Perempuan Melawan Neoliberalisme

Mengharapkan Presiden Pro-Rakyat

Oleh : AJ Susmana

Tak hanya jumlah Partai yang semarak di Pemilu 2009, Puluhan Calon Presiden pun ikut menyemarakkan Pemilu ketiga di masa reformasi ini. Ada stok lama ada pula stok baru; baik berpartai atau pun hanya bermodal keberanian dan ketenaran. Puluhan calon presiden 2009 itu yang setidaknya sudah meramaikan media massa adalah Megawati, Gusdur, Jusup Kalla, Soesilo Bambang Yudhoyono, Sri Sultan, Agung Laksono, Wiranto, Sutiyoso, Prabowo, Soetrisno Bachir, Din Syamsuddin dan masih ada beberapa lagi seperti Rizal Ramli, Dita Indah Sari pun termasuk Fajroel Rachman yang sedang berjuang melalui jalur perseorangan.

Jauh-jauh hari sebelum gong permulaan pemilu 2009 ditabuh, para capres sudah berusaha memperkenalkan diri ke massa; dilengkapi dengan iklan kampanye dan jargon-jargonnya; via media cetak maupun elektronik yang biaya kampanyenya pasti tak terjangkau oleh calon-calon presiden yang tak bermodal besar seperti Dita Indah Sari, misalnya.

Debat soal kelayakan calon presiden pun muncul, baik di panggung parlemen maupun di luar parlemen. Sayangnya debat kelayakan capres ini lebih banyak didasarkan pada pertimbangan untuk memuluskan capresnya masing-masing dan menghalangi majunya capres lawan. Akibatnya yang tampak adalah situasi jegal-menjegal yang tidak fair seperti permainan bola yang tak menonjolkan seni bermain bola. Yang penting lawan diganjal dulu atau dijatuhkan dulu sebelum bermain.

Karena itu pula kelihatan betul bagaimana kriteria capres yang diajukan selalu mengarah pada individu capres tertentu. Misalnya soal latar belakang pendidikan: harus sarjana atau tidak harus, tentu mengarah ke Megawati, putri Bung Karno yang memang tidak sarjana. Padahal banyak terbukti dalam sejarah, yang tidak bergelar sarjana pun dapat memimpin bangsa dengan baik. Tidak perlu contoh karena pembaca dapat menyebutkan sendiri. Soal kesehatan, tentu mengarah ke Gusdur yang dalam berjalan harus dituntun dan dipandu. Padahal, Jendral Soedirman yang berjuang gerilya saja kemana-mana juga harus ditandu dan di beberapa negara, orang cacat, termasuk yang buta sudah bisa dipercaya untuk memimpin. Misalnya David Alexander Paterson, Gubernur Negara Bagian New York yang dilantik pada tahun ini untuk menggantikan Eliot Spitzer yang tersandung skandal seks.

Masih soal kriteria capres, soal usia pun mulai digugat. Kaum tua, yang berusia di atas 60-an dianggap tak layak menjadi presiden lagi di tengah krisis bangsa yang akut. Kaum tua pun dianggap lamban dan konservatif dalam menghadapi perubahan jaman. Bangsa dianggap lebih akan selamat bila dipimpin kaum muda, yang secara historis perjuangan kemerdekaan nasional, kaum muda memimpin ini menemukan landasannya. Kaum muda pun dipatok dalam soal umur, bukan dalam soal semangat, yakni di bawah lima puluh tahun atau berusia empat puluh tahunan.

PKS pun tampak menyambut dan mendorong arus munculnya kepemimpinan kaum muda dalam makna biologis ini. Tifatul Sembiring, Presiden PKS menyatakan agar tokoh-tokoh tua tidak maju. Menurut, Hidayat Nur Wahid, Mantan Presiden PKS, partainya memang bulat akan mencalonkan presiden yang berusia di bawah lima puluh tahun. Walau undang-undang tidak membatasi umur maksimum capres, tentu saja wacana ini membuat gerah kaum tua yang berumur 50 tahun ke atas. Jusup Kalla pun dalam suatu kesempatan meminta agar kaum muda tidak hanya minta jatah, tapi juga berjuang untuk itu. Menanggapi pernyataan Tifatul sembiring, Megawati pun meminta Tifatul untuk maju berkompetisi, pun calon lain bahkan dari jalur perseorangan. Sukardi Rinakit menganggap tokoh-tokoh tua dalam pemilu 2009 berada dalam tikungan terakhir. Bila gagal dalam pemilu 2009, lebih baik berpikir di jalur lain dalam soal pengabdian pada bangsa.

Perdebatan-perdebatan soal kriteria capres 2009 di atas memang tak substansial bila diletakkan dalam banyaknya problem yang dihadapi rakyat Indonesia. Umur, Latar Belakang Pendidikan, Kelayakan Jasmani, jenis kelamin bahkan...bila diperdebatkan justru hanya akan menghabiskan waktu dan energi, baik psikhis maupun fisik. Itu pun justru tak dapat menyentuh persoalan pokok rakyat Indonesia. Dalam soal pembangunan kesadaran politik, juga tak mendidik. Lebih baik perdebatan antar calon presiden yang akan maju dalam kompetisi pemilu 2009, sudah mulai mengarah pada soal program dan jalan keluar untuk krisis yang melanda bangsa.

Dengan demikian rakyat yang akan memilih calon-calonnya pun mulai dapat mempelajari program dan jalan keluar apa yang ditawarkan para capres agar bangsa ini bisa keluar dari krisis. Dengan demikian rakyat pun dapat belajar dengan baik tentang politik dari para capres dan dapat menilai lantas memilih presiden pro rakyat yang memang selalu diharapkan.



0 komentar: