Perempuan Melawan Neoliberalisme

Kampus, Penerimaan Mahasiswa Baru dan Kualitas Pendidikan








Oktober 4, 2007

Oleh : Ulfa Ilyas

Sudah menjadi kebiasaan rutin kampus-kampus di Indonesia tiap tahunnya pada periode Juni-November di sibukkan dengan aktivitas penerimaan Mahasiswa baru. Berbagai selebaran, poster, booklet, spanduk, baliho, pengumuman di koran, Radio, televisi menjadi ajang sosialisasi sekaligus promosi bagi kampus-kampus tersebut untuk menggaet minat mahasiswa baru. Umumnya kampus negeri tidak terlalu disibukkan dengan kegiatan promosi tersebut karena berhitung peminat, kampus negeri masih menjadi harapan begitu banyak calon mahasiswa apalagi mitos lama kampus negeri sebagai “Kampus Murah”, dan “tempatnya orang-orang pintar”. Namun, nasib malang menimpa kampus swasta –terutama yang dikelolah oleh yayasan atau pemodal kere’—harus kerja keras melakukan promosi kemahasiswa baru karena kalau tidak maka peminatnya pun sepi.

Promosi adalah langkah yang bijak dalam teori ekonomi pasar, bagaimana penjual produk menawarkan produknya dengan serangkaian propoganda tentang keunggulan produknya di mata pembeli. Namun, terkadang promosi yang ditampilkan dalam bentuk selebaran, poster,spanduk dan famplet tersebut sangat bertolak-belakang dengan kenyataan di lapangan. Alih-alih membicarakan persoalan kualitas pendidikan di kampus-kampus di Kota Makassar, image orang masih di kuasai oleh pencitraan bahwa mahasiswa dan kampus makassar adalah sarangnya “para pendekar” bukan kaum intelektual. Image buruk ini sudah melekat kuat bahwa mahasiswa makassar rajin tawuran, lebih senang membawa badik(senjata khas bugis-makassar), kelewang, dan sejenisnya ketimbang membawa buku-buku dan peralatan belajar. Inilah ironi dalam penyambutan mahasiswa baru tahun ini?

KAMPUS, DAN KUALITAS INTELEKTUALITAS

Kampus sebagai lembaga pendidikan bertujuan untuk mencetak manusia-manusia intelek garda depan untuk menopang pembangunan nasional, posisi kampus sebagai pusat studi ilmiah tercantum dalam tri-dharma perguruan tinggi (pendidikan, Penelitian dan Pengabdian masyarakat). Kampus bukan hanya pusat belajar-mengajar tetapi lebih jauh merupakan lembaga riset dan praksis bagi problem-problem sosial di masyarakat, inilah yang membedakan kampus dengan lembaga pendidikan di bawahnya SD,SMP, dan SMU. Sedangkan mahasiswa sebagai salah satu lapisan sosial khusus dalam masyarakat dianggap sebagai cikal bakal yang akan menentukan masa depan bangsa, karena keistimewaan yang diperolehnya dari lembaga pendidikan kampus(baca; Intelektualitas). Agar ini bisa terwujud, maka interaksi sosial dalam kampus seharusnya mencerminkan kehidupan sosial yang ilmiah, demokratis dan kerakyatan( baca; bervisi untuk kepentingan rakyat).

Melihat hal diatas maka sangat susah menemukan bentuk interaksi sosial yang mencerminkan intelektualitas, pembentukan karakter, dan fungsi sosial dalam kehidupan kampus di makassar. Fenomena tawuran masih dominan terjadi diberbagai kampus di makassar bukan hanya kampus swasta ( Universitas “45” Makassar, STIEM Bongayya, Universitas Muslim Indonesia(UMI) Makassar, STIMIK Dipanegara, UKI-Paulus, Universitas Veteran-UVRI Makassar) tetapi juga menyeret kampus negeri (Universitas Negeri Makassar/UNM—dulu IKIP, dan IAIN Alauddin). Memahami fenomena sosial dalam kacamata teori sosial tidak hanya bisa disimpulkan sebagai persoalan missed-comunication tetapi juga harus diletakkan dalam konteks perkembangan sosial masyarakat. Fenomena perang, saling memusnahkan, saling menghancurkan, dan perebutan wilayah kekuasaan dengan mengadalkan otot/kekuatan fisik merupakan fase dalam perkembangan masyarakat feodal. Ini adalah ekspresi dari eksistensi penguasa-penguasa yang ingin menunjukkan kekuasaannya terhadap penguasa lain. Dalam kehidupan kampus ini tercermin dengan pembagian batas-batas fakultas, himpunan, jurusan, angkatan, organisasi, tempat tongkrongan dan lain-lain. Analisa ini semakin di kuatkan dengan wacana “orang-orang kampung” untuk menjelaskan latarbelakang mahasiswa-mahasiswa ini. mereka adalah orang-orang dari kampung dengan sentimen feodal yang masih kuat, masuk kedalam kultur kampus yang kultur demokrasinya tidak ada, malah menyuburkan pemikiran konservatif tersebut.

Di Makassar, sangat susah menemukan mahasiswa di angkutan kota(Angkot) membaca buku, atau berdiskusi dengan temannya dengan tema –tema ilmiah. Bahkan yang paling miris sekaligus memalukan adalah banyak mahasiswa yang sama sekali tidak membawa peralatan kuliah kekampus, dan banyak diantara mereka menghabiskan waktunya di kampus dengan bersenda gurau, atau hal-hal lain yang jauh dari nuansa akademis. Bagaimana membangun kultur ilmiah, demokratis dan modern dalam kehidupan lembaga pendidikan jika syarat-syarat materialnya tidak diciptakan. Dan anehnya lagi, munculnya organisasi alternatif (organisasi Gerakan Mahasiswa diluar kelompok Cipayung) yang mencoba mengembangkan wacana kritis di kampus justru dicap ilegal dan dimatikan, menjadi lahan subur menguatnya gejala anti intelektualitas.

MAHASISWA BARU, DAN HARAPAN MASA DEPAN.

Mahasiswa baru sebagai calon pendatang baru di dalam lingkungan sosial yang baru ini harus menghadapi beberapa tantangan diantara; (1) kehidupan sosial kampus yang tidak mengkondisikan lahirnya kaum intelektual, pemikir masa depan, dan memanusiakan manusia(Paulo Freire), (2). Sosialisasi dan booming promosi dari pihak kampus terkadang menutupi dan memanipulasi keadaan membuat mahasiswa baru bisa memiliki pilihan yang salah.(3). Problem pendidikan secara umum seperti persoalan Neoliberalisme dan anggaran pendidikan menjadi aspek yang justru luput dari pengetahuan calon mahasiswa baru, padahal aspek ini cukup luas cakupannya karena meliputi biaya pendidikan, kurikulum dan mutu pendidikan, dan orientasi pendidikan itu sendiri.

Menjamurnya sekolah-sekolah akademi, dan sekolah penyedia layanan pemberi keterampilan seperti lembaga kursus adalah gejala lain dari semakin merosotnya kualitas pendidikan secara umum di Sulawesi Selatan. Semakin banyak orang mengambil pilihan untuk memperoleh keterampilan, ijazah di lembaga profesi seperti LP3I, dan akademi kesehatan merupakan gejala merosotnya derajat keilmuan. Kenapa tidak, Universitas sebagai penyedia manusia dengan kualifikasi keilmuan(sains) semakin ditinggalkan dan semakin banyak lulusannya masuk dalam barisan pengangguran massal. Sedangkan perluasan investasi sebagai ekses pembukaan pintu bagi modal asing oleh proyek otonomi daerah membutuhkan tenaga kerja siap pakai (asal bisa mengoperasionalkan komputer, mengerti dasar-dasar pembukuan, dan pengetahuan dasar soal tekhnik—politeknik). Kondisi ini sangat berbahaya karena kondisi ini akan menyebabkan ketergantungan terhadap tekhnologi asing sedangkan kita tidak bisa menghasilkannya karena tidak punya ilmuan bermutu.

Mahasiswa baru, harus lebih kritis dalam memantapkan pilihan-pilihannya jika betul-betul punya cita-cita besar dalam dirinya untuk keluarga, daerah dan bangsa. Jika tidak, maka mereka akan terbawa arus pencitraan buruk kampus-kampus yang ada di makassar saat ini. terima kasih.***

Penulis adalah Aktivis Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi(LMND)

0 komentar: