Perempuan Melawan Neoliberalisme

Sebuah Ulasan Singkat Perjuangan Caleg Aktifis Kerakyatan

Oleh : RUDI HARTONO dan ULFA ILYAS

PEMILU 2009 tinggal 3 hari kedepan. Rakyat Indonesia sedang berharap-harap cemas; siapa yang akan menang dan bagaimana nasib kita? Kita semua diliputi kecemasan akan masa depan. Bagaimana tidak? Krisis ekonomi terus merongrong kita, tetapi tak satupun pemimpin politik yang sanggup mengatasinya. Jika nanti yang terpilih masih dari "golongan lama", yakni mereka-mereka yang sudah terbukti gagal memerintah, maka semakin suramlah masa depan seluruh rakyat di negeri ini.


Tapi terlepas dari itu, Pemilu 2009 punya arti penting bagi perjuangan rakyat Indonesia. Selain pemilu 1999-dimana sejumlah aktifis pergerakan maju dalam pemilu dengan menggunakan kendaraan Partai Rakyat Demokratik (PRD), pada pemilu kali ini sejumlah aktifis pergerakan pun berpartisipasi dalam pemilu dengan menggunakan label "caleg aktifis kerakyatan" dan berada dibawah bendera Partai Bintang Reformasi (PBR). Sementara itu, beberapa aktifis pergerakan juga maju memperebutkan kursi DPD.

Tantangan Berat

PEMILU 2009 merupakan pemilu dalam era demokrasi liberal yang semakin memapankan diri. Meskipun terkesan liberal atau "bebas", tetapi tidak semua orang dapat berpartisipasi dengan mudah dalam kontestasi ini. Begitu banyak hambatan; administratif, logistik, hingga tekanan politik. Meski demikian, hambatan ini dapat dilalui dengan berbesar hati dan penuh semangat. Ratusan caleg aktifis kerakyatan akhirnya terpasang pada Daftar Caleg Tetap (DCT) pada pemilu 2009, tentunya dengan melalui perjuangan berat.

Setelah terpastikan, para caleg aktifis mulai bergerak di dapil masing-masing. Kembali hambatan merintangi. Dengan duit yang tak pernah lebih dari seratus ribu di kantong, mereka dipaksa mobile dan berkeling ke daerah-daerah yang menjadi basis konstituen. Tak kenal menyerah, semangat juang pun dikobarkan. Dominggus Oktavianus, seorang caleg aktifis di NTT harus berteman dengan kambing dan sapi-sapi ketika menumpangi truk orang lain, supaya bisa menjangkau basis-basis rakyat miskin. Maklum, alat transfortasi umum di wilayah ini masih minim, kalaupun ada, itu perlu mengeluarkan ongkos yang lebih mahal.

Kondisi hampir sama juga dialami oleh caleg kerakyatan lainnya. Kultur politik Indonesia, yang sudah terbiasa dengan politik uang, juga jadi sering masalah. Tidak jarang caleg aktifis dimintai duit, logistik, dan semacamnya. "maaf, kami dari caleg aktifis. Kami tidak punya uang, kami hanya punya program bagi rakyat miskin, dan kami siap berjuang bersama-sama untuk mewujudkannya", demikian Dedi Fauzi menjawab pertanyaan warga.

Ada yang menarik, takkala para caleg aktifis membagi-bagikan selebaran, sticker, ataupun kartunama, tidak sedikit diantara rakyat yang keheranan. "Kok bisa yang bagi kartunama persis dengan wajah di photo kartunama yang dibagikan", demikian bisik-bisik rakyat. Seolah mendapat kesempatan, si caleg aktifis lansung menjelaskan panjang lebar mengenai program dan cita-cita perjuangannya. Banyak rakyat yang tersentuh. Ada pula akhirnya yang menjadi relawan pendukung caleg aktifis kerakyatan.

Secara umum, hambatan utama para aktifis pada medan parlementer adalah sebagai berikut; pertama, terjun pada arena politik seperti parlemen adalah merupakan pengalaman baru. Ini ibarat anak sholeh yang dipaksa hidup pada komunitas preman. Sistem politik di Indonesia, meskipun semakin memapankan corak berpolitik liberal (baca; demokrasi liberal), tetapi ikatan-ikatan politik tradisional (kekerabatan, kesukuan, kedaerahan, dll) masih juga terpakai.

Kedua, Kelesuan politik dan ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik juga tidak kecil. Gejala ini mengarah pada pragmatisme dan tindakan apolitis. Ini merupakan situasi yang terbentuk oleh pelembagaan demokrasi liberal yang perlahan-lahan menghapus partisipasi, juga karena kegagalan pemilu dalam mentransformasi perubahan, terutama kesejahteraan rakyat.

Ketiga, Keterbatasan logistik dan pendanaan. Para caleg aktifis ditantang untuk membuat bentuk-bentuk sosialisasi, bentuk-bentuk kampanye, dan media-media komunikasi yang murah dan bersifat massal.

Beberapa Kemajuan

Berhadapan dengan kesulitan, tentusaja tidak menurunkan semangat dan daya juang para caleg aktifis. Setiap persoalan harus dicarikan solusinya, dan setiap hambatan harus dicarikan jalan untuk melaluinya. Dalam beberapa kasus, para caleg aktifis sudah mendemonstrasikan hal-hal yang baru kepada rakyat, sekaligus memberikan sebuah pendidikan politik.

Di Palembang, caleg aktifis menggunakan media "mengamen" sebagai sarana sosialisasi dan berdiskusi dengan rakyat. Dari bus ke bus, para caleg aktifis menyebarkan selebaran, menyanyikan lagu perjuangan, serta mengajak penumpang berdiskusi mengenai situasi politik, pentingnya perjuangan politik, dan bagaimana rakyat terlibat dalam merubah keadaan.

Di Kendari, para caleg aktifis bahu-membahu dengan warga kampung Bugis, yang sudah puluhan tahun tidak pernah menikmati listrik. Para caleg aktifis tidak menjanjikan listrik, tetapi mengajak rakyat menggelar aksi massa ke kantor PLN wilayah Sultra. Sementara di Bali, para caleg aktifis memimpin para warga miskin kota mendapatkan kompor gratis.

Di Riau, para caleg aktifis bahu membahu dengan para Petani Suluk Bongkal dalam mempertahankan tanahnya dari kerakusan korporasi. Refresi dan penangkapan pun terjadi, tetapi tidak menyurutkan semangat para aktifis untuk berjuang membela para petani. Selain itu, mereka juga terbilang cukup aktif dalam mengadvokasi warga miskin, mengadvokasi pendidikan gratis, bahkan mempertahankan para pedagang pasar Kodim dari penggusuran.

Advokasi, aksi massa, bagi selebaran, merupakan metode utama yang dipergunakan para caleg aktifis. Bagi Benediktus Adu, cara ini efektif untuk menunjukkan kepada rakyat kredibilitas politik kita dan memperlihatkan kebusukan partai-partai borjuis. " Rakyat tidak butuh janji-janji, tapi mereka butuh yang konkret-konkret", ungkap Benediktus Adu.

Selain itu, metode lain yang dipergunakan para caleg aktifis adalah bagaimana mendatangi rakyat dan berdiskusi lansung dengan mereka. Di Medan, para aktifis melakukan aksi long march beratus-ratus kilometer. Di sini, mereka tidak sekedar membagi-bagikan selebaran, tetapi melakukan diskusi-diskusi dengan setiap warga desa yang dilaluinya. Hal serupa juga dilakukan di Temanggung dan Magelang, Jawa Tengah, dimana para caleg aktifis masuk ke kampung-kampung, ke desa-desa, ke ladang dan persawahan, hingga ke pabrik-pabrik, hanya untuk berdiskusi dengan rakyat.

Sebetulnya, masih begitu banyak metode lain yang dipergunakan caleg aktifis, tetapi pada intinya semua bermuara pada; politik kerakyatan.

Ada beberapa dampak politik dari keterlibatan caleg aktifis; pertama, meskipun tidak seluruhnya, hanya sebagian, tetapi kehadiran caleg aktifis telah memicu kembali gairah rakyat untuk berpolitik. Ketika para caleg aktifis mendatangi rakyat; rakyat menyampaikan sejumlah keluhan dan persoalan, mereka mendiskusikan pemecahan secara bersama-sama, merencanakan aksi menuntut, dan para aktifis terlibat dalam perjuangan dan aksi-aksi tersebut.

Di NTT, rakyat yang sudah hampir patah semangat, akhirnya kembali menemukan gairah politiknya setelah kedatangan para caleg aktifis. Di beberapa daerah, rakyat berpartisipasi menjadi relawan para caleg aktifis.

Kedua, Ketika kerangka politik Indonesia masih diwarnai politik uang, maka para aktifis menciptakan tradisi berpolitik yang baru, yakni diskusi politik, advokasi, aksi massa, dan penyadaran politik. Tradisi berpolitik yang baru ini, meskipun masih sangat kecil, tetapi telah menjadi pembelajaran politik yang penting bagi rakyat.

Ketiga, keterlibatan para caleg aktifis dalam arena pemilu, terutama pada saat kampanye pemilihan, telah memberi kesempatan untuk memperluas jangkauan kepada sektor-sektor rakyat yang selama ini belum tersentuh pengorganisiran. beberapa basis baru berhasil dibangun, dan tidak sedikit jumlah rakyat yang berhasil diwadahi dalam organisasi-organisasi.

Keempat, kampanye pemilu juga telah memberikan ruang bagi para caleg aktifis untuk berproganda secara luas. Berdikari online semakin regular dalam menyajikan berita. Di beberapa kesempatan, para caleg aktifis dapat memamfaatkan media nasional (TV, Koran, radio, media online, dll) maupun lokal, untuk mengkampanyekan program-program perjuangan anti-neoliberalisme. Beberapa wawancara khusus di stasiun TV juga dapat dipergunakan, sesuatu yang belum tentu bisa didapatkan diluar arena pemilu.

Kelima, kita juga aktif dalam mendorong pembentukan persatuan nasional, dengan platform kemandirian bangsa, tentunya dengan mengajak partai-partai dan individu yang segaris dengan platform kita. Persoalan belum berhasil tentu masalah lain. Kita aktif pula dalam memprotes ketidakberesan dan ketidakdemokratisan sistim pemilu itu sendiri; aksi memprotes DPT yang tidak fiktif, dll.

Dalam hal mobilisasi, kemampuan para caleg aktifis juga cukup membanggakan. Mobilisasi terendah adalah ratusan. Dengan massa ratusan, para caleg aktifis menggelar aksi-aksi bagi selebaran, biasanya. Sedangkan di Riau, mereka sanggup memobilisasi puluhan ribu orang. Tentu, ini memperlihatkan nilai kuantitatif dan kualitatif. Dengan jumlah mobilisasi ini, berarti ada capaian dalam perluasan struktur. Sedangkan secara kualitatif, hal ini menunjukkan peningkatan kesadaran massa untuk berpartisipasi secara sadar dan sukarela, tanpa berharap imbalan material. Sangat berbeda dengan partai-partai besar yang mengandalkan politik uang.

Kerisauan Yang Berbeda

Sejak awal, kami mengatakan bahwa arena pemilu hanya merupakan tambahan (atau perluasan) dari wilayah perjuangan sosial. Apa yang dipraktekkan pada wilayah elektoral, sepenuhnya tetap mengabdi kepada tujuan-tujuan gerakan. Tidak ada yang lain. Dari situ, kita berharap banyak bahwa praktik-praktik mengola kesempatan elektoral dapat memberikan keuntungan bagi perjuangan di masa mendatang. Apalagi jika para aktifis dapat mengakumulasi suara yang signifikan dan memperoleh beberapa kursi.

Tentunya, jika beberapa caleg aktifis berhasil memperoleh kursi, hal ini akan semakin menambah jangkaun para aktifis pergerakan dalam memperluas jangkauan perubahan; seorang caleg yang terpilih di parlemen dapat menggunakan posisinya, tentu dalam derajat tertentu, untuk memperjuangkan perbaikan kesejahteraan rakyat. selain itu, ini menghadirkan ruang untuk "pengeras suara" bagi persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat.

Perburuan kursi bukanlah tujuan utama. Maka sejak awal, kita memfokuskan pekerjaan politik kita pada bagaimana memanfaatkan arena pemilihan untuk mengkampanyekan program, memperluas struktur dan pendirian organisasi-organisasi rakyat, pendidikan politik, dan dan lain sebagainya. bagi kita, perolehan kursi merupakan hasil (result) dari kerja politik selama ini.

Ini pula yang membedakan rasa cemas caleg aktifis dan non-aktifis. Jadinya, keresahan caleg aktifis terletak pada sejauh mana kerja politik di tingkatan massa menentukan perolehan suara, sedangkan calon non-aktifis khawatir tidak terpilih (tidak mendapatkan kursi) padahal sudah mengeluarkan dana dan biaya politik yang terlalu besar.

Ulasan ini diambil dari Website Berdikari Online : http://papernas.org/berdikari/content/view/227/1/



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: April 2009