Perempuan Melawan Neoliberalisme

SKB EMPAT MENTERI: SOLUSI ATAU MASALAH BARU?

DITA INDAH SARI*

Krisis ekonomi global melahirkan berbagai tambahan beban bagi ekonomi dalam negeri, khususnya dunia usaha atau sektor riil. Sebenarnya, tanpa krisis jilid berapa pun, industri dalam negeri kita memang tidak memiliki pondasi yang solid. Jangankan menjadi tuan di negeri sendiri, untuk survive saja industri domestik kesulitan akibat besarnya ketergantungan pada impor serta berbagai problem akut lainnya.

Dengan tujuan mengurangi beban industri nasional, Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri menyangkut dasar penetapan upah minimum kemudian dikeluarkan. Jika dikaitkan dengan kepentingan memperkuat pondasi dunia usaha yang rapuh, SKB ini lebih tepat dianggap sebagai cara menyelesaikan masalah dengan masalah. Dengan mengupayakan agar kenaikan upah tidak lebih dari nilai pertumbuhan ekonomi (sesuai isi SKB tersebut), maka pemerintah memangkas daya beli kaum pekerja yang selama ini memang sudah menurun akibat kenaikan harga BBM dan barang-barang lain.

Dalam tempo 1-2 bulan ke depan anjloknya daya beli ini mungkin belum terasa. Namun, dengan kenaikan upah minimum hanya sekitar 6% (sesuai pertumbuhan ekonomi), kaum pekerja sudah jelas akan buru-buru memangkas biaya konsumsinya. Industri yang pertama kali bakal menuai dampak dari pengurangan upah ini adalah industri rokok, otomotif, elektronik, garmen dan ritel. Industri-industri tersebut merupakan sumber kebutuhan non primer yang lebih mungkin dikurangi konsumsinya, kalau perlu secara drastis. Industri makanan minuman sendiri akan terkena pula dampaknya dalam jangka menengah karena keluarga pekerja harus semakin selektif dalam mengonsumsi (baca : mengurangi) makanan, baik karena tekanan kebutuhan pendidikan dan kesehatan anak maupun agar dapat melakukan saving.

Koreksi-koreksi kebijakan ekonomi semacam ini tidak bisa diharapkan dapat “memelihara momentum pertumbuhan ekonomi” kita, sebagaimana bunyi judul SKB tersebut. Perspektifnya yang parsial dan jangka pendek akan menjadi seperti senjata makan tuan bagi industri nasional. Menganggap industri dalam negeri akan terdongkrak produktivitasnya dengan pengurangan upah (yang memang sudah rendah) adalah paradigma yang tidak manusiawi dan agak primitif.

Pasar Kerja yang Fleksibel


Labour market flexibility pun kemudian diundang masuk dengan dikuatkannya model bipartit sebagai mekanisme penentuan upah, dimana peran pemerintah dalam proses ini pun menghilang. Mekanisme ini sebetulnya sudah lama diusulkan oleh kalangan dunia usaha. Krisis global ini menjadi momentum dimana usulan tersebut didesakkan lagi.

Dalam situasi dimana 69% pekerja kita ada di sektor informal (mayoritas pertanian) serta tingkat pendidikan dan keahlian pekerja sangat rendah, bagaimana mungkin kita berharap daya tawar pekerja dalam sistem bipartit dapat setara/equal dengan pengusaha? Bagaimana mungkin mayoritas pekerja kita yang berpendidikan terbatas dapat bernegosiasi tentang hak-haknya secara efektif? Sebagai informasi, tingkat unionisasi (menjadi anggota serikat pekerja) di kalangan pekerja kita baru berkisar antara 8-10% dari total pekerja. Jika pemerintah lepas tangan dalam proses ini, lalu siapa yang akan menjaga 90% pekerja lainnya yang tidak memiliki wadah dalam memperoleh hak-haknya?

Melindungi Pekerja dan Industri Dalam Negeri

Industri dalam negeri yang kuat adalah kunci membangun ketahanan ekonomi kita. Sesungguhnya kita tidak kehabisan stok solusi untuk mengatasi krisis ini sekaligus melindungi industri dan pekerja. Kalau targetnya adalah untuk menghemat biaya produksi, penghapusan pajak ekspor yang telah dilakukan pemerintah merupakan solusi yang baik. Mengapa ini tidak diikuti dengan penurunan suku bunga, seperti yang telah dilakukan semua negara saat ini (kecuali Indonesia)? Daripada menghadang kenaikan upah, solusi ini jauh lebih signifikan untuk membantu industri dalam negeri (dalam jangka panjang), karena mengurangi biaya produksi investasi dan harga jual.

Mengapa tidak diikuti dengan menurunkan kenaikan harga BBM, yang selama ini telah membuat biaya operasional perusahaan membengkak? Kita berada dalam situasi yang emergency, sehingga langkah-langkah yang diambil pun harusnya merupakan sebuah terobosan yang berbeda dari situasi normal. Sebagai catatan, baru-baru ini negara jiran Malaysia telah mengurangi harga BBM nya 2,5 ringgit/liter. Harga minyak dunia yang turun seharusnya direspon secepatnya dengan menurunkan harga BBM domestic, secepat pemerintah menaikan harga BBM saat harga minyak meroket naik.

Melemahnya nilai tukar rupiah juga tidak perlu menjadi alasan agar upah pekerja dibatasi kenaikannya, khususnya bagi industry yang berbasis impor. Kewajiban pemerintahlah untuk mengatur dan membatasi secara ketat transaksi valas dan keluar masuknya dolar atau mata uang asing lainnya. Semua pembatasan ini tentu saja tidak berlaku bagi aktivitas dunia usaha.

Kalaupun pembatasan kenaikan upah tersebut tetap dirasa perlu diberlakukan, sebaiknya diterapkan hanya bagi pekerja dengan gaji di atas 5 juta/bulan. Kemampuan mereka untuk bertahan dalam situasi krisis ini jelas jauh lebih besar daripada para pekerja dengan upah minimum yang rata-rata kurang dari 1 juta/bulan. Para pekerja kerah putih ini (white collar workers) pun rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang relatif baik, sehingga dapat melakukan negosiasi yang lebih efektif dengan pihak perusahaan. Dengan catatan policy “diskriminasi” ini berlaku sementara dengan batas waktu yang jelas.

Melindungi kepentingan industry tanpa mengurangi hak-hak mendasar pekerja adalah sesuatu yang sangat mungkin untuk dilakukan saat ini. Jika hal ini tidak menjadi pegangan dalam menyusun kebijakan industry nasional, maka setiap langkah kebijakan ekonomi akan menempatkan kaum pekerja dan masyarakat miskin sebagai korban. Jika ini yang terjadi, maka kita pun sampai pada kesimpulan yang jelas : bahwa pemerintah ini bukan hanya dokter yang gagal, tapi juga melakukan malpraktek terhadap pasien-pasiennya yang mayoritas miskin.

*Aktifis Serikat Buruh, Caleg DPR RI PBR, Dapil Jateng V




0 komentar: