Perempuan Melawan Neoliberalisme

Presiden (Seharusnya) Tergelitik Film “Laskar Pelangi”

Oleh: Ulfa Ilyas

Setelah melejit dengan novelnya dalam menarik pembaca, kini giliran film “Laskar Pelangi” menarik dukungan dan apresiasi dari para penggemar film. Bagaimana tidak, sejak pertama-kali diputarkan di Bioskop, film “Laskar pelangi” telah menarik1,3 juta penonton. Berbeda dengan film-film Indonesia sebelumnya, yang menawarkan perselingkuhan, poligami, percintaan, kekerasan, dan horror, film laskar pelangi justru menonjolkan idealisme, nilai-nilai luhur, dan begitu banyak inspirasi. Pendeknya, film laskar pelangi sedang meraup sukses.

Di tengah-tengah badai krisis financial yang sedang berkecamuk di AS; ditengah kesulitan ekonomi yang melilit mayoritas rakyat, hingga berujung kematian; ditengah kemerosotan sistem pendidikan nasional akibat belenggu neoliberalisme, presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bersama dengan istri, anak dan sejumlah pejabat Negara, menyempatkan ikut menonton laskar pelangi di Auditorium I Blitz, Megaplex, Jakarta. Setelah selesai menonton film tersebut, presiden begitu antusias mengapresiasi film tersebut, tanpa sedikitpun ketersindiran, tanpa sedikit rasa malu, bahwa begitu banyak anak Indonesia berjuang sendiri merebut masa depannya hanya dengan mengandalkan diri-sendiri, tanpa keterlibatan Negara. Padahal, UUD 1945 dengan tegas menyebutkan, bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mencerdeskan kehidupan bangsa.


Laskar Pelangi adalah Miniatur Kecil

Laskar pelangi berhasil mengangkat potret pendidikan di sebuah daerah, bernama desa Gantong, Bangka Belitung. Di daerah yang kaya dengan tambang ini, dimana selama ratusan tahun kekayaan alam tersebut tak sedikitpun mengalir ke masyarakatnya, tercipta sebuah masyarakat pekerja keras, namun kurang beruntung. Kesuksesan orang-orang itu, seperti yang tergambar dalam film itu, adalah karena mereka memiliki semangat, ketekunan, tak kenal menyerah. Bukannya kekayaan alam melimpah yang menopang orang-orang disana menuju ke pintu sukses, tapi tekad dan semangat. Sesuatu yang begitu susah diketemukan ditengah kalangan menengah ke atas, terutama di Jakarta, yang mana anak-anak mereka menghabiskan waktunya di tengah “dunia konsumtifisme” masyarakat kapitalis.

Laskar pelangi hanya menggambarkan salah satu daerah di Indonesia, yang mana gambaran kota seperti Bangka Belitung ada banyak di Indonesia. Tidak usah jauh-jauh mencari di daerah lain, di kota Bekasi yang notabene dekat dengan pusat kekuasaan, masih ada sekolah yang kondisinya hampir serupa dengan film laskar pelangi. Artinya, presiden SBY tidak perlu menonton film hanya untuk menemukan “keharuan” soal muramnya sistem pendidikan nasional, tapi hal tersebut dapat ditemukan di seluruh bagian di negeri ini, bahkan di Jakarta.

Di Jakarta Timur, 127 gedung sekolah rusak berat. Di Kota Bekasi sedikitnya terdapat 80 gedung SD Negeri yang kondisinya sudah ringkih atau lapuk. Di Sumatra Utara, jumlahnya mencapai angka 37.879 gedung sekolah. Di Jambi, tepatnya di kabupaten Muara Jambi, dari 223 SD yang ada, 76 di antaranya rusak berat. Di Kalimantan Selatan terdapat 12.238 ruang kelas yang rusak, sebanyak 5.036 ruang kelas dalam kondisi rusak berat dan sebagian sudah tidak dapat dipergunakan. Sejauh ini, menurut catatan Kompas, jumlah bangunan SD di seluruh Indonesia yang mengalami kerusakan berat selama tahun 2003-2004 mencapai 883.750 ruang kelas atau 22,9 persen. Sementara untuk SLTP mencapai 196.178 ruang kelas atau 4,5 persen, serta untuk sekolah lanjutan tingkat atas mencapai 83.569 ruang kelas atau 1,4 persen.


Salah Tangkap atau Manipulasi


Akhirnya, setelah menonton film itu saya menemukan sebuah inspirasi kuat dari penciptanya, termasuk si penulis novel, untuk mengungkapkan sebuah fakta tentang pendidikan nasional dan keinginan kuat sejumlah anak-anak, terutama dari kalangan miskin, untuk mendapatkan pendidikan. Selain menciptakan kesedihan, ternyata film itu juga berkali-kali mendorong saya mengumpat-ngumpat, serta mengobarkan kemarahan kepada Negara sebagai pihak yang bertanggung-jawab atas hilangnya kesempatan anak hebat dan cerdas, seperti Lintang, dalam memperoleh pendidikan, karena masalah ekonomi.

Beda halnya dengan SBY, beliau justru tidak tergelitik sedikitpun atas film tersebut. Bahkan, presiden justru merendahkan ide dan tujuan penulis novel dan sutradara film, yang berkehendak membeberkan fakta sekaligus memberikan inspirasi baru, dengan hanya menilai aspek bahwa film tersebut begitu berkualitas. Film laskar pelangi jelas film berkualitas, tapi jangan melupakan pesan yang hendak disampaikannya.

Setidaknya untuk saya, bahwa film laskar pelangi telah mengungkapkan beberapa hal; pertama, sektor pendidikan sejak jaman kolonial hingga sekarang tidak pernah merdeka. Sektor pendidikan berjalan ditempat, tanpa sedikitpun perhatian dari pemerintah. Kedua, ide yang menyebutkan, bahwa pendidikan harus mahal jika mau mendapatkan kualitas adalah ide salah. Kualitas pendidikan ditentukan kondisi pengajaran yang demokratis, mengutamakan nilai-nilai luhur, dan keadilan sosial, bukan ide-ide pasar dan individualisme. Ketiga, kesenjangan pendidikan antara kota besar dan pedalaman terlampau jauh. Kesenjangan tersebut sengaja diciptakan oleh modal (capital), yang hanya mau berputar di sekolah-sekolah yang telah dikomersialisasikan.
Dan semoga penonton bisa lebih objektif dalam menafsirkan film ini!

*Penulis adalah Pemerhati FILM dan masalah-masalah social. Staff Dept. Kaderisasi dan Komunikasi Massa DPP- Papernas, Kontributor Mediabersama.com.



0 komentar: