Perempuan Melawan Neoliberalisme

Gembok (dan) Kemunafikan

AJ Susmana

Benang kusut persoalan negeri ini semakin menggelisahkan bila tak dapat diurai dengan bijak. Bukan hanya kegilaan yang mungkin makin bertambah di antara rakyat negeri tapi juga tak menemukan jalan keluar sehingga kita hanya berputar-putar dalam lingkaran setan kebingungan dan tak keluar untuk berkembang menjadi bangsa besar. Persoalan yang nyata dihadapi tentu saja adalah: kemiskinan, korupsi dan tak tersedianya lapangan kerja. Kita sadari semua ini akibat dari proses penjajahan kolonial yang belum berakhir. Kekayaan alam kita masih dikuasai perusahaan asing dan dalam pengelolaan dan pengolahannya tak memakmurkan rakyat negeri tapi terus saja memperbanyak pundi-pundi untuk kemakmuran negeri asing. Inilah penjajahan baru yang membuat kita merasa terus-menerus dalam kondisi pemiskinan sejak proklamasi kemerdekaan 63 tahun yang lalu. Tanpa Jeda.

Walau begitu, bagaimana persoalan ini diselesaikan tampak tak menjadi fokus pemimpin negeri. Kita lihat: Pemerintah kota di berbagai wilayah Republik Indonesia yang sedang membangun citra kota yang bersih berusaha keras menyingkirkan para gelandangan, pengemis dan tuna wisma, termasuk juga menyingkirkan pedagang kaki lima beserta sumber kehidupannya tanpa solusi pengganti tempat kerja yang pasti. Mereka yang mulai mengganggu pandangan mata karena secara menyolok tinggal di kolong-kolong jembatan atau pinggir-pinggir rel kereta api disingkirkan. Kemana mereka pergi? Tidak tahu…tapi tak berapa lama satu-persatu, keluarga demi keluarga, kembali ke kolong-kolong jembatan; ke pinggir-pinggir rel kereta api; mengais-ngais kehidupan. Seadanya. Semampunya. Tak peduli kesehatan anak dan diri-sendiri. Tak ada program yang makin memanusiakan. Jelas sudah program pemerintah dalam soal kemiskinan kebanyakan hanyalah menggusur orang-orang miskin dari kota yang sedang membangun citra, bukan pada menggusur pemiskinan atau sistem yang memiskinkan rakyat negeri yang terus berlangsung. Kemiskinan seperti mengalir saja bersamaan hingar-bingar musik dan kehidupan lainnya. Kemiskinan dianggap hanyalah salah satu tarian dalam kehidupan. Dalam kemiskinan, tentu tak ada keindahan. Begitulah kemiskinan merajalela sementara immoralitas atau yang dianggap asusila oleh para pemimpin negeri diperangi di mana-mana dengan energi besar dan seringkali menjadi tidak manusiawi, ketinggalan jaman dan mengada-ada.

Masih ingat Gembok Pemijat, yang beberapa hari lalu menghiasi media-media massa kita baik elektronik maupun cetak? Gembok pengaman kemaluan perempuan yang sudah menjadi cerita kuno itu tiba-tiba menjadi pembicaraan hangat di mulut laki-laki dan kaum perempuan. Menjadi inspirasi (mungkin) bagi beberapa orang untuk mencegah perzinahan, pemerkosaan dan kebejatan lainnya yang bersumber dari seksualitas. Orang pun kembali diingatkan pada masa raja-raja menggembok kemaluan putri, isteri dan selir-selir raja agar tak terjerumus pada perzinahan maupun perselingkuhan. Inilah solusi politik mencegah tindakan asusila seksual yang dikibarkan Pemerintahan Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Dinas Pariwisata DKI pun tengah menimbang-nimbang apakah akan mengikuti aturan yang dijalankan Pemkot Batu, Malang tersebut.

Tindakan ini sendiri dilakukan dalam rangka mencegah bisnis pelacuran terselubung di panti-panti pijat. Sementara itu soal pelacuran sendiri dari segi ilmu-ilmu sosial dapat dipahami sebab keberadaannya, tumbuh-kembangnya dan bagaimana menghapuskannya dengan bijak. Tentu tak cukup dari sudut moralitas dan aturan formal saja. Pelacuran adalah penyakit sosial. Di sini, kemiskinan ekonomi adalah faktor penting merebaknya pelacuran. Sistem ekonomi politik yang tak adil akan selalu memberi ruang pada pelacuran. Diberantas dengan cara apapun termasuk kekerasan, bila sistem ekonomi politiknya tak adil, pelacuran tetap akan ada. Dalam situasi ini pelarangan hanya menimbulkan bentuk pelacuran yang baru yang justru geraknya sulit diikuti yakni pelacuran terselubung. Dengan begitu efek buruk misalnya penyakit seksual juga susah diberantas. Kemunafikan pun akan menjadi-jadi. seperti juga yang terjadi pada jaman Victoria

Dengan begitu, dalam situasi ini ketika rakyat membutuhkan pemimpin yang tepercaya, kualitas moral pemimpin memang dibutuhkan. Tertangkapnya anggota DPR, Al Amin Nasution oleh KPK dan sebelumnya, Jaksa Urip yang notabene “mewakili” orang-orang terhormat di negeri ini dalam kasus penyuapan bahkan penyuapan terhadap Al Amin Nasution disinyalir melibatkan juga bisnis pelacuran (walau tetap dijunjung asas praduga tak bersalah) hanyalah semakin menyimpulkan betapa jauhnya kata dan perbuatan dari para pemimpin negeri ini.

Sekali lagi, kemunafikan itulah yang melanda sebagian pemimpin negeri dan kita berharap semoga masih banyak pemimpin yang bersih dan memang bekerja untuk rakyat. Bekerja untuk kemakmuran rakyat: menggusur pola pemiskinan yang berlangsung bukan menggusuri orang-orang miskin dari perkotaan demi kenyamanan segelintir orang. Lagu Slank, “Gossip Jalanan” yang salah satunya baitnya menyinggung pola kerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya mementingkan uang itu tampak menemukan kebenarannya. Karena itu dari segi moral, yang penting adalah menggembok kemunafikan dan jujur pada realitas. Dengan begitu, diharapkan dapat bangkit dari realitas tersebut serta mengubahnya menjadi lebih baik sesuai kehendak jaman.

Tulisan ini pernah dimuat di: www.vhrmedia.com

0 komentar: