Perempuan Melawan Neoliberalisme

Perempuan, Agama dan Politik.


Tanggapan untuk Hawariah Marsah “Kiprah Politik Perempuan”. Harian Fajar, 26 April 2007.


Oleh: Ulfa Ilyas

Persoalan perempuan memang persoalan yang sangat ruwet sehingga seolah-olah tidak ada jalan keluarnya, apalagi kultur masyarakat yang sangat patriarkal. Bagi mereka perempuan hanya ditempatkan diwilayah domestik saja dan tidak berhak untuk menjadi kepala keluarga untuk berperan aktif dalam kerja-kerja kepala keluarga. Manusia adalah sebagai mahluk tuhan (hamba Allah) baik perempuan maupun laki-laki. Yang diciptakan dimuka bumi Ini(dunia) berpasang-pasangan dan bertanggung jawab untuk................

Saya sepakat dengan posisi yang diajukan oleh ibu Hawariah dalam paragraf pertama tulisannya bahwa perempuan dan gerakan feminis tidak boleh diisolasi dari masyarakat dan politik. Beliau menyanggah pendapat yang menganggap bahwa politik hanya persoalan kekuasaan dan legislasi; sebuah aktivitas politik untuk memenangkan pertarungan kekuasaan dan pengambilan kebijakan. Ibu Hawariah menyalakan gerakan feminisme saat ini yang hanya melihat politik sekedar kekuasaan dan bagaimana berbicara mekanisme kuota, keterlibatan, dan partisipasi perempuan dalam mempengaruhi kebijakan. Menurutnya buah dari pandangan ini adalah sikap gerakan perempuan yang ekslusif dan bahwa persoalan perempuan hanya kaum perempuanlah yang harus menyikapinya.

Namun, sebenarnya ibu Hawariah pun telah tergeleincir dalam pemikiran yang salah ketika menghakimi keterlibatan perempuan keluar dari wilayah-wilayah domestik, dan memperjuangkan eksistensinya hubungannya dengan laki-laki. Perjuangan pembebasan pembebasan perempuan hanya akan berhasil jika perempuan bisa memahami akar ketertindasannya, inilah yang tidak dipahami oleh Ibu Hawariah. Pandangan solutif yang ditawarkannya berdasarkan dalil-dalil agama semakin mempersulit pembebasan perempuan karena di bungkus oleh ideologi kaku dan sangat absolut. Mana mungkin ada pembebasan perempuan jika kaum perempuan masih tertindas oleh patriarkhi.

PEREMPUAN DAN PATRIARKHI

Patriarkhi adalah sebuah ideologi yang mengukuhkan dominasi laki-laki/maskulinitas atas kaum perempuan/female, ideologi ini muncul bukanlah dalam proses alamiah(kodrat/sudah semestinya) tetapi lebih pada faktor historis. Dalam penelitian seorang antropolog bernama Lewis H.Morgan menyebutkan dalam penelitiannya bahwa ada perempuan pernah menempati posisi sosial sejajar bahkan menentukan dalam organisasi sosial masyarakat. Dalam Masyarakat Indian Iraquis yang ditelitinya dijelaskan bahwa kaum perempuan mengambil posisi yang menentukan, bahkan kaum perempuan bisa dipilih memimpin sukunya. Dalam masyarakat Iraquis segala sesuatu ditentukan secara kolektif –melibatkan semua anggota kelompok, dan tidak ada diskriminasi dalam pembagian makanan karena perbedaan seks, umur, dan keahlian. Bahkan yang paling ekstrem dalam penelitian Morgan belum dikenal istilah keluarga inti (ayah,Ibu, dan anak) garis keturunan ditentukan secara matrineal yaitui garis ibu yang menggabungkan kelompok ibu, saudara laki-laki mereka dan anak-anak dari pihak ibu. Dia menegaskan perkembangan hubungan gender dari kebebasan seksual dan organisasi sosial yang berdasarkan pada peniruan kekerabatan melalui garis ibu, apa yang di sebutnya sebagai sebuah bentuk keluarga yang berdasarkan dengan pada siapa bisa melakukan hubungan seksual dan famili manakah yang membentuk satu kelompok sosial yang inti.

Pemeliharan binatang dan perkembangan dari pemeliharaan persediaan makanan menambah lebih besar akumulasi kekayaan dan hal ini mengarahkannya pada hubungan sosial yang baru yang merubah hubungan jender. Kepemilikan kekayaan mulai dirubah dari kepemilikan klan (turun-temurun) kepada kepemilikan pribadi dalam keluarga. Bentuk lain dari kepemilikan juga mengakumulasi (peralatan logam, barang-barang mewah) dan kebutuhan akan perkembangan tenaga manusia. Perkembangan kekayaan memberikan status yang lebih kepada keluarga dan memberikan rangsangan untuk menjatuhkan warisan matrilineal dalam rangka memapankan institusi patriarki. Engels berpendapat bahwa revolusi gender ini menggantikan dalam jaman pra sejarah., sebelum penciptaan tulisan, sehingga menjadi bagaimana dan kapan hal tersebut digantikan, belum diketahui. Tetapi hal itu bisa ditunjukkan secara etnografi.

Sejatinya, kata keluarga berasal dari istilah latin famulus yang berarti pelayan keluarga, dan familia, keseluruhan budak adalah milik dari laki-laki , patriarki, yang mewarisi semua kemakmuran dan mempunyai kekuatan yang nyata melebihi semua anggota dari rumah tangga. Ini landasan ilmiah untuk membantah pandangan Ibu Hawariah yang mengawang-awang yang menekankan pembebasan perempaun tampa melepaskan kotoran patriarkhi.

Dalam sejarah islam penegakan kekuasan patriarkhi semakin di perkuat dengan penerjamahan bahwa Imam haruslah laki-laki sehingga dalam rentang panjang sejarah islam yang berhak melakukan penafsiran terhadap Al-Qur’an adalah laki-laki. Konsekuensinya bukan hanya penegakan fiqih—tata cara beribadah yang benar, tetapi melampui itu memberikan dampak sosial, ekonomi dan politik bagi dominasi laki-laki terhadap perempuan.

PEREMPUAN DAN PERJUANGAN POLITIK

Dalam kritiknya, Ibu Hawariah telah melakukan jeneralisasi terhadap gerakan perempuan (baca;Feminisme) padahal yang dikritiknya hanyalah salah satu kecenderungan—tendensi dalam gerakan perempuan yaitu Feminisme Liberal. Feminisme liberal menganggap ukuran kemenangan gerakan perempuan jika perempuan bisa terlibat dalam politik kekuasaan dan mempengaruhi legislasi (pengambilan kebijakan). Dalam titik itu saya pun mengakui bahwa gerakan feminis telah gagal, dan cara pandang seperti itu tidak memadai. Penindasan terhadap perempaun saling tindih-menindih antara karakter feodalisme yang bertahan(patriarkhi) dan sistem kapitalisme yang telah melempar kaum perempuan menjadi buruh upahan bergaji rendah. Kapitalismelah yang telah menerapkan seks bebas (kumpul kebo) dengan memperluas pengangguran dan mempekecil kesempatan perempuan memperoleh kehidupan yang layak, sehingga banyak diantara mereka menjadi pekerja seks komersil(PSK). Laki-laki dari lapisan sosial atas telah menikmati kehidupan seks bebas tersebut oleh karena kelimpahan kekayaan mereka, fenomena seks bebas dalam lingkungan artis dengan anak pejabat tinggi dan pengusaha kaya adalah penjelasan sempurna atas hal tersebut.

Yang sangat aneh dan sekaligus menyedihkan adalah; kenapa kelompok islam semisal FPI, atau MUI tidak bereaksi atas perilaku seks bebas Mayang Sari dan Bambang Triatmodjo yang beredar luas di internet. Kenapa mereka tidak bereaksi dengan Yahya Zaini(seorang petinggi Golkar), atau pejabat-pejabat kaya yang memiliki istri simpanan yang banyak. Kenapa harus reaktif dengan pasangan muda-mudi di rumah kontrakan, tempat lokalisasi, atau membuat Perda Syariah yang merugikan pekerja perempuan yang harus lembur karena upahnya tidak mengcukupi.

Dan, sekarang pertanyaan penting buat Ibu Hawariah, kenapa ketika semakin banyak perempuan dari PKS dan dari partai lain tidak bisa menghentikan kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga, kekerasan terhadap TKW di luarnegeri, menghentikan kaum perempuan yang persentasenya paling banyak bunuh diri karena tekanan ekonomi keluarga. Kenapa mereka lebih bereaksi dengan bahaya pornografi, tetapi ratusan orang PKS di parlemen justru merestui kenaikan BBM yang membuat ibu-ibu rumah tangga menjerit bahkan ada yang bunuh diri. Inikah yang diajarkan oleh Islam dan Nabi Muhammad SAW kepada kita?***

Aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Jakarta Pusat

0 komentar: