Perempuan Melawan Neoliberalisme

Refleksi HUT Kemerdekaan (2) : Kaum Tani dan Belenggu Penjajahan Baru

KETIKA semarak peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 64 sedang bergema, sejumlah petani di Polombangkeng Utara, Kabupaten Takalar, justru berjuang mati-matian mempertahankan tanah mereka, yang diklaim dan hendak dikuasai oleh PT Pertanian Nusantara (PTPN). Dalam kejadian itu, puluhan petani terluka tertembak oleh peluru polisi, sebuah aparat negara yang seharusnya melindungi rakyat.

Di tempat lain, dua orang aktifis petani sedang di adili oleh Pengadilan Negeri Bangkinan, pengadilan resmi negeri ini, hanya karena mereka mempertahankan tanahnya dari keserakahan perusahaan swasta. Selain itu, ada 75 petani dari dusun Suluk Bongkal, bengkalis, yang juga berhadapan dengan persidangan pengadilan republik ini. Mereka dituduh sebagap penyerobot, padahal mereka sudah menguasai tahan itu sudah beratus-ratus tahun. Sialnya, banyak diantara para petani ini didakwa berdasarkan KUHP, yang jelas masih warisan kolonial itu.

Ini hanya contoh kecil. Di berbagai tempat di negeri ini, para petani berhadapan dengan todongan senjata yang mereka subsidi lewat pajak mereka sendiri, dan dikokang oleh mereka-mereka yang berkewarga negaraan sama dengan mereka. Sungguh menyedihkan.

Menurut catatan BPN, data sengketa agraria tahun 2006 berjumlah 1423 kasus, sedangkan konflik berjumlah 322 kasus, perkara 1065 kasus. Sehingga total kasus adalah 2810 kasus. Setelah diverifikasi kembali data tahun 2007: jumlah sengketa menjadi 4581 kasus, konflik berjumlah 858 kasus, dan perkara 2052 kasus sehingga total kasus menjadi 7491 kasus.

Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah konflik yang bersifat struktural sampai dengan tahun 2001 saja telah mencapai 1753 (Jauh lebih besar dari 858 yang dikategorikan konflik oleh BPN tahun 2007) dan terjadi di 2834 desa/kelurahan, 1.355 kecamatan di 286 daerah Kabupaten/Kota, dengan mempersengketakan tanah seluas 10.892.203 ha dan mengakibatkan 1.189.482 KK menjadi korban.

Di bawah Orde Baru, pemberian konsesi berupa HGU dimaksudkan untuk memfasilitasi bisnis kroni dan pihak swasta lainnya. Bahkan, di PT Perkebunan Nusantara (PTPN), misalnya, sebagian besar direksi dan komisaris perusahaan ini adalah mantan pejabat tinggi dan kroni rejim orde baru.

Sekarang ini, seiring dengan proses liberalisasi ekonomi yang kian massif, proses perampasan tanah milik rakyat semakin meningkat. Pada kenyataannya, perusahaan raksasa dari berbagai penjuru dunia turut berebut tanah milik petani dan sumber daya lainnya, untuk memperkuat kerajaan bisnisnya.

Sialnya, pemerintah tidak berdiri untuk melindungi kepemilikan tahan milik petani, tapi justru memberi legitimasi politik, berupa Undang-undang, bagi pemodal untuk mempermudah proses pencaplokan ini. Lengkap sudah persekongkolan antara penjajah berambut pirang dan berambut hitam di negeri ini.

Penderitaan petani belum berakhir di sini. Jika ditelusuri dengan baik, diketahui bahwa kesejahteraan para petani kian merosot. Untuk diketahui, saat ini sekitar 70% rakyat miskin di Indonesia adalah petani.

problem ketimpangan kepemilikan tanah. Sensus pertanian tahun 2003 menyebutkan, jumlah rumah tangga petani dengan kepemilikan tanah di bawah 0,5 hektar, baik pemilik tanah sendiri maupun menyewa, telah meningkat 2,6% pertahun, dari 10,8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13,7 juta rumah tangga (2003).

Pada 1995, jumlah petani tuna-lahan di Jawa sebanyak 48,6 persen, meningkat jadi 49,5 persen (1999). Meski tak separah di Jawa, di luar Jawa cenderung sama. Pada 1995 jumlah petani tunalahan 12,7 persen, meningkat 18,7 persen (1999). Sebaliknya, 10 persen penduduk di Jawa memiliki 51,1 persen tanah (1995) dan jadi 55,3 persen (1999).

Di samping itu, petani Indonesia harus berhadapan dengan gempuran sistim neoliberalisme. Beberapa tahun terakhir, pemerintah begitu aktif mempromosikan perdagangan bebas dan penghapusan tarif produk pertanian, serta penghapusan segala bentuk proteksi terhadap petani di negeri berkembang.

Dengan penduduk sekitar 220 juta jiwa, Indonesia menjadi pasar sangat menggiurkan bagi produk pertanian negara maju. Sekarang ini, pemerintah lebih banyak mengimpor produk pertaniannya, diantaranya beras, kedelai, dan sebagainya. disamping itu, kandungan impor daging sudah mencapai 30%, sementara impor untuk kebutuhan konsumsi susu sudah mencapai 70%.

Untuk urusan kedelai, kondisinya lebih parah. Sebagian besar kebutuhan kedelai nasional, yang rakyat banyak mengonsumsinya dalam bentuk tahu-tempe, harus pula diimpor. Tahun lalu, misalnya, petani kedelai lokal hanya mampu memproduksi 745.000 ton kedelai. Sedangkan kebutuhan nasional mencapai 2 juta ton. Sisanya mau tak mau mesti mengimpor. Kedelai impor ini sekitar 80%-nya berasal dari Amerika Serikat. Tahun lalu, negara adidaya itu mengekspor 980.000 ton kedelai ke Indonesia.

Ketika pemerintah SBY begitu riuh berkampanye soal "swasembada beras", kaum tani di Indonesia sedang merintih akibat tirani pasar bebas. Tekanan pasar yang begitu kuat tidak hanya menyulitkan petani memperoleh akses modal, pupuk, teknologi produksi, tetapi juga menghancurkan pasar di dalam negeri.

Sementara itu, sistim irigasi sebagai penunjang pokok dalam memacu produksi pertanian berada dalam kondisi buruk. Setidaknya, berdasarkan data, terdapat 80% sistim irigasi di Indonesia mengalami kerusakan. Jika benar, berarti klaim pemerintah bahwa sistim irigasi menunjang produksi pertanian adalah bohong. Dan memang demikian faktanya. Menurut Andreas Maryoto, seperti yang ditulis Kompas edisi 24 februari 09, ketersediaan air bagi pertanian bukan karena faktor irigasi yang baik, melainkan karena faktor cuaca pada musim kemarau yang cenderung basah seperti pernah terjadi pada 2003.

Bukti kebohongan "swasembada beras" pun nampak dengan jelas, seperti jatuhnya kesejahteraan kaum tani, mahalnya harga pangan di pasar, dan kekurangan pangan di berbagai daerah. Jika kita surplus pangan, kenapa Pada 2007 terdapat 4,1 juta balita yang mengalami malnutrisi, sebanyak 3,38 juta mengalami gizi kurang, dan 755.000 dengan risiko gizi buruk (sumber, Depkes). Jadi, meskipun dikatakan kita swasembada pangan, tetapi tingkat kelaparan juga masih tinggi.

Dengan kondisi seperti ini, dapat disimpulkan bahwa mayoritas kaum tani di Indonesia masih berada di bawah terjajah, yaitu di bawah penjajahan neoliberal.

Menurut Ketua Serikat Tani Riau (STR), Rinaldi, petani di Indonesia masih merupakan lapisan sosial rakyat jajahan, sebab negara belum pernah memberikan perlindungan dan perlakuan yang lebih baik terhadap kaum tani ini.

Sebagai contoh, menurut Rinaldi, ketika petani berhadapan dengan perusahaan pemodal, pemerintah justru menerbitkan peraturan dan perlindungan khusus bagi pemilik modal, bukan kepada petaninya.

Rinaldi juga mengeritik pemerintahan SBY, karena tidak mempunyai strategi jangka panjang untuk pembangunan pertanian. Kegagalan ini, katanya, menyebabkan sektor pertanian bukan lagi sektor produktif dan ekonomis bagi orang-orang di desa, sehingga mereka lebih memilih menjadi pekerja di kota atau TKI di luar negeri.

Sementara itu, Ketua Serikat Tani Nasional (STN), Yudi Budi Wibowo menyatakan, sektor pertanian tidak boleh diabaikan begitu saja oleh pemerintah, sebab sektor pertanian memegang peranan sangat vital dalam ekonomi nasional. Sekarang ini, sektor pertanian masih menyerap tenaga kerja paling besar, yakni 41,3 juta orang atau separuh dari angkatan kerja nasional (2008).

Sementara itu, sektor pertanian juga masih menjadi penyangga utama pertumbuhan PDB nasional, meskipun persentasenya cenderung menurun. Pada tahun 2008, kontribusi sektor pertanian pada pertumbuhan PDB nasional mencapai 4,89 persen, sedangkan surplus neraca perdagangan hingga Oktober 2008 senilai 12,39 miliar dolar AS. Hal ini, menurut Yudi, disebabkan oleh semakin merosotnya produktifitas sektor pertanian di dalam negeri.

Baik Rinaldi maupun Yudi Budi Wibowo, keduanya menganggap pemerintahan sekarang ini tidak akan sanggup membangun kembali sektor pertanian, apabila mereka tetap berpegang kepada mashab neoliberalisme. Untuk itu, STN mengajukan gagasan haluan ekonomi baru, yaitu haluan ekonomi kerakyatan, anti imperialisme, serta berlandaskan kepada solidaritas dan kerjasama.

Rudi HArtono dan Ulfa Ilyas

Artikel ini diambil dari :http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=422&Itemid=1


0 komentar: