Perempuan Melawan Neoliberalisme

Menakar Kualitas Demokrasi Dalam Pilkada Sulawesi Selatan










Oktober 4, 2007

Oleh : Ulfa Ilyas


Pemilihan Kepala Daerah Gubernur Sulawesi-Selatan sebentar lagi akan digelar. Berbagai macam Partai-partai politik yang akan bertarung nanti, telah menyiapkan calonnya untuk didaftarkan dalam pemilihan Kepala Daerah periode ini. Berbeda dengan pemerintahan otoriter yang ada pada masa soeharto(masa Orde Baru) yaitu Sentralisasi Kekuasaan, dimana kepala daerah pada masa itu ditunjuk, diangkat dan dipilih langsung oleh pemerintah pusat (presiden). Pilkada harus diletakkan dalam kerangka sebagai proses maju dalam proses politik demokrasi di Indonesia, terlepas dari sana-sini masih begitu banyak kelemahan dan kekurangan. Namun, seperti yang ditakutkan oleh banyak bahwa proses demokratik ini bisa di bajak oleh elit politik oportunis yang memainkan posisinya sebagai raja-raja lokal.

Seiring dengan ditetapkannya dan disahkannya UU Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah mengenai proses Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung(baca; Pilkada Langsung), sejak bulan Juni tahun 2005 kemarin berbagai daerah-daerah yang ada di Indonesia telah banyak melakukan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Dilihat dari Proses Pilkada di daerah-daerah yang sudah dilaksanakan ternyata begitu banyak kecurangan-kecuranganyang terjadi seperti maraknya praktik-praktik money politik oleh calon dan jauh sebelum pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung praktik money politik sudah banyak terjadi di berbagai-bagai tempat. Pasangan calon harus mengeluarkan uang yang banyak dan begitu besar untuk sekedar “menjadi calon” mengeluarkan uang untuk partainya, konstituen, broker-broker politik lokal, sebagai uang suap agar memilih pasangan calon tersebut.

Yang sangat ekstrem adalah pandangan yang menganggap hal lumrah pelanggaran-pelanggaran seperti money Politik, Kampanye terselubung, curi star, mempergunakan jalur birokrasi dan black Kampanye. Padahal sistem demokrasi mengisyaratkan bahwa peningkatan kualitas demokrasi hanya akan mungkin jika kompetisi para kandidat bisa berjalan dengan objektif—dalam pengertian bahwa biarkan rakyat yang akan memilih.

Mengutip Muhammad Asfar dalam artikelnya berjudul ( Pilkada langsung dan masa depan demokrasi) “Dalam suatu pemerintahan dimana para pejabat publik dipilih secara langsung oleh rakyat, penyelenggaraan pemerintahan haruslah dilakukan oleh pemerintah yang representatif (representatif goverment). Jadi dalam suatu pemerintahan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, pemerintahan daerah haruslah yang representatif. Representatif goverment adalah suatu penyelenggaran pemerintahan yang dicirikan setidaknya ada tiga karakteristik. Pertama, responsive terhadap aspirasi masyarakat, kedua, mampu mengartikulasikan isu-isu, program dan janji-janji partai politik dalam pemilu (kampanye) menjadi kebijakan publik, ketiga, akuntabel. Dalam hal ini penyelenggaraan pemerintahan pemilihan kepala daerah haruslah mendengar semua aspirasi-aspirasi masyarakat, menawarkan program-program dan isu-isu untuk kesejahteraan rakyat dan bukan hanya untuk sekedar hanya janji-janji semata.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN : PILKADA

Seperti telah dipahami bersama bahwa dengan digantikannya UU Nomor 22 tahun 1999 dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka proses perbaikan dalam politik lokal tengah berlangsung. Saat disahkannya UU Nomor 32 tahun 2004 ini oleh DPR-RI itu sangat mengundang polemik dan begitu banyak tentangan-tentangan mengenai proses penyusunan aturan hukum pilkada langsung dalam UU Nomor 32 tahun 2004 yang kurang transparan dan tidak melibatkan publik secara luas.

Dalam proses Pemilihan kepala daerah(Pilkada) di berbagai daerah-daerah dapat kita lihat ada begitu banyak kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya, pertama, bahwa pilkada bisa mendorong partisipasi politik rakyat, karena jaman orde baru rakyat tidak bisa terlibat langsung dalam partisipasi politik pilkada karena adanya sentralisasi kekuasaan. Kedua, Antara rakyat dengan calon ada kedekatan secara politik (“masih bisa diperdebatkan karena mekanisme pencalonan yang tidak partisipatif/mengakar”). Jika dibandingkan dengan model penunjukan lansung jaman Orde Baru maka bisa dikatakan interaksi calon dengan massa pendukung lebih kuat. Ketiga menjadi proses pendidikan politik bagi rakyat, mobilisasi-mobilisasi massa akan membangkitkan kesadaran berpolitik dan berdemokrasi. Sangat salah pandangan yang melihat mobilisasi-mobilisasi umum, dan rapat-rapat akbar sebagai sesuatu hal yang negatif, sistem demokrasi manapun mengakui saluran politik aksi massa sebagai sebuat metode demokratis penyampaian aspirasi.

Adapun kekurangan-kekurangan dalam proses pemilihan kepala daerah, pertama, mekanisme pencalonan yang kurang transparan, tidak demokratis dan kadang menjadi alat monopoli partai politik. Kedua, masih lemahnya kontrol rakyat dalam proses pilkada, rakyat hanya dijadikan sebagai kekuatan mobilisasi untuk partai politik tertentu. Ketiga, masih terjadinya praktik money politik, penggelembungan suara dan pemanfaatan struktur birokrasi unutk memenangkan calon tertentu. Keempat, masih kuatnya kultur primordialisme dan etnisitas sehingga cenderung pemilih kurang rasional dalam menentukan pilihan karena terjebak oleh simbol-simbol primordialisme. Kelima, kurangnya sosialisasi secara massa pada masyarakat tentang calon, program-program, dan syarat-syarat pemlih. Keenam, undang-undang pilkada dan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah belum memberikan kesempatan bagi calon independen yang didukung oleh organisasi-organisasi massa sehingga pemilihan kepala daerah menjadi pertarungan politik bagi partai-partai korup.

PILKADA SULSEL; DEMOKRASI VERSUS PRIMORDIALISME

Melihat aroma pertarungan politik menjelang pelaksanaan pilkada sulawesi selatan, bentuk-bentuk lama dalam mobilisasi dukungan seperti pemanfaatan jabatan, kekayaan dan money politik, dan terutama pendekatan primordialisme masih sangat kental. Bisa dilihat dari beberapa nama yang sudah muncul mewakili blok-blok etnisitas yang ada di sulawesi selatan seperti Syahrul Y Limpo (mewakili Etnis Makassar, Gowa, takalar, jeneponto, bantaeng) Amin Syam (mewakili etnis Bugis—Bone, Wajo, dan lain-lain), Abdul Azis Kahar Musakkar (mewakili etnis Luwu dan sekitarnya). Untuk proyeksi politik dalam pertarungan pilkada ini kelihatannya masih kental dengan kepentingan elit politik lokal untuk memperebutkan porsi kekuasaan yang lebih tinggi di daerah yang dikenal dengan kekayaan alamnya ini.

Memang, calon-calon tersebut memiliki basis politik dalam pengertian bahwa mereka didukung oleh partai-partai dan organisasi kemasyarakatan tertentu. Meskipun pendukung (baca; Keanggotaan Partai) melampaui batas-batas etnisitas, agama, daerah, dan lain-lain namun kepentingan elit partai sungguh fragmentatif sehingga menyulut perpecahan/konflik di internal partai. Partai kemudian tidak berdaya berhadapan dengan batas-batas primordialisme yang begitu kental tersebut, belum lagi kualitas elit politik dalam partai memang kapasitas sangat rendah.

Dan kemunculan calon independen (kalaupun dibolehkan oleh Judicial Review MK) tidak akan merubah konfigurasi politik tersebut. Malah jika tidak didukung oleh organisasi massa yang plural dan demokratis, maka wacana calon independen hanya akan menyuburkan hubungan patron-klien. Dan saya pikir ini semakin mengarah pada jalan berkuasanya raja-raja kecil di daerah diatas dukungan pemilih yang tidak rasional.***

(Penulis adalah aktivis Lingkar Study Perempuan(LSP), Aktivis Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi(LMND

0 komentar: