Perempuan Melawan Neoliberalisme

Lalu Hilman Afriandi: Tunjuk Budiono, SBY hanya Pertegas Haluan Neoliberalnya

Keputusan SBY untuk menunjuk Budiono sebagai cawapresnya untuk bertarung dalam pemilu presiden mendatang, mendatangkan tanggapan beragam berbagai kalangan, termasuk kaum pergerakan. Polarisasi antara kubu neoliberal dan anti neoliberal pun, yang selama ini hanya menjadi wacana pinggiran, kini menjadi perdebatan hangat yang menghiasi media massa.

Dalam beberapa hari terakhir, peningkatan isu anti-neoliberalisme dipicu oleh munculnya nama Budiono sebagai pendamping SBY. Di mata banyak orang, Budiono sering dianggap sebagai prajurit neoliberal di Indonesia. Bersama dengan Sri Mulyani, ia menjadi pemain menentukan dalam mengarahkan kebijakan ekonomi di Indonesia.

Di kubu partai pendukung SBY sendiri, pemunculan Budiono sebagai wapres, sontak menciptakan perdebatan dan sedikit friksi. Beberapa partai seperti PKS, PAN, dan PPP kemudian mempertanyakan keputusan SBY ini, karena dianggap tidak melibatkan mereka sebagai peserta koalisi. Sementara PKS bereaksi lebih jauh lagi, selain menggelar rapat pimpinan tertutup, beberapa stuktur pendukung PKS menggelar aksi protes. Di beberapa tempat misalnya, KAMMI tiba-tiba meluncurkan isu anti-neoliberalisme, dengan sasaran bidik adalah Budiono.

Sejumlah organisasi gerakan pun melakukan hal serupa. Seolah-olah SBY adalah bersih, sementara Budiono-lah yang mengarahkan kubu SBY menjadi neoliberal. “Pendapat ini sungguh menyesatkan” ungkap Lalu Hilman Afriandi, ketua umum Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) kepada Berdikari Online.

“PKS bukanlah partai anti-neoliberal. beberapa tindakan mereka di parlemen justru memuluskan kebijakan neoliberal, seperti kasus pengesahan UU BHP. Ribut-ribut sebagaian pendukung cikeas mengenai pencalonan Prabowo hanya masalah pembagian kue yang belum adil”, ujar Lalu Hilman.

Menurut Lalu Hilman, situasi politik sekarang ini menggambarkan dua polarisasi besar, yakni pro-neoliberalisme dan anti-neoliberalisme. Kubu neoliberal jelas diperlihatkan oleh kubu SBY, sementara kubu anti-neolib masih berserakan tetapi sudah punya embrio membesar. “kubu anti neoliberal ini berasal dari gerakan rakyat yang menjadi korban kebijakan neoliberal dan elit nasional yang berseteru kepentingan dengan capital multinasional”, ungkap Lalu.

“Sikap sejumlah gerakan menentang Budiono hanyalah untuk melancarkan proses transaksi politik. Nanti juga mereka melunak. Kalau mereka memang serius mau anti neolib, kenapa mereka tidak tinggalkan kubu Cikeas dan membangun gerakan massa anti-neolib”, katanya.

Apa Artinya Penunjukan Budiono?

Penunjukan Budiono pun terkesan begitu dipaksakan. Pasalnya, menurut sejumlah pengamat, sejumlah partai pendukung SBY sudah mengajukan begitu banyak nama. Kenapa SBY tidak mempertimbangkan nama-nama yang sudah direkomendasikan oleh partai-partai pendukung tersebut.

Bagi Lalu Hilman Afriandi, penunjukan Budiono sebagai wapres memberikan dua kesimpulan; pertama, Pembuktian bahwa SBY masih akan melanjutkan kebijakan neoliberalisme, apalagi itu dilakukan setelah pertemuan ADB di Bali. Kedua, guna mempercepat kebijakan politik dan ekonomi, khususnya yang bersinggungan dengan kepentingan IMF, Bank Dunia, dan sebagainya.

Salah satu paradigma neoliberal adalah bahwa sebuah pemerintahan yang baik (good governace) memerlukan pengelolaan dan administrasi yang professional, bukan soal politik. Karena itu, menurut Data, pejabat paling ideal untuk menjalankan neoliberal bukanlah politisi, melainkan akademisi, teknokrat. Maka tidak mengejutkan bila SBY menunjuk Budiono, sebab ia merupakan prajurit –prajurit neoliberal.

Bahkan menurutnya kebijakan neoliberal di masa mendatang akan semakin massif, jika SBY-Budiono memenangkan pilpres nanti. Lalu mengatakan, situasi ini membuka kesempatan kepada seluruh elemen progressif dan sektor-sektor sosial yang menjadi korban neoliberalisme untuk membangun front lebar anti-neolib. Atmosfer anti neoliberal yang kemungkinan meningkat karena pilpres, punya potensi luas untuk didorong menjadi gerakan anti neoliberal yang besar.

“masalahnya adalah bagaimana mendefenisikan musuh utama dan siapa kawan terdekat, maupun sektor-sektor sosial yang perlu dirangkul pada tahap histories tertentu”, Kata Lalu Hilman.

ULFA ILYAS

Tulisan ini diambil dari :http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=287&Itemid=1

0 komentar: