Perempuan Melawan Neoliberalisme

Manu Chao, Globalisasi dan Persahabatan

Oleh : Dominggus Oktavianus

Pernah mendengar Manu Chao? kecuali di dunia berbahasa Inggris, ia disebut-sebut sebagai musisi paling populer atau super star, setidaknya untuk daratan Eropa, Afrika, dan Amerika Latin.

Lintas Batas

Seorang musisi revolusioner yang dilahirkan oleh zaman globalisasi neoliberal beserta segala dampaknya dalam periode persaingan bebas saat ini, dia adalah adalah Manu Chao. Dia dikenal sebagai pencampur musik yang bandel, pemberontak yang merakyat dan bintang yang menggotong sendiri tas pakaiannya tiap bepergian—kesederhanaan yang di kalangan bintang besar, konon hanya dijalani oleh Bob Marley dan Joe Strumer.

Manu Chao lahir di Paris, 21 Juni 1961 dengan nama Jose-Manuel Thomas Arthur Chao dari orang tua berkebangsaan Spanyol. Kedua orang tuanya melintas ke Prancis sebagai pengungsi politik, sejak kakeknya dijatuhi hukuman mati oleh diktator Franco. Manu kecil tumbuh di pinggiran kota Paris, yang dikelilingi para seniman, ilmuwan, dan kaum imigran. Ia bermain bola bersama anak-anak kelas pekerja di komunitasnya, dan bermusik dengan kawan kawannya.

Musik rekaman ia rintis pada awal 1980-an. Di tahun 1987, Manu bersama saudara dan beberapa kawannya membentuk sebuah band punk multiras, Mano Negra--yang dijuluki ”The Clash dari Prancis”. Band ini sempat mengeluarkan beberapa album dan terkenal, sebelum resmi bubar tahun 1995.

Sebelum bubar mereka sempat melakukan perjalanan ke Amerika Latin antara tahun 1992-1994, yang kemudian memberi pengaruh besar pada musik Manu Chao. Mereka melintas dari Eropa ke Amerika Selatan dengan kapal laut. Di sana Manu dan kawan-kawan berkampanye untuk perdamaian, menyikapi konflik domestik yang banyak terjadi di benua itu.


Di Kolombia, ia membeli sebuah kereta api tua untuk menjangkau pedalaman, berdialog dengan para gerilyawan, agar bisa pentas di desa-desa basis gerilya mereka. Pernah juga ia pentas di hadapan orang-orang yang semuanya membawa senjata api. Pengalaman ini turut mempengaruhi dan memperkuat pandangan politiknya yang sedari awal sudah anti diskriminasi dan penindasan.

Dalam perjalanan yang berlanjut ke beberapa negeri Afrika itu, ia menyimpulkan, kebudayaan rakyat di pedalaman negeri-negeri dunia ketiga tidak begitu akrab dengan hentakan musik rock. Sejak itu aransemen lagu Manu kental dengan campuran irama Latin, reggae, ska, salsa, dan musik Afrika, tanpa menghilangkan cita rasa punk dalam karyanya. Karena pencampuran itu, musik Manu sempat diberi label ”Musik Dunia” oleh Radio 3 BBC Inggris. Namun Manu menolak label tersebut karena dianggap sebagai kebiasaan neo-kolonial Inggris dan Amerika Serikat untuk menandai musisi dari luar dunia berbahasa Inggris (Anglo-Amerika).

Lagu-lagunya dinyanyikan dalam sejumlah bahasa, seperti Inggris, Prancis, Spanyol, Portugis, Italia, Arab, Galicia, dan Wolof (dari Afrika Barat). Tapi sebagian besar ditulis dalam bahasa Spanyol, bahasa yang pertama kali ia kenal. Debut album solo Manu Chao El Clandestino: Esperando La Ultima Ola (si Ilegal: Menanti Gelombang Terakhir) tahun 1998 terjual lebih dari 5 juta kopi. Album terbarunya La Radiolina (2007), bertahan dalam sepuluh besar album terpopuler di 15 negara. Suatu indikator yang menonjol di tengah kompetisi ribuan musisi yang menerbitkan ribuan album.

Skala Eropa dan Amerika Latin, Garth Cartwright, seorang penulis dan jurnalis lepas BBC berani membandingkan popularitas Manu Chao dengan The Beatles. Lebih banyak lagi yang membandingkan Manu dengan sang legendaris Bob Marley dalam hal popularitas, warna musik dan kesederhanaan hidup.

Mungkin sebuah perbandingan yang berlebihan, mungkin juga tidak. Tapi Manu sendiri mengungkap ketidaksenangannya terhadap perbandingan itu. ”Bob adalah Bob. Dia lah yang terbaik. Bob berada di divisi satu, sedangkan saya di divisi tiga. Bagi saya itu sudah cukup,” ujar dia dalam wawancaranya dengan Radio 3 BBC.

Politik

Mengenai tema politik yang melekat pada karya-karyanya, Manu berkomentar, ”Politik ada di mana-mana. Saat saya menulis lagu, saya selalu dipengaruhi oleh keadaan sekitar. Ke mana pun saya pergi di dunia, keadaan sekitar yang saya temui adalah politik.”

Banyak di antara lagunya bercerita tentang realitas penindasan. Rainin' in Paradise (Hujan di Nirwana), misalnya, mengkritik tajam pemerintah Amerika Serikat atas berbagai tragedi yang terjadi di Zaire, Kongo, Irak, Palestina, sampai di Kolombia. Demikian halnya lagu Clandestino (Bawah Tanah), La Primavera (Musim Semi), dan Politik Kills (Politik yang Membunuh), menggambarkan sikap politiknya.

Ada juga lagu berbahasa Arab berjudul Denia, tentang rasa prihatinannya atas nasib rakyat Aljazair. Kerap ia menempatkan pemerintahan Bush, beserta para politisi yang doyan menipu, sebagai musuh nomor wahid dalam orasinya di atas panggung konser. ”Anda tidak bisa melawan teror dengan teror, atau kekerasan dengan kekerasan. Kekerasan hanya bisa dilawan dengan menyediakan pendidikan, pangan, dan saling pengertian yang baik.”

Layaknya grup band Rage Against the Machine, Manu sumbangkan royalti penjualan albumnya kepada kelompok pejuang Zapatista di Mexico. Ia juga bersedia konser gratis di Genoa, di hadapan puluhan ribu massa aksi anti-globalisasi, atau pada acara Forum Sosial Dunia (WSF) di Porto Alegre.

Pada kesempatan lain, konser gratis diselenggarakan di Mexico City yang tanpa publikasi luas mampu mengumpulkan lebih dari 100.000 penonton. Konser ini sebagai bentuk dukungannya kepada para mahasiswa Mexico yang ditangkap saat aksi menentang kenaikan biaya kuliah. Satu lagi hal yang membuat sulit untuk tidak mengidektikkan Manu sebagai musisi aktivis adalah ia merupakan salah satu pendiri organisasi Anti Globalisasi Pajak Transaksi Keuangan untuk Membantu Warga Negara (ATTAC).

Penyanyi Sahabat

Tidak hanya tema besar seperti perang, imigran, dan globalisasi. Lagu-lagu Manu juga menggambarkan budaya sehari-hari kaum yang terpinggirkan. Seperti pada hits Minha Galera (Orang-orangku) yang berirama pelan, Manu Chao membangkitkan ingatan pada kampung halaman, pada kawan-kawan penggemar sepak bola, pada musik daerah, gubuk-gubuk, penjara, tarian flamengga dan capoera, pada minuman khas daerah, dan pada asap marijuana.

Cerita serupa diangkat dalam tembang Bienvenida A Tijuana (Selamat Datang di Tijuana). Pada lagu yang lain, ia tuturkan ketertindasan dan harapan masa depan para pelacur. Lagu berjudul Me Llaman Calle (Mereka Memanggilku Jalanan) ini diilhami kehidupan perempuan penghibur--yang kemudian menjadi sahabat-sahabatnya--sekitar kafe tongkrongannya di Barcelona. Majalah Time memasukkan Me Llaman Calle sebagai salah satu lagu terbaik tahun 2007.

Selain di studio dan panggung, Manu bersama bandnya Radio Bemba Soundsystem biasa bermusik dan bernyanyi di mana saja dengan media berkualitas apa saja--tanpa menuntut standar peralatan atau soundsystem. Kadang di kafe, di jalanan, atau bisa juga bertemu Manu di suatu pelosok desa, sedang bernyanyi di halaman rumah petani. Keakraban dan solidaritas tampak melekat pada karakter Manu yang selalu merendah terhadap sanjungan dan keberatan terhadap penyematan ikon atau pengkultusan.

“Saya bukan pemimpin atau “penyambung lidah rakyat” (voice of the voiceless).... Saya sadar memiliki tanggung jawab, yang mungkin dapat membantu orang lain. Saya bisa menjangkau mikrofon yang tidak bisa dijangkau banyak orang. Tapi saya juga punya tanggung jawab terhadap keadaan di sekeliling saya, karena saya penyanyi untuk tetangga saya. Di sana ada seorang lelaki yang pergi menyetir taxi, ada seorang yang menjadi buruh di pabrik, sementara saya adalah penyanyi,” katanya dalam wawancara itu.

Meski terus merendah, Manu Chao tidak menjadi rendah. Ia tetap dicintai oleh jutaan penggemarnya. Mungkin karena musik dan liriknya mewakili semangat kolektif masyarakat dunia di zaman kapitalisme neoliberal yang mengharapkan perubahan. Mungkin juga karena ia mewakili kehangatan seorang sahabat yang melintasi batas-batas negera demi menghibur dan memberi rasa optimis pada yang menderita dan tertindas.

Dominggus Oktavianus, aktivis sosial dan politik, kontributor Mediabersama.com




0 komentar: