Perempuan Melawan Neoliberalisme

Krisis Besar di Utara, Kerusakan Besar di Selatan

Oleh: RUDI HARTONO

Beberapa bulan terakhir, badai krisis sektor financial yang berkecamuk di AS dan dengan cepat menjalar ke Negara Eropa dan Asia, telah menjadi “subjek” pembicaraan utama berbagai debat-debat bukan saja diantara para ekonom, tapi juga aktifis gerakan sosial. Lebih jauh, perdebatan-perdebatan tersebut telah melahirkan ketidakpercayaan besar terhadap solusi neoliberal, yang diprakarsai oleh Negara kapitalis maju dan institusi keuangan internasional, untuk dapat menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi dan keadilan sosial pada saat ini. Kendati harus memohon “Negara” untuk turun tangan mengatasi krisis yang paling besar mengancam piring orang-orang kaya, akan tetapi derap laju krisis kian tak terhambat.

American International Group (AIG), penerima dari $ 85 miliar pinjaman dari pemerintah, hanya beberapa hari telah menghabiskan $ 61 miliar, tapi tanda-tanda krisis berakhir belum kelihatan. Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy mengatakan, bahwa “ide pasar adalah selalu benar adalah ide gila”. Hal senada diungkapkan Menteri Keuangan Jerman, Steinbrück, bahwa ide laisse-faire, yang selama ini dipraktekkan dan membimbing pada krisis subprime-mortage, adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Pemimpin Perancis dan Jerman telah memanggil seluruh pemimpin eropa untuk membahas strategi regional dan global dalam menangani krisis financial yang bermula di AS.


Makna politik dan ideologis dibalik Krisis finansial

Krisis financial yang melanda AS saat ini, sebenarnya bagian dari penyakit kapitalisme; sebuah sistim yang memelihara konflik inheren dalam system produksi dan produksi barang-jasa. Namun, seperti yang ditunjukkan Marx lebih dari 150 tahun yang lalu, kapitalisme memiliki mekanisme internal – menekan upah pekerja, reorganizing produksi, dan intervensi negara - yang memungkinkan untuk pulih dari krisis ini. Sehingga tak dapat disimpulkan, bahwa serangkaian krisis akan secara otomatis menggulingkan kapitalisme.

Seperti yang dijelaskan oleh Walden Bello, dalam artikelnya “Sebuah Pengantar Tentang Ambruknya Wall Street”, bahwa Ambruknya Wall Street tidak hanya disebabkan oleh keserakahan dan ketiadaaan regulasi pemerintah terhadap sektor yang hiperaktif. Ia berasal dari krisis produksi-berlebih (overproduction) yang telah menjangkiti kapitalisme global sejak pertengahan dekade tujuh-puluhan. Kita telah menyaksikan krisis semacam ini sejak 25 tahun yang lalu; dimulai dengan ledakan pasar modal tahun 1987, kolapsnya simpanan dan pinjaman diakhir 1980-an dan awal 1990-an, dan ledakan dari gelembung dot.com pada bagian awal dekade ini. Tetapi itu hanya satu aspek krisis keuangan itu sendiri, yang merupakan masalah besar dari masalah financialization dari ekonomi kapitalis yang telah berlangsung selama beberapa dekade.

Sejak periode kemunduran ekonomi kapitalis era-1970-an, kita menemukan bahwa perkembangan ekonomi kapitalis cenderung pada perlambatan dan stagnasi. Ini nyata dalam ekonomi AS, dimana mereka mencoba merangsang ekonomi yang stagnan dengan menggenjot permintaan, salah satu caranya adalah peningkatan anggaran untuk kemiliteran. Cara lainnya adalah merombak system kekuangan, yakni keuntungan besar dari pemilik modal tidak menemukan saluran untuk di-investasikan, selain sektor financial. Terjadilah pertumbuhan sektor financial yang melebihi sektor ekonomi real. Finansialisasi ekonomi telah mengubah ekonomi riil (ekonomi yang berpusat pada produksi) untuk spekulasi keuangan. System ini berkembang hiper-aktif dan tanpa kendali dari institusi manapun, termasuk Negara.

Karena keuntungan tidak didasarkan atas nilai yang diciptakan, operasi investasi dapat menjadi sangat rentan dan harga-harga saham, surat hutang, dan bentuk investasi lainnya dapat dengan sangat radikal menjauhi nilai riilnya - contohnya, saham untuk memulai perusahaan Internet (startups) yang nilainya terus meningkat karena didorong terutamanya oleh penilaian finansial yang meroket, dan kemudian jatuh. Dengan begitu, profit bergantung dari pengambilan keuntungan terhadap harga yang menanjak menjauhi nilai komoditasnya, kemudian penjualan dalam kenyataannya akan memaksakan 'koreksi', yakni kejatuhan kembali ke nilai riil. Peningkatan harga aset yang secara radikal menjauhi nilai aslinya adalah apa yang disebut dengan pembentukan gelembung. Karena keuntungan sangat bergantung pada aksi-aksi spekulatif, maka tidaklah mengejutkan bila sektor finansial hinggap dari satu gelembung ke gelembung lainnya, atau dari satu mania spekulatif ke mania lainnya. Karena dikendalikan oleh mania spekulatif, kapitalisme yang dikendalikan finansial mengalami serangkaian krisis finansial sejak pasar modal dideregulasi dan diliberalisasi pada tahun 1980an. (Walden Bello, 2008)

Akan tetapi, krisis yang terjadi sekarang ini berikut tindakan-tindakan politik yang diambil pemerintah AS (dana talangan sebesar USD 700 Milyar, nasionalisasi fannie mae, freddie mac, dan AIG (Perusahaan asuransi terbesar di dunia), uang penjaminan deposito reksadana sebesar USD 3,4 trilyun, larangan penjualan saham keuangan dalam waktu singkat) telah melahirkan sejumlah kesimpulan; pertama, krisis ini telah berdampak luas dan susah dipulihkan dalam waktu singkat. Hal tersebut beresiko melahirkan ketidakpercayaan terhadap “kemanjuran model ekonomi Anglo-Amerika” atau neoliberalisme secara umum. Kedua, Beberapa langkah ekonomi yang dilakukan Pemerintah AS, otoritas keuangan internasional, dan petinggi dunia , telah menggugurkan keyakinan orang terhadap “neoliberalisme” dan Washintong consensus”. Boleh jadi, system ini sudah tamat riwayatnya. Ketiga, krisis ini telah merosotkan wibawa dan hegemoni AS dalam geopolitik global dan membuka “ruang baru” bagi pemain non-barat, seperti Cina, Brazil dan India. Kemerosotan dunia imperialis juga memberikan kekuatan berlipat ganda bagi kemajuan kerjasama Negara-negara yang sedang mengembangkan alternatif, terutama Amerika Latin (Venezuela, Bolivia, Kuba, Paraguay, Argentina, Ekuador). Inisiatif pembangun Bank Selatan yang dimotori Venezuela akan memberikan dorongan kuat bagi lahirnya tatananan alternatif.

Dampak Terburuk dari Krisis

Skema bailout akan mengalami kemacetan. Solusi gampangan ini tidak akan dapat meredam pendalaman. Setidaknya ada beberapa alasan untuk mengatakan bahwa skema ini akan mengalami kegagalan;

Pertama, Krisis bukan terutama terletak pada masalah likuiditas, tapi ini adalah masalah kerakusan luar biasa untuk memperoleh keuntungan, tanpa ada penambahan nilai baru. Ini hanya untuk menaikkan moral investor dan menghilangkan kepanikan pasar, tapi tak akan menyentuh pada akar persoalan itu sendiri. Ibaratnya memasukkan angin pada ban kempes tanpa menutup “lobang anginnya”.

Kedua, skema bailout tidak berfungsi dan tak berguna karena nilai dana talangan tidak sebanding dengan nilai asset yang telah melayang/menguap. Menurut Laporan Washington Post (29/09/08) :
Dua puluh lembaga keuangan terbesar didunia memiliki gabungan total $ 2,3 triliun di subprimemortage hingga 30 Juni. Dan mereka melaporkan penjualan lain $ 1,2 triliun di Subprimemortage yang berhubungan dengan investasi, di mana berharap ratusan milyar dolar uang. Angka-angka itu tidak termasuk investasi yang berasal dari pinjaman dalam cara lebih rumit, seperti Agunan kewajiban hutang.
Kategori nilai kerugian subprime-mortage bertambah menjadi 4,7 Trilyun dollar AS untuk kewajiban 20 lembaga keuangan. Ini hampir sama dengan tujuh kali lipat dari nilai yang ditawarkan oleh Paulson/Bernake sebesar 700 Milyar dollar.

Ketiga, masalah bailout hanya untuk mengatasi masalah lembaga keuangan yang memiliki masalah asset, tapi tidak sudi menyelesaikan persoalan “kesalahan financial” itu sendiri. Baliout tidak mengurangi penderitaan orang miskin yang terancam kehilangan rumah (tunawisma), kehilangan dana pensiun, kehilangan asuransi kesehatan, bahkan lapangan pekerjaan. Skema ini hanya mengalihkan beban ekonomi kepada orang miskin dan mengamankan dapur orang kaya.

Krisis financial di AS benar-benar memukul anggaran AS, yang sebelumnya dihambur-hamburkan guna membiayai perang “membunuh kemanusiaan” di Irak dan Afghanistan. Dalam enam bulan terakhir, upah pekerja terus-menerus menurun hingga Juni lalu. Total penurunan tersebut belum setengah dari tujuh bulan pertama dari resesi sebelumnya, tahun 2001.

Yang cukup beresiko dari prospek ekonomi AS kedepan adalah masalah utang, yang nilainya sudah mencapai “US $ 637 triliun” (Hodges, 2008). utang pemerintah (sebagian besar itu hasil pengeluaran militer dan potongan pajak dan lainnya "insentif" untuk perusahaan dan kaum kaya), konsumen dari semua jenis hutang, dan hutang perusahaan. Di AS, hutang rumah tangga mencapai $ 12 triliun. Rata-rata orang menghabiskan 14 persen dari pendapatan mereka hanya untuk melayani pembayaran hutang. Amerika Serikat memiliki deficit pada account berjalan di sekitar $ 2 miliar per hari dan jumlah hutang telah meningkat dari 1,5 kali dari produk domestik bruto (PDB) di pertengahan 1970-an dan 3,5 kali PDB hari ini. Peningkatan hutang akan berarti pemotongan belanja publik dan privatisasi.

Seperti yang sering diulang dalam pandangan Marxisme, bahwa kapitalisme tidak begitu mudah untuk digulingkan. Pertama, istilah krisis tidak berarti roboh, dan tidak berarti tidak menumpuk (resesi, depresi, menurun). Sebuah krisis adalah menimbulkan perpecahan atau gangguan pada jaringan hubungan ekonomi yang tetap beroperasi dengan cara biasa. Apakah ia memicu kegagalan atau bahkan menumpuk persoalan, sangat tergantung pada apa yang terjadi selanjutnya. Ekonomi AS, untuk saat ini belum roboh, dan isu ini terlalu dini untuk memprediksi bahwa AS akan roboh seketika. AS dengan kekuasaan imperium yang sudah dibangunnya sekian lama akan memobilisasi seluruh bangsa untuk mengatasi krisisnya. Kedua, bahwa krisis financial telah melahirkan keguncangan dan instabilitas dalam salah satu sub-sistem kapitalisme global, yakni keuangan, tapi masih bisa disubtitusi oleh system itu sendiri. Apa yang dikatakan sebagai rancangan ekonomi baru, semacam new-deal di era-great depression 1930an, sedang melonggarkan intervensi Negara untuk membalikkan kepercayaan public terhadap system keuangan AS.

Siapun yang terpilih dalam pemilu Presiden pada bulan November 2008 kemungkinan akan menghadapi persoalan yang sama "stagflation" - kombinasi dari harga inflasi dan stagnasi ekonomi - yang mana Nixon, Ford, dan Carter bergumul pada masalah yang hampir sama pada tahun 1970-an.
Pengaruh Terdekat terhadap Ekonomi Indonesia

Globalisasi telah menyatukan unit-unit nasional yang terpisah dalam sebuah unit tunggal yang beroperasi secara global. Sehingga susah untuk memikirkan adanya keterpisahan ekonomi (decoupling) ditengah globalisasi tersebut. Kejatuhan Wall-street, yang dengan segera diikuti dengan kejatuhan bursa saham di berbagai belahan dunia, termasuk bursa saham primadona di Asia. Mata uang Jepang saat ini perdagangkan di sekitar ¥ 141 per-dollar AS. Akibatnya, produk Jepang begitu murah dan impornya menjadi rendah. Perhatian juga mengarah pada ekonomi Cina. Seperti yang diketahui, bahwa pelemahan mata uang yen akan berdampak terhadap perdagangan China yang dikendalikan nilai tukar.

Indonesia sendiri akan menderita kerugian besar. Pertama, krisis financial di AS akan berdampak buruk terhadap perdagangan Indonesia. AS merupakan tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia setelah Jepang. Gangguan financial di Negara tersebut akan berpengaruh pada kemampuan financial mereka dalam membiayai impornya dan tentu saja mengurangi volume ekspor kita.

Kedua, kerusakan yang mengganggu system financial di AS dan Negara-negara kapitalis maju membutuhkan mobilisasi sumber anggaran dan dana yang cukup besar. Hal tersebut harus dipenuhi dengan menarik semua dana-dana yang mengalir dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, untuk disuntikkan dalam ekonomi AS. Sebagai Negara yang bergantung pada investasi asing, tentu ekonomi Indonesia begitu “terganggu” dalam beberapa tahun kedepan jika aliran investasi tersebut terhenti/mengecil.

Ketiga, guna mencegah “krisis financial” tidak mematikan system yang sedang berjalan, maka segala jalan untuk memobilisasi dana, termasuk dana dari kaum pekerja dan rakyat miskin diberbagai belahan dunia, harus dilakukan. Mereka akan mengintensifkan “penghisapan” terhadap tenaga pekerja, dengan upah rendah, pengurangan anggaran public guna dialirkan lewat skema pembayaran utang luar negeri, kebijakan moneter yang longgar, dan cara-cara lainnya. ekonomi Indonesia akan sangat rentan terhadap pelarian capital (capital outflow) akibat desakan-desakan tersebut.

Keempat, krisis financial akan menjalar pada perbankan. Kebijakan uang ketat, sektor usaha kecil dan industri menengah yang bergantung pada kredit murah dan lunak akan mendapatkan kesulitan besar. Sektor usaha kecil dan menengah yang selama ini menggerakkan perekonomian terancam kolaps.

Kelima, dampak meluas dari krisis financial di AS, jika solusinya tidak dikelolah dengan baik oleh pemerintah akan memicu meningkatnya inflasi. Sebagai contoh, pendekatan pemerintah Indonesia masih sangat moneteris, dan mengabaikan aspek-aspek lain yang begitu rentan mempengaruhi inflasi; seperti harga kebutuhan pokok, daya beli masyarakat, dan sebagainya.

Dapatkah Krisis sekarang Ini Seperti Krisis tahun 1997

Ini merupakan kekhawatiran terbesar sejumlah analis ekonomi. Tapi, persoalan kekhawatiran tersebut tidak terlalu terletak pada dampak langsung dari krisis financial di AS, akan tetapi dari model pengelolaan (model antisipasi) yang dilakukan pemerintah. Meskipun, pemerintah berkali-kali mewanti-wanti, bahwa fundamental ekonomi Indonesia sudah lebih baik ketimbang tahun 1997, tetapi penutupan BEI selama beberapa hari menciptakan kekhawatiran besar, belum lagi pemerintah masih begitu percaya terhadap solusi neoliberalisme.

Dari segi daya merusaknya, jelas bahwa krisis sekarang ini jauh lebih dalam ketimbang krisis tahun 1997, karena sejumlah problem ekonomi yang mendahului sudah ber-akumulasi dan akan menghadirkan kombinasi merusak dengan hebat. Tapi belum terbayang bahwa krisis akan datang seketika dan menghancurkan seluruh perekonomian Indonesia (spontan). Setidaknya ada beberapa alasan untuk ini;

pertama, bahwa kejatuhan permintaan dari AS akan disubtitusi oleh permintaan dari China. Perlambatan ekonomi yang berlangsung di AS dan Negara lainnya akan bergeser pada pertumbuhan internal dari ekonomi China.

Kedua, krisis mungkin masih berlangsung pada tahap likuiditas, belum pada Solvabilitas (kemampuan membayar utang). Sejumlah pengamat berpendapat bahwa krisis masih berkonsentrasi pada likuiditas dan kepanikan dipasar keuangan, dan belum pada kesanggupan membayarkan hutang. Lagipula, keuntungan perusahaan dari non-keuangan masih tinggi.

Ketiga, Pemerintah sedikit sudah menetralisir dan mempertahankan likuiditas perbankan dengan mengeluarkan Perppu menyangkut perubahan terhadap UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang menaikkan jumlah penjaminan simpanan dari Rp100 juta, menjadi maksimal Rp. 2 miliar bagi setiap nasabah.

Keempat, pertimbangan untuk mempertahankan iman dan kepercayaan terhadap “kemakmuran” financial boleh jadi ditinggalkan, sebagai jalan terbaik menghindari krisis dan kehancuran yang berdaya rusak lebih besar. Boleh jadi, intervensi Negara semakin diperlukan untuk menata kembali jalan berkuasanya capital dan memperluas ekspansinya.

Tapi ada beberapa catatan penting menurut saya, yang tetap mengundang kekhawatiran, bahwa pengaruh krisis financial di AS akan merobohkan perekonomian Indonesia; pertama, kebijakan pemerintah untuk mendorong BUMN untuk mem- buy-back kembali sahamnya, guna menenangkan pasar saham, justru bermakna menggelontorkan modal yang cukup besar untuk menalangi investor asing dan perusahaan financial. Seharusnya, triliunan rupiah yang dianggarkan untuk buyback dipakai untuk memperkuat produksi nasional dan menciptakan lapangan kerja.

Kedua, kebijakan pengetatan perbankan akan menyusahkan industri nasional, pengusaha menengah dan kecil untuk mendapatkan akses permodalan. Kesulitan ini dapat mendorong kolapsnya industri dalam negeri ---yang dalam beberapa tahun terakhir sudah cukup menderita akibat liberalisme ekonomi, yang berpotensi mendorong PHK massal.

Ketiga, selama krisis financial berlangsung, kemungkinan pengalihan capital pada spekulasi harga komoditi dan energi akan terjadi, sehingga mendongkrak harga komoditas dan harga energi. Jika hal ini tidak cukup diantisipasi, maka mendorong inflasi cukup tinggi, termasuk beban ekonomi yang harus ditanggung rakyat miskin makin membesar.

Ekonom INDEF Iman Sugema memaparkan, bahwa Krisis moneter 1998 disinyalir akan terulang saat ini. Bahkan, indikator krisis saat pada tahun ini jauh melampaui indikator saat krisis pada 10 tahun silam. Indikatornya adalah total hot money hingga 1998 sebesar USD14,8 miliar. Sementara total hot money dari 2002-2007 senilai USD24,5 miliar. Sementara total utang luar negeri hingga 1998, menurutnya, sebesar USD54 miliar. Saat ini total utang luar negeri USD88 miliar.

Tipe krisis yang dihadirkan neoliberalisme justru sudah menjadi gambaran nyata hari ini. System neoliberal telah membelah masyarakat; dimana mayoritas terus-menerus digerogoti dan miskin, sedangkan minoritas semakin kaya dan makmur.

Anti-Neoliberal Mendekati Pemilu 2009

krisis di AS, yang juga merupakan Negara utama penyokong neoliberalisme, telah melahirkan sejumlah pertanyaan dan keraguan; pertama, soal validitas untuk memelihara dan mempertahankan system neoliberal yang sudah terbukti gagal, bahkan di Negara asalnya. Kedua, menyuburkan harapan untuk melakukan transformasi sosial yang sifatnya mendasar dalam system untuk keluar dari kapitalisme.

Banyak orang harus mengakui kegagalan tersebut, meskipun tidak mau mengakui kegagalan sistim kapitalisme secara mendasar. Tapi setidaknya, kegagalan neoliberalisme, ambruknya wall-street, dan keterlibatan Negara untuk menyelamatkan kaum kaya dari krisis, akan menjadi menyuburkan lahan propaganda kaum pergerakan, dalam segala arena.

Jika krisis financial berdampak luas, dan bermula di hadapan pemilu 2009, boleh jadi akan menjadi kesulitan besar bagi politisi neoliberal dan lahan propaganda menguntungkan bagi kalangan anti-neoliberal. Terlepas dari itu, kejatuhan neoliberal akan dimanfaatkan banyak spektrum politik dan ideology untuk mencari dukungan dari rakyat. Mereka akan berlomba-lomba memanfaatkan retorika anti-neoliberal dalam pengertian yang kacau balau, untuk mendulang keuntungan politik lewat pemilu.

Sehingga, perlu sebuah desain kampanye dari kaum pergerakan, yang benar-benar substansial menghajar kelemahan ekonomi neoliberal, yang disodorkan sekaligus untuk menjembatani kampanye “haluan ekonomi baru”. Menurut saya, sehubungan dengan krisis ini, kaum pergerakan dapat memikirkan beberapa hal;

Pertama, pengontrolan terhadap pertukarang mata uang dan pengetatan system keuangan guna mencegah semakin banyaknya pelariang keluar capital (capital outflow).

Kedua, pengelolaan anggaran seharusnya memberikan ruang yang lebih besar untuk belanja public (pendidikan dan kesehatan), perbaikan upah pekerja, pembukaan lapangan kerja, perbaikan infrastruktur, dan strategi industrialisasi. Pos anggaran yang selama ini mengalir ke tangan orang kaya (BLBI), dana rekapitulasi, dan hutang luar negeri, secepatnya dihentikan dan kucurkan untuk pengembangan ekonomi rakyat.

Ketiga, mendukung proyek pembangunan alternatif yang berlandaskan solidaritas, seperti yang diperjuangkan Chaves dengan Bank Selatan, kerjasama ALBA, dan proyek kerjasama diluar skema neoliberal.

Keempat, menghentikan sepenuhnya praktek neoliberalisme di Indonesia.


Penutup

Krisis ini benar-benar akan merombak keyakinan politik sejumlah politisi di Indonesia. Angin “ketidakpercayaan” terhadap neoliberal akan terus bertiup, setidaknya mendekati pemilu 2009. tapi terlepas dari hal semacam itu, kaum pergerakan tetap punya kewajiban untuk menciptakan “sedikit ruang” untuk mendiskusikan masalah ini, dan respon politik yang dibutuhkan. Setidaknya dalam proyek memperdalam ketidakpercayaan terhadap neoliberalisme.



1 komentar:

  1. Anonim mengatakan...

    Wah wah, tenyata gerilyawan zapatista sudah mulai merambah ke kaum hawa ya? hehehhe...

    semangat!

    karena perempuan bukan golongan lapis dua dalam masyarakat!

    believing is your power.