Perempuan Melawan Neoliberalisme

Menemukan Potensi Politik Hari ini untuk dibuat Mungkin Di Hari Esok; Tanggapan Terhadap Budi Wardoyo

Oleh: RUDI HARTONO[1]

Langkah menuju 2009 semakin akbar saja. Tak tersisa sedikitpun ruang yang tak dimanfaatkan oleh para politisi dan partai-partai untuk mengkampanyekan partai, caleg, dan capresnya, agar didukung oleh rakyat dalam pemilu tersebut. Disisi lain, diantara kaum radikal terjadi perdebatan sengit dan tak sedikit bermaksud saling merusakkan. Ketika hampir seluruh partai sudah merapatkan barisan, agar terjadi kesatuan dalam memenangkan pemilu, kaum pergerakan tetap saja sibuk berdebat dan berselisih. Tetap saja debat mereka tak konstruktif karena selalu saja mereka berlindung dari bangunan teori, tetapi meninggalkan realitas ( situasi real) yang mereka hadapi. Para teoritikus radikal, kaum demokrat, sosialis dan pimpinan partai kiri sibuk mencari rasionalisasi atas kegagalan-kegagalan mereka (membendung kenaikan harga BBM, elipiji, dan sekarang RUU anti-pornografi).


Meskipun dibayang-bayangi oleh skeptisme kaum radikal, pemilu 2009 tetap menjadi magnet politik bagi seluruh lapisan sosial, tak terkecuali lapisan pekerja, kaum tani, miskin kota, dan juga perempuan. Terlepas dari agitasi kaum radikal bahwa pemilu 2009 bukan pemilu rakyat, tapi ekspektasi bahwa pemilu 2009 merupakan tempat bagi rakyat menggantungkan harapan terus berkumandang, tanpa henti, dan semakin bergema seandainya capres independenpun akhirnya diakomodir.

Pemilu 2009 dan situasi Politik Kita

Seperti yang seringkali kusampaikan, bahwa pemilu 2009 boleh jadi akan menjadi pertempuran menentukan bagi seluruh kekuatan-kekuatan sosial dan spektrum politik yang berebut kekuasaan. Pemilu 2009 akan menjadi “ The Battle of Waterloo” antara pihak yang menghendaki perubahan dengan pihak yang tetap mempertahankan kelanjutan dari situasi sekarang ini. Dan, ini akan semakin bertambah sengit, karena neoliberalisme akan tetap mencari “jalan masuk” untuk mengembang-biakkan kekuasaannya sedangkan disisi lain, muncul ketidakpuasan, keresahan, protes, bahkan perlawanan terhadap ekses-ekses neoliberalisme ataupun neoliberalisme itu sendiri.

Memanasnya suhu politik menjelang pemilu 2009, merupakan medan pertempuran seluruh partai, politisi, dan kekuatan politik guna meraih dukungan rakyat. Di pihak lain, rakyat akan semakin menjaga pilihan politiknya, ibarat keris warisan leluhur, karena mereka sudah terlanjur belajar dari pengalaman masa lalu, dan ditambah gejolak persoalan ekonomi yang melilit, memaksa mereka untuk “pelit” terhadap bujukan elit politik. setidaknya, beberapa pilkada dan hasil survey menunjukkan bahwa rakyat menghendaki perubahan; rakyat mendekati calon yang berbasis program.

Sejumlah partai sebenarnya sudah menangkap sindikasi tersebut. Beberapa tema dan program politik yang digelindingkan dalam pemilu mendatang, memperlihatkan bahwa elit mencoba menangkap kerasahan massa. Lihat saja Hanura yang begitu getol menyodorkan isu kemiskinan sebagai kegagalan pemerintah; Gerindra menyodorkan isu kemandirian nasional, pembenahan sektor pertanian, dan perhatian terhadap pedagang pasar sebagai komoditi politik yang mau dijual; dan begitu banyak partai lain yang juga menyusun strategi politik yang sama untuk memenangkan dukungan.

Pemilu 2009 merupakan pemilu ketiga dalam periode rejim neoliberal; pemilu demokratis dalam ukuran demokrasi borjuis dan sekaligus menegaskan akhir dari era orde baru. Tahun 1998 melahirkan perubahan besar, bukan saja pergantian kekuasaan, tetapi yang mendasar adalah perubahan politik dan ekonomi, yang sudah sangat jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Perubahan tersebut bukan saja berlangsung dilevel atas, yang berkait dengan kehidupan politik, parlemen, lembaga Negara, penegakan hukum, dan sebagainya, akan tetapi juga berlangsung di level bawah yang ditandai dengan bangkitnya kritisisme dihampir semua lapisan social masyarakat. Perubahan yang terjadi, seperti juga perubahan yang berlangsung dibanyak Negara dan lingkungan social, menciptakan pertentangan (kontradiksi) antara sistem lama dengan sistem yang baru, antara seluruh kekuatan-kekuatan social yang berkepentingan. Perubahan mengidealkan sebuah bentuk yang baru, termasuk bentuk institusinya, sehingga terwujud kesesuaian (keselarasan) antara berbagai kepentingan social-masyarakat dengan institusi-institusi yang menyalurkannya.

Dalam kasus Indonesia, reformasi 1998 telah melahirkan perubahan politik; berupa penerapan demokrasi liberal ekstensif, otonomi daerah (desentralisasi), keterbukaan pers dan media massa, serta melemahnya peran militer dalam lapangan politik dan ekonomi. Perubahan-perubahan politik ini masih begitu labil, dan begitu dominan berlangsung diatas, sedangkan diakar rumput seolah-olah ada hambatan. Perubahan politik yang disertai ekstensifikasi apa yang disebut “demokrasi liberal” dan jargon-jargonnya, ternyata tidak melahirkan perubahan signifikan terhadap derajat kesejahteraan rakyat. Padahal, ukuran paling sederhana kesuksesan sebuah pegelaran perubahan dimata rakyat miskin adalah kesejahteraan.

Perubahan politik yang terjadi hanya mewadahi perluasan “liberalisasi ekonomi”, yang dibungkus dengan kebijakan Letter of Intent (LoI), tetapi tidak mewadahi partisipasi rakyat untuk merebut akses terhadap sumber-sumber ekonomi. Gempuran kuat neoliberalisme menyebabkan kerusakan luar biasa; kemiskinan, pengangguran, standar hidup yang buruk (gizi buruk, busung lapar, dan kelaparan), biaya kesehatan yang mahal, serta kerusakan lingkungan (ekosistem). Sumber daya ekonomi yang melimpah, bukannya jatuh ketangan rakyat Indonesia, malahan dinikmati oleh multinasional dan blok Negara imperialis. Kemiskinan di Indonesia begitu mengkhawatirkan; Bank Dunia mengklaim jumlah orang miskin di Indonesia mencapi 49,2% atau sekitar 110 juta orang; Indonesia merupakan penyumbang sekitar 60% orang miskin dikawasan regional ASEAN.

Ditengah kerusakan tersebut, terutama kerusakan ekonomi yang benar-benar memiskinkan mayoritas dari populasi, opensif neoliberal juga menghadirkan pembelahan cukup mendalam antara segelintir orang yang semakin kaya dan mayoritas rakyat yang semakin miskin. Membelah keterpisahan desa dan kota, antara region miskin dan region yang kaya.

Dan dilapangan politik, sebuah faksionalisme terbentuk dan fragmentasi politik luar biasa mendalam, akibat desakan neoliberal. Seperti di ungkapkan Lenin, kendati perkembangan sosial dan produksi tak mengubah karakter seorang borjuis—mengejar akumulasi profit, akan tetapi tak disangkal bahwa mereka dapat berganti wajah sesuai dengan periode dan fase-fase perkembangan tertentu. Kehidupan politik paska 10 tahun reformasi betul-betul berbeda dengan era-orde baru; Ada faksi elit yang tersingkir dan sama sekali tidak mendapatkan tempat dalam formasi yang baru. Ada faksi politik yang mencoba berasimilasi dengan formasi yang baru, sembari menjaga kepentingan-kepentingannya. Dan ada faksi politik dari elit politik sekarang ini, yang semakin solid kelompoknya, dan membangun ikatan dibelakang pemerintahan SBY-JK (golkar dan Demokrat).

“Tidak ada yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan”. Dan karena kepentinganlah, sebuah partai atau seorang politisi bisa menggeser sikap politik dan orientasinya. Di jaman orde baru, semuanya boleh dikatakan seragam, satu induk, dan satu kongsi-kepentingan. Tapi di jaman liberal ini, seorang politisi bisa menggeser sikap politiknya dalam hitungan waktu singkat, sesuai dengan prediksi politik yang menguntungkan mereka. Tak heran, di jaman sekarang banyak orang seperti Agus Tjondro, seorang koruptor yang insaf[1], Zaenal Maarif (bisa berpindah-pindah partai dengan leluasa), dan banyak lagi sosok lainnya, yang bisa merubah kepribadian dalam sekejap.

Selain itu, diluar isu diatas, beberapa elit bergeser dari akomodatif terhadap neoliberal kemudian bersifat kritis, bahkan anti-neoliberal. Fenomena ini pun sebenarnya gejala material yang inheren dalam pertikaian modal besar versus kecil, sektor ekonomi global versus domiestik, dan sebaianya. Tetapi diluar itu, ekspresi umum yang juga selalu hadir dan menuntut penyelesaian adalah garis pertentangan antara Negara penindas (oppressor) dan Negara tertindas (oppressed). Sentimen ini membidani kelahiran kaum nasionalis, dan terutama sekali; borjuis nasional progressif.

Nasionalisme dan Anti Neoliberalisme

Pada awalnya, nasionalisme selalu merupakan hasil pergaulan bangsa jajahan dengan Negara yang lebih modern, termasuk kemungkinan dibawah oleh penjajahannya. Karena itu, yang pertama kali menangkap sentiment nasionalisme dan sekaligus pertama kali tersadarkan adalah kaum intelektual, yang terutama sekali berasal dari kalangan atas atau cikal bakal borjuis nasional. Mereka menjadi progressif, karena mengambil jalan berbeda dengan kehendak penjajah—yang bermaksud memodernkan mereka—dan berbalik melawan, dengan menggunakan senjata “nasionalisme”. Nasionalisme semacam ini mengambil bentuk pembebasan nasional; melepaskan diri dari segala bentuk kolonialisme dan imperialisme.

Ketika desakan neoliberal kian tak terbendung, maka klaim “nasionalisme” juga begitu riuh dipertunjukkan oleh politisi nasional dan kalangan pengusaha. Di kawasan Amerika Latin, beberapa pengusaha nasional seperti Embraer, perusahaan penerbangan Brazil, mengajukan klaim nasionalisme guna menghadapi bombardir kompetitornya yang berasal dari Kanada. Neoliberalisme juga menceraikan berbagai lapisan pebisnis berdasarkan kepentingannya, misalnya pebisnis transnasional, pebisnis regional, dan pebisnis yang bergantung pada pasar domiestik. Sehingga, pendapat menyamaratakan wajah mereka, seperti argumentasi Gregorius Wardoyo, merupakan pendapat anti-materialisme dialektik, dan tidak berbau Marxism.

Di Indonesia, klaim “nasionalisme” oleh sejumlah politisi nasional dan kalangan pengusaha merupakan buah pertikaian tak seimbang dengan pemodal asing dan perusahaan trans-nasional. Pengusaha dalam negeri tumbuh dan berkembang dari kakinya, dan atas anjuran neoliberalism; pemerintah harus mencabut dukungan dana dan insentif kepada pengusaha nasional. Mereka tak berdaya berhapan dengan gempuran tersebut dan berharap Negara bisa menolong mereka. Perlu diketahui, bahwa kerusakan yang diderita oleh pengusaha nasional dan sektor industri dalam negeri, merupakan juga “pukulan” terhadap kelas pekerja secara umum.

Di eropa dan AS, klaim “nasionalisme” mungkin tak relevan dengan kepentingan bisnis mereka, yang butuh integrasi dalam pasar global. Meskipun ketika krisis financial, beberapa perusahaan financial AS dan Eropa harus diselamatkan oleh pertolongan Negara. Tetapi, di Negara-negara berkembang dan begitu tergantung (dependent) kepada Negara-negara maju, isu “nasionalisme” menjadi komoditi yang penting.

Di Indonesia, perjuangan anti-neoliberalisme dipararelkan dengan perjuangan anti-imperialisme, atau menggunakan retorika nasionalisme. Sedangkan di Negara maju (AS, Inggris, Jerman, Kanada, dll), anti –neoliberalisme tak bisa dipararelkan dengan sentimen nasionalisme, karena kedudukan borjuasi penghisap berada dinegaranya sendiri atau negaranya yang bertindak sebagai imperialis (penjajah). Kesuksesan perjuangan anti imperialis di Negara dunia ketiga akan menguntungkan perjuangan kelas pekerja di Negara-negara maju, demikian sebaliknya.

Beda halnya dengan Nasionalisme Chauvistik, yang merupakan kecenderungan borjuis kecil yang tak sabar, berkehendak mengalirkan penghisapan berdasarkan garis kebangsaan, keagamaan, dan kesukuan. Nasionalisme yang anti imperialis menggunakan Negara sebagai “tanggul” menghadapi terjangan negeri-negeri imperialis, dan mengutamakan kepentingan nasional dengan melibatkan seluruh lapisan sosial dari sebuah bangsa. Sedangkan, nasionalisme “chauvinistic” menggunakan Negara untuk sebagai mesin akumulasi yang efektif, dengan menjalankan kediktatoran Negara, agresi, dan peperangan.

Partai-partai yang mengobarkan nasionalisme, seperti Gerindra, dihasilkan oleh sebuah situasi dimana identitas dan karaktekter sebuah nasion telah merosot. Dan disisi lain, muncul keresahan kuat ditengah massa yang berpotensi melahirkan “guncangan sosial” yang cukup besar. Kehadiran nasionalis –chavunis adalah untuk menjembatani kepentingan massa dan kepentingan oligharki lama yang terkikis oleh pengaruh neoliberalisme. Ciri-ciri yang ditonjolkan berupa slogan-slogan nasional yang abstrak namum memukau, yang bertujuan meraup dukungan massa, terutama kalangan menengah dan kebawah--kelompok sosial yang paling menderita akibat dampak neoliberalisme.

Pemilu 2009 dan Strategi Politik Parlementaris
Meskipun keresahan, ketidakpusan, protes, hingga perlawanan, tak dapat dibantah lagi, merupakan ekspresi umum dari pekerja, petani, kaum miskin kota, mahasiswa, kalangan minoritas, dan termasuk pula sektor-sektor kapitalis yang menderita kerugian akibat desakan neoliberalisme. Namun, sudah menjadi kesimpulan yang tak terbantahkan pula bahwa mayoritas rakyat Indonesia masih mempercayai bahwa parlemen demokratik (tentu saja dalam ukuran borjuisme) masih begitu kuat. Dan tanpa meragukan lagi kebenaran teori, bahwa kaum pergerakan harus terus-menerus mendorong maju kesadaran tersebut, dengan segala keuletan dan ketabahan, termasuk terlibat aktif dalam penggalangan aksi massa, menyebarkan agitasi dan propaganda, dan bekerja konkret dikalangan tersebut. Tapi bagi saya, tak cukup bagi pergerakan mengandalkan satu ruang perjuangan saja, dan mengabaikan medan lain yang juga menyediakan potensi.

Menyakini bahwa parlementarisme merupakan salah satu medan perjuangan yang penting untuk situasi sekarang ini, maka perdebatan tak dapat dimundurkan lagi [pemilu rakyat atau bukan; ekstra-parlementer verus parlementer]; perdebatan yang menurut saya hanya meniadakan pilihan-pilihan strategi dan taktik politik dalam memanfaatkan ruang parlementer. Semenjak pemilu didesain dalam kepentingan masyarakat berkelas, dan syarat-syarat yang dibuat sendiri diantara mereka guna mengatur suksesi diantara mereka, maka selamanya tak ada pemilu rakyat. Dan sebenarnya system demokrasi rakyat tidak didesain dengan mekanisme semacam pemilu tersebut, tetapi dengan mekanisme demokrasi lansung dari bawah; mayoritas memimpin minoritas; mekanisme recall kapan saja, dan sebagainya.

Disini kita berbicara soal strategi politik. Strategi politik bagi kami adalah strategi mendefenisikan siapa musuh dan siapa kawan terdekat, maupun sektor-sektor tertentu yang dapat dinetralisir dalam tahap histories tertentu. Disini strategi politik tak mengacu pada tujuan-tujuan jangka panjang dari gerakan, seperti yang banyak dijadikan “hak paten” gerakan kiri.

Efek neoliberal telah memupuk perlawanan dimana-mana, tak saja sektor-sektor dari kalangan warga miskin, tapi juga menjangkau kalangan pengusaha nasional ataupun pelaku bisnis yang begitu bergantung pada pasar domestik. Dengan demikian, efek neoliberal sebenarnya berdampak luas dan cukup mendalam. Dalam kepentingan ini, strategi politik bisa disusun berdasarkan komposisi dari seluruh sektor sosial yang jelas-jelas dirugikan, dengan catatan bahwa ada “core” yang berfungsi sebagai driving force dalam perjuangan anti neoliberal, sekaligus menjaga koalisi tersebut berjalan dalam koridor “kerakyatan".

Sehingga tak cukup dengan koalisi dengan partai tertentu, tapi seharusnya sebuah blok politik yang lebih lebar lagi, yang menghimpun seluruh kekuatan politik; partai, individu, organisasi massa, yang berkecenderungan dirugikan oleh neoliberalisme. Blok politik yang lebih lebar dan beranggotakan luas, akan memberikan pengaruh besar dari perimbangan politik didalam negeri, dan sekaligus memberikan kesempatan besar menciptakan dan menjaga polarisasi antara kekuatan politik yang anti-neoliberal dan pro-neoliberalisme.

Gambaran lengkap dari strategi politik ini tak bisa sekedar dengan ukuran memasuki badan parlementer, tetapi seharusnya dipahami luas; yakni memanfaatkan semua institusi formal demokrasi liberal, pemerintahan-pemerintahan lokal, badan-badan partisipasi warga hingga yang terendah, seperti musrembang, dekot, dekel, dan RT/RW.

Pandangan Yoyok dan Pendukungnya
Berbeda dengan saya, pandangan Yoyok justru berada diseberangnya. Setidaknya dengan memagari diri dalam perdebatan soal alat politik yang dipergunakan, ia terus bersikukuh bahwa alat politik tersebut harus genuine dari gerakan, partai kiri sejati, dan terang mendukung sosialisme. Baginya, memanfaatkan partai lain dalam basis kesepakatan program sebagai jembatan menjalankan strategi mengintervensi pemilu, merupakan sebuah kapitulasi kanan, kooptasi, peleburan diri, dan pendeknya; oportunisme kanan.

Dalam artikelnya, pemilu 2009 dan (ilusi) kaum pergerakan[3], ia merangkum pendapatnya sebagai berikut;

"...Pemilu sebagai sebuah momentum politik nasional, jelas tidak bisa di tolak adalah panggung politik yang besar, yang menjadi perhatian (baik terpaksa maupun “sukarela”) sebagian besar rakyat Indonesia, namun panggung yang besar ini tidak secara otomatis akan menjadi panggung yang efektif bagi kaum pergerakan, dengan menjadi peserta pemilu. Ketidak efektifan ini disebabkan alat politik yang digunakan oleh kaum pergerakan bukanlah alat politik yang dibangun sendiri oleh kaum pergerakan; dengan programnya sendiri, dengan metode perjuangannya sendiri, dengan model organisasinya sendiri maupun dengan tokoh-tokonya sendiri. Dengan tidak adanya alat politik kaum pergerakan ini (sekalipun telah diupayakan dengan segala kelebihan maupun keterbatasannya), maka kaum pergerakan harus masuk atau menjadi bagian dari alat politik yang lain, dan tepat pada point ini, alat politik yang ada (yakni partai-partai politik yang menjadi peserta pemilu 2009) tidak ada satupun yang mendekati apa yang selama ini di perjuangkan oleh kaum pergerakan Indonesia, sehingga menjadi bagian dari kekuatan penindas ini,tentu saja akan semakin memperkuat posisi politik kaum penindas ini untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat yang sudah semakin mengecil".

Dengan mengacu pada argumentasi diatas. Yang dipersoalkan Yoyok, terutama sekali, adalah soal alat politik yang digunakan. Dalam mengajukan argumentasinya, bung Yoyok selalu menyandarkannya hanya pada satu aspek, yakni alat politik, dan meniadakan keperluan mendiskusikan aspek yang lain, yakni tujuan intervensi pemilu itu sendiri. Memisahkan alat dan tujuan bukan merupakan solusi untuk berdebat (kecuali untuk debat kusir ansich!). tanpa mau menjerumuskan diri dalam pragmatisme, bahwa perdebatan soal alat seharusnya menimbang kepentingan luas dari sebuah tujuan. Sehingga, sesulit apapun mencari alatnya yang tepat dan sesuai, tetap harus dipecahkan demi tidak melepaskan tujuan, atas nama; KEPASRAHAN.

Saya menganggap bahwa ukuran dan persyaratan bagi sebuah kendaraan politik adalah kesepakatan program; anti-neoliberalisme. Bahkan, menjadi keharusan menurut saya, membangun sebuah formasi politik, blok lebar, atau semacam front persatuan yang lebar dengan merangkum semua sektor sosial yang dirugikan oleh neoliberalisme, termasuk sektor-sektor kapitalis yang menderita dan berkehendak melawan. Sedangkan Yoyok, memagari diskusinya untuk merunut sebuah partai-partai yang benar-benar kiri, sosialis, anti-imperialis. Dan kalau tak ada yang seperti itu, maka menurut Yoyok, lebih baik kaum pergerakan menunggu sambil mengusahakan persatuan gerakan rakyat. Pertanyaannya! Jika alat politik yang demikian itu, tidak juga terbentuk karena berbagai faktor, dan belum lagi syarat yang diajukan oleh demokrasi borjuis di parlemen semakin tinggi pagarnya, sehingga tak memberi kesempatan sedikitpun bagi kaum pergerakan melongok kedalam, bahkan untuk tahun-tahun kedepan. Apa yang dia (Yoyok) akan lakukan?

Selanjutnya, dalam penjelesan yang lebih jauh soal efektifitas aktifitas parlementer dengan metode kerjasama-luas berbasiskan program, dia mengajukan sebuah prediksi berikut;

“Dengan biasnya program kerakyatan, ditambah dengan alat politik yang digunakan adalah alat politik milik borjuasi, maka sudah bisa dipastikan struktur organisasi yang akan meluas adalah struktur organisasi dari borjuis ini…….. Artinya peluang untuk masuk menjadi anggota DPR/D pun sangat kecil, dan jikapun berhasil (dengan cara-cara di atas) maka kemungkinan untuk menjadi anggota DPR yang radikal, yang sanggup memperjuangkan kepentingan rakyat menjadi sangat kecil, karena dalam proses menuju anggota DPR/D sudah menanggalkan prinsip-prinsip perjuangan, dan saya tidak percaya, dengan proses yang seperti itu, maka secara ajaib akan muncul anggota DPR/D yang diharapkan oleh rakyat”.

Benar-benar ahli berandai-andai, ahli nujum sosialisme abad 21 rupanya; belum juga taktik tersebut dijalankan, dipraktekkan, dan kelihatan hasilnya, dia (yoyok) sudah buru-buru menyimpulkan secara picik, bahwa taktik parlementer dengan kerjasama-luas berbasiskan program tidak akan berhasil. Perlu saya beritahukan, bahwa sebusuk apapun pandangan Yoyok terhadap badan parlementer secara institusional, tetapi tetap menyisakan beberapa individu yang baik, yang dengan dasar humanisme, kritis dan pro-rakyat, selalu berdiri menghadang kebijakan-kebijakan benar-benar anti -rakyat. Bisa disebutkan nama-namanya; Drajat Wibowo, Yacobus Mayongpadang, Yuddy Chrisnandi, dan lain-lain. Bahkan, dikalangan mereka ada yang berfikir anti-neoliberal, meskipun masih dalam statemen-statemen politik.

Saya termasuk penulis yang selalu mengacu kepada pendekatan klas, tapi saya tidak kaku memahami bahwa asal-usul klas menentukan seseorang menjadi revolusioner. Gerakan 26 Juli yang berdiri disekitar castro dan kawan-kawannya, terdiri dari orang-orang dari berbagai asal-usul klas yang berbeda, sebagian besar dari kota, tidak selamanya dari klas pekerja, tidak juga pernah aktif di organisasi buruh atau organisasi kaum pekerja lainnya sebelum bergabung dengan Castro, tetapi akhirnya mereka bisa menjadi “inti” dari kekuatan revolusioner Kuba.

Boleh saja kita mengatakan, bahwa banyak mantan aktifis yang terjung ke partai dan bahkan parlemen, tapi tidak bisa berbuat banyak. Tapi, pengalaman tersebut bisa saja menjadi acuan, tetapi tidak bisa di jadikan alat “mentah-mentah” untuk menghakimi strategi politik papernas, dan beberapa aktifis lain. Soal godaan oportunisme, bukan hanya di parlemen, tetapi juga ada dijalanan; brokeris (tukang dagang aksi), ada dilapangan perjuangan buruh (aristokrasi buruh, tawaran jabatan,dll) , tani, KMK, dan semuanya.

bahwa metode parlementer hanya salah sub-pekerjaan memanfaatkan semua ruang-ruang legal, konstitusional, badan-badan pemerintahan local (walikota-bupati), hingga struktur-struktur warga (Dekel, Musrembang, RT/RW)[4]. Rakyat miskin harus didorong untuk melibatkan dirinya, merebut badan-badan warga (RT/RW), local (Kades/bupati) hingga parlementer (DPRD, DPR, DPD). Dan papernas membuktikan hal tersebut; selain masuk dalam pencaleg-kan DPRD-DPR, juga berhasil mencalonkan beberapa anggotanya di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), termasuk salah satunya, Pak Benny, seorang sopir angkot, yang lolos verifikasi administratif dan faktual KPU sebagai calon DPD dari daerah DKI jakarta. Pak Benny mengusung program anti neoliberalisme, dan dalam membawa persoalan konkret rakyat miskin Jakarta kepanggung politik---agar makin terdengar, seperti; lapangan kerja, penolakan penggusuran, anggaran berbasiskan rakyat, dan sebagainya.

Seorang Bupati di Jembrana, Gede Winasa, bisa mempraktekkan pendidikan gratis di seluruh sekolah-sekolah didaerahnya. Meskipun tak memiliki latar-belakang aktifis, ataupun politisi, bupati Gede Winasa telah melelehkan cara berfikir birokrat dan pendukung neoliberal bahwa pendidikan memang sewajarnya mahal. Tindakan sang bupati, kendati tak didukung oleh organisasi kiri radikal dibelakangnya, telah mempengaruhi konstalasi politik nasional dan memberi inspirasi bagi pejabat didaerah lain. Program pendidikan gratis kini, sudah menjadi program “umum” hampir setiap pilkada gubernur, walikota, atau bupati. Itu capaian!

Pandangan Lain

Pandangan politik kaum pergerakan terhadap pemilu 2009 sungguh beragam. Beberapa kelompok, yang memiliki jaringan signifikan, mencoba memberikan solusi dengan menawarkan Golput. secara garis besarnya, bahwa pemilu 2009 tidak akan memberika solusi bagi persoalan yang dihadapi rakyat, dan malah menjadi ajang konsolidasi bagi kaum borjuasi dan elit politik penipu rakyat. Pendeknya, pemilu 2009 tidak akan memberikan perubahan bagi rakyat, karena secara institusional pemilu sendiri masih dirancang untuk kepentingan kaum borjuis.

saya tidak terlalu mendebat posisi tersebut, akan tetapi menurut hemat saya perlu ada catatan; misalnya, bahwa penolakan ini berlandaskan kesimpulan bahwa pemilu 2009 bukan pemilu rakyat. Ini harus diperjelas, seperti apa ukuran pemilu rakyat itu? Dan apakah benar bahwa pemilu 2009 sama sekali tidak memberikan potensi untuk melahirkan perubahan politik yang setidaknya sedikit memihak rakyat? Dan selanjutnya, apa tanggung jawab kita terhadap mayoritas rakyat Indonesia, yang merupakan korban utama neoliberalisme, tetapi“tetap” percaya terhadap ilusi parlemen?

Pemilu memang selamanya milik kaum borjuis, karena badan parlementer sejatinya adalah mekanisme pewadahan kepentingan semua bagian dari klas borjuis, dengan mekanisme penyaringan yang memagarinya dari partisipasi rakyat miskin. Seharusnya, pertanyaannya adalah; apakah pemilu 2009 menyediakan peluang bagi kaum pergerakan untuk memenangkan program2 alternatif, memenangkan dukungan rakyat, dan memelihara perimbangan politik diantara dua segi bertentangan; pemerintahan pro-neoliberal versus oposisi.

Tapi, terlepas dari kedua cara pandang yang berbeda tersebut, pekerjaan menyerukan golput oleh beberapa elemen pergerakan bisa berkontribusi dalam menjaga barisan massa rakyat yang sudah maju secara politik---rakyat yang tidak percaya lagi dengan institusional parlementer, sedangkan elemen pergerakan yang mengintervensi pemilu akan memelihara dan merangkum massa rakyat yang sudah tidak puas dengan pemerintahan dan kebijakannya namum masih percaya pada ilusi pemilu, berada dibelakangnya. Kombinasi diantara keduanya, atau adanya “koordinasi” diantara dua bentuk ini, akan menjadi blok politik alternatif dimasa depan, dengan dukungan luas.

Akan tetapi, Golput juga bisa melahirkan sebaliknya; abstain berarti membuka jalan kepada kekuatan lama yang lebih mapan dan terorganisir. Kenapa bisa terjadi? Pertama, karena ternyata motif utama golput beragam, salah satunya adalah persoalan kekacauan administratif, teknis, dan sosialisasi, seperti yang diyakini JPPR, sehingga susah ditarik kepentingan politisnya. Belum lagi, jika benar bahwa Gusdur akan mendorong pendukungnya untuk golput dalam pemilu 2009. Kedua, dari perkembangan situasi, jika benar-benar dua kutub (pro-neolib dan anti neolib) benar-benar bertarung secara terbuka, maka seruan golput akan menarik sebagian besar pendukung atau pemilih anti neolib yang paling militant dan radikal. Ketiga, jika golput dihubungkan dengan pemilu tidak jurdil, sarat penipuan, dan sebagainya, maka seharusnya taktik golput kurang tepat, karena kemajuan system informasi dan teknologi telah meminimalisir kemungkinan penipuan dan manipulasi. Dan kalaupun terjadi, rakyat bisa melakukan protes lansung ke panitia pemilihan, KPU, dan berbagai institusi yang terlibat. Kalau argumentasinya prinsipil, karena memang pemilu merupakan institusi borjuis yang mengilusi rakyat, maka seharusnya seruannya adalah BOIKOT aktif, dengan tindakan aktif mengerahkan massa menggagalkan pemilihan.

Partisipan atau Non-Partisipan

Tema ini selalu dipertentangkan dan dibangun tanggul pemisah diantara keduanya, seolah-olah yang satu tidak bisa melompati ke yang lainnya. Kalangan pergerakan mengidap ketidakpercayaan kuat terhadap partai-partai di parlemen dan meragukan adanya suasana kondusif di parlemen yang menjaga idealisme para aktifis. Selain itu, kerusakan politik yang diderita lembaga parlemen akibat korupsi, suap, dan skandal seks, telah melempar citra politik pada titik yang paling dangkal. Hal tersebut begitu kuat memupuk sentimen anti-politik dan anti-partai, terutama kalangan klas menengah dan LSM.

Diluar unsur-unsur yang cukup maju---yang menyadari perlunya pendirian partai politik alternatif, mayoritas lapisan luas kaum pergerakan masih memformulasikan kesadaran anti –kapitalisme dengan menolak berpartisipasi dalam ruang-ruang legal yang diciptakan oleh klas berkuasa. Mereka punya defenisi tersendiri terhadap aktifis yang masuk keparlemen, badan-badan pemerintahan, atau ruang-ruang politik lainnya, sebagai penghianat, penjual idealisme.

Terhadap proposisi tersebut, ada baiknya menyimak pendapat Marta Harnecker berikut ini;

….Terhadap kondisi itu, perlu ditambahkan tidak adanya kepercayaan rakyat kebanyakan terhadap politik dan politikus. Rakyat muak dengan janji-janji yang tak dapat dipenuhi dan dengan demikian hanya sekedar berpropaganda tentang masyarakat alternatif tidaklah cukup. Butuh untuk mendemonstrasikan dalam praktek-praktek sehari-hari apa yang dikhotbahkan. Ini hanya mungkin "dengan mengembangkan alternatif kerakyatan terhadap kapitalisme dengan cara membuang motif profit dan hubungan-hubungan yang dipaksakan olehnya dan menggantikannya dengan suatu logika baru yang humanistik dan didasarkan pada solidaritas dalam ruang-ruang yang dikuasai oleh kaum kiri" (Harnecker, 2001, 164-165).

Persoalannya adalah mantan aktifis gerakan yang terserap atau sukses masuk kedalam badan pemerintahan atau parlemen melakukan praktek politik yang tidak jauh berbeda dengan politisi kanan. Adalah merupakan tantangan dan tugas kaum aktifis di parlemen, bukan untuk memulihkan kepercayaan rakyat terhadap lembaga parlemen, akan tetapi memformulasikan sebuah pemahaman akan batasan-batasan yang sanggup dihadirkan neoliberal, dan sebaliknya mempromosikan “praktik konkret” yang sanggup melampaui keterbatasan tersebut.

Pemilu 2009 adalah pemilu menentukan; jalan lama atau perbaikan. Kegagalan berat kapitalisme neoliberal bukan sekadar ungkapan teoritis tetapi kini menjadi fakta. Kenyataan tersebut tidak lagi dapat menunggu; sampai sebuah formasi persatuan gerakan terbangun, tapi sejak sekarang harus digempur dan arena pemilu menyediakan ruang begitu luas untuk pertarungan tersebut. Tipe dominan dari pemilih dalam pemilu mendatang adalah massa mengambang, sisa-sisa proyek depolitisisasi orba. Pilihan politik mereka sangat tergantung ruang pragmatis yang menyediakan mereka kesempatan bertahan hidup (survival). Belum lagi, kurang lebih 70% masyarakat Indonesia menggantungkan pengetahuan dan akses mereka terhadap informasi berdasarkan audio-visual. Partai-partai besar yang memiliki duit, termasuk Golkar dan Demokrat, tentu sanggup menggunakan media visual seperti TV untuk pencitraan politik mereka. Partai-partai pendukung neoliberalisme akan memanfaatkan media untuk menghapus kerusakan dan cacat politik mereka karena kebijakan yang merugikan rakyat.

Dan karena itu, kaum pergerakan yang mengikuti pemilu tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan sendiri, apalagi potensi personal aktifis, tetapi harus menggandeng dukungan luas dari kaum pergerakan. Bukan itu saja, kaum pergerakan pun harus memenangkan sebuah blok sosial alternatif berkeanggotaan luas dan lebar sebagai jalan mengimbangi kekuatan lawan. Dalam situasi politik seperti itu, dimana dua arus politik (pro –neoliberal dan anti-neoliberal) bertemu dan bertempur, maka pilihan “non-partisan, abstain, bukanlah pilihan yang tepat. Konteks politik pemilu 2009 adalah mengusahakan perubahan politik guna mengakhiri neoliberalisme, bukan lagi sekedar “protes” dan mempropogandakan ketidakpercayaan terhadap neoliberal.

Bukan berarti saya menganjurkan dukungan tanpa kritis terhadap caleg aktifis, justru hal tersebut sangat dibutuhkan sebagai salah satu faktor untuk menjaga garis pro-rakyat dari aktifis tersebut.

Konfigurasi Politik Nasional dan strategi Konvergensi

Semenjak Letter of Intent (LoI) ditanda-tangani oleh pemerintahan Habibie, boleh dikatakan bahwa perekonomian Indonesia sedang berintegrasi dengan sirkuit pasar global, yang merupakan unit tunggal. Sejak itu pula, ekonomi nasional memutar-badan, bukan lagi melayani kapitalisme kroni, tetapi melayani sepenuhnya kepentingan korporasi transnasional dan Negara-negara maju. Hal tersebut patut dicermati, karena bukan saja sedikit merubah musuh utama yang kita hadapi, tetapi juga merubah berbagai medan perjuangan kaum pergerakan, isu utama dan tuntutan, dan strategi politik.

Golkar sekarang sudah berbeda jauh dengan Golkar dimasa orde baru. Jika dimasa orde baru, Golkar merupakan penyangga utama dari system kapitalisme kroni orba, maka dimasa sekarang, dibawah komando Jusuf Kalla, semakin berorientasi pada ekonomi pasa bebas (free market) dan politik liberal. Dengan kerjasama-solid bersama Demokrat, kedua partai ini semakin mendekat pada pengelompokan partai pendukung neoliberalisme paling depan di Indonesia. Beberapa individu dan tokoh loyalis orba di tubuh golkar sudah dibuang atau dipaksa mendirikan partai baru, seperti Hanura, Pakar Pangan, dan Gerindra.

Sementara itu, PDIP yang terdepak dari kekuasaan tahun 2004 lalu mulai menuai popularitas dari sikap partainya yang menegaskan beroposisi terhadap pemerintahan sekarang. Partai yang mengakui “nasionalis” ini, sebenarnya juga merupakan pendukung neoliberal seperti yang ditunjukkannya semasa berkuasa (2001-2004), hanya saja mencoba mengimplementasikan semacam “tanggung jawab sosial” dalam menghadapi dampak ekonomi yang liberal.

PKB merupakan unsur termaju di parlemen dari berbagai sikap politiknya; pluralis dan kritis terhadap neoliberalisme. Ketika Gus-Dur berkuasa pun, ia memakai ekonom-ekonom yang berada diluar lingkaran Wijoyonitisastro atau Mafia Barkeley, dengan memasang Risal Ramli dan Kwik Kian Gie. Hanya saja, patron klien yang terlampau kuat dipartai ini ditambah penggembosan dari luas, telah menyebabkan partai retak dan terbelah, dimana kubu progressif-Gusdur berada dalam kubu yang kalah dan Kubu Muhaimin—yang lebih pro- SBY—sebagai pihak pemenang.

PAN yang selalu memposisikan diri sebagai pendobrak reformasi telah terbukti semakin ditinggalkan rakyat, seperti yang ditunjukkan oleh merosotnya dukungan mereka dan ditinggalkan oleh kaum mudanya---yang mendirikan Partai Matahari Bangsa (PMB). Meskipun berkali-kali Amien Rais berposisi kritis terhadap perampokan kekayaan alam, terutama sektor pertambangan, oleh korporasi internasional, tetapi ternyata tidak memulihkan kepercayaan rakyat terhadap partainya. Terlebih Sutrisno Bachir, yang menjadi nahkoda partai, tidak memiliki kepiawaian dalam berpolitik dan tidak punya konsep programatik yang konkret, selain menawarkan iklan “katro” di TV.

Dari poros konservatif, yang meliputi PKS, PBB, dan PPP, hanya PKS-lah yang menunjukkan “cahaya terang” semakin mendapatkan keuntungan dari kerusakan politik yang diderita partai lain. PBB dan PPP yang semakin konservatif dan kemana-mana menjual ideology syariat islam jelas partai yang sedang merosot. PKS justru sebaliknya; kendati merupakan partai pendukung pemerintah, tapi berkat “maneuver politiknya” yang bisa zig-zag ---seperti kasus dukungannya terhadap hak angket—ditambah beberapa faktor; disiplin, kaderisasi, performa bersih dan egaliter, menjadikan PKS memiliki peluang besar dalam pemilu 2009. PKS adalah partai konservatif yang mengusung ekonomi liberal; berjuang keras memelihara tradisi dan moral konservatif tetapi begitu loyal terhadap kebijakan neoliberal. PKS jelas merupakan partai reaksioner yang harus diwaspadai karena dapat berpindah rel politik (pro-neoliberal atau oposisi), yang penting menguntunkan politik partainya.

Bagaimana dengan faksi tentara?

Tentara sementara ini terfragmentasi setidaknya dalam banyak faksionalisasi. Salah satu bentuk faksionalisasi dikalangan mereka tercermin dari kemunculan 3 partai yang sepenuhnya disokong oleh tentara, yakni Hanura, Gerindra, dan Pakar-Pangan, PKPI, dan Demokrat. Menariknya, bahwa beberapa faksi dalam kubu tentara justru memperlihatkan posisi kritis terhadap pemerintahan SBY, seperti yang ditunjukkan oleh iklan kemiskinan Wiranto, bahkan diantara mereka semakin sering melontarkan ide kemandirian bangsa, nasionalisme, anti-penjajahan asing. Beberapa mantan tentara terlibat dalam deklarasi Komite Bangkit Indonesia (KBI), yang sekaligus mendeklarasikan konsep jalan baru dan haluan ekonomi baru Indonesia bersama Rizal Ramli.

Fenomena ini bukan hal baru dan juga tidak aneh. Tentara seperti kehilangan induk ketika orde baru runtuh, dan malah kelihatan bahwa tentara kehilangan basis model kapitalis yang menguntunkan kelompoknya, yakni kapitalisme kroni. Dengan ekonomi liberal yang diperkenalkan, tentara bukan saja disingkirkan dari kehidupan ekonomi tapi perlahan-lahan dibatasi dijabatan politik. partai politik semakin mendominasi kehidupan politik dan jabatan pemerintahan; sesuatu yang begitu tidak disengangi tentara sejak awal.

Liberalisme ekonomi dan pengambil-alihan sebagian besar asset-aset mereka oleh perusahaan trans-nasional milik asing, menyebabkan tentara terpisahkan dari kehidupan niaga dan bisnis. Paling banter, mereka menerima “jumlah kecil” sebagai upah mereka menjaga asset-aset dan kepentingan asing di Indonesia, terutama di Aceh dan Papua. Inilah landasan kenapa sejumlah pemimpin tentara mengibarkan bendera nasionalisme, kemandirian bangsa, dan anti-penjajahan asing.

Tapi, terlepas dari itu semua. Angin demokratisasi yang mewadahi tentara professional, telah mendorong sejumlah tentara yang berfikiran maju untuk mulai mendedikasikan diri pada pergulatan untuk mencari konsep baru Indonesia yang lebih baik. Akan tetapi, mereka ini masih sangat kecil dan cenderung dibuang dari posisi strategis kemiliteran.

Nah, dengan fragmentasi politik yang begitu lebar tersebut, perlu ada kreasi untuk merangkai kekuatan-kekuatan politik yang memiliki cita-cita yang relatif sama, terutama dalam mengakhiri praktek ekonomi neoliberalisme di Indonesia. Masalahnya, tidak ada memang partai politik di Indonesia sekarang ini yang benar-benar anti-neoliberal, apalagi anti-kapitalisme. Tetapi, kerusakan ekonomi, sosial, budaya, dan ekologi akibat neoliberalisme sudah tak dapat ditutupi dan mengharuskan partai harus mengambil sikap kritis terhadap neoliberal. Potensi ini tetap akan kecil jika tidak dikoordinasikan oleh kaum pergerakan, sehingga menjadi penting bagi pergerakan untuk menempatkan pemilu 2009 sebagai arena penting dalam perjuangan anti-neoliberal kedepan.

Adalah keharusan bagi kaum pergerakan untuk menjaga dan mengintervensi momentum pemilu ini. Karena dengan ini, kaum pergerakan dapat memelihara pertentangan dan polarisasi kekuatan (anti –neoliberal dan pro-neoliberal) menghadapi pemilu.

Untuk itu, diperlukan strategi konvergensi, yang akan menyatukan dan sekaligus memusatkan kekuatan yang memiliki cita-cita jangka pendek relatif sama untuk menjadi pengelompokan tersendiri menghadapi poros neoliberal. Disini kaum pergerakan dituntut, untuk mendefenisikan siapa kawan dan lawan, serta sektor-sektor tertentu yang perlu dinetralisir dalam fase histories tertentu. Musuh utama kita adalah pendukung utama system ekonomi neoliberalisme, yaitu partai Golkar dan Demokrat. Kawan sementara kita adalah kekuatan-kekuatan politik yang beroposisi terhadap pemerintah SBY-JK, menentang Golkar dan Demokrat, serta berposisi kritis terhadap neoliberalisme. Sedangkan sektor-sektor yang perlu dinetralisir adalah kekuatan politik peragu, pling-plang; partai yang sikapnya cenderung berubah-ubah tergantung dari perimbangan kekuatan pro-neoliberal dan penentangnya.

Kekuatan yang akan menjadi sandaran utama kita, terutama dalam mendorong sentimen anti-neoliberal lewat tekanan massa adalah sektor-sektor sosial yang cukup dirugikan oleh system neoliberal, meliputi kaum pekerja, kaum miskin kota, petani, dan semua sektor sosial lainnya yang menjadi “korban” neoliberalisme, termasuk pengusaha nasional.

Merangkul Sektor Kapitalis Nasional

Neoliberalisme adalah merupakan sebuah serangan kapitalis global, terutama yang dipimpin oleh korporasi transnasional dan kapitalis financial dari Negara kapitalis maju, yang menyerang bukan saja kelas pekerja dan rakyat miskin Negara berkembang, tetapi juga sector-sektor kapitalis nasional yang sangat bergantung kepada pasar domestik. Neoliberalisme merupakan restrukturisasi system kapitalisme yang terus dijepit krisis dan merestorasi kepentingan klas kapitalis dominan yang merasa tertekan dibawah periode intervensi Negara (Keynesian).

Neoliberalisme menghilangkan semua hambatan-hambatan bagi pergerakan capital Negara kapitalis maju dan juga perusahaan transnasional. Selain itu, restrukturisasi ini juga memisahkan kewajiban pemerintah Negara berkembang memberi perlakuan khusus dan proteksi terhadap sector-sektor ekonomi didalam negeri. Akibatnya, sector kapitalis nasional tak memiliki “cukup kelonggaran” untuk menghadapi persaingan dengan sector kapitalis raksasa.

Ketidaksanggupan kapitalis nasional ditengah opensif ditengah neoliberal, bukan saja karena ketidaksetaraan kekuatan capital yang mereka punyai, tapi juga disebabkan oleh faktor histories. Sektor kapitalis nasional di Negara-negara berkembang begitu subordinat terhadap kapitalis raksasa dari Negara kapitalis maju. Hal tersebut disebabkan oleh kenyataan histories bahwa ekonomi-ekonomi Negara berkembang tidak pernah diberi kebebasan, kemerdekaan, dan kemandirian untuk menjalankan perekonomian, perencaanaan produksi, dan pengelolaan sumber daya yang dimiliki. Kendati ada kemerdekaan politik secara formal, namun faktanya ekonomi nasional tidak pernah lepas dari susunan ekonomi imperialis, yang berkehendak menahan laju ekonomi nasional dan menempatkannya sebagai basis pemenuhan kebutuhan industrialis di Negara kapitalis maju.

Melihat dari sejarah kehadirannya, perkembangan industri di Indonesia bukan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat, melainkan untuk mememenuhi kebutuhan Negara kapitalis maju dan mewadahi kelebihan capital asing. Sehingga wajar saja jika industri yang berkembang benar-benar tidak memiliki basis yang kuat; rendah teknologi, sebagian bahan bakunya sebagian besar masih di-impor, dan lemah dukungan modal. Kerentanan industri nasional untuk bertarung dengan kompetisi bebas bersama produk dan jaringan pasar industri Negara maju bersumberkan pada problem tersebut.

Memasuki neoliberalisme, industri dalam negeri dibiarkan “bertarung bebas” dengan perusahaan transnasional yang didukung kuat oleh teknologi, financial, dan sokongan mesin pemerintahnya. Satu persatu sector industri dalam negeri berjatuhan, yang korbannya bukan saja pengusahanya tetapi juga buruh-buruhnya yang harus rela terkena PHK. Belum lagi, Industri terus dibebani berbagai pungutan dan pajak-pajak yang terkadang tumpang tindih sehingga membuat daya saing menjadi lemah. Pungutan liar sejak barang keluar dari pabrik hingga menuju pelabuhan ekspor kian menggila, bahkan diperkirakan mencapai US$180 juta pada semester I/2008.

Jika dicermati lebih jauh, nilai impor bahan baku/penolong mencapai 79,03% selama semester I/2008 dengan nilai US$51,42 miliar. Di sisi lain, impor barang modal menurun 6,82% pada Juni terhadap Mei, sementara impor barang konsumsi meningkat 6,77% (US$4,4 miliar). Tingginya importasi bahan baku/penolong merupakan pertanda kian rapuhnya struktur industri nasional. Pengusaha nasional masih terus-menerus dipaksa “membayar mahal” kebijakan pemerintah yang memprioritaskan energi untuk diekspor keluar, ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri. Keinginan-keinginan normatif agar industri nasional berdaya saing dan bernilai tambah, mampu meningkatkan kapasitas produksi, leluasa berekspansi, dan ketersediaan bahan baku dan energi yang memadai, kini tak bisa menghindar dari situasi paradoks dan kontradiktif.

Perlu ditekankan, bahwa kehancuran industri nasional bukan saja berdampak pada ketersingkiran pengusaha nasional dari pertarungan ekonomi, tapi juga “lonceng kematian” bagi rakyat pekerja. Seperti yang pernah saya singgung dalam artikel saya berjudul “keluar dari rantai yang mengekang”, bahwa kekalahan dan kemunduran gerakan buruh tidak melulu karena faktor kurangnya militansi serikat pekerja atau pengkhianatan dari pemimpin serikat pekerja, akan tetapi seringkali disebabkan oleh kondisi ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan. Sebagai contoh, kehancuran industri nasional menyebabkan pengusaha susah menemukan titik kompromi terhadap perjuangan ekonomis kaum buruh. Tidak adanya kondisi yang sehat bagi produktifitas industri, termasuk melahirkan profit, membuat konsesi terhadap upah, dan jaminan kesejahteraan pekerja susah terakomodir. Jika tetap dipaksakan pemogokan, pertempuran terbuka tanpa ampun, maka itu sama saja dengan perjuangan “bunuh-diri”, yang bukan saja menurunkan moril perjuangan pekerja, tapi juga menurunkan kepercayaan buruh terhadap serikat buruh radikal.

Blok Sosial Alternatif dan Tawaran Platformnya

Bagi saya, ditengah pertempuran yang sebagian besar dimenangkan oleh kaum neoliberal dan kekalahan berulang kali diderita oleh kaum pergerakan, bahkan dalam arena perjuangan ekonomi, maka pembangunan blok-politik lebar dengan plaftform kongkret menjadi keharusan. Tugas ini tidak saja dibebankan kepada kekuatan pergerakan yang mengintervensi momentum pemilu, tapi juga terhadap elemen pergerakan yang tidak ambil-bagian. Saya tidak hanya berbicara soal pentingnya kombinasi perjuangan antara gerakan yang mengintervensi dan tidak dalam respon momentum ini, akan tetapi mengenai kemendesakan pembangunan sebuah formasi sosial-politik dengan komposisi luas berdasarkan kesepakatan programatik.

Unsur-unsur pergerakan yang tak menyepakati taktik intervensi dapat mengajukan dukungan kritis terhadap calon-calon legislative yang diusung kaum pergerakan. Artinya, seruan memberikan dukungan berbasiskan kesepakatan program-program yang menjadi agenda penting kaum pergerakan, seperti nasionalisasi perusahaan tambang asing, penghapusan utang luar negeri, penghapusan system kontrak dan outsourcing, landreform, kredit murah bagi pengorganisasian ekonomi rakyat miskin, pendidikan dan kesehatan gratis, dan sebagainya.

Perlu ada sebuah blok sosial alternatif yang mengkovergensi seluruh sektor-sektor sosial yang “dirugikan” oleh neoliberalisme. Dalam derajat nasional maupun global, kapitalisme neoliberal tidak sanggup mencari jalan keluar dari berbagai kerusakan ekonomi, kemiskinan, pengangguran, meningkatnya eksploitasi terhadap kalangan miskin, dan kerusakan lingkungan yang terjadi dimana-mana. Kecenderungan itu mendorong kolaborasi anti-neoliberalisme semakin memungkinkan untuk mendapatkan tempat dalam ruang-ruang politik. penting bagi elemen gerakan sosial untuk tidak sekedar meneriakkan alternatif neoliberalisme diluar pintu kekuasaan, tetapi juga dalam ruang kekuasaan, sekecil apapun.

Seperti diungkapkan diatas, keragaman sektor sosial yang dikorbankan oleh neoliberal membutuhkan sebuah bentuk pewadahan yang lebar pula, tapi dengan kesepakatan-kesepakatan minimum yang konkret. Pewadahan ini juga memerlukan kolaborasi yang kuat antara bagian luas kaum pergerakan dengan kekuatan-kekuatan politik di parlemen yang kritis terhadap neoliberalisme. Jadi semacam koalisi oposisi yang lebar dengan refresentasi luas; seluruh kelompok sosial, intelektual, partai politik, seniman, dan sebagainya.

Lantas, apa yang menjadi paltformnya? Sudah tak dapat ditutupi bahwa neoliberalisme merupakan masalah utama keterbelakangan ekonomi, politik dan kehidupan sosial di Indonesia. Neoliberalisme perlu menjadi agenda utama untuk disikapi, dihadapi, dan digantikan dengan sebuah alternatif baru yang lebih adil dan humanis. Partai-partai pendukung utama neoliberalisme, terutama Golkar dan Demokrat, harus ditempatkan sebagai musuh utama yang perlu diisolasi dan dilawan, dan selanjutkan kekuatan-kekuatan politik diluar itu perlu diklasifikasi, untuk menemukan siapa kawan dan mana partai yang harus dinetralisir.

Meskipun sudah terang, bahwa neoliberalisme merupakan problem pokok yang musti diatasi. Akan tetapi di dalam dinamika politik real, sentiment anti-neoliberal belum merupakan kesadaran “murni” dari partai-partai politik yang ada, tapi masih sebatas pernyataan-pernyataan politik atau manuver-manuver politik. Tapi tak dapat ditutupi lagi, bahwa tema “kemandirian nasional” kini menjadi tema umum dan menjadi “jualan” partai-partai oposisi, ataupun partai baru yang menjajikan perubahan. Dan bagi kaum pergerakan, tema “kemandirian nasional” dapat menjadi wadah yang baik untuk menampung program-program anti-neoliberalisme.

Perlu ditekankan, bahwa jalur pertama yang harus dimenangkan dalam kolaborasi anti-imperialisme di Indonesia adalah merebut kedaulatan nasional. Tahap ini mengkarakterisasikan prakondisi untuk proyek perubahan yang lebih berjangkau luas dan mendalam, yakni sosialisme. Dan bahwa proses ini pula mengkomfirmasikan pengalihan control terhadap sumber daya alam dan pembenahan tenaga produktif didalam negeri (pendidikan dan kesehatan) dari tangan imperialis.

Sentimen “kemandirian nasional” perlu dikonkretkan dan dipadukan dengan isu-isu anti-neoliberal, pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, dan termasuk kegagalan pemerintah mengelolah ekonomi. Sebagai contoh; keharusan meninjau ulang kontrak-kontrak migas yang merugikan kepentingan nasional, jaminan pemenuhan energi untuk industri dan rumah tangga, negosiasi soal utang luar negeri, dan penyelesaian sejumlah konflik agraria. Program ini dalam tahap awal mencoba merombak kebijakan neoliberal, yang mengalirkan hasil produksi kekayaan alam dan tenaga kerja Indonesia kenegeri induk kapitalis dan ketangan segelintir pemilik korporasi transnasional untuk kemudian diserahkan kepada pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.

Penutup

Jika kami mau membangun sosialisme, setidaknya sebagai projek alternatif atas kerusakan akibat kapitalisme yang semakin membusuk- neoliberalisme, maka kami harus merebut kedaulatan nasional dahulu; agar bias memegang kendali terhadap sumber daya alam, SDM, dan perusahaan-perusahaan strategis. Kami menyadari bahwa tak mungkin menjalankan proses ini pada tahap awal dengan sekali gebrakan; nasionalisasi dibawah control pekerja, penghapusan ekonomi pasar, dan melikuidasi institusi Negara borjuis. Tidak! Itu tak dapat dilakukan dengan sekaligus Bung Wardoyo. Seperti yang disebutkan Lenin, bahwa pada tahap awal sosialisme harus memperlihatkan keunggulannya dari segala aspek. Idenya adalah bahwa sosialisme harus menunjukkan superioritas di segala bidang.

Bahwa tugas terdekat kita adalah pembebasan nasional, melahirkan sebuah Negara berdaulat dan merdeka, yang akan menendang keluar imperialisme. Setelah ini, barulah kita memiliki “kesempatan dan peluang” untuk mengartikulasikan seluruh potensi kekayaan alam, tenaga produktif, guna memenuhi kebutuhan rakyat banyak. Pada tahap ini, terbuka pintu bagi kami untuk menunjukkan sebuah dunia baru yang lebih adil dan humanis! Terima Kasih.

Catatan:
[1]. Penulis adalah Pengelolah Jurnal Arah-KIRI dan peneliti Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS)
[2]. Dan karena pengakuannya, beberapa LSM dan perhimpunan sosial memberinya penghargaan anti-korupsi award. Seolah-olah pengakuan bisa menghapus dosa, jika benar demikian, maka enak benar politisi di negeri ini.
[3]. Bisa di akses di http://fnpbi-prm.blogspot.com/2008/08/respon-pemilu-2009.html
[4]. Baca artikel saya, berjudul “Memanfaatkan RT/RW untuk transfer (perlahan) Kekuasaan Ketangan Rakyat”, di http://arahkiri2009.blogspot.com/2008/08/memanfaatkan-rtrw-untuk-transfer.html.




0 komentar: