Perempuan Melawan Neoliberalisme

Perempuan dalam Pemilu 2009

Oleh: Ulfa ilyas
Momentum pemilihan umum atau pemilu 2009 sudah semakin mendekat. Komisi Pemilihan Umum atau KPU baru saja mengumumkan 34 partai kontestan pemilu 2009. Ada 16 partai lama dan 18 partai baru. Sebelumnya, proses pemilu 2009 diramaikan dengan tuntutan berbagai kelompok perempuan (baik di parlemen maupun ekstra-parlementer), untuk mendorong keterwakilan perempuan di parlemen lewat kuota 30 %. Selain itu, di berbagai proses pemilihan kepala daerah, tidak sedikit kaum perempuan terlibat dalam pertarungan electoral, meskipun banyak yang berakhir dengan kekalahan.

Keterlibatan perempuan dalam politik menjadi hal yang tak ditawar-tawar lagi. Tapi, fakta menunjukkan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga politik masih begitu rendah. Di parlemen misalnya, hanya 10%, sedangkan di jabatan politik, macam gubernur, bupati, dan camat prosentasenya lebih rendah lagi.


Lapangan Politik Perjuangan Perempuan
Pemilu 2009 akan menjadi lahan uji bagi keseriusan partai politik dan mayoritas pengambil kebijakan terhadap keterwakilan perempuan. Ini tidak berarti perempuan menjadi “pengemis” terhadap sebuah keterbukaan ruang bagi mereka, tapi beban yang berlipat yang ditimpakan kepadanya mengharuskan mereka mendapatkan dukungan nyata.

Dalam budaya dan praktek politik yang sangat patriakis, tanpa penerapan kebijakan afirmatif maka pemilihan umum hanya akan melanggengkan dominasi laki-laki di arena politik. Telah terbukti jika jumlah perwakilan perempuan di arena politik dan dalam proses pengambilan keputusan signifikan maka perempuan bisa membuat perbedaan dan mereka bisa mempengaruhi keputusan atau kebijakan yang diambil. Perjuangan politik bukanlah medan baru dalam sejarah pembebasan perempuan di Indonesia. Ruang ini semenjak lama –terlebih setelah diberangusnya organisasi perempuan ditahun 1965/66—menjadi sangat susah untuk dimanfaatkan oleh perempuan. Mereka terkadang masih diperlakukan sebagai “tamu asing” dalam rumah yang bernama “politik”.

Ada kemenangan kecil dalam arena kontestasi 2009, sebuah regulasi yang mensyaratkan kepengurusan 30 % perempuan dalam jabatan kepengurusan dan pencalonan anggota legislatif dari partai politik. Regulasi itu memperbesar proporsi perempuan dalam komposisi pengambilan keputusan partai dan komposisi pencalonan legislatif dalam pemilu. Jika sebelumnya banyak perempuan yang terjegal dalam pencalonan karena ditaruh di nomor buntut, maka di dalam pemilu mendatang ruang perempuan bertarung dengan calon lain semakin terbuka. Persoalannya adalah proporsi keterwakilan yang besar tanpa adanya pendidikan politik maju, akan susah diharapkan menjadi kekuatan yang berkarakter ”feminisme” dalam arena pemilu. Perempuan yang kurang peka dengan problem sektoralnya, akan menjadi pembuntut politik lama atau diombang-ambingkan oleh proses politik yang berlangsung.

Perempuan Bertarung
Pemilu 2009 menjadi arena menentukan bagi segi-segi perjuangan perempuan; perjuangan menghapuskan diskriminasi gender, kekerasan, perdagangan perempuan, politik upah murah dan kondisi kerja yang memprihatinkan, peraturan-peraturan politik yang berbau membatasi hak-hak kaum perempuan, dan sebagainya. Tidak ada pilihan lain, kandidat-kandidat perempuan dari berbagai macam partai seharusnya menyusun hal di atas menjadi agenda bersama, yang bisa menjadi platform perjuangan perempuan dalam arena pemilu, untuk menyatukan semua perempuan dari berbagai spectrum yang ada.

Ada beberapa tantangan bagi perempuan dalam bertarung di pemilu mendatang, yakni; pertama mayoritas partai-partai yang ikut dalam kompetisi pemilu merupakan partai-partai lama, kalaupun ada 18 partai baru, tetapi tindakan politiknya mengikuti pola lama ataupun komposisi dewan pengurusnya berisikan kekuatan lama. Ini merupakan jebakan politik jika perempuan tidak merumuskan bentuk politik berbeda dan program-program yang berbasiskan kepentingan konstituen.
Kedua, tingkat kepercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga politik; parlemen, partai-partai, maupun sistem pemilu semakin menciut. Persentase golongan putih atau golput terus saja meningkat di berbagai pengalaman pemilihan kepala daerah.
Ketiga, kemampun dan keahlian kandidat perempuan untuk menempati posisinya. Umumnya posisi-posisi pencalonan anggota legislatif dan pengusungan calon direbut oleh perempuan dari kelas menengah ke atas, sangat jarang yang jatuh ke bawah (bahkan belum ada). Pada umumnya, meskipun lapisan sosial ini memiliki tingkat pengetahuan dan pendidikan yang tinggi, akan tetapi biasanya kurang peka dan kurang terikat secara organik dengan massa perempuan di akar rumput.
Sehingga, menjelang pemilu 2009, seluruh kelompok perempuan dan kandidat (calon legislatif) perempuan dari berbagai latarbelakang politik perlu berkumpul bareng untuk merumuskan program dan aksi bersama. Hal ini akan menjadi warna politik kaum perempuan dalam pemilu mendatang.
*tulisan ini pernah dimuat di MEDIA BERSAMA
Ulfa Ilyas, aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi.



0 komentar: