Perempuan Melawan Neoliberalisme

SKB EMPAT MENTERI: SOLUSI ATAU MASALAH BARU?

DITA INDAH SARI*

Krisis ekonomi global melahirkan berbagai tambahan beban bagi ekonomi dalam negeri, khususnya dunia usaha atau sektor riil. Sebenarnya, tanpa krisis jilid berapa pun, industri dalam negeri kita memang tidak memiliki pondasi yang solid. Jangankan menjadi tuan di negeri sendiri, untuk survive saja industri domestik kesulitan akibat besarnya ketergantungan pada impor serta berbagai problem akut lainnya.

Dengan tujuan mengurangi beban industri nasional, Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri menyangkut dasar penetapan upah minimum kemudian dikeluarkan. Jika dikaitkan dengan kepentingan memperkuat pondasi dunia usaha yang rapuh, SKB ini lebih tepat dianggap sebagai cara menyelesaikan masalah dengan masalah. Dengan mengupayakan agar kenaikan upah tidak lebih dari nilai pertumbuhan ekonomi (sesuai isi SKB tersebut), maka pemerintah memangkas daya beli kaum pekerja yang selama ini memang sudah menurun akibat kenaikan harga BBM dan barang-barang lain.

Dalam tempo 1-2 bulan ke depan anjloknya daya beli ini mungkin belum terasa. Namun, dengan kenaikan upah minimum hanya sekitar 6% (sesuai pertumbuhan ekonomi), kaum pekerja sudah jelas akan buru-buru memangkas biaya konsumsinya. Industri yang pertama kali bakal menuai dampak dari pengurangan upah ini adalah industri rokok, otomotif, elektronik, garmen dan ritel. Industri-industri tersebut merupakan sumber kebutuhan non primer yang lebih mungkin dikurangi konsumsinya, kalau perlu secara drastis. Industri makanan minuman sendiri akan terkena pula dampaknya dalam jangka menengah karena keluarga pekerja harus semakin selektif dalam mengonsumsi (baca : mengurangi) makanan, baik karena tekanan kebutuhan pendidikan dan kesehatan anak maupun agar dapat melakukan saving.

Koreksi-koreksi kebijakan ekonomi semacam ini tidak bisa diharapkan dapat “memelihara momentum pertumbuhan ekonomi” kita, sebagaimana bunyi judul SKB tersebut. Perspektifnya yang parsial dan jangka pendek akan menjadi seperti senjata makan tuan bagi industri nasional. Menganggap industri dalam negeri akan terdongkrak produktivitasnya dengan pengurangan upah (yang memang sudah rendah) adalah paradigma yang tidak manusiawi dan agak primitif.

Pasar Kerja yang Fleksibel


Labour market flexibility pun kemudian diundang masuk dengan dikuatkannya model bipartit sebagai mekanisme penentuan upah, dimana peran pemerintah dalam proses ini pun menghilang. Mekanisme ini sebetulnya sudah lama diusulkan oleh kalangan dunia usaha. Krisis global ini menjadi momentum dimana usulan tersebut didesakkan lagi.

Dalam situasi dimana 69% pekerja kita ada di sektor informal (mayoritas pertanian) serta tingkat pendidikan dan keahlian pekerja sangat rendah, bagaimana mungkin kita berharap daya tawar pekerja dalam sistem bipartit dapat setara/equal dengan pengusaha? Bagaimana mungkin mayoritas pekerja kita yang berpendidikan terbatas dapat bernegosiasi tentang hak-haknya secara efektif? Sebagai informasi, tingkat unionisasi (menjadi anggota serikat pekerja) di kalangan pekerja kita baru berkisar antara 8-10% dari total pekerja. Jika pemerintah lepas tangan dalam proses ini, lalu siapa yang akan menjaga 90% pekerja lainnya yang tidak memiliki wadah dalam memperoleh hak-haknya?

Melindungi Pekerja dan Industri Dalam Negeri

Industri dalam negeri yang kuat adalah kunci membangun ketahanan ekonomi kita. Sesungguhnya kita tidak kehabisan stok solusi untuk mengatasi krisis ini sekaligus melindungi industri dan pekerja. Kalau targetnya adalah untuk menghemat biaya produksi, penghapusan pajak ekspor yang telah dilakukan pemerintah merupakan solusi yang baik. Mengapa ini tidak diikuti dengan penurunan suku bunga, seperti yang telah dilakukan semua negara saat ini (kecuali Indonesia)? Daripada menghadang kenaikan upah, solusi ini jauh lebih signifikan untuk membantu industri dalam negeri (dalam jangka panjang), karena mengurangi biaya produksi investasi dan harga jual.

Mengapa tidak diikuti dengan menurunkan kenaikan harga BBM, yang selama ini telah membuat biaya operasional perusahaan membengkak? Kita berada dalam situasi yang emergency, sehingga langkah-langkah yang diambil pun harusnya merupakan sebuah terobosan yang berbeda dari situasi normal. Sebagai catatan, baru-baru ini negara jiran Malaysia telah mengurangi harga BBM nya 2,5 ringgit/liter. Harga minyak dunia yang turun seharusnya direspon secepatnya dengan menurunkan harga BBM domestic, secepat pemerintah menaikan harga BBM saat harga minyak meroket naik.

Melemahnya nilai tukar rupiah juga tidak perlu menjadi alasan agar upah pekerja dibatasi kenaikannya, khususnya bagi industry yang berbasis impor. Kewajiban pemerintahlah untuk mengatur dan membatasi secara ketat transaksi valas dan keluar masuknya dolar atau mata uang asing lainnya. Semua pembatasan ini tentu saja tidak berlaku bagi aktivitas dunia usaha.

Kalaupun pembatasan kenaikan upah tersebut tetap dirasa perlu diberlakukan, sebaiknya diterapkan hanya bagi pekerja dengan gaji di atas 5 juta/bulan. Kemampuan mereka untuk bertahan dalam situasi krisis ini jelas jauh lebih besar daripada para pekerja dengan upah minimum yang rata-rata kurang dari 1 juta/bulan. Para pekerja kerah putih ini (white collar workers) pun rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang relatif baik, sehingga dapat melakukan negosiasi yang lebih efektif dengan pihak perusahaan. Dengan catatan policy “diskriminasi” ini berlaku sementara dengan batas waktu yang jelas.

Melindungi kepentingan industry tanpa mengurangi hak-hak mendasar pekerja adalah sesuatu yang sangat mungkin untuk dilakukan saat ini. Jika hal ini tidak menjadi pegangan dalam menyusun kebijakan industry nasional, maka setiap langkah kebijakan ekonomi akan menempatkan kaum pekerja dan masyarakat miskin sebagai korban. Jika ini yang terjadi, maka kita pun sampai pada kesimpulan yang jelas : bahwa pemerintah ini bukan hanya dokter yang gagal, tapi juga melakukan malpraktek terhadap pasien-pasiennya yang mayoritas miskin.

*Aktifis Serikat Buruh, Caleg DPR RI PBR, Dapil Jateng V




Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: November 2008

Krisis dan Kontestasi Ideologi

Oleh : Dominggus Oktavianus

Diskusi ideologi kembali menemukan ruangnya sebagai upaya mencari cara pandang terbaik untuk benahi dunia dari kekacauan sistemik. Momentumnya adalah krisis finansial di Amerika Serikat yang merambat cepat bagai efek ledakan ke hampir seluruh negeri di Eropa, Amerika Latin dan Asia.

Sorak kemenangan pendukung kapitalisme yang masih sempat berdengung sejak berakhirnya perang dingin, sesaat menjadi senyap. Sebaliknya, dari kubu pendukung sosialisme, sayup-sayup terdengar beragam reaksi. Sebagian di antaranya, spontan sudah berseru, ”Kan, benar kata Karl Marx. Kapitalisme menggali liang kuburnya sendiri!”

Dalam situasi tersebut, wacana untuk mencari jalan lain turut hadir. Tetapi belum jelas benar, apakah jalan lain tersebut sama dengan Jalan Ketiga-nya Anthony Giddens, atau suatu versi baru yang lebih membumi atau lebih sesuai dengan konteks situasi negeri ini.

Pastinya, wacana ini diawali dengan premis, bahwa sosialisme hanyalah ”Khayalan tentang indahnya pemerataan”, dan senyatanya adalah ”Kemelaratan massal yang ditumpuk di bawah glamor yang dinikmati elite politik”. Sedangkan kapitalisme atau liberalisme telah kehilangan kehormatan, sejak ditelanjangi oleh (saya simpulkan) kesenjangan dan krisis. Jadi, yang dibutuhkan saat ini adalah kontestasi pemikiran genial yang tidak diikat fanatisme dua fundamentalis ideologi itu. Demikian diungkap ekonom Ahmad Erani Yustika dalam opini Harian Kompas (13/10).

Belum Selesai

Kenyataan sekarang, kedua ideologi tersebut sama-sama masih hidup dengan kesadaran manusia sebagai lapangan pertempurannya. Juga wilayah material bagi praktik kedua gagasan ini pun masih berjalan dinamis di berbagai negeri.

Ketelanjangan kapitalisme tidak sama dengan kematiannya, karena kuburan yang digali ternyata belum terisi sosok jasadnya. Ini fakta, bukan harapan. Sangat mungkin, dengan kekuatan hegemoninya, kapitalisme sanggup mengelak dari tudingan ideologis—bahwa krisis ini berakar pada produksi berlebih tanpa daya beli, sambil melempar kesalahan pada ”perilaku menyimpang individu” dan ”ketiadaan regulasi” sebagai biang kerok. Artinya, kapitalisme senantiasa berusaha menutupi auratnya dengan variasi gaya akumulasi yang katanya berbeda dari bentuk sebelumnya. Tidak pula tertutup kemungkinan, sebentar lagi akan ada pendukungnya balik mengklaim, bahwa kapitalisme telah berhasil keluar dari krisis.

Demikian sebaliknya, keburukan dan kegagalan sosialisme ala Eropa Timur memang belum hilang dari ingatan kolektif masyarakat dunia. Dampaknya, sikap phobi, skeptis, dan prasangka terhadap sosialisme Eropa Timur, telah tergeneralisir menjadi sikap terhadap gagasan sosialisme secara umum. Padahal, gagasan sosialisme tidak berwajah tunggal Eropa Timur, sehingga sebagai pisau analisa dan solusi strategis, gagasan ini belum pernah benar-benar dicampakkan.

Justru sekarang, kibaran bendera Sosialisme abad 21 yang diserukan Presiden Venezuela, Hugo Chavez, mulai mendapat sahutan dari negeri-negeri lain di Amerika Latin. Di sampingnya, sosialisme Kuba masih mengundang decak kagum banyak pakar pendidikan dan kesehatan dunia karena sejumlah prestasi yang ditorehnya; atau, gemerlap ”model Swedia”, yang seperti telah memasang pagar pembatas berupa program minimum sosialis dalam sistem ekonomi— yang prestasinya antara lain pernah mencatat pengangguran nol persen.

Karena itu, kontestasi antara dua ideologi tersebut untuk menemukan solusi terbaik dan diterima luas belum bisa dibilang selesai—apalagi lantas meminta keduanya keluar dari gelanggang. Momentum krisis sedang membukukan tambahan satu babak kemenangan bagi gagasan sosialisme dalam lebih dari dua abad sejarah kapitalisme. Kemenangan kongkret gagasan sosialisme kali ini adalah membesarnya tuntutan untuk memindahkan konsentrasi kapital dari tangan segelintir penguasa Wall Street ke tangan rakyat di seluruh dunia.

Wilayah Pencarian

Wacana menghadirkan jalan lain dapat dilihat sebagai upaya mencari kemerdekaan berpikir—sekaligus ketenangan batin, (meminjam analogi B. Herry Priyono) di antara riuh angin pendulum sejarah kapitalisme yang bergerak ke kiri dan ke kanan. Namun, saat ini dibutuhkan uraian konsep untuk menjawab masalah-masalah kongkrit dan strategis oleh setiap wacana yang muncul. Gagasan sosialisme dan kapitalisme mampu mengurai konsep, maka perang berselang perundingan antara kedua ideologi itu masih mengambil peran dominan.

Ideologi lahir dari dialog antara pikiran dan realitas yang tidak luput dari kerelatifan. Dengan demikian, fanatisme atas pemikiran fundamentalis—yang tidak kontekstual atau menjurus dogmatisme sudah keliru sebelum diungkapkan. Sekalipun demikian, tantangan untuk memunculkan pemikiran genial (apalagi yang bukan kiri dan bukan kanan), hendaknya tidak disertai prasangka dangkal terhadap gagasan yang ada.

Sebagaimana kita tahu, Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Amir Syarifuddin, dan para founding parents lainnya, telah merambah wilayah ide sosialisme untuk menemukan bahan-bahan pembangunan bangsa Indonesia. Bukankah saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi persoalan global yang serupa dengan situasi ketika Bung Hatta menerjemahkan Manifesto Partai Komunis (karya Karl Marx & Frederich Engles) ke dalam bahasa Indonesia? Bukankah krisis dan ketertindasan sebagai bangsa terjajah di bawah kapitalisme kolonial telah merajut kesatuan ideologi pro bangsa (nasionalis) dan pro rakyat (sosialis) di lapangan politik?

Mestinya, dalam menghadapi krisis sekarang, kita pun bisa merajutnya. Bisa dimulai dengan konsolidasi komitmen untuk memberikan jawaban kongkrit pada persoalan kemiskinan rakyat, kemandirian nasional, serta kebinekatunggalikaan bangsa. Lantas, bila pemikiran sosialis ternyata perlu diangkat kembali sebagai referensi untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut, pertanyaannya adalah; kenapa tidak?

Dominggus Oktavianus, aktivis sosial dan politik, kontributor Mediabersama.com



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: November 2008

Manu Chao, Globalisasi dan Persahabatan

Oleh : Dominggus Oktavianus

Pernah mendengar Manu Chao? kecuali di dunia berbahasa Inggris, ia disebut-sebut sebagai musisi paling populer atau super star, setidaknya untuk daratan Eropa, Afrika, dan Amerika Latin.

Lintas Batas

Seorang musisi revolusioner yang dilahirkan oleh zaman globalisasi neoliberal beserta segala dampaknya dalam periode persaingan bebas saat ini, dia adalah adalah Manu Chao. Dia dikenal sebagai pencampur musik yang bandel, pemberontak yang merakyat dan bintang yang menggotong sendiri tas pakaiannya tiap bepergian—kesederhanaan yang di kalangan bintang besar, konon hanya dijalani oleh Bob Marley dan Joe Strumer.

Manu Chao lahir di Paris, 21 Juni 1961 dengan nama Jose-Manuel Thomas Arthur Chao dari orang tua berkebangsaan Spanyol. Kedua orang tuanya melintas ke Prancis sebagai pengungsi politik, sejak kakeknya dijatuhi hukuman mati oleh diktator Franco. Manu kecil tumbuh di pinggiran kota Paris, yang dikelilingi para seniman, ilmuwan, dan kaum imigran. Ia bermain bola bersama anak-anak kelas pekerja di komunitasnya, dan bermusik dengan kawan kawannya.

Musik rekaman ia rintis pada awal 1980-an. Di tahun 1987, Manu bersama saudara dan beberapa kawannya membentuk sebuah band punk multiras, Mano Negra--yang dijuluki ”The Clash dari Prancis”. Band ini sempat mengeluarkan beberapa album dan terkenal, sebelum resmi bubar tahun 1995.

Sebelum bubar mereka sempat melakukan perjalanan ke Amerika Latin antara tahun 1992-1994, yang kemudian memberi pengaruh besar pada musik Manu Chao. Mereka melintas dari Eropa ke Amerika Selatan dengan kapal laut. Di sana Manu dan kawan-kawan berkampanye untuk perdamaian, menyikapi konflik domestik yang banyak terjadi di benua itu.


Di Kolombia, ia membeli sebuah kereta api tua untuk menjangkau pedalaman, berdialog dengan para gerilyawan, agar bisa pentas di desa-desa basis gerilya mereka. Pernah juga ia pentas di hadapan orang-orang yang semuanya membawa senjata api. Pengalaman ini turut mempengaruhi dan memperkuat pandangan politiknya yang sedari awal sudah anti diskriminasi dan penindasan.

Dalam perjalanan yang berlanjut ke beberapa negeri Afrika itu, ia menyimpulkan, kebudayaan rakyat di pedalaman negeri-negeri dunia ketiga tidak begitu akrab dengan hentakan musik rock. Sejak itu aransemen lagu Manu kental dengan campuran irama Latin, reggae, ska, salsa, dan musik Afrika, tanpa menghilangkan cita rasa punk dalam karyanya. Karena pencampuran itu, musik Manu sempat diberi label ”Musik Dunia” oleh Radio 3 BBC Inggris. Namun Manu menolak label tersebut karena dianggap sebagai kebiasaan neo-kolonial Inggris dan Amerika Serikat untuk menandai musisi dari luar dunia berbahasa Inggris (Anglo-Amerika).

Lagu-lagunya dinyanyikan dalam sejumlah bahasa, seperti Inggris, Prancis, Spanyol, Portugis, Italia, Arab, Galicia, dan Wolof (dari Afrika Barat). Tapi sebagian besar ditulis dalam bahasa Spanyol, bahasa yang pertama kali ia kenal. Debut album solo Manu Chao El Clandestino: Esperando La Ultima Ola (si Ilegal: Menanti Gelombang Terakhir) tahun 1998 terjual lebih dari 5 juta kopi. Album terbarunya La Radiolina (2007), bertahan dalam sepuluh besar album terpopuler di 15 negara. Suatu indikator yang menonjol di tengah kompetisi ribuan musisi yang menerbitkan ribuan album.

Skala Eropa dan Amerika Latin, Garth Cartwright, seorang penulis dan jurnalis lepas BBC berani membandingkan popularitas Manu Chao dengan The Beatles. Lebih banyak lagi yang membandingkan Manu dengan sang legendaris Bob Marley dalam hal popularitas, warna musik dan kesederhanaan hidup.

Mungkin sebuah perbandingan yang berlebihan, mungkin juga tidak. Tapi Manu sendiri mengungkap ketidaksenangannya terhadap perbandingan itu. ”Bob adalah Bob. Dia lah yang terbaik. Bob berada di divisi satu, sedangkan saya di divisi tiga. Bagi saya itu sudah cukup,” ujar dia dalam wawancaranya dengan Radio 3 BBC.

Politik

Mengenai tema politik yang melekat pada karya-karyanya, Manu berkomentar, ”Politik ada di mana-mana. Saat saya menulis lagu, saya selalu dipengaruhi oleh keadaan sekitar. Ke mana pun saya pergi di dunia, keadaan sekitar yang saya temui adalah politik.”

Banyak di antara lagunya bercerita tentang realitas penindasan. Rainin' in Paradise (Hujan di Nirwana), misalnya, mengkritik tajam pemerintah Amerika Serikat atas berbagai tragedi yang terjadi di Zaire, Kongo, Irak, Palestina, sampai di Kolombia. Demikian halnya lagu Clandestino (Bawah Tanah), La Primavera (Musim Semi), dan Politik Kills (Politik yang Membunuh), menggambarkan sikap politiknya.

Ada juga lagu berbahasa Arab berjudul Denia, tentang rasa prihatinannya atas nasib rakyat Aljazair. Kerap ia menempatkan pemerintahan Bush, beserta para politisi yang doyan menipu, sebagai musuh nomor wahid dalam orasinya di atas panggung konser. ”Anda tidak bisa melawan teror dengan teror, atau kekerasan dengan kekerasan. Kekerasan hanya bisa dilawan dengan menyediakan pendidikan, pangan, dan saling pengertian yang baik.”

Layaknya grup band Rage Against the Machine, Manu sumbangkan royalti penjualan albumnya kepada kelompok pejuang Zapatista di Mexico. Ia juga bersedia konser gratis di Genoa, di hadapan puluhan ribu massa aksi anti-globalisasi, atau pada acara Forum Sosial Dunia (WSF) di Porto Alegre.

Pada kesempatan lain, konser gratis diselenggarakan di Mexico City yang tanpa publikasi luas mampu mengumpulkan lebih dari 100.000 penonton. Konser ini sebagai bentuk dukungannya kepada para mahasiswa Mexico yang ditangkap saat aksi menentang kenaikan biaya kuliah. Satu lagi hal yang membuat sulit untuk tidak mengidektikkan Manu sebagai musisi aktivis adalah ia merupakan salah satu pendiri organisasi Anti Globalisasi Pajak Transaksi Keuangan untuk Membantu Warga Negara (ATTAC).

Penyanyi Sahabat

Tidak hanya tema besar seperti perang, imigran, dan globalisasi. Lagu-lagu Manu juga menggambarkan budaya sehari-hari kaum yang terpinggirkan. Seperti pada hits Minha Galera (Orang-orangku) yang berirama pelan, Manu Chao membangkitkan ingatan pada kampung halaman, pada kawan-kawan penggemar sepak bola, pada musik daerah, gubuk-gubuk, penjara, tarian flamengga dan capoera, pada minuman khas daerah, dan pada asap marijuana.

Cerita serupa diangkat dalam tembang Bienvenida A Tijuana (Selamat Datang di Tijuana). Pada lagu yang lain, ia tuturkan ketertindasan dan harapan masa depan para pelacur. Lagu berjudul Me Llaman Calle (Mereka Memanggilku Jalanan) ini diilhami kehidupan perempuan penghibur--yang kemudian menjadi sahabat-sahabatnya--sekitar kafe tongkrongannya di Barcelona. Majalah Time memasukkan Me Llaman Calle sebagai salah satu lagu terbaik tahun 2007.

Selain di studio dan panggung, Manu bersama bandnya Radio Bemba Soundsystem biasa bermusik dan bernyanyi di mana saja dengan media berkualitas apa saja--tanpa menuntut standar peralatan atau soundsystem. Kadang di kafe, di jalanan, atau bisa juga bertemu Manu di suatu pelosok desa, sedang bernyanyi di halaman rumah petani. Keakraban dan solidaritas tampak melekat pada karakter Manu yang selalu merendah terhadap sanjungan dan keberatan terhadap penyematan ikon atau pengkultusan.

“Saya bukan pemimpin atau “penyambung lidah rakyat” (voice of the voiceless).... Saya sadar memiliki tanggung jawab, yang mungkin dapat membantu orang lain. Saya bisa menjangkau mikrofon yang tidak bisa dijangkau banyak orang. Tapi saya juga punya tanggung jawab terhadap keadaan di sekeliling saya, karena saya penyanyi untuk tetangga saya. Di sana ada seorang lelaki yang pergi menyetir taxi, ada seorang yang menjadi buruh di pabrik, sementara saya adalah penyanyi,” katanya dalam wawancara itu.

Meski terus merendah, Manu Chao tidak menjadi rendah. Ia tetap dicintai oleh jutaan penggemarnya. Mungkin karena musik dan liriknya mewakili semangat kolektif masyarakat dunia di zaman kapitalisme neoliberal yang mengharapkan perubahan. Mungkin juga karena ia mewakili kehangatan seorang sahabat yang melintasi batas-batas negera demi menghibur dan memberi rasa optimis pada yang menderita dan tertindas.

Dominggus Oktavianus, aktivis sosial dan politik, kontributor Mediabersama.com




Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: November 2008

Memajukan Politik Perempuan dalam Pemilu 2009

Oleh: ULFA ILYAS


Pemilu sudah didepan mata. Hiruk pikuk partai-partai menggelar kampanye; baik dengan alat peraga maupun iklan, sudah dimulai. Ada 38 partai politik Nasional yang telah dinyatakan lolos verivikasi oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum), plus 6 partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai peserta pemilu 2009. Diantara 38 partai politik nasional tersebut ada 18 partai politik baru dan 20 partai politik lama pemilu 2004. Pemilu 2009 memiliki makna penting, selain karena merupakan pemilu ketiga paska reformasi, juga disebabkan oleh sinyalemen bahwa pemilu 2009 merupakan kesempatan terakhir bagi semua partai untuk berbakti kepada rakyat. Partai-partai menjadi begitu serius mempersiapkan diri, tidak terkecuali persiapan gerakan perempuan.

Berbagai isu soal kesiapan perempuan beradu kekuatan di pemilu pun dikedepankan. Selain mengemuka dengan isu kuota 30% perempuan di Parlemen, kepengurusan partai dan pencalegkan, perempuan juga begitu aktif mendirikan partai, bertarung dalam pilkada-pilkada (gubernur dan walikota), ataupun maju dalam pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Derap Langkah Perempuan

Di Aceh, beberapa kelompok perempuan, aktifis dan pekerja sosial mendirikan Partai Aliansi Rakyat Aceh Peduli Perempuan (PARA) yang begitu mengedepankan perempuan. Kendati tidak lolos verifikasi, tetapi gaung politiknya begitu memberikan warna baru dalam politik lokal di Aceh. PARA adalah partai pertama Aceh yang khusus mengusung masalah perempuan, bahkan pertama di Indonesia. Inisiatif mendirikan PARA tidak terlepas dari pengalaman bahwa perempuan susah diakomodir dalam partai-partai yang sudah ada.

Beberapa politisi perempuan di Parlemen begitu getol memperjuangkan “kuota 30% perempuan” di parlemen. Pansus RUU Pemilu Legislatif telah sepakat mencantumkan kuota 30 persen pada daftar calon legislatif (caleg). Bahkan ada usulan untuk menerapkan Zipper System, sistem selang-seling seperti gigi resleting. Mekanismenya adalah dalam setiap tiga caleg harus ada satu orang caleg perempuan. Metode ini banyak diterapkan di negara-negara eropa, terutama parlemen Swedia. Metode ini diperlukan guna memperbesar ruang bagi perempuan mengakses kehidupan politik karena selama ini partisipasi perempuan masih begitu rendah. Sebut saja di MPR, hanya ada 18 perempuan atau 9,2%, sedangkan laki-laki sebanyak 177. Di DPR, terdapat 45 (9%) anggota perempuan, sisanya 455 adalah laki-laki. Untuk MA hanya 7 orang perempuan (14,8%) dan 40 laki-laki.



Dalam panggung pilkada, perempuan terus menerus meramaikannya dan memperlihatkan sebuah keyakinan bahwa calon perempuan patut diperhitungkan. Dalam Pilkada Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa yang berpasangan dengan Mudjiono dan didukung partai-partai kecil, memberikan porsi khusus pada perempuan dalam setiap kampanyenya. Poppy Dharsono begitu bersemangat mendaftarkan diri di KPUD Jawa Tengah untuk menjadi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dengan diiringi pendukungnya yang mayoritas perempuan dan rakyat miskin. Ajang pilkada dan pencalonan DPD jelas-jelas tidak terlepas dari derap-langkah perempuan menyesaki panggung politik.


Perempuan dalam Pemilu 2009


Ronald Inglehart dan Pippa Norris dalam bukunya Rising Tide: Gender Equality & Cultural Around the World (2003) menyebutkan, bahwa ada 3 hambatan bagi perempuan dalam berpolitik, yakni; Pertama, hambatan struktural seperti pendidikan, pekerjaan, dan status sosial ekonomi perempuan. Kedua, hambatan institusional seperti sistem politik, tingkat demokrasi, dan sistem pemilu. Dan terakhir adalah hambatan kultural, yakni budaya politik, serta pandangan masyarakat terhadap kesetaraan gender. Perempuan merupakan kelompok sosial yang cukup signifkan secara kuantitatif. Menurut sensus Biro Pusat Politik (BPS) tahun 2000, jumlah perempuan di Indonesia adalah 101,6 juta jiwa atau 51% dari seluruh populasi.

Hambatan-hambatan ini harus diatasi. Beberapa taktik terobosan digencarkan, diantaranya dengan memperjuangkan “affirmative action” soal penerapan kuota dan porsi perempuan dalam partai politik, jabatan publik, dan parlemen. Tentunya affirmative action hanya merupakan salah satu taktik perjuangan, yang tidak terpisah dengan pekerjaan pengorganisasian, pendidikan politik, dan pengorganisasian produksi (guna memberi nilai tambah ekonomis).

Meskipun sudah ada affirmative action, akan tetapi bukan berarti perjalanan perempuan akan mulus. Kendala utamanya adalah; bagaimana perempuan bertarung memperebutkan dukungan ditengah tipikal mayoritas pemilih yang masih agak patriarkal? Tentu, hal tersebut membutuhkan strategi politik, yakni cara mengelolah isu dan metode kampanye agar menyentuh kebutuhan sosial rakyat. Selain itu, perwakilan perempuan yang kelak terpilih di parlemen harus mendemonstrasikan praktik politik yang berbeda (pro-rakyat) dengan praktek politik politikus sekarang ini.



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: November 2008

Presiden (Seharusnya) Tergelitik Film “Laskar Pelangi”

Oleh: Ulfa Ilyas

Setelah melejit dengan novelnya dalam menarik pembaca, kini giliran film “Laskar Pelangi” menarik dukungan dan apresiasi dari para penggemar film. Bagaimana tidak, sejak pertama-kali diputarkan di Bioskop, film “Laskar pelangi” telah menarik1,3 juta penonton. Berbeda dengan film-film Indonesia sebelumnya, yang menawarkan perselingkuhan, poligami, percintaan, kekerasan, dan horror, film laskar pelangi justru menonjolkan idealisme, nilai-nilai luhur, dan begitu banyak inspirasi. Pendeknya, film laskar pelangi sedang meraup sukses.

Di tengah-tengah badai krisis financial yang sedang berkecamuk di AS; ditengah kesulitan ekonomi yang melilit mayoritas rakyat, hingga berujung kematian; ditengah kemerosotan sistem pendidikan nasional akibat belenggu neoliberalisme, presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bersama dengan istri, anak dan sejumlah pejabat Negara, menyempatkan ikut menonton laskar pelangi di Auditorium I Blitz, Megaplex, Jakarta. Setelah selesai menonton film tersebut, presiden begitu antusias mengapresiasi film tersebut, tanpa sedikitpun ketersindiran, tanpa sedikit rasa malu, bahwa begitu banyak anak Indonesia berjuang sendiri merebut masa depannya hanya dengan mengandalkan diri-sendiri, tanpa keterlibatan Negara. Padahal, UUD 1945 dengan tegas menyebutkan, bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mencerdeskan kehidupan bangsa.


Laskar Pelangi adalah Miniatur Kecil

Laskar pelangi berhasil mengangkat potret pendidikan di sebuah daerah, bernama desa Gantong, Bangka Belitung. Di daerah yang kaya dengan tambang ini, dimana selama ratusan tahun kekayaan alam tersebut tak sedikitpun mengalir ke masyarakatnya, tercipta sebuah masyarakat pekerja keras, namun kurang beruntung. Kesuksesan orang-orang itu, seperti yang tergambar dalam film itu, adalah karena mereka memiliki semangat, ketekunan, tak kenal menyerah. Bukannya kekayaan alam melimpah yang menopang orang-orang disana menuju ke pintu sukses, tapi tekad dan semangat. Sesuatu yang begitu susah diketemukan ditengah kalangan menengah ke atas, terutama di Jakarta, yang mana anak-anak mereka menghabiskan waktunya di tengah “dunia konsumtifisme” masyarakat kapitalis.

Laskar pelangi hanya menggambarkan salah satu daerah di Indonesia, yang mana gambaran kota seperti Bangka Belitung ada banyak di Indonesia. Tidak usah jauh-jauh mencari di daerah lain, di kota Bekasi yang notabene dekat dengan pusat kekuasaan, masih ada sekolah yang kondisinya hampir serupa dengan film laskar pelangi. Artinya, presiden SBY tidak perlu menonton film hanya untuk menemukan “keharuan” soal muramnya sistem pendidikan nasional, tapi hal tersebut dapat ditemukan di seluruh bagian di negeri ini, bahkan di Jakarta.

Di Jakarta Timur, 127 gedung sekolah rusak berat. Di Kota Bekasi sedikitnya terdapat 80 gedung SD Negeri yang kondisinya sudah ringkih atau lapuk. Di Sumatra Utara, jumlahnya mencapai angka 37.879 gedung sekolah. Di Jambi, tepatnya di kabupaten Muara Jambi, dari 223 SD yang ada, 76 di antaranya rusak berat. Di Kalimantan Selatan terdapat 12.238 ruang kelas yang rusak, sebanyak 5.036 ruang kelas dalam kondisi rusak berat dan sebagian sudah tidak dapat dipergunakan. Sejauh ini, menurut catatan Kompas, jumlah bangunan SD di seluruh Indonesia yang mengalami kerusakan berat selama tahun 2003-2004 mencapai 883.750 ruang kelas atau 22,9 persen. Sementara untuk SLTP mencapai 196.178 ruang kelas atau 4,5 persen, serta untuk sekolah lanjutan tingkat atas mencapai 83.569 ruang kelas atau 1,4 persen.


Salah Tangkap atau Manipulasi


Akhirnya, setelah menonton film itu saya menemukan sebuah inspirasi kuat dari penciptanya, termasuk si penulis novel, untuk mengungkapkan sebuah fakta tentang pendidikan nasional dan keinginan kuat sejumlah anak-anak, terutama dari kalangan miskin, untuk mendapatkan pendidikan. Selain menciptakan kesedihan, ternyata film itu juga berkali-kali mendorong saya mengumpat-ngumpat, serta mengobarkan kemarahan kepada Negara sebagai pihak yang bertanggung-jawab atas hilangnya kesempatan anak hebat dan cerdas, seperti Lintang, dalam memperoleh pendidikan, karena masalah ekonomi.

Beda halnya dengan SBY, beliau justru tidak tergelitik sedikitpun atas film tersebut. Bahkan, presiden justru merendahkan ide dan tujuan penulis novel dan sutradara film, yang berkehendak membeberkan fakta sekaligus memberikan inspirasi baru, dengan hanya menilai aspek bahwa film tersebut begitu berkualitas. Film laskar pelangi jelas film berkualitas, tapi jangan melupakan pesan yang hendak disampaikannya.

Setidaknya untuk saya, bahwa film laskar pelangi telah mengungkapkan beberapa hal; pertama, sektor pendidikan sejak jaman kolonial hingga sekarang tidak pernah merdeka. Sektor pendidikan berjalan ditempat, tanpa sedikitpun perhatian dari pemerintah. Kedua, ide yang menyebutkan, bahwa pendidikan harus mahal jika mau mendapatkan kualitas adalah ide salah. Kualitas pendidikan ditentukan kondisi pengajaran yang demokratis, mengutamakan nilai-nilai luhur, dan keadilan sosial, bukan ide-ide pasar dan individualisme. Ketiga, kesenjangan pendidikan antara kota besar dan pedalaman terlampau jauh. Kesenjangan tersebut sengaja diciptakan oleh modal (capital), yang hanya mau berputar di sekolah-sekolah yang telah dikomersialisasikan.
Dan semoga penonton bisa lebih objektif dalam menafsirkan film ini!

*Penulis adalah Pemerhati FILM dan masalah-masalah social. Staff Dept. Kaderisasi dan Komunikasi Massa DPP- Papernas, Kontributor Mediabersama.com.



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: November 2008