Perempuan Melawan Neoliberalisme

Menyikapi Janji Politisi

Rudi Hartono

PERHELATAN Pemilu 2009 bukan saja akan diramaikan dengan banyaknya parpol yang bertarung, tetapi juga dengan janji-janji politik yang siap dimuntahkan para politisi dan partainya. Tentu tidak menjadi masalah, seandainya janji-janji politik itu dapat diaplikasikan dalam praktek politik kemudian. Akan tetapi, masalah seringkali terjadi ketidaksesuaian antara janji-janji kampanye dengan prakteknya.
Dalam Pemilu 2009, sudah seharusnya politisi dan partai bersikap lebihwaspada. Beberapa sinyalemen menunjukkan kemerosotan kepercayaan rakyat terhadap partai dan politisi, terutama di kalangan pemilih berusia muda. Hal itu begitu nyata dari pengalaman Golput yang jumlahnya cukup signifikan di berbagai pilkada di daerah.

Keruwetan problem yang menjerat bangsa ini, demikian pula merajalelanya ketidakpuasan rakyat terhadap situasi ekonomi dan politik sekarang, menuntut partai untuk tak hanya memberikan janji-janji politik. Sebab, seringkali janji-janji tersebut begitu luhur, sehingga tidak sebanding dengan kenyataan partainya.
Di sinilah letak masalanya. Bukannya janji-janji politik tersebut memberikan perubahan nyata, malahan menjadi mimpi-mimpi membosankan bagi rakyat miskin, karena tak pernah teruji prakteknya.
Ketika problem kemandirian nasional terungkap menjadi masalah pokok ketahanan nasional, termasuk ketahanan di bidang ekonomi, beberapa partai-politik berlomba-lomba unjuk kekuatan sebagai kekuatan yang paling pro-kemandirian. Ketika kemiskinan menjadi problem paling mendasar dan menjadi kesulitan terbesar lebih dari separuh rakyat negeri ini, beberapa partai mendemonstrasikan retorika antikemiskinan, layaknya iklan produk komersila di layar TV.
Hal ini menjadi masalah pula dalam pilkada di beberapa daerah. Ketika isu pendidikan dan kesehatan gratis berhasil memupuk suara pemilih, maka berlomba-lombalah para calon kepala daerah memprogramkan pendidikan dan kesehatan gratis. Masalah serius muncul ketika politisi berhasil merebut tampuk kekuasaan, janji pendidikan dan gratis malah tidak diimplementasikan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan keleluasaan partai dan politisi mengumbar janji, termasuk kemudahan berganti baju dan posisi politik. Pertama, ketiadaan atau kekosongan ideologi dalam tradisi partai politik di Indonesia. Sehingga partai tak memiliki pijakan dan arah yang menuntun langkah politik para politisi dan partai dalam memenuhi cita-cita kolektif rakyat.
Satu-satunya faktor pembimbingnya adalah kekuasaan. Dengan kekuasaan, seorang politisi akan dengan mudah merealisasikan tujuan-tujuan pribadinya: mengumpulkan harta, status dan keistimewaan sosial, kepuasan seksual, dan lain sebagainya.
Kedua, tipe demokrasi di Indonesia yang belum melahirkan instrumen kekuasaan rakyat – yang memungkinkan kontrol terhadap janji-janji politik elit politisi – belum ada.
Ketiga, kebudayaan sebagai faktor pembentuk mental masih dipengaruhi oleh feodalisme (patron-klien, primordialism, patronase), sehingga cenderung memaafkan kesalahan-kesalahan elit dan politisi.
Beberapa kelompok masyarakat, terutama gerakan sosial dan mahasiswa, mulai menyodorkan model-model kontrak politik dan kesepakatan dalam bentuk MoU dengan calon legislator ataupun partai politik. Meskipun demikian, cara-cara semacam itu masih tak sanggup menekan penguasa, politisi, dan partai memenuhi janjinya ketika berkuasa.
Penyebabnya, kontrak politik terkadang dibuat sepihak, tertutup, dan tak diketahui oleh massa luas. Sehingga faktor mobilisasi massa, baik pada saat pembuatan kesepakatan politik maupun pada saat penagihan, menjadi faktor yang cukup penting.
Selain itu, harus diupayakan pembangunan institusi kekuasaan dari bawah, yang memungkinkan rakyat memberikan kontrol terhadap kekuasaan. Model-model demokrasi partisipatif, atau bentuk-bentuk pengorganisasi komunitas akan menjadi instrumen kekuasaan dari bawah.
Jika politisi dan partai yang membangun kekuasaan tidak tanggap terhadap tuntutan dari bawah, terutama menyoal janji-janji politiknya, maka kekuasaan politisi dan partai yang berada pada krisis legitimasi, dan akan terus membusuk. Kekuasaan tidak akan efektif berjalan tanpa dukungan rakyat luas.
Gerakan sosial-radikal, partai-partai politik kerakyatan, serikat buruh, dan organisasi-organisa si komunitas, yang memiliki pijakan ideologi yang lebih jelas, harus memikirkan cara-cara mengambil peran besar dalam sistem politik sekarang. Eksistensi kelompok ini akan menjadi pengelompokan ideologis yang akan mewarnai politik dan menggusur tradisi lama secara perlahan.
Karena cukup penting bagi organisasi-organisasi tersebut, sebelum berbicara kekuasaan, harus memupuk dukungan dari seluruh sektor rakyat, golongan, dan lapisan social, terutama kelas menengah dan bawah.
Penulis adalah Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS) Jakarta

Artikel ini diambil di : http://pemilu.inilah.com



0 komentar: