Perempuan Melawan Neoliberalisme

IMF akan mengambil keuntungan dari krisis ini dengan memberikan pinjaman yang lebih banyak dan lebih besar.

Wawancara dengan Eric Toussaint oleh Radio France Internationale (RFI), Senin 27 Oktober 2008 pada 13H00

RFI: IMF berkeputusan menolong banyak negeri Eropa seperti Islandia, Ukraina, dan kini, Hungaria, dengan memberikan pinjaman penting kepada mereka. Kenapa khususnya negeri-negeri ini menurut Anda?

Eric Toussaint: Pertama-tama harus dijelaskan terlebih dulu bahwa IMF sendiri sedang mengalami krisis. Ia posisinya sedang sangat dilemahkan. Tahun lalu ia hanya memiliki satu klien saja: Turki. Hanya enam atau tujuh tahun sebelumnya, IMF memberikan pinjaman bertotal lebih dari 100 milyar dolar, sementara sebelum krisis ini, portfolio pinjamannya turun hingga 17 milyar dolar. IMF akan mengambil keuntungan dari krisis ini dengan memberikan lebih banyak pinjaman, karena keberadaannya bergantung pada pinjaman yang diberikannya. IMF sesungguhnya bergantung pada bunga yang dibayar oleh negeri peminjam untuk tetap beraktivitas.



RFI: Jadi IMF akan memilih memberikan pinjaman ke negeri-negeri yang lebih mampu membayar kembali utangnya...

Eric Toussaint: Tapi Anda harus berhati-hati. IMF juga akan menawarkan jasanya ke negeri-negeri Selatan; itu tak diragukan lagi. IMF hendak meraih kembali kekuasaannya setelah masa-masa pelemahannya baru-baru ini vis a vis sejumlah negeri-negeri Selatan. Dalam beberapa tahun belakangan ini banyak negeri di Asia dan Amerika Latin melunasi obligasi berlebihnya (outstanding obligation) lebih awal, yang artinya IMF kehilangan alat untuk menekan negeri-negeri ini. Sangat dimungkinkan IMF akan menawarkan pinjaman ke Afrika, Amerika Latin dan Asia, dengan berpura-pura bahwa negeri-negeri yang lebih miskin memang membutuhkan "uangnya" karena krisis ini. Namun, Anda harus tahu bahwa pinjaman IMF datang dengan lampiran persyaratan yang mengharuskan negeri-ngeri tersebut menerapkan kebijakan spesifik; kebijakan yang telah dengan rutin berdampak merugikan selama 20 tahun terakhir. Kebijakan ini terbukti merugikan karena Dana Moneter Internasional bergandengan tangan dengan Bank Dunia telah mendesakkan ekonomi pasar yang sepenuhnya bebas di negeri-negeri Selatan. Negeri-negeri Afrika dan secara lebih khusus penduduk negeri-negeri Afrika mengetahui bahwa mereka telah terpukul telak oleh krisis pangan.

Di Afrika, bagi kebanyakan orang, kepedulian utama dalam beberapa bulan ini bukanlah krisis finansial bank-bank di Eropa dan Amerika Serikat, melainkan peningkatan harga-harga pangan secara dramatis. Kebijakan yang didikte oleh IMF dan Bank Dunia secara langsung bertanggung-jawab terhadap kenaikan ini (Saya akan kembali ke persoalan ini nanti).

RFI: Apakah Anda, Eric Toussaint, mencoba mengatakan bahwa IMF lebih fleksibel terhadap beberapa negeri dibandingkan lainnya? Terkait persyaratannya?

Eric Toussaint: Ya, itu yang tentunya saya katakan. Tidak akan ia mendesakkan prasayarat yang sama kepada Islandia atau negeri Eropa lainnya. Ijinkan saya menekankan bahwa IMF tidak menuntut pihak berwenang Washington mengambil langkah-langkah konsolidasi anggaran publik, sementara di mana pun ia berurusan dengan pemerintahan negeri-negeri Selatan, ia tanpa variasi mencoba mendesakkan langkah-langkah ekonomi yang dinilainya pantas.

RFI: Jadi, menurut Anda, memang ada standar ganda?

Eric Toussaint: Pasti, tidak diragukan lagi. Dengarkan ini: ada 24 Direktur Eksekutif di IMF. Hanya dua dari mereka berasal dari Afrika. Dua administrator dari Afrika ini masing-masing mewakili lebih dari dua puluh negeri. Ketika mereka memberikan suara pemilihan, kedua ini (digabungkan) mewakili kurang dari 5% jumlah suara. Amerika Serikat saja memiliki 17% suara. Perancis saja memiliki sedikit di bawah 5%. Ini berarti bahwa ketika Perancis memberikan suara, ia bobotnya sama dengan gabungan seluruh negeri Afrika. Jadi ya, tentu ada standar ganda. Ini sangatlah jelas. Ini harus dirubah secepat mungkin. Situasi ini benar-benar tak dapat diterima dan tidak bisa berlangsung lebih lama lagi.

RFI: Apakah kita perlu mereformasi bantuan kepada negeri-negeri yang lebih miskin ketika kita mengetahui bahwa kadang kala permasalahannya adalah negeri yang "dibantu" oleh IMF secara umum dicap sebagai dalam kesulitan sehingga kemudian akhirnya membuat pemberi pinjaman kuatir? Haruskah kita lebih sembunyi-sembunyi dalam memberikan bantuan kepada negeri-negeri yang lebih miskin?

Eric Toussaint: Dengarkan, secara pribadi saya berpikir bahwa, pertama-tama, yang esensial adalah membayar harga yang tepat untuk barang-barang yang diimpor dari negeri-negeri yang dipandang sebagai "miskin" dan berhenti merekomendasikan kebijakan yang merugikan produsen lokal mereka. Inilah yang hendak saya katakan di awal terkait krisis pangan. Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia meyakinkan negeri-negeri Afrika untuk mengurangi produksi pangan domestiknya sementara menjamin mereka kedaulatan pangan, keamanan pangan, terutama dalam sereal. IMF dan Bank Dunia mendorong negeri-negeri ini untuk meningkatkan eksport mereka dalam bentuk teh, pisang, kakao, dsb. dan untuk menggantungkan diri kepada impor gandum dan beras dari Eropa dan Asia untuk memberi makan populasi mereka sendiri. Dan kini di saat harga-harga bahan tersebut secara harafiah meledak, negeri-negeri Afrika menemukan dirinya tak memiliki apa-apa, dan tidak ada lagi produsen lokal yang dapat memenuhi kebutuhan mereka.

Jadi jawaban saya adalah, daripada bicara tentang kemurahan hati terhadap negeri-negeri ini, dan saya tidak yakin dengan apa yang disebut-sebut "kemurahan-hati" ini, yang dibutuhkan negeri-negeri Afrika adalah lebih banyak keadilan.

RFI: Terimakasih Eric Toussaint, Presiden dari Komite Penghapusan Utang Dunia Ketiga, disiarkan langsung dari Brussels dan ijinkan saya mengutip buku terbaru anda Who Owes Who? 60 questions about World Debt, yang sudah diterbitkan dalam bahasa Perancis: 60 Questions/60 Réponses sur la dette, le FMI et la Banque mondiale, CADTM-Syllepse, Liège-Paris, 2008.

NB: Eric Toussaint juga penulis dari: The World Bank: A Critical Primer, Pluto Press / Between the lines / David Philip Publisher, London - Toronto - Cape Town, 2008; World Bank: A Never-Ending Coup d’Etat Editorial VAK (Mumbai-India), 2007.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diterbitkan dalam Situs Komite Penghapusan Utang Dunia Ketiga - Comite pour l'Annulation de la Dette du Tiers Monde (CADTM)
Diterjemahkan dari Bahasa Perancis ke Bahasa Inggris oleh Jinane Prestat dan Elizabeth Anne
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh NEFOS.org


Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: Mei 2009

Lalu Hilman Afriandi: Tunjuk Budiono, SBY hanya Pertegas Haluan Neoliberalnya

Keputusan SBY untuk menunjuk Budiono sebagai cawapresnya untuk bertarung dalam pemilu presiden mendatang, mendatangkan tanggapan beragam berbagai kalangan, termasuk kaum pergerakan. Polarisasi antara kubu neoliberal dan anti neoliberal pun, yang selama ini hanya menjadi wacana pinggiran, kini menjadi perdebatan hangat yang menghiasi media massa.

Dalam beberapa hari terakhir, peningkatan isu anti-neoliberalisme dipicu oleh munculnya nama Budiono sebagai pendamping SBY. Di mata banyak orang, Budiono sering dianggap sebagai prajurit neoliberal di Indonesia. Bersama dengan Sri Mulyani, ia menjadi pemain menentukan dalam mengarahkan kebijakan ekonomi di Indonesia.

Di kubu partai pendukung SBY sendiri, pemunculan Budiono sebagai wapres, sontak menciptakan perdebatan dan sedikit friksi. Beberapa partai seperti PKS, PAN, dan PPP kemudian mempertanyakan keputusan SBY ini, karena dianggap tidak melibatkan mereka sebagai peserta koalisi. Sementara PKS bereaksi lebih jauh lagi, selain menggelar rapat pimpinan tertutup, beberapa stuktur pendukung PKS menggelar aksi protes. Di beberapa tempat misalnya, KAMMI tiba-tiba meluncurkan isu anti-neoliberalisme, dengan sasaran bidik adalah Budiono.

Sejumlah organisasi gerakan pun melakukan hal serupa. Seolah-olah SBY adalah bersih, sementara Budiono-lah yang mengarahkan kubu SBY menjadi neoliberal. “Pendapat ini sungguh menyesatkan” ungkap Lalu Hilman Afriandi, ketua umum Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) kepada Berdikari Online.

“PKS bukanlah partai anti-neoliberal. beberapa tindakan mereka di parlemen justru memuluskan kebijakan neoliberal, seperti kasus pengesahan UU BHP. Ribut-ribut sebagaian pendukung cikeas mengenai pencalonan Prabowo hanya masalah pembagian kue yang belum adil”, ujar Lalu Hilman.

Menurut Lalu Hilman, situasi politik sekarang ini menggambarkan dua polarisasi besar, yakni pro-neoliberalisme dan anti-neoliberalisme. Kubu neoliberal jelas diperlihatkan oleh kubu SBY, sementara kubu anti-neolib masih berserakan tetapi sudah punya embrio membesar. “kubu anti neoliberal ini berasal dari gerakan rakyat yang menjadi korban kebijakan neoliberal dan elit nasional yang berseteru kepentingan dengan capital multinasional”, ungkap Lalu.

“Sikap sejumlah gerakan menentang Budiono hanyalah untuk melancarkan proses transaksi politik. Nanti juga mereka melunak. Kalau mereka memang serius mau anti neolib, kenapa mereka tidak tinggalkan kubu Cikeas dan membangun gerakan massa anti-neolib”, katanya.

Apa Artinya Penunjukan Budiono?

Penunjukan Budiono pun terkesan begitu dipaksakan. Pasalnya, menurut sejumlah pengamat, sejumlah partai pendukung SBY sudah mengajukan begitu banyak nama. Kenapa SBY tidak mempertimbangkan nama-nama yang sudah direkomendasikan oleh partai-partai pendukung tersebut.

Bagi Lalu Hilman Afriandi, penunjukan Budiono sebagai wapres memberikan dua kesimpulan; pertama, Pembuktian bahwa SBY masih akan melanjutkan kebijakan neoliberalisme, apalagi itu dilakukan setelah pertemuan ADB di Bali. Kedua, guna mempercepat kebijakan politik dan ekonomi, khususnya yang bersinggungan dengan kepentingan IMF, Bank Dunia, dan sebagainya.

Salah satu paradigma neoliberal adalah bahwa sebuah pemerintahan yang baik (good governace) memerlukan pengelolaan dan administrasi yang professional, bukan soal politik. Karena itu, menurut Data, pejabat paling ideal untuk menjalankan neoliberal bukanlah politisi, melainkan akademisi, teknokrat. Maka tidak mengejutkan bila SBY menunjuk Budiono, sebab ia merupakan prajurit –prajurit neoliberal.

Bahkan menurutnya kebijakan neoliberal di masa mendatang akan semakin massif, jika SBY-Budiono memenangkan pilpres nanti. Lalu mengatakan, situasi ini membuka kesempatan kepada seluruh elemen progressif dan sektor-sektor sosial yang menjadi korban neoliberalisme untuk membangun front lebar anti-neolib. Atmosfer anti neoliberal yang kemungkinan meningkat karena pilpres, punya potensi luas untuk didorong menjadi gerakan anti neoliberal yang besar.

“masalahnya adalah bagaimana mendefenisikan musuh utama dan siapa kawan terdekat, maupun sektor-sektor sosial yang perlu dirangkul pada tahap histories tertentu”, Kata Lalu Hilman.

ULFA ILYAS

Tulisan ini diambil dari :http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=287&Itemid=1

Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: Mei 2009