Perempuan Melawan Neoliberalisme

Krisis dan Kontestasi Ideologi

Oleh : Dominggus Oktavianus

Diskusi ideologi kembali menemukan ruangnya sebagai upaya mencari cara pandang terbaik untuk benahi dunia dari kekacauan sistemik. Momentumnya adalah krisis finansial di Amerika Serikat yang merambat cepat bagai efek ledakan ke hampir seluruh negeri di Eropa, Amerika Latin dan Asia.

Sorak kemenangan pendukung kapitalisme yang masih sempat berdengung sejak berakhirnya perang dingin, sesaat menjadi senyap. Sebaliknya, dari kubu pendukung sosialisme, sayup-sayup terdengar beragam reaksi. Sebagian di antaranya, spontan sudah berseru, ”Kan, benar kata Karl Marx. Kapitalisme menggali liang kuburnya sendiri!”

Dalam situasi tersebut, wacana untuk mencari jalan lain turut hadir. Tetapi belum jelas benar, apakah jalan lain tersebut sama dengan Jalan Ketiga-nya Anthony Giddens, atau suatu versi baru yang lebih membumi atau lebih sesuai dengan konteks situasi negeri ini.

Pastinya, wacana ini diawali dengan premis, bahwa sosialisme hanyalah ”Khayalan tentang indahnya pemerataan”, dan senyatanya adalah ”Kemelaratan massal yang ditumpuk di bawah glamor yang dinikmati elite politik”. Sedangkan kapitalisme atau liberalisme telah kehilangan kehormatan, sejak ditelanjangi oleh (saya simpulkan) kesenjangan dan krisis. Jadi, yang dibutuhkan saat ini adalah kontestasi pemikiran genial yang tidak diikat fanatisme dua fundamentalis ideologi itu. Demikian diungkap ekonom Ahmad Erani Yustika dalam opini Harian Kompas (13/10).

Belum Selesai

Kenyataan sekarang, kedua ideologi tersebut sama-sama masih hidup dengan kesadaran manusia sebagai lapangan pertempurannya. Juga wilayah material bagi praktik kedua gagasan ini pun masih berjalan dinamis di berbagai negeri.

Ketelanjangan kapitalisme tidak sama dengan kematiannya, karena kuburan yang digali ternyata belum terisi sosok jasadnya. Ini fakta, bukan harapan. Sangat mungkin, dengan kekuatan hegemoninya, kapitalisme sanggup mengelak dari tudingan ideologis—bahwa krisis ini berakar pada produksi berlebih tanpa daya beli, sambil melempar kesalahan pada ”perilaku menyimpang individu” dan ”ketiadaan regulasi” sebagai biang kerok. Artinya, kapitalisme senantiasa berusaha menutupi auratnya dengan variasi gaya akumulasi yang katanya berbeda dari bentuk sebelumnya. Tidak pula tertutup kemungkinan, sebentar lagi akan ada pendukungnya balik mengklaim, bahwa kapitalisme telah berhasil keluar dari krisis.

Demikian sebaliknya, keburukan dan kegagalan sosialisme ala Eropa Timur memang belum hilang dari ingatan kolektif masyarakat dunia. Dampaknya, sikap phobi, skeptis, dan prasangka terhadap sosialisme Eropa Timur, telah tergeneralisir menjadi sikap terhadap gagasan sosialisme secara umum. Padahal, gagasan sosialisme tidak berwajah tunggal Eropa Timur, sehingga sebagai pisau analisa dan solusi strategis, gagasan ini belum pernah benar-benar dicampakkan.

Justru sekarang, kibaran bendera Sosialisme abad 21 yang diserukan Presiden Venezuela, Hugo Chavez, mulai mendapat sahutan dari negeri-negeri lain di Amerika Latin. Di sampingnya, sosialisme Kuba masih mengundang decak kagum banyak pakar pendidikan dan kesehatan dunia karena sejumlah prestasi yang ditorehnya; atau, gemerlap ”model Swedia”, yang seperti telah memasang pagar pembatas berupa program minimum sosialis dalam sistem ekonomi— yang prestasinya antara lain pernah mencatat pengangguran nol persen.

Karena itu, kontestasi antara dua ideologi tersebut untuk menemukan solusi terbaik dan diterima luas belum bisa dibilang selesai—apalagi lantas meminta keduanya keluar dari gelanggang. Momentum krisis sedang membukukan tambahan satu babak kemenangan bagi gagasan sosialisme dalam lebih dari dua abad sejarah kapitalisme. Kemenangan kongkret gagasan sosialisme kali ini adalah membesarnya tuntutan untuk memindahkan konsentrasi kapital dari tangan segelintir penguasa Wall Street ke tangan rakyat di seluruh dunia.

Wilayah Pencarian

Wacana menghadirkan jalan lain dapat dilihat sebagai upaya mencari kemerdekaan berpikir—sekaligus ketenangan batin, (meminjam analogi B. Herry Priyono) di antara riuh angin pendulum sejarah kapitalisme yang bergerak ke kiri dan ke kanan. Namun, saat ini dibutuhkan uraian konsep untuk menjawab masalah-masalah kongkrit dan strategis oleh setiap wacana yang muncul. Gagasan sosialisme dan kapitalisme mampu mengurai konsep, maka perang berselang perundingan antara kedua ideologi itu masih mengambil peran dominan.

Ideologi lahir dari dialog antara pikiran dan realitas yang tidak luput dari kerelatifan. Dengan demikian, fanatisme atas pemikiran fundamentalis—yang tidak kontekstual atau menjurus dogmatisme sudah keliru sebelum diungkapkan. Sekalipun demikian, tantangan untuk memunculkan pemikiran genial (apalagi yang bukan kiri dan bukan kanan), hendaknya tidak disertai prasangka dangkal terhadap gagasan yang ada.

Sebagaimana kita tahu, Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Amir Syarifuddin, dan para founding parents lainnya, telah merambah wilayah ide sosialisme untuk menemukan bahan-bahan pembangunan bangsa Indonesia. Bukankah saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi persoalan global yang serupa dengan situasi ketika Bung Hatta menerjemahkan Manifesto Partai Komunis (karya Karl Marx & Frederich Engles) ke dalam bahasa Indonesia? Bukankah krisis dan ketertindasan sebagai bangsa terjajah di bawah kapitalisme kolonial telah merajut kesatuan ideologi pro bangsa (nasionalis) dan pro rakyat (sosialis) di lapangan politik?

Mestinya, dalam menghadapi krisis sekarang, kita pun bisa merajutnya. Bisa dimulai dengan konsolidasi komitmen untuk memberikan jawaban kongkrit pada persoalan kemiskinan rakyat, kemandirian nasional, serta kebinekatunggalikaan bangsa. Lantas, bila pemikiran sosialis ternyata perlu diangkat kembali sebagai referensi untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut, pertanyaannya adalah; kenapa tidak?

Dominggus Oktavianus, aktivis sosial dan politik, kontributor Mediabersama.com



1 komentar:

  1. Anonim mengatakan...

    naskah yang renyah dan ambisius, seperti sedang membakar obor di dada saya, makasih buat wacananya, salam kenal