Perempuan Melawan Neoliberalisme

Persatuan Mahasiswa Jakarta; Mahasiswa Jakarta Menentang Kenaikan Harga BBM


Oleh: Ulfa Ilyas[1]

Hari-hari yang melelahkan. Berhari-hari, bahkan hampir sebulan, aku dan kawan-kawan turun kejalan untuk menentang rencana pemerintah yang akan menaikkan harga BBM. kenaikan BBM tahun ini merupakan kebijakan ketiga kalinya dimasa pemerintahan SBY-JK. Dan itu berarti, tiga kali pula gerakan mahasiswa dan gerakan yang mengaku revolusioner gagal menghentikan kebijakan pemerintah, bahkan untuk penundaan sekalipun. Kegagalan ini patut menjadi pertanyaan besar, karena di akhir April dan di awal Mei, kita masih sempat turun secara besar-besaran untuk merayakan May-day. Belum lagi, momentum radikalisasi di bulan Mei yang berhimpitan seperti hardiknas, tragedy trisakti, kebangkitan nasional, dan jatuhnya Orde baru. seharusnya momentum ini bisa memberikan lipatan kekuatan untuk gerakan menentang kenaikan harga BBM, hingga berhasil menggagalkannya.

Sebelum pengumuman kenaikan harga BBM (23/05/08), Berbagai kelompok mahasiswa, buruh, petani, miskin kota, dan perempuan menggelar aksi massa untuk menentang kebijakan pemerintah ini. Gelombang aksi-aksi menentang kenaikan harga BBM berkembang dan cukup meluas, meskipun daya pukulnya masih terasa cukup lemah. Di makassar, aksi di mulai di kampus UIN Makassar yang berujung bentrok dan penangkapan beberapa aktifis mahasiswa. Kejadian ini memicu aksi –aksi serupa berkembang di beberapa kampus lainnya, seperti di UMI dan UNM. Di daerah lain, aksi massa menentang kenaikan BBM juga berlansung di Padang, Lampung, Palembang, Jambi, Jakarta, Surabaya, malang, Semarang, jogjakarta, Maluku, samarinda, manado, dan lain-lain. Di Jakarta, aksi menentang kenaikan harga BBM dilakukan sejak tanggal 12 mei oleh elemen KAMMI, BEM Se-Indonesia, dan Front Rakyat Menggugat.

Peringatan kebangkitan nasional (20/05) dimanfaatkan sebagai momentum menolak kenaikan harga BBM. Aksi besar-besaran dilakukan oleh Front Rakyat Menggugat (FRM) yang merupakan gabungan puluhan organisasi seperti LMND, Papernas, FNPBI, SRMI, Repdem, Prodem, GMNK, FAMRED, Dewan Tani Indonesia, ISBI, HMI, GMKI, dan lain-lain. FRM memobilisasi sekitar 8.000-an massa lebih menuju istana negara. Di tengah-tengah massa FRM, hadir mantan menko perekonomian era Gusdur, Risal Ramli yang turut berjalan kaki bersama massa ke istana merdeka. FRM memegang platform anti terhadap sistem neo-liberalisme.

Esok harinya (21/05/08), giliran berbagai elemen melakukan aksi depan istana bersamaan dengan momentum kejatuhan Orde Baru. karena momentum reformasi, kelompok yang mencolok dalam aksi ini adalah mahasiswa yang berasal dari KAMMI, BEM, FORKOT, FRM, kelompok organisasi mahasiswa Cipayung (HMI dan PMII) dan kelompok-kelompok mahasiswa yang lebih kecil (dewan mahasiswa Jakarta, mahasiswa Untar, dll). Diluar mahasiswa, ada kelompok Front Pembebasan Nasional (FPN) yang merupakan organisasi-organisasi yang turut memperkuat formasi Aliansi Buruh Menggugat. Mereka memobilisasi lima ratusan orang yang mayoritas adalah buruh. Kelompok lainnya adalah Front Perjuangan Rakyat (FPR) yang merupakan sebuah formasi front saat respon Mayday. Aksi tanggal 21 mei ini memperlihatkan wajah asli gerakan di Indonesia yang terpragmentasi, dengan membuat panggung sendiri-sendiri, masing-masing front/aliansi mengagitasi massa masing-masing. Aksi kelihatan seperti sebuah perang soundsystem dan kepiawaian berorasi, ketimbang sebuah gerakan massa politis untuk menekan pemerintah.

Tanggal 23 Mei, pukul 09.30, pemerintah SBY-JK lewat menterinya telah mengumumkan kenaikan harga BBM. Pengumuman ini adalah deklarasi kemenangan pemerintah setelah pertempuran melelahkan. Kecuali UNAS, aksi-aksi yang digelar untuk merespon pengumuman ini sungguh kecil dan tercerai-berai.

Pemicu itu di “Pejaten”

Pengumuman kenaikan harga BBM hari jum,at (23/05/08), merupakan keputusan mendadak yang berada diluar prediksi organisasi-organisasi gerakan perlawanan. Beberapa kelompok mencoba memberikan respon spontan atas kebijakan pemerintah ini, akan tetapi sangat kecil. Tiba-tiba, mahasiswa di kampus UNAS membuat sebuah letupan. Aksi yang awalnya berlansung di depan kampus, direspon oleh polisi secara berlebihan memicu bentrokan antara mahasiswa dan polisi dari malam hingga pagi hari. Kejadian di kampus UNAS menjadi titik kulminasi dari rangkaian aksi kekerasan kepolisian dalam menangani aksi-aksi mahasiswa. Begitu brutalnya polisi menyerbu kampus UNAS telah memberikan energi berkali-kali lipat kepada beberapa elemen gerakan mahasiswa untuk kembali turun kejalan. Aksi-aksi serupa kembali terjadi di berbagai kampus, bukan hanya di Jakarta, akan tetapi terjadi pula dibeberapa daerah seperti Makassar, Malang, Surabaya, dan lain-lain.

Di Jakarta, respon atas kerusuhan yang dilakukan oleh aparat melahirkan konsolidasi yang cukup luas namun cukup solid, yakni Persatuan Mahasiswa Jakarta. Karena melihat perkembangan aksi kekerasan yang dilakukan oleh polisi di kampus UNAS dan diberbagai tempat, beberapa kelompok gerakan mahasiswa ini sepakat menghilangkan warna bendera dan berbagai hambatan-hambatan dalam persatuan. Hasilnya cukup bagus, beberapa aksi di depan kampus bisa dikoordinasikan dan diputuskan secara bersama-sama.

Di daerah, respon atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM kembali bergelora. Di kampus Universitas Hasanuddin terjadi bentrokan antara mahasiswa dan polisi. Demikian pula dengan mahasiswa IAIN Alauddin Makassar, untuk kesekian kalinya, aksi mahasiswa diserbu oleh polisi masuk kampus bahkan mengejar sampai ke pemukiman mahasiswa. Di Jalur pantura, ribuan nelayan menggotong perahu dan memasangnya terbentang dijalan yang merupakan jalur utama pantura. Perahu itu dibakar oleh nelayan sebagai symbol protes atas kenaikan harga BBM yang akan menyengsarakan rakyat. Di Madiun, masyarakat memasang bendera setengah tiang sebagai bentuk keprihatinan atas kenaikan harga BBM.

LMND sendiri menggelar aksi mogok makan serentak di berbagai kota di Indonesia, diantaranya; di kampus IISIP (Jakarta), Universitas Airlangga (Surabaya), Universitas Hasanuddin (makassar), Unila dan UBL (Lampung), kantor DPRD dan STAIN (Palu), STAKN (Toraja), UKSW(Salatiga), Universitas Diponegoro (semarang), Unsoed (Purwekerto), IAIN Raden Fatah (Palembang), IKIP Mataram (NTB), STIKOM (Labuhan Batu), Univ. Riau- UNRI (Riau), Unitri (Malang), Unhalu (kendari), Univ. Samratulangi (Manado), Univ. IKSAN (Gorontalo), ULB ( Labuhan Batu), UNSI (Siantar), Alun-alun kota Kudus, .

Ada pergeseran bentuk aksi maupun panggung yang diambil oleh gerakan mahasiswa paska kenaikan harga BBM. metode aksi dengan jalan membakar ban dan memblokir sebagian badan jalan makin marak di Jakarta dan beberapa kota. Panggung utama bukan lagi didepan istana atau symbol pemerintahan, akan tetapi sudah coba beralih kekampus-kampus. Pergeseran bentuk aksi dan panggung ini dilatarbelakangi oleh dua hal yakni; pertama, kekerasan dan refresifitas polisi dalam berbagai aksi unjuk rasa damai menentang kenaikan harga telah memberikan kesadaran baru kepada mahasiswa untuk melawan dengan kekerasan pula. pendekatan brutal polisi telah mengkondisikan metode perlawanan mahasiswa dialihkan ke kampus. Metode ini terlihat dipakai di UNAS, UKI Jakarta, Moestopo, Unhas Makassar, dan UIN Makassar. Kedua, aksi –aksi keluar dengan kemampuan mobilisasi yang mengecil keliatan tidak memiliki dampak signifikan secara politik (kurang kedengaran), dan tidak menguntungkan dalam memperbesar gerakan.

Melawan Sektarianisme

Persatuan Mahasiswa Jakarta (PMJ) dilator-belakangi oleh peristiwa UNAS. Penyerbuan brutal polisi kedalam kampus UNAS telah memberikan kesadaran baru kepada mahasiswa bahwa aksi-aksi kecil yang terisolasi dikampus-kampus dengan mudah akan dipukul oleh polisi. Harus ada penyatuan aksi-aksi tersebut, sehingga tekanan politiknya bisa meluas, suhu politiknya tetap terjaga dan konsentrasi polisi bisa terpecah belah. Beberapa elemen gerakan, terutama elemen yang dicap “heroic” oleh gerakan yang ‘revolusioner” melakukan konsolidasi. Kebanyakan mereka adalah eks-eks aktifis 1998 yang masih memiliki pengaruh kuat didalam kampus. Konsolidasi ini melahirkan aliansi/front bernama Persatuan Mahasiswa Jakarta (PMJ). Kendati motor utama konsolidasi PMJ adalah organisasi-organisasi gerakan (ekstra), tetapi demi kepentingan memperluas dan mempertahankan suhu politik penentangan kenaikan harga BBM, organisasi-organisasi ini bersepakat melepaskan bendera dan nama organisasi. PMJ mengkoordinasikan beberapa kampus di Jakarta antara lain; Univ. Moestopo Beragama, Universitas Bung Karno (UBK), Univesitas Sahid Jakarta (USAHID), Univ. Mercu Buana, Institute Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, UPI- YAI, Univ. Pancasila (UP), UPN, Univ. Jayabaya, BSI, Univ. Borobudur, Universitas Nasional (UNAS), Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, Univ. Islam Negeri (UIN) Jakarta. Dalam hal tuntutan, PMJ tetap menuntut supaya pemerintah membatalkan kenaikan harga BBM dan mengambil solusi; nasionalisasi Industri pertambangan asing dan penghapusan utang luar negeri.

Kesepakatan menurunkan bendera dan menyimpan nama-nama organisasi merupakan sebuah langka maju. Beberapa persoalan sectarianism terkadang bermuasal dari eksistensi organisasi dan arogansi organisasi yang merasa lebih unggul (secara kuantitatif dan kualitatif). Di dalam gerakan mahasiswa, sektarianisme lahir dari cara berfikir atomistik yang ditumbuh-kembangkan oleh ilmu pengetahuan borjuis di pengajaran-pengajaran Universitas. Gerakan yang terisolasi dan terpagari oleh symbol-simbol universitas dan lambang organisasi diperkuat oleh kenyataan masih kuatnya intervensi apparatus negara terhadap lembaga Universitas. Tidak jarang, pihak rektorat selalu menghalang-halangi mobilisasi-mobilisasi mahasiswa yang mulai bercampur-baur dengan gerakan mahasiswa dari kampus lain, ataupun berbaur dengan sektor rakyat lain.

PMJ memulai pekerjaannya dengan membangun posko di beberapa titik yakni IISIP Jakarta, Moestopo, dan YAI. Posko di IISIP yang dikoordinasikan oleh teman-teman LMND juga diisi dan didatangi oleh mahasiswa dari GMNK, Moestopo dan Mercubuana. Di Posko ini, tidak ada symbol organisasi, yang ada adalah kesepakatan bahwa gerakan harus disatukan dan perlawanan harus dilanjutkan. Posko IISIP menggelar aksi mogok makan dengan 6 orang peserta (2 dari IISIP, 2 dari UNAS, dan 2 dari Unisma Bekasi). Aksi bagi selebaran, propaganda dan kampanye dilakukan atas nama persatuan mahasiswa Jakarta. Di hari pertama, kedua dan seterusnya, kawan-kawan Solidaritas Mahasiswa IISIP (SM-IISIP) yang didalamnya diisi oleh sebuah tendensi sektarian menolak untuk bergabung dalam PMJ dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal; persoalan organ ekstra-lah, persoalan ada bintang di baliho-lah, dan macam-macan. Bahkan, di hari ketiga, SM-IISIP mengirimkan SMS ultimatum untuk mengusir posko kami dengan alasan bahwa posko PMJ diisi oleh mahasiswa dari luar. SM-IISIP sendiri adalah merupakan wadah dari BPM dan beberapa organisasi mahasiswa yang sebenarnya adalah unsur minoritas di kampus, akan tetapi mereka diuntungkan oleh posisi organ legal (BPM) sehingga dengan seenaknya mau mengusir kita. Di hari pertama posko PMJ, kampus UKI bergolak oleh karena perlawanan mahasiswa menentang kenaikan harga BBM.

Aksi PMJ di yang paling sukses adalah aksi terkoordinasi dihari kedua, tepat sore hari, kampus Borobudur di Kali Malang, Jakarta timur menggelar aksi bakar ban didepan kampus. Beberapa menit kemudian, kawan-kawan di Atmajaya juga menggelar hal yang sama. Di kampus Moestopo, polisi bentrok dengan mahasiswa. Demikian pula dengan kampus UIN di Ciputat juga melakukan aksi serupa didepan kampus. Aksi-aksi ini begitu sukses mempertahankan suhu politik dan militansi mahasiswa Jakarta untuk tetap melakukan aksi-aksi menentang kenaikan harga BBM.

Metode “back to campus” dan melakukan konfrontasi-konfrontasi dengan aparat merupakan pilihan taktik yang tepat pada saat itu. Meskipun belum berhasil, akan tetapi secara perlahan-lahan, gerakan mahasiswa mencoba untuk mengembalikan pamor kampus sebagai panggung gerakan. Ada banyak metode dan panggung yang bisa dilakukan, antara lain; aksi-aksi mimbar bebas, orasi keliling, bagi-bagi selebaran, diskusi dan debat terbuka, rapat-rapat akbar di auditorium atapun lapangan terbuka, dan aksi-aksi didepan kampus. Selain itu, alat –alat propaganda di kampus harus difungsikan kembali sebagai corong propaganda gerakan. Ada kebutuhan memaksimalkan atau membangun pers-pers kampus dan pusat-pusat penerbitan, membangun dan mengoptimalkan radio-radio komunitas/kampus, alat-alat kebudayaan seperti teater, patung, mural, dan musik-musik perjuangan.

Kami menyadari, kelemahan masih terjadi disana-sini. Aksi-aksi yang dilakukan dikampus sudah mulai menyurut. Kawan-kawan yang tertangkap belum berhasil kita bebaskan. Koordinasi yang dilakukan oleh teman-teman dialiansi masih sangat cair dan keterlibatan massa mahasiswa dalam aksi-aksi yang digelar didepan kampus masih sangat kecil. Akan tetapi, pekerjaan teman-teman dari berbagai kampus merupakan embrio persatuan, sekaligus merupakan investasi (tabungan) kesadaran bersatu (tidak sektarian) untuk menyonsong perjuangan selanjutnya. Kita sudah memulai, kami berharap semangat-semangat serupa bisa tumbuh subur hingga akhirnya bisa meruntuhkan rejim pro-asing ini. A luta Continua!



[1] Aktifis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Jakarta.

0 komentar: