Perempuan Melawan Neoliberalisme

Pengusaha, Industri Nasional, dan Hak Angket

Oleh: RUDI HARTONO dan ULFA ILYAS

A nation agains its own principle will never stand.
(Sebuah bangsa yang melawan prinsipnya sendiri tidak akan mampu bertahan)
….Bung Karno, Presiden RI

Kenaikan harga BBM telah melahirkan banyak masalah. Tidak terkecuali sektor perekonomian rakyat miskin, tetapi industri nasional pun kena imbas dari kebijakan tersebut. Seperti yang kita ketahui, sektor industri merupakan tempat bergantungnya hidup pekerja dan pengusaha (majikan). Jika terjadi kelesuan terhadap sektor ini, maka imbasnya bisa merambat luas, hingga pada fundamental ekonomi Indonesia. maka kita patut berbangga dengan adanya geliat penguasaha nasional yang berupaya membangun dan memperkuat industri dalam negeri.

Problemnya adalah ketahanan energi. Pemerintah Indonesia sama sekali tidak punya rumusan tentang ketahanan energi nasional dan langkah-langkah antisipasi terhadap gejolak krisis energi yang melanda dunia. Hal ini begitu mengecewakan, mengingat Indonesia adalah negara penghasil minyak dunia dan bergabung dengan OPEC sejak tahun 1962. Indonesia yang kaya raya ini memiliki 60 cekungan minyak dan gas bumi (basin), dimana baru 36 yang telah dieksplorasi; dalam cekungan itu terdapat 77 milyar barel minyak bumi dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Potensi cadangan migas Indonesia sebenarnya pun cukup besar; ada 9.67 milyar barel minyak dan 156,92 TCF gas. Dengan kenyataan itu, rasanya mustahil jikalau Industri nasional menderita akibat pasokan energi yang susah diakses. Kenaikan harga BBM telah memukul Industri nasional disamping pukulan lain, seperti penyelundupan, pungutan liar, tidak adanya proteksi Industri dasar/strategis, lemahnya dukungan permodalan, dan lain-lain.

Pengaruh Kenaikan harga BBM terhadap sektor Industri
Pengaruh kenaikan harga BBM terhadap sektor industri tak ditutupi oleh pemerintah. Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan, departemen yang dipimpinnya telah melakukan revisi terhadap target pertumbuhan sektor industri, dari 6% pada 2008 menjadi 5%. Revisi pertumbuhan sektor industri juga disampaikan International Standard Industrial Classification of all Economic Activities. Menurut ISIC, industri makanan, minuman, dan tembakau yang proyeksi 2008 sekitar 5,27% direvisi menjadi 3,18%. Tekstil, barang kulit, dan alas kaki semula diproyeksikan 0,33% menjadi -2,30%, barang kayu dan hasil hutan tetap -0,06, kertas dan barang cetakan dari 5,88% menjadi 3.90%, pupuk dan barang dari karet semula 5,99% menjadi 1,15%. Sementara untuk semen dan bahan galian non-logam dari 3,90 menjadi -1,50%. Untuk industri logam dasar, besi, dan baja semula 1,92% menjadi 3,10%, dan industri barang lainnya semula 0,99% menjadi -3%.

Kenaikan harga menyerang Industri dari berbagai sisi; pertama, menaikkan biaya produksi untuk pengadaan bahan baku, biaya transfortasi dan distribusi, dan biaya-biaya lainnya yang menyangkut keberlangsungan produksi. Kedua, jatuhnya daya beli rakyat, tidak ada kesesuaian antara penerimaan dalam bentuk upah real dengan kenaikan harga-harga barang. Kejatuhan daya beli konsumen akan mendorong market menjadi lesu terhadap pada kapasitas terpasang produksi manufaktur. Bersamaan dengan itu, komponen upah merupakan hal yang susah untuk diutak-atik, karena posisi upah sekarang benar-benar sudah pada batas paling minimum dan tidak berbanding lurus dengan gejolak kenaikan harga kebutuhan pokok.

Hak Angket dan Policy Energi Pemerintah
Hak angket telah menebar harapan, yang bukan saja kepada pihak yang tidak menghendaki kenaikan harga BBM, tetapi juga kepada seluruh pihak yang menghendaki “buka-bukaan” soal kebijakan energi pemerintahan sekarang. Penguasaan asing terhadap sektor migas Indonesia telah menyempitkan akses pengusaha nasional dan industri dalam negeri terhadap cadangan energi murah. Hal itu menjadi penting, mengingat industri didalam negeri barulah pada taraf pengembangan, belum bisa dipersaingkan dengan kapasitas dan kesanggupan industri yang dimiliki oleh negara-negara maju. Jadinya, isu ketahanan energi dan kemandirian ekonomi nasional menjadi isu yang begitu sensitif dengan kelansungan Industri nasional.

Hak angket telah menjadi lapangan pertempuran dua kepentingan, yakni kepentingan nasional untuk kemandirian ekonomi dan kepentingan asing yang dititipkan kepada partai-partai yang menyepakati kenaikan harga BBM. hak angket tentu bukan hanya lapangan pertempuran bagi anggota parlemen dan partai-partai, tetapi juga menjadi lapangan pertempuran seluruh kekuatan-kekuatan sosial, politik, pelaku ekonomi yang punya kepentingan terhadap “ketahanan energi”, termasuk pengusaha nasional.

Bertitik-tolak dari hal tersebut, maka posisi pengusaha terhadap hak angket adalah sebagai kekuatan penekan, yang menghendaki hak angket bermuara pada; diakhirnya “policy” energi pro asing, kemudian digantikan dengan “konsep ketahanan energi nasional” yang memihak kepada kepentingan kaum industrialis di dalam negeri.



0 komentar: