Perempuan Melawan Neoliberalisme

Refleksi HUT Kemerdekaan (3): Kaum Miskin Perkotaan Terus Terpinggirkan

SEPERTI yang dicatat Pramoedya, berbicara mengenai proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 agustus itu, maka jangan lupakan peranan para rakyat miskin kota dan para preman senen.

Mereka itu, kata Pram, menjadi penyokong revolusi kemerdekaan dan pembela kemerdekaan pada masa awal, diantaranya peristiwa pembacaan proklamasi dan rapat akbar di lapangan Ikada, Jakarta.

Akan tetapi, walaupuan rakyat miskin kota punya peranan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan ini, tapi mereka tetap menjadi "pengecualian" dalam menikmati hasil-hasil dari kemerdekaan. Sekarang ini, rakyat miskin indonesia masih merupakan kelas sosial terpinggirkan di republik ini, dan mereka tidak diberi hak dan akses apapun terhadap sumber daya ekonomi, politik, dan sebagainya.

Dalam kurun 46 tahun paska kemerdekaan, gambaran kesulitan ekonomi dan diskriminasi politik, masih menggeluti sebagian besar rakyat di negeri ini, baik di wilayah perkotaan maupun di pedesaan. Di perkotaan, kemiskinan menjangkiti sebagian besar dari populasi, utamanya sektor-sektor sosial yang terkesampingkan oleh industrialisasi; pekerja sektor informal, penganggur, pengemis, tuna wisma, dan sebagainya.

Sementara itu, di pedesaan, tingkat kemiskinan dipacu oleh kehancuran tenaga produktif di pedesaan, utamanya sektor pertanian.

Jika mengacu kepada angka-angka, maka ditemukan angka kemiskinan rakyat Indonesia yang masih cukup tinggi. Menurut BPS, pada tahun 2009, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 40 juta (18,2%). Sementara itu, jika mengacu pada kriteria Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia sudah mencapai 60%.

Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ikhsan Modjo mengatakan, tingkat kemiskinan transien dengan pendapatan Rp 220 ribu-500 ribu perbulan, telah mencapai 50% dari total penduduk.

Di perkotaan, de-industrialisasi telah mendorong peningkatan jumlah orang miskin dan memperluas pengangguran. Saat ini, percepatan de-industialisasi sektor manufaktur, baik tekstil, garment, makanan, dan sebagainya, sudah mencapai pertumbuhan negatif sebesar 3,7%. Selain itu, sektor ritel modern dan ritel tradisional juga terus terpukul oleh peritel asing, sehingga menyebabkan jatuhnya pangsa pasar produk di dalam negeri, serta gelombang PHK yang tak berujung.

Situasi ini, bagaimanapun, berkontribusi pada penggemukkan sektor informal. Menurut catatan kami, jumlah pekerja sektor informal telah meningkat dari 68% pada tahun 2005 menjadi 73% pada tahun 2008. Artinya, sebagian besar rakyat atau penduduk di negeri ini tidak punya pendapatan tetap, dan terancam secara ekonomis.

Semenjak kemerdekaan, dan terutama setelah rejim orde baru hingga sekarang, perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, seperti makanan, perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan, masih sangat rendah. Di bidang perumahan, pada tahun 2004, masih ada sekitar 32,3% rakyat Indonesia yang belum punya rumah atau hunian yang layak. Selanjutnya, pemenuhan air bersih untuk rakyat juga masih terpuruk, sebab masih ada 119 juta orang yang belum dapat mengakses air bersih.

Di bidang pendidikan, seiring dengan nafsu "buas" pemerintah untuk menempatkan pendidikan pada mekanisme pasar, jumlah putus sekolah terus meningkat. Pada tahun 2007, mengutip data Komnas Perlindungan Anak (PA), jumlah anak putus sekolah mencapai 11,7 juta jiwa. Sementara pada tahun 2009, angka ini sudah meningkat menjadi 13 juta jiwa. Ini belum ditambahkan dengan jumlah pelajar yang tertolak atau kehilangan kesempatan belajar di perguruan tinggi, sebab keputusan pemerintah memprivatisasi universitas/perguruan tinggi.

Sementara itu, kondisi serupa juga dirasakan rakyat di bidang kesehatan. Sejauh ini, akses sebagian besar rakyat Indonesia terhadap pelayanan kesehatan masih sangat rendah. Meskipun faktor kesehatan dipandang penting bagi pembangunan, tapi anggaran kesehatan tidak pernah melampaui 3% dari total APBN.

Apalagi, persoalan kesehatan rakyat kini berhadapan dengan upaya liberalisasi, yaitu usaha melemparkan pelayanan kesehatan sebagai komoditi yang diperjual-belikan. Akibatnya, hanya mereka yang punya duit yang bisa membeli pelayanan kesehatan, sementara orang miskin ditolak atau diusir rumah sakit.

Dari gambaran diatas, sebetulnya, ini baru mewakili sebagian kecil dari persoalan yang dialami oleh rakyat miskin, disamping persoalan penggusuran, diskriminasi politik, dan persoalan-persoalan lainnya.

Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), sebuah organisasi gerakan rakyat miskin yang concern mengadvokasi pemenuhan hak dasar rakyat miskin seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan sebagainya, mengakui bahwa rakyat miskin masih merupakan warga negara kelas dua di negeri merdeka ini. Buktinya, kata mereka, belum pernah sedikitpun pemerintah atau otoritas resmi mau mendengar keluhan rakyat miskin.

Dika Muhammad MN, pengurus DPN Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), mengatakan, secara umum rakyat miskin di Indonesia belum pernah merasakan kemerdekaan. Pasalnya, menurut dia, persoalan-persoalan mendasar sekalipun, yang seharusnya menjadi kewajiban negara menurut konstitusi, belum pernah terlaksana dengan baik; pendidikan belum merata, akses kesehatan masih buruk, lapangan kerja tidak tersedia, kebutuhan pokok semakin mahal, dan sebagainya.

Sekarang ini, kegagalan negara ini bertambah berkali-kali lipat, sebab rejim yang berkuasa selalu mengadopsi kebijakan neoliberalisme. kebijakan neoliberal ini, yang dituding oleh banyak kalangan, sebagai biang kerok dari meluasnya kemiskinan rakyat, melebarnya kesenjangan ekonomi, bertambahnya pengangguran, dan sebagainya.

Di bawah neoliberal, seluruh faktor-faktor pendukung kesejahteraan rakyat dicabut atau dipangkas, diantaranya pencabutan subsidi sosial, privatisasi perusahaan publik dan layanan publik yang bersifat sosial, dan penghapusan konsep barang publik atau hajat hidup orang banyak. Akibatnya, sektor masyarat yang punya kemampuan ekonomi dan pendapatan lebih rendah, akan kesulitan mendapatkan akses terhadap pemenuhan kebutuhan dasar mereka.

Disebabkan dukungan pemerintah terhadap anjuran dan kebijakan IMF dan Bank Dunia, melalui sebuah paket kebijakan struktural (SAP), yang memaksakan restrukturisasi perekonomian negara dunia ketiga, sehingga terjadi kehancuran sektor pertanian, PHK besar-besaran, penutupan pabrik, dan kejatuhan tingkat kesejahteraan ekstrem.

Untuk itu, Dika Muhammad menilai, kebutuhan sekarang ini adalah pengorganisasian rakyat miskin Indonesia, yang bukan saja untuk mempertahankan standar kehidupan mereka dari rongrongan neoliberalisme, tapi juga mendesakkan sebuah aksi atau gerakan politik bersama.

Bagi Dika Muhammad, kaum miskin perlu menggelorakan kembali semangat revolusi kemerdekaan di dalam sanubari mereka, sebagai kondisi awal untuk merebut kembali kemerdekaan yang disalah-gunakan oleh para elit. Tidak ada pilihan lain, rakyat miskin harus menjadi motor utama dalam gerakan pembebasan nasional, untuk menghentikan neoliberalisme dan imperialisme.


RUDI HARTONO dan ULFA ILYAS

Tulisan ini diambil dari : http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=428&Itemid=44



0 komentar: