang outsourcing maka pengusaha bisa secara sepihak bisa menekan buruh dalam persolan upah, dan hak-hak normatif lainnya. (3). Bahwa kedua RPP, ini hanya bentuk lain dari revisi UU Ketenagakerjaan yang sudah di rubah bentuknya namun tidak menghilangkan substansi dan tujuan semulanya. (4) ini bisa di curigai strategi pemerintah untuk menghimpun dana tambahan dari masyarakat (utamanya pekerja) yang sebenarnya harus di simpan untuk jaminan hari tua/atau setelah di PHK, di sedot untuk di spekulasikan di bursa saham. Karena dalam prosesanya bentuknya bukan asuransi tetapi cenderung dalam bentuk reksadana.
Metode legislasi Kebijakan yang berulang-ulang
Metode yang di tempuh pemerintah, DPR dan pengusaha ini bukanlah “modus operandi” yang sama sekali baru, tetapi sudah berulangkali dilakukan. Kebijakan pemerintah yang dianggap mendesak oleh mereka, namun mendapat perlawan luas dari
Sebenarnya jikalau pemerintah ingin memberikan perlindungan terhadap pekerja, termasuk berbagai kasus PHK yang upahnya belum dibayarkan (menurut menakertrans) maka persoalan fundamentalnya adalah merombak regulasi perburuhan kita dengan tidak mengijinkan sistem Kontrak, outsourcing, membuat aturan yang melarang PHK, dan tidak mendiskreditkan serikat buruh—utamanya serikat buruh radikal. Tidak ada lagi diskriminasi antara sektor formal dan informal, dan pemerintah mestinya lebih berpihak kepada buruh dalam persoalan industrial. Pemerintah harus tegas dan berdaulat dalam menghadapi dan menekan perusahaan yang seenaknya saja memasukkan dan memindahkan investasi dari
Cukup sudah alasan investasi, dijadikan tameng untuk melepaskan gandul yang akan memukul lonceng kematian kaum buruh, karena tanpa klas pekerja sebenarnya negara tidak ada apa-apanya.
Penulis adalah Aktifis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
0 komentar:
Posting Komentar