Perempuan Melawan Neoliberalisme

Memajukan Politik Perempuan dalam Pemilu 2009

Oleh: ULFA ILYAS


Pemilu sudah didepan mata. Hiruk pikuk partai-partai menggelar kampanye; baik dengan alat peraga maupun iklan, sudah dimulai. Ada 38 partai politik Nasional yang telah dinyatakan lolos verivikasi oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum), plus 6 partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai peserta pemilu 2009. Diantara 38 partai politik nasional tersebut ada 18 partai politik baru dan 20 partai politik lama pemilu 2004. Pemilu 2009 memiliki makna penting, selain karena merupakan pemilu ketiga paska reformasi, juga disebabkan oleh sinyalemen bahwa pemilu 2009 merupakan kesempatan terakhir bagi semua partai untuk berbakti kepada rakyat. Partai-partai menjadi begitu serius mempersiapkan diri, tidak terkecuali persiapan gerakan perempuan.

Berbagai isu soal kesiapan perempuan beradu kekuatan di pemilu pun dikedepankan. Selain mengemuka dengan isu kuota 30% perempuan di Parlemen, kepengurusan partai dan pencalegkan, perempuan juga begitu aktif mendirikan partai, bertarung dalam pilkada-pilkada (gubernur dan walikota), ataupun maju dalam pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Derap Langkah Perempuan

Di Aceh, beberapa kelompok perempuan, aktifis dan pekerja sosial mendirikan Partai Aliansi Rakyat Aceh Peduli Perempuan (PARA) yang begitu mengedepankan perempuan. Kendati tidak lolos verifikasi, tetapi gaung politiknya begitu memberikan warna baru dalam politik lokal di Aceh. PARA adalah partai pertama Aceh yang khusus mengusung masalah perempuan, bahkan pertama di Indonesia. Inisiatif mendirikan PARA tidak terlepas dari pengalaman bahwa perempuan susah diakomodir dalam partai-partai yang sudah ada.

Beberapa politisi perempuan di Parlemen begitu getol memperjuangkan “kuota 30% perempuan” di parlemen. Pansus RUU Pemilu Legislatif telah sepakat mencantumkan kuota 30 persen pada daftar calon legislatif (caleg). Bahkan ada usulan untuk menerapkan Zipper System, sistem selang-seling seperti gigi resleting. Mekanismenya adalah dalam setiap tiga caleg harus ada satu orang caleg perempuan. Metode ini banyak diterapkan di negara-negara eropa, terutama parlemen Swedia. Metode ini diperlukan guna memperbesar ruang bagi perempuan mengakses kehidupan politik karena selama ini partisipasi perempuan masih begitu rendah. Sebut saja di MPR, hanya ada 18 perempuan atau 9,2%, sedangkan laki-laki sebanyak 177. Di DPR, terdapat 45 (9%) anggota perempuan, sisanya 455 adalah laki-laki. Untuk MA hanya 7 orang perempuan (14,8%) dan 40 laki-laki.



Dalam panggung pilkada, perempuan terus menerus meramaikannya dan memperlihatkan sebuah keyakinan bahwa calon perempuan patut diperhitungkan. Dalam Pilkada Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa yang berpasangan dengan Mudjiono dan didukung partai-partai kecil, memberikan porsi khusus pada perempuan dalam setiap kampanyenya. Poppy Dharsono begitu bersemangat mendaftarkan diri di KPUD Jawa Tengah untuk menjadi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dengan diiringi pendukungnya yang mayoritas perempuan dan rakyat miskin. Ajang pilkada dan pencalonan DPD jelas-jelas tidak terlepas dari derap-langkah perempuan menyesaki panggung politik.


Perempuan dalam Pemilu 2009


Ronald Inglehart dan Pippa Norris dalam bukunya Rising Tide: Gender Equality & Cultural Around the World (2003) menyebutkan, bahwa ada 3 hambatan bagi perempuan dalam berpolitik, yakni; Pertama, hambatan struktural seperti pendidikan, pekerjaan, dan status sosial ekonomi perempuan. Kedua, hambatan institusional seperti sistem politik, tingkat demokrasi, dan sistem pemilu. Dan terakhir adalah hambatan kultural, yakni budaya politik, serta pandangan masyarakat terhadap kesetaraan gender. Perempuan merupakan kelompok sosial yang cukup signifkan secara kuantitatif. Menurut sensus Biro Pusat Politik (BPS) tahun 2000, jumlah perempuan di Indonesia adalah 101,6 juta jiwa atau 51% dari seluruh populasi.

Hambatan-hambatan ini harus diatasi. Beberapa taktik terobosan digencarkan, diantaranya dengan memperjuangkan “affirmative action” soal penerapan kuota dan porsi perempuan dalam partai politik, jabatan publik, dan parlemen. Tentunya affirmative action hanya merupakan salah satu taktik perjuangan, yang tidak terpisah dengan pekerjaan pengorganisasian, pendidikan politik, dan pengorganisasian produksi (guna memberi nilai tambah ekonomis).

Meskipun sudah ada affirmative action, akan tetapi bukan berarti perjalanan perempuan akan mulus. Kendala utamanya adalah; bagaimana perempuan bertarung memperebutkan dukungan ditengah tipikal mayoritas pemilih yang masih agak patriarkal? Tentu, hal tersebut membutuhkan strategi politik, yakni cara mengelolah isu dan metode kampanye agar menyentuh kebutuhan sosial rakyat. Selain itu, perwakilan perempuan yang kelak terpilih di parlemen harus mendemonstrasikan praktik politik yang berbeda (pro-rakyat) dengan praktek politik politikus sekarang ini.



0 komentar: