Perempuan Melawan Neoliberalisme

Senapan Mesin Dan Meja Perundingan: Krisis Bolivia Dalam Amerika Selatan Yang Baru

Ben Dangl

Pada Senin, 15 September, Presiden Bolivia Evo Morales tiba di Santiago, Chile untuk menghadiri pertemuan darurat pemimpin Amerika Latin yang berkumpul untuk mencari resolusi dari konflik terbaru di Bolivia. Setibanya di sana, Morales berkata, "Saya datang kemari untuk menjelaskan kepada para presiden Amerika Selatan tentang kudeta sipil oleh beberapa gubernur di negara bagian Bolivia dalam beberapa hari belakangan ini. Ini adalah kudeta yang berlangsung selama beberapa hari dan dilakukan oleh pimpinan beberapa propinsi, dengan menduduki beberapa institusi, menghancurkan dan menjarah institusi pemerintahan dan percobaan menyerang polisi nasional dan angkatan bersenjata."

Morales tiba dari negeri asalnya, di mana asap masih terlihat akibat kekerasan selama seminggu yang dilakukan oleh pemerintah oposisi sayap-kanan yang membuat negeri tersebut lumpuh; setidaknya 30 orang tewas, dan berbagai tempat usaha, bangunan milik pemerintahan dan pembela hak assasi manusia dihancurkan. Dalam minggu yang sama, Morales menyatakan "persona non grata"* kepada duta besar AS untuk Bolivia Philip Goldberg, atas tuduhan "berkonspirasi melawan demokrasi" dan atas hubungannya dengan kaum oposisi Bolivia. Konflik baru-baru ini di Bolivia dan pertemuan para presiden yang menyusulnya mengangkat pertanyaan: Apa yang menyebabkan pergolakan ini? Kepada siapakah militer Bolivia berpihak? Dan apa yang dapat kita simpulkan dari krisis Bolivia dan reaksi wilayah tersebut terkait blok kekuasaan baru berupa negeri-negeri Amerika Selatan?

Pembantaian di Pando

Pada 11 September, di Pando, sebuah departemen di Bolivia yang beriklim tropis dan berbatasan dengan Brasil dan Peru, massa pro-Morales yang berjumlah sekitar seribu dan terdiri dari lelaki, perempuan dan anak-anak bergerak menuju Cobija, ibukota departemen tersebut, untuk memprotes gubernur sayap kanan Leopoldo Fernandez dan preman bayarannya yang mengambil alih kota dan bandar udara.

Menurut laporan pers dan saksi mata, ketika para demonstran sampai pada sebuah jembatan sekitar tujuh kilometer di luar kota Porvenir, mereka disergap oleh pembunuh bayaran yang dilatih oleh gubernur Fernandez. Penembak jitu (sniper) yang berlokasi di atas pohon menembaki para petani (campesinos) yang tak bersenjata. Shirley Segovia, seorang penduduk Porvenir memberikan kesaksian kepada Bolpress, "Kami dibunuh seperti babi, dengan senapan mesin, senapan tembak, senapan pemburu, dan pistol tangan. Para campesinos hanya membawa gigi, tongkat dan ketapel, mereka tidak membawa senapan. Setelah tembakan pertama, beberapa orang melarikan diri ke sungai Tahuamanu, tapi mereka dikejar dan ditembaki." Beberapa dilaporkan disiksa; berhari-hari kemudian jumlah korban tewas mencapai 30, dengan puluhan lainnya menderita luka-luka dan lebih dari seratus orang belum ditemukan. Roberto Tito, seorang petani yang berada di tempat konflik, berkata "Ini pembantaian terhadap petani, ini hal yang tidak bisa kita biarkan."

Pada tahun 2006, Fernandez, yang menyangkal berada di balik tindakan kekerasan tersebut, dikecam oleh Menteri Pemerintah saat itu Alicia Munoz yang mengatakan bahwa gubernur tersebut melatih setidaknya seratus anggota paramiliter sebagai suatu angkatan "perlindungan warga". Paramiliter ini diyakini terlibat dalam pembantaian. Fernandez adalah salah satu gubernur yang menjadi bagian dari Dewan Demokratik Nasional (CONALDE), sebuah organisasi yang melibatkan gubernur dari Santa Cruz, Beni, Pando, Tarija, dan Chuquisaca yang mengorganisir gerakan otonomi departemental untuk menentang pemerintahan Morales dan pendistribusian tanah dan kekayaan gas alam, dan kebijakan sosialistik lainnya yang dijalankan oleh kabinetnya.

Setelah pembantaian itu, Presiden Morales mengumumkan keadaan darurat di Pando, mengirimkan militer, dan pada 15 September dilaporkan telah tercapai situasi damai yang masih penuh ketegangan di wilayah tersebut. Morales juga memerintahkan penangkapan Fernandez yang melarikan diri ke luar perbatasan, memasuki pedalaman Brasil. [Kabar terbaru: Fernandez telah ditangkap dan dibawa ke ibukota Bolivia]

Pembantaian ini terjadi hanya beberapa minggu setelah pemungutan suara secara nasional pada 10 Agustus untuk menentukan keberlangsungan pemerintah yang berkuasa (recall): Ia memenangkan 67% suara di seluruh negeri, menunjukkan bahwa lawan-lawannya yang keras-kepala dan menggunakan kekerasan jelas-jelas merupakan minoritas. Di Pando, Morales memenangkan 53% suara, sebuah peningkatan sebesar 32% dari 21% suara yang diberikan penduduk Pando kepadanya saat pemilihan presiden pada 2005.

Beberapa perkembangan politik penting menyebabkan ketegangan yang meningkat di wilayah ini. Pada 28 Agustus, Morales mengeluarkan sebuah keputusan presiden untuk menggelar referendum konstitusi pada 7 Desember. Referendum ini akan diterapkan pada konstitusi yang telah ditulis kembali dan disahkan oleh majelis konstitusi pada Desember 2007. Pada 2 September tahun ini mahkamah elektoral menyatakan penolakannya terhadap referendum tersebut karena pertama-tama harus disahkan oleh Kongres sedangkan kaum oposisi mengontrol Senat. Perdebatan tersebut menghidupkan konflik yang telah ada, dan pimpinan oposisi mulai memblokir jalan-jalan utama dan merebut bandar udara di Cobija pada 5 September.

Beberapa hari menjelang pembantaian Pando pada 11 September terjadi protes-protes anti-pemerintah yang menghancurkan unit-unit usaha dan organisasi HAM di seluruh negeri. Pada 10 September, sebuah ledakan, yang menurut laporan didalangi oleh kelompok-kelompok oposisi, mengganggu aliran gas pipa dari Tarija, Bolivia, ke Brasil.

Dubes AS Diusir

Menyusul rangkaian peristiwa bergolak ini, Morales meminta agar dubes AS untuk Bolivia, Philip Goldberg, meninggalkan negeri itu. "Tanpa rasa takut terhadap siapa pun, tanpa rasa takut terhadap imperium, hari ini di hadapan Anda, di hadapan rakyat Bolivia, saya menyatakan duta besar Amerika Serikat sebagai persona non grata," kata Morales. "Duta besar Amerika Serikat berkonspirasi menentang demokrasi dan hendak memecah belah Bolivia."

Pengumuman tersebut dikeluarkan setelah pertemuan pribadi Goldberg dengan gubernur sayap kiri dari Santa Cruz pada 25 Agustus, dan kemudian kunjungannya ke gubernur oposisi dari Chuquisaca. Sepanjang masa Goldberg menjabat dubes, yang dimulai tahun 2006, pemerintahan Morales telah menuduhnya mendalangi pendanaan dan dukungan AS terhadap kelompok-kelompok oposisi di bagian timur negeri tersebut. [Lihat artikel The Progressive Magazine berjudul "Undermining Bolivia" untuk informasi lebih lanjut tentang upaya destabilisasi Bolivia oleh Washington.] Sebelum berkunjung ke Bolivia, Goldberg menjabat sebagai dubes di Kosovo dari tahun 2004-2006 dan konsulat di Kolombia. Dalam sebuah konferensi pers yang digelar Goldberg sebelum meninggalkan La Paz menuju AS, ia berkata: "Saya hendak menyatakan bahwa semua tuduhan terhadap saya, terhadap kedutaan besar ... terhadap negeri saya dan terhadap rakyat saya seluruhnya palsu dan tidak terbukti."

Menyusul pengusiran dubes AS dari Bolivia, presiden Venezuela Hugo Chavez mengumumkan bahwa dubes AS di negerinya harus angkat kaki: "Ia punya waktu 72 jam, sejak saat ini, dubes Yankee di Caracas, untuk angkat kaki dari Venezuela." AS merespon dengan meminta dubes Venezuela dan Bolivia untuk meninggalkan AS. Ini semua berlangsung saat bulan-bulan menegangkan dalam hubungan antara AS dan Amerika Latin di mana Angkatan Laut AS menghidupkan kembali Armada Keempatnya di perairan Karibia setelah puluhan tahun non-aktif. Chavez mengumumkan latihan bersama dengan Rusia di Karibia, dan Bolivia memperkuat hubungannya dengan Iran.

Pada 15 September di Santiago, Chile, sembilan presiden dari Uni Bangsa-Bangsa Amerika Latin (UNASUR), termasuk Argentina, Ekuador, Brasil, Venezuela, Kolombia, Chile - bahkan Kolombia, sekutu dekat AS - berkumpul untuk mencapai resolusi tentang krisis di Bolivia. Organisasi ini merupakan yang terbaru dalam serangkaian jaringan regional yang menghasilkan keputusan-keputusan ekonomi yang semakin kolaboratif di penjuru Amerika Selatan. Semua pimpinan yang hadir mendukung Morales, mengutuk taktik kekerasan kaum oposisi dan menekankan bahwa mereka tidak mengakui kaum separatis di negeri itu.

Aliansi Militer Bolivia

Walaupun ancaman "kudeta sipil" yang dijelaskan Morales di Santiago masih membayang-bayangi, militer Bolivia sepertinya tidak akan mendukung pemerintahan oposisi. Saya menanyakan Kathryn Ledebur, seorang spesialis dan direktur Andean Information Network di Cochabamba, Bolivia apakah militer akan berpihak pada oposisi untuk menggulingkan Morales. Ledebur berkata, "Tidak mungkin, mereka terikat erat, dan CONALDE mencoba untuk menjerumuskan Morales, mengadu domba antara dia dan militer. Tapi terlepas dari kefrustrasian mereka, mereka [militer] telah menerima lebih banyak hal secara material dan wacana positif dari pemerintahan Morales dibandingkan pemerintahan sipil lainnya, dan ini merupakan perbedaan yang besar."

"CONALDE telah dengan sengaja menciptakan situasi serba-salah bagi administrasi Morales, situasi yang menegangkan, provokatif, dan penuh kekerasan, dalam beberapa kasus menjadikan aparat keamanan sebagai target," jelas Ledebur. "Bila Morales memerintahkan represi, atau terjadi aksi kekerasan terang-terangan oleh aparat keamanan, maka legitimasinya sebagai presiden yang berkesadaran sosial akan terkikis. Tapi bila aparat keamanan tidak [bertindak], sebagaimana mereka angkat tangan untuk waktu yang lama, vandalisme akan meningkat, dan militer dan polisi akan dipermalukan dan diserang - yang dalam jangka panjang akan mengikis apa yang menjadi, setidaknya bagi angkatan bersenjata, pertemuan kepentingan yang saling menguntungkan, dengan berbagai friksi dalam perjalanannya.

Akhir Juni ini, Andean Information Network mengeluarkan sebuah laporan yang menganalisa perkembangan misi Angkatan Bersenjata Bolivia di negeri itu di bawah Morales. Menurut laporan itu, sebagian dari dukungan militer bersumber dari kenyataan bahwa Morales telah memberikan kepada militer pekerjaan-pekerjaan yang bersifat kerakyatan dan menguntungkan, seperti "menegakkan regulasi bea cukai dan menyita penyelundupan di perbatasan, termasuk wewenang untuk menahan para pelanggar." Laporan AIN menjelaskan bahwa "perwira militer tradisional mengharapkan penempatan di perbatasan yang merupakan "bagian paling menghasilkan keuntungan" dalam karir mereka." Sebagai tambahan, "di bawah pemerintah Morales, angkatan bersenjata bertugas untuk memanggang roti yang disubsidi (harga biasanya telah melonjak sebesar 270 persen dalam tahun sebelumnya), maupun membagikan bonus bagi anak sekolahan dan warga usia lanjut." Peningkatan upah di antara beberapa perwira dan persenjataan yang lebih baik juga menjaga kaum militer berada di pihak Morales.

Laporan AIN juga menyatakan bahwa institusi militer Bolivia "akan terus secara kategorik menolak inisiatif otonomi regional yang agresif atau ancaman pemisahan diri sebagai ancaman terhadap kedaulatan nasional maupun terhadap anggaran yang mereka terima dari pemerintah nasional." Sebagaimana seorang perwira tinggi menjelaskan ke AIN, "Satu-satunya hal yang akan membuat militer berpikir untuk melakukan kudeta, adalah bila mereka mengambil sebagian besar anggaran kami; pada intinya, kami ini sesungguhnya hanya sekelompok birokrat."

Pengaruh AS Dalam Merubah Amerika Latin

Krisis saat ini di Bolivia dan drama diplomatik yang berlangsung antara AS dan Amerika Latin banyak memberi gambaran tentang masa depan wilayah tersebut dan penanganan persoalan ekonomi dan politiknya secara kooperatif. Dalam sebuah wawancara via email, Raul Zibechi, seorang jurnalis Uruguay, profesor dan analis politik yang menulis secara reguler untuk Americas Program, mengatakan bahwa ia yakin bahwa pengusiran dubes AS dan respon para pimpinan wilayah tersebut terhadap konflik di Bolivia, "adalah manifestasi dari kenyataan bahwa AS tidak bisa lagi memaksakan kehendaknya di Amerika Latin, dan dengan sangat kongkrit di Amerika Selatan." Ia mengatakan bahwa terdapat dua alasan untuk perubahan ini: "lahirnya kekuatan regional yang hendak menjadi pemain global, seperti Brasil, sebuah kekuatan kapitalis tapi dengan kepentingan yang berbeda dari AS, dan keberadaan beberapa pemerintahan yang lahir dari tungku perlawanan gerakan sosial di negeri-negeri penghasil hidrokarbon besar, seperti di Venezuela, Bolivia dan mungkin Ekuador."

Zibechi menekankan peran penting Bolivia sebagai pemasok gas utama bagi Argentina dan Brasil, dan bagaimana ini berkontribusi terhadap dukungan yang didapatkan Morales dari bangsa-bangsa ini. "Brasil memiliki kepentingan yang besar di Bolivia dan telah mengumumkan bahwa ia tidak akan membiarkan destabilisasi negeri tersebut," jelas Zibechi. "Aliansi kunci di wilayah ini adalah antara Brasil dan Argentina. Mereka memiliki problem, tapi dalam topik ini mereka sangat bersatu."

Kembali ke Santiago, Chile, setelah enam jam pembicaraan antara sembilan presiden Amerika Selatan, kelompok UNASUR mengeluarkan pernyataan yang mengekspresikan "dukungan penuh dan kuat bagi pemerintah konstitusional Presiden Evo Morales, yang mandatnya diratifikasi oleh suara mayoritas yang besar." Dalam pernyataannya, para pimpinan tersebut "memperingatkan bahwa masing-masing pemerintah kami dengan sekuat tenaga menolak dan tidak akan mengakui situasi apa pun yang mengupayakan kudeta sipil dan perusakan tatanan institusional yang dapat mengkompromikan integritas teritorial Republik Bolivia." Mereka juga memutuskan untuk mengirimkan sebuah komisi ke Bolivia untuk menginvestigasi pembunuhan di Pando.

Walaupun mengupayakan penggulingan pemerintahan kiri sayangnya bukan hal baru di Amerika Selatan, kerjasama tingkat regional antara pemerintahan berhaluan kiri, tanpa kehadiran AS, adalah sesuatu yang baru. Sementara Morales dan pimpinan regional melangkah maju membangun kebijakan-kebijakan progresif, benua yang sedang berubah ini mungkin tidak akan lagi menoleh ke belakang - terlepas dari tantangan yang dikedepankan oleh kaum oposisi di Bolivia. Peta geopolitik belahan bumi ini sedang disusun kembali, sebagian besar oleh aliansi baru antara negeri-negeri Amerika Selatan, dan perlawanan wilayah tersebut yang semakin meningkat terhadap campur tangan ekonomi dan politik Washington.

Brasil sebagai kekuatan ekonomi dan pertanian merupakan bagian kunci dalam pembangkangan regional dan kemerdekaan baru ini. "Di Brasil, sayap kanan di parlemen sangat kencang mempertanyakan kehadiran Armada Keempat [Angkatan Laut AS] karena menurut mereka itu bertujuan untuk mengendalikan ladang minyak Brasil," jelas Zibechi. "Di Brasil, segala sesuatunya tidak hanya bergantung pada keberadaan Lula dalam pemerintahan. Brasil memiliki politik yang otonom yang melampaui persoalan siapa yang memimpin... Karena ini, kebijakan imperialist adalah untuk menggulingkan Chavez dan Evo sebelum terjadi perubahan yang mendalam di negeri-negeri ini sehingga tidak lagi tergantung pada siapa yang memimpin."

Di Bolivia, keadaan masih sangat bergantung pada apa yang terjadi di lapangan, di luar pertemuan presiden dan negosiasi. Kaum oposisi telah membuka blokade jalanannya untuk sementara waktu, dan perundingan antara pemerintah dan perwakilan kaum oposisi berlanjut. Sementara, banyak organisasi sosial dan serikat buruh Bolivia yang telah menyatakan dukungannya terhadap Morales dan melawan sayap kanan. Pada 15 September ribuan pekerja, keluarga dan mahasiswa menggelar aksi di La Paz, ibukota negeri itu, menentang pembantaian di Pando dan kekerasan kaum kanan. "Kami menentang pembantaian para petani (campesinos) yang terjadi di Pando," kata Edgar Patanta, pimpinan Pusat Buruh Regional, kepada ABI, "Kami tak akan mengijinkan terulangnya kembali aksi-aksi semacam ini. Kami akan mempertahankan demokrasi dan kehidupan sebagaimana telah kami lakukan sebelumnya."

--------------------

*Persona non grata adalah sebuah istilah diplomatik yang berasal dari bahasa Latin dengan terjemahan literal "Orang yang tidak disambut"

Benjamin Dangl adalah penulis buku The Price of Fire: Resource Wars and Social Movements in Bolivia (AK Press), dan kini editor dari TowardFreedom.com, sebuah perspektif progresif tentang periwtiwa dunia, dan UpsideDownWorld.org, sebuah website yang meliput aktivisme dan politik di Amerika Latina. Email: BenDangl(at)gmail.com


Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: September 2008

Lenin dan Ekonomi Pasar

Fuwa Tetsuzo

Ketua Komite Sentral Partai Komunis Jepang Fuwa Tetsuzo mengunjungi Republik Rakyat Tiongkok dari tanggal 26-30 Agustus atas undangan Partai Komunis Tiongkok. Di Peking, ia menggelar pertemuan tingkat tinggi dengan Sekretaris Jendral PKT Jiang Zemin (presiden Tiongkok) untuk mendiskusikan beragam isu-isu internasional dan memberikan kuliah tentang "Lenin dan Ekonomi Pasar" di Akademi Ilmu Sosial Tiongkok.

Kuliah oleh Fuwa Tetsuzo, Ketua Partai Komunis Jepang
27 Agustus 2002
Di Akademi Ilmu Sosial Tiongkok, Peking

Ketua Partai Komunis Jepang, Fuwa Tetsuzo, memberikan kuliah tentang "Lenin dan Ekonomi Pasar" di Akademi Ilmu Sosial Tiongkok, Peking. Berikut adalah terjemahan kuliah tersebut:

Selamat pagi semuanya. Saya Fuwa Tetsuzo. Ini adalah kuliah pertama yang saya berikan di luar Jepang. Adalah suatu kehormatan bagi saya untuk mengunjungi Akademi Ilmu Sosial Tiongkok dan berbicara di hadapan para peneliti dari berbagai bidang.

Saya akan berbicara tentang "Lenin dan Ekonomi Pasar." Saya memilih subyek ini karena itu berhubungan dengan Tiongkok dan Jepang dalam pengertian yang luas. Partai Komunis Tiongkok mengadopsi suatu kebijakan untuk mengembangkan sebuah "ekonomi pasar sosialis" dalam Kongresnya 10 tahun lalu. Tapi bahkan sebelum itu, Tiongkok telah mengangkat subyek tersebut secara praktis.

Dan kini Anda menempuh jalan menuju "sosialisme melalui ekonomi pasar."

Jepang berada di tengah-tengah ekonomi kapitalis. PKJ memandang bahwa upaya mencapai sosialisme di Jepang akan melalui tahapan. Kuliah yang akan kita ikuti adalah tentang "sosialisme melalui ekonomi pasar" atau "kombinasi antara ekonomi terencana dan ekonomi pasar."

Kita akan melihat perkembangan historik yang baru dan juga menghadapi problem-problem baru dari teori dan praktek sosialisme ilmiah.

Lenin adalah orang komunis pertama yang mengangkat persoalan ekonomi pasar dan sosialisme.

Dari tahun 1998 hingga 2001, saya terlibat dalam penelitian tentang "Lenin dan Kapital" dan menulis sekitar 40 artikel yang diterbitkan secara berseri dalam sebuah majalah selama periode tiga tahun. Ini merupakan suatu upaya mempelajari aktivitas teoretik Lenin dalam masa mudanya.

Satu persoalan teoretik yang dihadapinya dalam tiga tahun terakhir sebelum ia jatuh sakit pada 1923 adalah persoalan ekonomi pasar dan sosialisme.

Marx dan Engels adalah pendiri sosialisme ilmiah dan pendahulu besar kita, tapi mereka tidak pernah berkesempatan mengerjakan persoalan pembangunan sosialisme sebagai permasalahan praktek. Saya rasa mereka tidak pernah melakukan penelitian teoretik tentang persoalan hubungan ekonomi pasar dan sosialisme, bahkan tidak dari sudut pandang teoretik sekalipun.

Jadi Lenin adalah orang komunis pertama yang menghadapi tantangan ini. Ia harus menghadapi banyak kesulitan besar yang timbul selama masa penelitiannya dan bahkan mengalami pergeseran pandangan sebesar 180 derajat. Sebuah ulasan tentang upaya yang begitu keras oleh seorang pendahulu kita, saya pikir, akan mengajarkan kita pelajaran penting yang akan membantu kita mempelajari persoalan-persoalan saat ini.

Lenin menolak ekonomi pasar dalam tahap awal revolusi

Menengok kembali aktivitas Lenin, Anda akan menemukan bahwa tidak sedikit pun dalam benak Lenin terdapat sesuatu hal yang terkait dengan penggunaan ekonomi pasar menyusul kemenangan Revolusi Oktober, revolusi sosialis Rusia.

Ketika ia melibatkan diri dalam pembangunan ekonomi menyusul kemenangan revolusi, ia sungguh meyakini prinsip bahwa sosialisme dan ekonomi pasar tidaklah cocok satu sama lain. Sikap ini berkembang semakin kuat selama perang melawan intervensi asing dan kontra-revolusi.

Konsep Lenin tentang ekonomi komunis adalah tentang produksi industrial dalam pabrik-pabrik yang dijalankan negara dan panen gandum yang dilakukan petani, dengan seluruh surplus gandum diambil alih oleh otoritas pusat Soviet untuk didistribusikan kepada rakya. Cara ini diyakini akan dan memungkinkan pihak berwenang di Soviet untuk memberikan traktor, pupuk, dan kebutuhan lainnya kepada kaum tani, walaupun negeri tersebut mengalami kesulitan akibat perang. Dengan mengambil kebijakan ini, "ekonomi pasar" atau "perdagangan bebas" dipandang sebagai suatu simbol dari musuh terhadap pembangunan sosialis, suatu slogan kontra-revolusioner. Tugas terbesar partai Komunis adalah membuat rakyat, terutama kaum tani yang telah terbiasa dengan ekonomi pasar, meninggalkan kecenderungannya memilih ekonomi pasar.

Kebijakan ini kemudian disebut "perang komunisme," yang berlangsung hingga awal 1921.

Pengadopsian 'Kebijakan Ekonomi Baru' untuk melapangkan jalan bagi perbaikan hubungan dengan petani

Walau begitu, kebijakan ini menyebabkan antagonisme yang sukar untuk diselesaikan di lapangan. Para petani dalam batas tertentu siap menanggung kesulitan selama perang melawan kontra-revolusi dan intervensi luar, tapi ketika Soviet Rusia mengalahkan musuh-musuh ini dan menciptakan perdamaian, ketidakpuasan kaum tani meletus dan menyebabkan kerusuhan di beberapa daerah. Di Kronstadt, sebuah pelabuhan angkatan laut dekat Leningrad (ibukota saat itu dan dikenal sebagai benteng revolusi) bahkan para pelaut yang revolusioner pun memberontak. Dalam pemberontakan ini mereka menuntut "perdagangan bebas" atau "kebebasan untuk berdagang."

Lenin menanggapi situasi berbahaya ini dengan lebih serius dibandingkan pimpinan politik Soviet Rusia lainnya saat itu.

Persoalan utamanya adalah bagaimana memperbaiki hubungan pemerintahan sosialis dengan petani. Bagaimana mungkin membangun aliansi buruh-tani yang sangat dibutuhkan untuk melangkah maju menuju masyarakat baru? Pernyataan dan artikel Lenin selama periode ini menunjukkan dengan jelas bahwa ia bersusah payah menemukan jawabannya.

Ingat bahwa Lenin pun meyakini bahwa "ekonomi pasar" adalah sebuah slogan kontra-revolusioner, dan Anda akan memahami bahwa ia harus mengerahkan keberanian untuk membuat keputusan sulit menerima ekonomi pasar.

Kebijakan Ekonomi Baru (NEP - New Economic Policy) dimulai pada bulan Maret 1921. Ia sering kali disinggung sebagai sinonim dari penerimaan ekonomi pasar. Ini tidak betul. Walaupun Lenin mengajukan perubahan drastis, Lenin awalnya tidak dapat melangkah jauh untuk mengakui ekonomi pasar; ia mencari suatu reformasi yang tidak mengadopsi ekonomi pasar namun mengadopsi kebijakan "pertukaran hasil produksi" yang mengatur kaum tani untuk membarter jagung untuk barang-barang industrial dan produk lainnya dari perkotaan. Ini tidak memberikan hasil yang baik.

Setelah enam bulan masa pencarian-jiwa, pada bulan Oktober 1921, ia tiba pada kesimpulan bahwa mengadopsi ekonomi pasar adalah suatu keharusan.

Diumumkannya kesimpulannya ini, yang telah dikerjakan oleh Lenin setelah benar-benar bersusah payah, sangat menggemparkan partai.

Dokumen-dokumen dari konferensi Partai Komunis Rusia saat itu (laporan dan pidato penutupan oleh Lenin), yang termuat dalam Koleksi Karya Lenin menunjukkan dengan jelas betapa ekstensif pergolakan tersebut. Seorang anggota diskusi berkata, "Mereka tidak mengajarkan kami untuk berdagang saat di penjara." Seorang lainnya mengeluhkan bahwa kaum komunis tidak bisa terlibat dalam kerja-kerja perdagangan yang tidak menyenangkan. Dalam pidato penutupan, Lenin mengkritik pandangan-pandangan ini dengan mengatakan bahwa kaum revolusioner tidak memiliki alasan untuk menyerah pada frustasi dan keputus-asaan.

Menuju 'sosialisme' melalui ekonomi pasar

Demikianlah bagaimana Soviet Rusia mulai mempelajari ekonomi pasar. Pendeknya, diskusi tentang ekonomi pasar dipicu oleh kebijakan untuk memperbaiki hubungan pemerintah dengan petani setelah kemenangan revolusi.

Setelah Lenin membuat keputusan untuk mengambil jalan ini, walau demikian, ia segera mulai mengerjakan isu ini dengan lebih detail dan mengembangkannya menjadi suatu kebijakan utama yang akan menjadi penopang penting dari nasib Revolusi Rusia dan sosialisme, yaitu, jalan menuju "sosialisme melalui ekonomi pasar."

Dokumen-dokumen di saat itu menunjukkan bahwa jalan tersebut menandakan suatu perkembangan yang sangat mengesankan. Saya pikir kebijakan baru tersebut terdiri dari beberapa pilar.

Pertama, ia menekankan pembangunan dan pengembangan suatu struktur sosialistik yang tidak akan terkalahkan dalam kompetisinya dengan kapitalisme dalam ekonomi pasar. Lenin menggunakan kata Rusia "uklad" untuk apa yang saya gambarkan sebagai struktur. Sepertinya tidak ada istilah Bahasa Jepang atau Bahasa Tiongkok yang setara dengan "uklad."

Kedua, ekonomi pasar dalam kondisi tertentu akan memungkinkan kapitalisme swasta untuk muncul dan berkembang maupun bagi kapital asing untuk membuka jalan masuk. Ini juga menandakan perkembangan yang sangat penting.

Hingga saat itu, ekonomi pasar dipandang sebagai "musuh," alasannya karena itu akan membangkitkan kapitalisme bahkan di antara produsen komoditas kecil. Itu tidak dapat ditolerir oleh Revolusi Rusia.

Ketiga, kebijakan baru tersebut membutuhkan dijaganya unsur-unsur ekonomi yang menjadi kunci sebagai bagian dari struktur sosialis. Lenin menyebut unsur-unsur poros ini sebagai "komando dataran tinggi," sebuah istilah militer yang digunakan pada saat itu yang berarti bahwa dalam era ketika meriam merupakan senjata utama dalam perang, penempatannya di dataran tinggi dengan pandangan terbuka pada medan pertempuran sangatlah vital dalam memenangkan perang.

Dua tahun lalu, kami kedatangan seorang menteri IT dari Sri Lanka di antara tamu-tamu asing yang menghadiri Kongres PKJ. Saya sedikit terkejut ketika ia mengatakan bahwa mereka mencoba menguasai "komando dataran tinggi pada ekonomi."

Saya katakan, "Sudah bertahun-tahun saya tidak pernah dengar ungkapan itu." Kemudian ia memberitahu saya bahwa ia pernah belajar di Moskwa ketika ia masih muda.
Keempat, kebijakan baru tersebut mengharuskan Rusia untuk mempelajari segala sesuatu yang ditawarkan oleh kapitalisme maju agar struktur sosialis dapat meraih kekuasaan ekonomi.

Kelima, kebijakan baru juga mengacu pada kaum tani. Disebutkan di situ bahwa organisasi masa depan kaum petani dalam kesatuan-kesatuan koperasi tidak boleh dilaksanakan oleh perintah dari atas atau lewat paksaan; kesatuan koperasi harus diorganisir berdasarkan kehendak sukarela kaum tani.

Uni Soviet membatalkannya lima tahun kemudian setelah wafatnya Lenin


Pada bulan Maret 1923, 17 bulan setelah merampungkan rencana ini, Lenin jatuh sakit dan meninggal dunia pada bulan Januari 1924. Stalin naik ke kekuasaan setelah wafatnya Lenin. Sebagai pemimpin pemerintahan Soviet dan Partai Komunis, Stalin dari tahun 1929 hingga 1930 menjalankan apa yang disebut sebagai "kolektifisasi pertanian" sebagai upaya untuk mengumpulkan gandum secara paksa dari petani.

Awalnya, Kebijakan Ekonomi Baru (NEP) bertujuan memperbaiki hubungan pemerintah dengan kaum tani. Jadi kebijakan "kolektivisasi pertanian" yang bersifat dari atas-ke-bawah menandakan akhir dari NEP. Sejak saat itu, kebijakan mencapai "sosialisme melalui ekonomi pasar" tidak pernah kembali lagi di Uni Soviet.

Beberapa dekade kemudian, ketika Uni Soviet di bawah kepemimpinan Mikhail Gorbachev, "pengenalan ekonomi pasar" banyak didiskusikan. Tapi selama 60 tahun sebelumnya Uni Soviet telah sepenuhnya merubah diri. Perubahan substansial terjadi dalam sistem sosio-ekonomi Uni Soviet selama dan setelah era Stalin. Akibatnya, masyarakat Soviet telah menjadi suatu sistem yang mana sosialisme atau bahkan arah menuju sosialisme tidaklah eksis.

Tidak ada negeri yang menempuh jalan ini

Jadi saya pikir "sosialisme melalui ekonomi pasar," yang dicobakan oleh Tiongkok dan Vietnam adalah suatu strategi yang belum pernah dialami oleh negeri lain.

Dalam pidato saya pada pertemuan yang menandakan dirgahayu ke 80 dari PKJ pada bulan Juli lalu, saya berbicara tentang kekuatan motif yang mendorong dunia maju menuju abad ke 21. Dalam pidato itu saya mengutip apa yang sedang dicoba tempuh oleh Tiongkok. Berikut perkataan saya:

"Walaupun Uni Soviet sudah terhapus, proyek sosialisme yang diasosiasikan dengan Lenin tidak hilang. Ada negeri-negeri yang melaksanakan proyek-proyek sosialisme, termasuk Tiongkok, Vietnam, dan Kuba. 'Sosialisme melalui ekonomi pasar" yang ditempuh oleh negeri-negeri ini adalah tepat dengan apa yang Lenin usulkan namun dibuang oleh Stalin. Ini adalah jalan yang belum pernah ditempuh, jadi akan ada banyak kesulitan yang tak terduga di tengah jalan. Walau begitu saya tidak ragu bahwa hasil dari uji coba ini akan memberikan dampak yang besar terhadap arah yang akan ditempuh dunia dalam abad ke-21."

Apa yang harus dilakukan untuk mengarahkan jalan ini menuju sosialisme?

Karena ini merupakan isu yang begitu penting, akan ada variasi persoalan teoretik yang perlu dipelajari.

Ijinkan saya berkomentar terhadap dua hal.

Satu adalah persoalan tentang apa yang harus dilakukan untuk membuat jalan ekonomi pasar sukses sebagai jalan untuk mencapai sosialisme.

Dalam menganalisa seperti apa nantinya jalan "sosialisme melalui ekonomi pasar", Lenin menyatakan dengan detil bahwa ekonominya akan melibatkan kerjasama dan kompetisi antara berbagai sektor: sosialisme, kapitalisme negara, kapitalisme swasta, dan produksi komoditas kecil. Ia juga membuat banyak saran-saran orisinal tentang langkah-langkah yang dibutuhkan dalam mengambil jalan menuju sosialisme ini tanpa harus kembali ke kapitalisme. Saya pikir dalam dunia saat ini kita bisa belajar banyak dari hal-hal yang disarankan Lenin.

Lenin pertama-tama dan paling utama menekankan pentingnya penguatan sektor-sektor sosialis melalui kompetisi dalam pasar sehingga ia bisa cukup kuat untuk bisa kompetitif dengan kapitalisme dalam pasar. Dari sudut pandang ini, ia juga menekankan pentingnya belajar sebanyak-banyaknya dari kapitalis di dalam dan luar negeri.

Satu slogan yang dikedepankan Lenin adalah, "untuk menjadi pedagang yang baik, kita harus berdagang secara Eropa."

Ini rupanya menjadi slogan yang berat bagi mereka yang mengeluh, "Mereka tidak mengajarkan kami untuk berdagang di penjara." Lenin bermaksud mengatakan, "Tidak cukup hanya bisa berdagang; kau harus menjadi pebisnis yang lebih mahir daripada pebisnis Eropa."

Slogan lainnya yang diangkat Lenin adalah, "ujilah melalui kompetisi antara perusahaan negara dan perusahaan kapitalis."

Kita di sini harus mencatat bahwa seruan terhadap sektor sosialis untuk "mengalahkan kapitalisme" tidak dibatasi dalam keuntungan-keuntungan ekonomi seperti permasalahan produktifitas dan efisiensi ekonomi.

Lenin menuliskan sebuah artikel yang menyerukan agar jaminan keamanan dalam tempat kerja haruslah sama baiknya dengan yang terbaik dari kapitalisme. Dalam kata lain, slogan Lenin, "Kalahkan kapitalisme," menyertakan juga isu-isu seperti lingkungan hidup dan polusi. Idenya adalah bahwa sosialisme harus menunjukkan superioritas di segala bidang.

Kedua, terkait "komando dataran tinggi" yang memegang kunci bagi ekonomi suatu negeri. Negara harus memiliki kendali yang kuat dalam struktur sosialis agar struktur itu dijadikan arah dalam pengembangan ekonomi. Ketika Lenin mendiskusikan pentingnya "komando dataran tinggi," ia mengacu pada negara sosialis yang mengambil alih sebagian besar alat produksi dalam industri dan transportasi. Saya pikir ini adalah opini yang dipegang Lenin dalam situasi Rusia yang khusus dan waktu yang khusus. Jadi peran dari "komando dataran tinggi" adalah persoalan yang harus diteliti sesuai dengan kondisi historik negeri yang bersangkutan.

Ketiga, menyangkut pertahanan masyarakat dan ekonomi melawan fenomena negatif yang ditimbulkan ekonomi pasar.

Ekonomi pasar, yang anarkis dan kompetitif, adalah seperti hukum rimba, yang menjadi sumber dari lebih tidak amannya jaminan kerja, pengangguran, dan jurang penghasilan sosial. Pasar tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan kontradiksi-kontradiksi tersebut. Kontradiksi semacam itu hanya dapat dikendalikan melalui layanan kesejahteraan sosial dan kebijakan keamanan sosial lainnya.

Walaupun Lenin tidak memberikan komentar yang signifikan terhadap isu ini setelah diadopsinya NEP, saya hanya hendak menyinggung suatu episode historik yang menarik. Prinsip keamanan sosial yang pertama di dunia dinyatakan dalam suatu deklarasi yang dikeluarkan menyusul Revolusi Oktober oleh pemerintahan Soviet revolusioner. Prinsip-prinsip ini kemudian memberikan pengaruh besar dalam dunia kapitalis dalam arti mereka meletakkan fondasi bagi kendali sosial terhadap efek-efek negatif ekonomi pasar di bawah kapitalisme.

Saya harus menunjukkan bahwa sisi negatif ekonomi psar adalah ia mengangkat sifat tamak dan korupsi. Badan-badan publik diharuskan untuk secara teguh memegang prinsip-prinsip sosialisme, namun bila mereka terkontaminasi oleh beragam jenis korupsi, maka birokratisme dan otokrasi akan berkuasa. Menyadari permasalahan ini, Lenin berulang kali menekankan pentingnya pengawasan dan inspeksi kerakyatan sejalan dengan disiplin diri badan-badan publik. Maka, Lenin dalam tahun-tahun terakhirnya secara khusus menekankan perlunya meningkatkan tingkat budaya rakyat dan memungkinkan tiap individual untuk memenuhi tanggung jawab mereka.

Saya hendak memberikan sepatah kata lagi. Dalam dunia saat ini, isu utama kapitalisme adalah pilihan antara menerima ekonomi pasar sebagai obat penahan sakit atau menempatkan ekonomi pasar di bawah kendali sosial dan demokratik. Secara garis besar, kecenderungan yang memandang ekonomi pasar sebagai sang maha kuasa diwakili dengan jelas oleh administrasi AS Bush, dan seruan untuk kontrol demokratik terhadap ekonomi pasar terlihat manifes dalam banyak negeri-negeri Eropa. Isu ini melibatkan sejumlah isu-isu ekonomi global seperti perusakan lingkungan hidup, kesenjangan sosial dan kedaulatan ekonomi tiap negeri.

Saya yakin bahwa subyek penelitian penting di masa depan dalam konteks historik adalah untuk membuktikan bahwa negeri-negeri dan sistem-sistem ekonomi mereka yang memperjuangkan sosialisme melalui ekonomi pasar akan mendemonstrasikan superioritas dalam meningkatkan kemajuan sosial.

Akan seperti apakah ekonomi pasar di masa depan?

Hal lain yang hendak saya angkat sebagai subyek studi adalah sesuatu yang lebih teoretik dan menyangkut masa depan. Yakni mengenai nasib dari ekonomi pasar. Ketika kombinasi dari ekonomi terencana dan ekonomi pasar dengan sukses mencapai tujuan sosialisme, akankah ekonomi pasar lenyap atau bertahan?

Saya menyinggung aspek-aspek negatif dari ekonomi pasar, tapi penelitian terhadap ekonomi pasar dari perspektif yang baru saya singgung tadi akan memperjelas bahwa ekonomi pasar memiliki beberapa efek ekonomi penting yang tak dapat digantikan oleh mekanisme atau metode lainnya.

Ambillah contoh fungsi ekonomi pasar dalam menyesuaikan permintaan dan persediaan.
Anda mungkin bisa mengestimasi permintaan sepatu dalam sebuah negeri tanpa harus menggunakan mekanisme pasar. Tapi, kalau sudah mengenai permintaan terhadap tipe atau warna sepatu tertentu, Anda akan diharuskan mengandalkan mekanisme pasar dalam masa yang masih jauh ke depan, bahkan bila Anda menggunakan komputer dengan kinerja tinggi

Begitupun juga, penentuan pasar berguna dalam menilai atau membandingkan produktivitas kerja atau kinerja perusahaan.

Untuk membahas persoalan, "berapa banyak nilai yang diciptakan oleh buruh terampil dibandingkan buruh tak-terampil?", Marx mengatakan bahwa itu diukur oleh mekanisme pasar. Dalam perkataan Marx, nilai semacam itu ditentukan oleh "proses sosial" di belakang produsen. Yang dimaksudkannya adalah bahwa terdapat aspek ini dalam mekanisme pasar.

Sangat berguna untuk menyadari bahwa ekonomi terencana gaya-Soviet berubah menjadi kegagalan total menyangkut hal ini, sebagaimana terlihat jelas dalam laporan yang diberikan Khruschev selama tahun 1950an dan 1960an pada pertemuan Komite Sentral PKUS.

Dalam satu kesempatan, ia menyatakan bahwa di Uni Soviet capaian aktivitas produktif diukur berdasarkan berat produk; memproduksi lampu yang lebih berat dievaluasi sebagai kinerja yang lebih baik; lampu yang lebih berat dapat meningkatkan pendapatan perusahaan, tapi bagi siapa?"

Dalam kesempatan lain ia berkata: "Kenapa perabotan (furniture) buatan Uni Soviet sangat tidak populer? Itu karena pabrik-pabriknya memproduksi produk-produk yang berat. Perabotan buatan luar negeri lebih ringan dan mudah digunakan. Di negeri kita, capaian produksi sebagian besar mesin diukur berdasarkan berat produksi.

Digunakanlah besi yang jumlahnya dua kali lebih besar daripada yang dibutuhkan oleh platform mesin yang digunakan; dengan begitu memungkinkan pabrik-pabrik untuk mencapai target, tapi mereka hanya memproduksi produk yang tak dapat digunakan. Kita perlu mendirikan suatu standar ukuran baru bagi tingkat capaian pabrik."

Begitulah tingkat studi standar di Uni Soviet dalam mengevaluasi hasil-hasil ekonomi selama 30 tahun setelah meninggalkan ekonomi pasar.

Kami punya pengalaman menarik terkait isu ini.

Setelah usainya agresi perang AS melawan Vietnam dan perdamaian didirikan kembali di sana, kami mengirimkan sebuah delegasi ke Vietnam untuk mempelajari ekonomi Vietnam dan memberikan saran-saran bagi rekonstruksi ekonomi.

Delegasi tersebut mengunjungi distrik pertanian. Sebagaimana Anda tahu, mereka membudidayakan padi di sawah. Untuk membantu mekanisasi pertanian Vietnam, Uni Soviet telah mengirimkan mesin penanam beras ke Vietnam. Karena merupakan produk ekonomi terencana gaya-Soviet, alat-alat itu sangatlah berat, begitu berat sehingga mereka tenggelam dalam lumpur sawah. Orang-orang Vietnam merasa wajib menggunakan hadiah itu, dan memutuskan untuk menggunakannya dengan meletakkan dua perahu di kedua sisi mesin untuk mencegah tenggelamnya mesin penanam tersebut. Mereka dapat menanam bibit padi tanpa masalah, tapi dua perahu yang digunakan itu menghimpit bibit padi yang baru ditanam. Mereka akhirnya memutuskan untuk berhenti menggunakan mesin tersebut.

Contoh ini menunjukkan betapa susahnya menemukan substitusi terhadap ekonomi pasar sebagai suatu sistem untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi aktivitas ekonomi.

Persoalan ini tidak ada dalam benak Marx. Dalam Kapital, Marx menyatakan bahwa konsep nilai berlaku dalam masyarakat komunis. Namun, kita tak bisa pula menggunakan komentar ini untuk berspekulasi bahwa ia berpikiran bahwa ekonomi pasar akan terus berlaku. Bila konsep nilai masih valid, adalah penting untuk memikirkan apakah mungkin konsep nilai bertahan tanpa ekonomi pasar.

Agar konsep nilai menjadi valid dalam masyarakat komunis, harus ada semacam mekanisme untuk mengukur "nilai" kerja dalam posisinya dalam "proses sosial" yang beroperasi di belakang produsen, yakni "ekonomi pasar."

Saya yakin bahwa ini melibatkan persoalan-persoalan teoretik yang belum terpecahkan dalam bidang ini. Ini adalah persoalan yang hanya dapat dituntaskan seiring berlalunya waktu dan terakumulasinya pengalaman praktek di seluruh dunia.

Marx mendasarkan teori sosialisme dan komunismenya dalam kritik ilmiah terhadap masyarakat kapitalis dan menunjukkan bahwa masyarakat kapitalis akan digantikan oleh suatu bentuk masyarakat lainnya sebagai keharusan sejarah. Dalam melakukan itu, Marx menolak tiap upaya untuk menggambar cetak biru mendetil tentang masyarakat masa depan dan lebih membatasi proyeknya untuk menarik keumuman terkait bagaimana masyarakat menciptakan kemajuan. Inilah yang dibahas dalam teori sosialisme dan komunisme. Marx bersikeras mempertahankan pandangan umumnya bahwa persoalan ini harus dielaborasikan oleh generasi masa depan seiring mereka menjalankan aktivitas praktek yang akan mereka akumulasi dan pelajari dari berbagai pengalaman. Lenin menyukai cara pemikiran Marx tersebut dan berkata, "Marx maupun pimpinan revolusi sosialis di masa setelahnya tidak mengkhususkan diri terhadap permasalahan tentang bentuk, cara dan alat dalam menciptakan revolusi."

Saya pikir kita harus camkan bahwa kita adalah protagonis dalam upaya menciptakan masyarakat baru.

Jalan ini memiliki sifat universal.

Sebelum menutup kuliah saya, saya hendak menekankan bahwa "sosialisme melalui ekonomi pasar" tidak sedikit pun terlintas dalam benak Marx; itu lahir dari kebutuhan di lapangan. Saya katakan tadi bahwa ini adalah suatu "tantangan historik baru." Ini juga merupakan tantangan teoretik.

Secara umum, jalan ini menunjukkan sifat universalnya. Tidak ada seorang pun yang meragukan bahwa negeri-negeri kapitalis seperti Jepang akan menghadapi isu-isu serupa di masa depan. Ketika pemerintah yang berjuang untuk mencapai sosialisme dalam negeri-negeri ini dan mulai membuat kemajuan terhadap tujuan itu, mereka akan menciptakan sektor sosialis dalam ekonomi pasar. Rasionalitas dan superioritas sektor sosialis akan diuji dalam ekonomi pasar dan akan meningkat peran penting dan keefektivannya. Proses dan bentuk kemajuannya akan berbeda dari satu negeri ke negeri lainnya. Walau demikian, jalan dasar "melalui ekonomi pasar untuk sosialisme" akan meluas di banyak negeri.

Saya akan dengan seksama mengikuti upaya dan pengalaman Anda saat ini. Bisa saja terjadi zigzag, sukses, dan kegagalan. Saya akan terus mempelajari apa yang Anda kerjakan seiring dengan masyarakat Jepang pada masa depan yang kami bayangkan. Terimakasih atas perhatian Anda.
-------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diambil dari http://www.jcp.or.jp/english/jps_weekly/2002-0827-fuwa.html
Diterjemahkan oleh NEFOS.org



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: September 2008

Menyikapi Janji Politisi

Rudi Hartono

PERHELATAN Pemilu 2009 bukan saja akan diramaikan dengan banyaknya parpol yang bertarung, tetapi juga dengan janji-janji politik yang siap dimuntahkan para politisi dan partainya. Tentu tidak menjadi masalah, seandainya janji-janji politik itu dapat diaplikasikan dalam praktek politik kemudian. Akan tetapi, masalah seringkali terjadi ketidaksesuaian antara janji-janji kampanye dengan prakteknya.
Dalam Pemilu 2009, sudah seharusnya politisi dan partai bersikap lebihwaspada. Beberapa sinyalemen menunjukkan kemerosotan kepercayaan rakyat terhadap partai dan politisi, terutama di kalangan pemilih berusia muda. Hal itu begitu nyata dari pengalaman Golput yang jumlahnya cukup signifikan di berbagai pilkada di daerah.

Keruwetan problem yang menjerat bangsa ini, demikian pula merajalelanya ketidakpuasan rakyat terhadap situasi ekonomi dan politik sekarang, menuntut partai untuk tak hanya memberikan janji-janji politik. Sebab, seringkali janji-janji tersebut begitu luhur, sehingga tidak sebanding dengan kenyataan partainya.
Di sinilah letak masalanya. Bukannya janji-janji politik tersebut memberikan perubahan nyata, malahan menjadi mimpi-mimpi membosankan bagi rakyat miskin, karena tak pernah teruji prakteknya.
Ketika problem kemandirian nasional terungkap menjadi masalah pokok ketahanan nasional, termasuk ketahanan di bidang ekonomi, beberapa partai-politik berlomba-lomba unjuk kekuatan sebagai kekuatan yang paling pro-kemandirian. Ketika kemiskinan menjadi problem paling mendasar dan menjadi kesulitan terbesar lebih dari separuh rakyat negeri ini, beberapa partai mendemonstrasikan retorika antikemiskinan, layaknya iklan produk komersila di layar TV.
Hal ini menjadi masalah pula dalam pilkada di beberapa daerah. Ketika isu pendidikan dan kesehatan gratis berhasil memupuk suara pemilih, maka berlomba-lombalah para calon kepala daerah memprogramkan pendidikan dan kesehatan gratis. Masalah serius muncul ketika politisi berhasil merebut tampuk kekuasaan, janji pendidikan dan gratis malah tidak diimplementasikan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan keleluasaan partai dan politisi mengumbar janji, termasuk kemudahan berganti baju dan posisi politik. Pertama, ketiadaan atau kekosongan ideologi dalam tradisi partai politik di Indonesia. Sehingga partai tak memiliki pijakan dan arah yang menuntun langkah politik para politisi dan partai dalam memenuhi cita-cita kolektif rakyat.
Satu-satunya faktor pembimbingnya adalah kekuasaan. Dengan kekuasaan, seorang politisi akan dengan mudah merealisasikan tujuan-tujuan pribadinya: mengumpulkan harta, status dan keistimewaan sosial, kepuasan seksual, dan lain sebagainya.
Kedua, tipe demokrasi di Indonesia yang belum melahirkan instrumen kekuasaan rakyat – yang memungkinkan kontrol terhadap janji-janji politik elit politisi – belum ada.
Ketiga, kebudayaan sebagai faktor pembentuk mental masih dipengaruhi oleh feodalisme (patron-klien, primordialism, patronase), sehingga cenderung memaafkan kesalahan-kesalahan elit dan politisi.
Beberapa kelompok masyarakat, terutama gerakan sosial dan mahasiswa, mulai menyodorkan model-model kontrak politik dan kesepakatan dalam bentuk MoU dengan calon legislator ataupun partai politik. Meskipun demikian, cara-cara semacam itu masih tak sanggup menekan penguasa, politisi, dan partai memenuhi janjinya ketika berkuasa.
Penyebabnya, kontrak politik terkadang dibuat sepihak, tertutup, dan tak diketahui oleh massa luas. Sehingga faktor mobilisasi massa, baik pada saat pembuatan kesepakatan politik maupun pada saat penagihan, menjadi faktor yang cukup penting.
Selain itu, harus diupayakan pembangunan institusi kekuasaan dari bawah, yang memungkinkan rakyat memberikan kontrol terhadap kekuasaan. Model-model demokrasi partisipatif, atau bentuk-bentuk pengorganisasi komunitas akan menjadi instrumen kekuasaan dari bawah.
Jika politisi dan partai yang membangun kekuasaan tidak tanggap terhadap tuntutan dari bawah, terutama menyoal janji-janji politiknya, maka kekuasaan politisi dan partai yang berada pada krisis legitimasi, dan akan terus membusuk. Kekuasaan tidak akan efektif berjalan tanpa dukungan rakyat luas.
Gerakan sosial-radikal, partai-partai politik kerakyatan, serikat buruh, dan organisasi-organisa si komunitas, yang memiliki pijakan ideologi yang lebih jelas, harus memikirkan cara-cara mengambil peran besar dalam sistem politik sekarang. Eksistensi kelompok ini akan menjadi pengelompokan ideologis yang akan mewarnai politik dan menggusur tradisi lama secara perlahan.
Karena cukup penting bagi organisasi-organisasi tersebut, sebelum berbicara kekuasaan, harus memupuk dukungan dari seluruh sektor rakyat, golongan, dan lapisan social, terutama kelas menengah dan bawah.
Penulis adalah Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS) Jakarta

Artikel ini diambil di : http://pemilu.inilah.com



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: September 2008

Pengusaha, Industri Nasional, dan Hak Angket

Oleh: RUDI HARTONO dan ULFA ILYAS

A nation agains its own principle will never stand.
(Sebuah bangsa yang melawan prinsipnya sendiri tidak akan mampu bertahan)
….Bung Karno, Presiden RI

Kenaikan harga BBM telah melahirkan banyak masalah. Tidak terkecuali sektor perekonomian rakyat miskin, tetapi industri nasional pun kena imbas dari kebijakan tersebut. Seperti yang kita ketahui, sektor industri merupakan tempat bergantungnya hidup pekerja dan pengusaha (majikan). Jika terjadi kelesuan terhadap sektor ini, maka imbasnya bisa merambat luas, hingga pada fundamental ekonomi Indonesia. maka kita patut berbangga dengan adanya geliat penguasaha nasional yang berupaya membangun dan memperkuat industri dalam negeri.

Problemnya adalah ketahanan energi. Pemerintah Indonesia sama sekali tidak punya rumusan tentang ketahanan energi nasional dan langkah-langkah antisipasi terhadap gejolak krisis energi yang melanda dunia. Hal ini begitu mengecewakan, mengingat Indonesia adalah negara penghasil minyak dunia dan bergabung dengan OPEC sejak tahun 1962. Indonesia yang kaya raya ini memiliki 60 cekungan minyak dan gas bumi (basin), dimana baru 36 yang telah dieksplorasi; dalam cekungan itu terdapat 77 milyar barel minyak bumi dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Potensi cadangan migas Indonesia sebenarnya pun cukup besar; ada 9.67 milyar barel minyak dan 156,92 TCF gas. Dengan kenyataan itu, rasanya mustahil jikalau Industri nasional menderita akibat pasokan energi yang susah diakses. Kenaikan harga BBM telah memukul Industri nasional disamping pukulan lain, seperti penyelundupan, pungutan liar, tidak adanya proteksi Industri dasar/strategis, lemahnya dukungan permodalan, dan lain-lain.

Pengaruh Kenaikan harga BBM terhadap sektor Industri
Pengaruh kenaikan harga BBM terhadap sektor industri tak ditutupi oleh pemerintah. Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan, departemen yang dipimpinnya telah melakukan revisi terhadap target pertumbuhan sektor industri, dari 6% pada 2008 menjadi 5%. Revisi pertumbuhan sektor industri juga disampaikan International Standard Industrial Classification of all Economic Activities. Menurut ISIC, industri makanan, minuman, dan tembakau yang proyeksi 2008 sekitar 5,27% direvisi menjadi 3,18%. Tekstil, barang kulit, dan alas kaki semula diproyeksikan 0,33% menjadi -2,30%, barang kayu dan hasil hutan tetap -0,06, kertas dan barang cetakan dari 5,88% menjadi 3.90%, pupuk dan barang dari karet semula 5,99% menjadi 1,15%. Sementara untuk semen dan bahan galian non-logam dari 3,90 menjadi -1,50%. Untuk industri logam dasar, besi, dan baja semula 1,92% menjadi 3,10%, dan industri barang lainnya semula 0,99% menjadi -3%.

Kenaikan harga menyerang Industri dari berbagai sisi; pertama, menaikkan biaya produksi untuk pengadaan bahan baku, biaya transfortasi dan distribusi, dan biaya-biaya lainnya yang menyangkut keberlangsungan produksi. Kedua, jatuhnya daya beli rakyat, tidak ada kesesuaian antara penerimaan dalam bentuk upah real dengan kenaikan harga-harga barang. Kejatuhan daya beli konsumen akan mendorong market menjadi lesu terhadap pada kapasitas terpasang produksi manufaktur. Bersamaan dengan itu, komponen upah merupakan hal yang susah untuk diutak-atik, karena posisi upah sekarang benar-benar sudah pada batas paling minimum dan tidak berbanding lurus dengan gejolak kenaikan harga kebutuhan pokok.

Hak Angket dan Policy Energi Pemerintah
Hak angket telah menebar harapan, yang bukan saja kepada pihak yang tidak menghendaki kenaikan harga BBM, tetapi juga kepada seluruh pihak yang menghendaki “buka-bukaan” soal kebijakan energi pemerintahan sekarang. Penguasaan asing terhadap sektor migas Indonesia telah menyempitkan akses pengusaha nasional dan industri dalam negeri terhadap cadangan energi murah. Hal itu menjadi penting, mengingat industri didalam negeri barulah pada taraf pengembangan, belum bisa dipersaingkan dengan kapasitas dan kesanggupan industri yang dimiliki oleh negara-negara maju. Jadinya, isu ketahanan energi dan kemandirian ekonomi nasional menjadi isu yang begitu sensitif dengan kelansungan Industri nasional.

Hak angket telah menjadi lapangan pertempuran dua kepentingan, yakni kepentingan nasional untuk kemandirian ekonomi dan kepentingan asing yang dititipkan kepada partai-partai yang menyepakati kenaikan harga BBM. hak angket tentu bukan hanya lapangan pertempuran bagi anggota parlemen dan partai-partai, tetapi juga menjadi lapangan pertempuran seluruh kekuatan-kekuatan sosial, politik, pelaku ekonomi yang punya kepentingan terhadap “ketahanan energi”, termasuk pengusaha nasional.

Bertitik-tolak dari hal tersebut, maka posisi pengusaha terhadap hak angket adalah sebagai kekuatan penekan, yang menghendaki hak angket bermuara pada; diakhirnya “policy” energi pro asing, kemudian digantikan dengan “konsep ketahanan energi nasional” yang memihak kepada kepentingan kaum industrialis di dalam negeri.



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: September 2008

Menggagas Republik "Kedua"

Oleh : Rudi Hartono
“Revolusi Indonesia belum selesai”, seru Bung Karno, hal tersebut untuk menunjukkan, bahwa proses perjuangan seluruh kekuatan nasional untuk menjadi sebuah bangsa yang merdeka, bebas, mandiri, berdaulat---meminjam slogan Tan Malaka; Merdeka 100%--belumlah tuntas. Kita belum pernah mengelolah dan menjalankan ekonomi kita dengan betul-betul bebas; Rakyat Indonesia belum pernah menikmati kekayaan alamnya, berupa minyak, gas, batubara, mineral, hasil hutan, dan banyak lagi. Jika yang dimaksud bebas dan merdeka adalah kesetaraan dan persamaan antara bangsa-bangsa di dunia, maka kemerdekaan dan kebebasan itu belum eksis dalam tata-hubungan antara bangsa-bangsa saat ini, termasuk Indonesia.


Republik Indonesia, yang kini menjadi label dari (kurang-lebih) 250 juta manusia yang mendiami kawasan dari sabang sampai merauke, tidak memiliki “independesi” dalam menjalankan politik, ekonomi dan kebudayaannya sendiri. Meskipun berlimpah kekayaan alamnya, begitu besar sumber daya manusianya, dan sangat strategis posisinya dalam perdagangan dan perekonomian Internasional, sekitar separuh penduduknya disebutkan miskin (49,5%, versi Bank Dunia); sekitar 40% dari angkatan kerjanya menganggur; sekitar 14 juta penduduknya masih buta huruf; kelaparan, gizi buruk, dan busung lapar terjadi dimana-mana, dan pemerintah tak sanggup berbuat apapun. Inikah kemerdekaan yang kita rayakan tiap tanggal 17 Agustus itu?

Basis Kelahiran Republik Kedua

Republik pertama mengacu kepada republik yang dilahirkan oleh revolusi nasional 1945, sebuah republik yang digagas dan diperjuangkan secara mati-matian oleh para pahlawan pembebasan nasional. Bung Karno, Tan Malaka, Amir Syarifuddin, Syahrir, adalah sedikit dari sekian banyak tokoh yang melahirkan republik pertama ini. Beban berat berada dipundak tokoh-tokoh tersebut; struktur ekonomi-politik yang sudah begitu matang dan dipelihara oleh kolonialisme sekitar 300 tahun. Dengan tertatih-tatih, republik yang baru mencoba melepaskan diri dari segala bentuk kekangan dan mentalitas warisan kolonialisme.

Perjuangan tak kenal ampun Republik Pertama menyempurnakan Indonesia merdeka tidak tuntas. Kerja membangun Indonesia yang betul-betul merdeka; berdikari dibidang ekonomi, mandiri dibidang politik, dan berkepribadian dalam lapangan budaya, diinterupsi dan dihancur-leburkan oleh sebuah suksesi berdarah-darah. Kekuasan baru berkehendak mengembalikan jalan Indonesia kepada neokolonialisme, imperialisme. Orde baru tidak membangun sebuah republik, tapi hanya menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa kuli, dan kuli diantara bangsa-bangsa. Nasionalisme yang dikibarkan Orde Baru bukan nasionalisme Indonesia Merdeka, melainkan nasionalisme yang memelihara kepatuhan dan ketundukan seluruh rakyat, dengan todongan senjata dan “genosida”, agar tidak mengancam kekuasaannya. Proyek yang disokong oleh imperialisme masih terus berjalan hingga kini, bahkan semakin intensif dan sukses. Pemerintahan yang berkuasa adalah benar-benar pemerintahan yang bermental “inlander”. Ekonomi yang berjalan benar-benar bertujuan untuk memenuhi kerakusan kapitalis asing, dan menyingkirkan kepentingan seluruh rakyat.

Desakan imperialisme telah mengoyak-ngoyak ekonomi nasional; menjarah kekayaan alam dan sumber materialnya, menjadikan tenaga kerja Indonesia tidak produktif dan dibayar murah, dan 250 juta rakyat Indonesia betul-betul merupakan pasar bagi produk mereka. Desakan ini melahirkan perlawanan balik. Setidaknya ada tiga komponen bangsa ini, yang sedang berjuang melawan serbuan tersebut, yakni kaum nasionalis, agamais, dan kaum sosialis. Kelompok ini begitu heterogen dan masih berserakan. Mereka merupakan sangat minoritas di parlemen, begitu terkucilkan dipartai-partai, terisolasi dalam kalangan akademisi; tapi mereka menyesaki jalan-jalan dengan aksi-aksi massa, mereka menyesaki pemukiman kumuh, desa-desa, pabrik-pabrik, dan teritori-teritoti miskin. Tiga komponen bangsa ini---nasionalis, agamais, dan sosialis—yang menentang dominasi asing dengan berbagai cara, merupakan embrio dari kekuatan Indonesia baru: Republik Kedua
.
Gagasan Republik Kedua

Harus ada gagasan baru, yang menghimpun seluruh kekuatan nasional; nasionalis, agamais, dan sosialis, dalam menentang dan menghentikan serbuan ekonomi Negara-negara maju, seperti AS, Eropa, Jepang, China, dan lain-lain. Menghentikan serbuan asing, harus dengan memperkuat “kedaulatan nasional”. Memperkuat Negara nasional bukan berarti menegakkan superioritas Negara terhadap rakyat, tetapi menjadikan Negara sebagai benteng yang melindungi kepentingan rakyat. Neoliberalisme menyingkirkan peran Negara dalam kehidupan ekonomi, pelayanan sosial (pendidikan dan kesehatan), serta konflik antara masyarakat versus korporasi. Gagasan baru akan melakukan sebaliknya; Negara akan mengintervensi mekanisme pasar, mengorientasikan produksi pada pemenuhan kebutuhan rakyat, dan melindungi rakyat dari kemiskinan, pengangguran, dan “kekerasan politik”.

Gagasan Republik kedua menuntut kepemimpinan nasional yang baru, yang berwatak berani dan progressif berhadapan dengan kepentingan asing. Bentuk-bentuk kekuasaan lama; UU berbau neoliberal, sistem politik oligarkhis, dan korupsi yang merajalela, harus dilikuidasi dan digantikan dengan bangunan yang sama sekali baru.



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: September 2008

Mengharapkan Presiden Pro-Rakyat

Oleh : AJ Susmana

Tak hanya jumlah Partai yang semarak di Pemilu 2009, Puluhan Calon Presiden pun ikut menyemarakkan Pemilu ketiga di masa reformasi ini. Ada stok lama ada pula stok baru; baik berpartai atau pun hanya bermodal keberanian dan ketenaran. Puluhan calon presiden 2009 itu yang setidaknya sudah meramaikan media massa adalah Megawati, Gusdur, Jusup Kalla, Soesilo Bambang Yudhoyono, Sri Sultan, Agung Laksono, Wiranto, Sutiyoso, Prabowo, Soetrisno Bachir, Din Syamsuddin dan masih ada beberapa lagi seperti Rizal Ramli, Dita Indah Sari pun termasuk Fajroel Rachman yang sedang berjuang melalui jalur perseorangan.

Jauh-jauh hari sebelum gong permulaan pemilu 2009 ditabuh, para capres sudah berusaha memperkenalkan diri ke massa; dilengkapi dengan iklan kampanye dan jargon-jargonnya; via media cetak maupun elektronik yang biaya kampanyenya pasti tak terjangkau oleh calon-calon presiden yang tak bermodal besar seperti Dita Indah Sari, misalnya.

Debat soal kelayakan calon presiden pun muncul, baik di panggung parlemen maupun di luar parlemen. Sayangnya debat kelayakan capres ini lebih banyak didasarkan pada pertimbangan untuk memuluskan capresnya masing-masing dan menghalangi majunya capres lawan. Akibatnya yang tampak adalah situasi jegal-menjegal yang tidak fair seperti permainan bola yang tak menonjolkan seni bermain bola. Yang penting lawan diganjal dulu atau dijatuhkan dulu sebelum bermain.

Karena itu pula kelihatan betul bagaimana kriteria capres yang diajukan selalu mengarah pada individu capres tertentu. Misalnya soal latar belakang pendidikan: harus sarjana atau tidak harus, tentu mengarah ke Megawati, putri Bung Karno yang memang tidak sarjana. Padahal banyak terbukti dalam sejarah, yang tidak bergelar sarjana pun dapat memimpin bangsa dengan baik. Tidak perlu contoh karena pembaca dapat menyebutkan sendiri. Soal kesehatan, tentu mengarah ke Gusdur yang dalam berjalan harus dituntun dan dipandu. Padahal, Jendral Soedirman yang berjuang gerilya saja kemana-mana juga harus ditandu dan di beberapa negara, orang cacat, termasuk yang buta sudah bisa dipercaya untuk memimpin. Misalnya David Alexander Paterson, Gubernur Negara Bagian New York yang dilantik pada tahun ini untuk menggantikan Eliot Spitzer yang tersandung skandal seks.

Masih soal kriteria capres, soal usia pun mulai digugat. Kaum tua, yang berusia di atas 60-an dianggap tak layak menjadi presiden lagi di tengah krisis bangsa yang akut. Kaum tua pun dianggap lamban dan konservatif dalam menghadapi perubahan jaman. Bangsa dianggap lebih akan selamat bila dipimpin kaum muda, yang secara historis perjuangan kemerdekaan nasional, kaum muda memimpin ini menemukan landasannya. Kaum muda pun dipatok dalam soal umur, bukan dalam soal semangat, yakni di bawah lima puluh tahun atau berusia empat puluh tahunan.

PKS pun tampak menyambut dan mendorong arus munculnya kepemimpinan kaum muda dalam makna biologis ini. Tifatul Sembiring, Presiden PKS menyatakan agar tokoh-tokoh tua tidak maju. Menurut, Hidayat Nur Wahid, Mantan Presiden PKS, partainya memang bulat akan mencalonkan presiden yang berusia di bawah lima puluh tahun. Walau undang-undang tidak membatasi umur maksimum capres, tentu saja wacana ini membuat gerah kaum tua yang berumur 50 tahun ke atas. Jusup Kalla pun dalam suatu kesempatan meminta agar kaum muda tidak hanya minta jatah, tapi juga berjuang untuk itu. Menanggapi pernyataan Tifatul sembiring, Megawati pun meminta Tifatul untuk maju berkompetisi, pun calon lain bahkan dari jalur perseorangan. Sukardi Rinakit menganggap tokoh-tokoh tua dalam pemilu 2009 berada dalam tikungan terakhir. Bila gagal dalam pemilu 2009, lebih baik berpikir di jalur lain dalam soal pengabdian pada bangsa.

Perdebatan-perdebatan soal kriteria capres 2009 di atas memang tak substansial bila diletakkan dalam banyaknya problem yang dihadapi rakyat Indonesia. Umur, Latar Belakang Pendidikan, Kelayakan Jasmani, jenis kelamin bahkan...bila diperdebatkan justru hanya akan menghabiskan waktu dan energi, baik psikhis maupun fisik. Itu pun justru tak dapat menyentuh persoalan pokok rakyat Indonesia. Dalam soal pembangunan kesadaran politik, juga tak mendidik. Lebih baik perdebatan antar calon presiden yang akan maju dalam kompetisi pemilu 2009, sudah mulai mengarah pada soal program dan jalan keluar untuk krisis yang melanda bangsa.

Dengan demikian rakyat yang akan memilih calon-calonnya pun mulai dapat mempelajari program dan jalan keluar apa yang ditawarkan para capres agar bangsa ini bisa keluar dari krisis. Dengan demikian rakyat pun dapat belajar dengan baik tentang politik dari para capres dan dapat menilai lantas memilih presiden pro rakyat yang memang selalu diharapkan.



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: September 2008

Perempuan dalam Pemilu 2009

Oleh: Ulfa ilyas
Momentum pemilihan umum atau pemilu 2009 sudah semakin mendekat. Komisi Pemilihan Umum atau KPU baru saja mengumumkan 34 partai kontestan pemilu 2009. Ada 16 partai lama dan 18 partai baru. Sebelumnya, proses pemilu 2009 diramaikan dengan tuntutan berbagai kelompok perempuan (baik di parlemen maupun ekstra-parlementer), untuk mendorong keterwakilan perempuan di parlemen lewat kuota 30 %. Selain itu, di berbagai proses pemilihan kepala daerah, tidak sedikit kaum perempuan terlibat dalam pertarungan electoral, meskipun banyak yang berakhir dengan kekalahan.

Keterlibatan perempuan dalam politik menjadi hal yang tak ditawar-tawar lagi. Tapi, fakta menunjukkan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga politik masih begitu rendah. Di parlemen misalnya, hanya 10%, sedangkan di jabatan politik, macam gubernur, bupati, dan camat prosentasenya lebih rendah lagi.


Lapangan Politik Perjuangan Perempuan
Pemilu 2009 akan menjadi lahan uji bagi keseriusan partai politik dan mayoritas pengambil kebijakan terhadap keterwakilan perempuan. Ini tidak berarti perempuan menjadi “pengemis” terhadap sebuah keterbukaan ruang bagi mereka, tapi beban yang berlipat yang ditimpakan kepadanya mengharuskan mereka mendapatkan dukungan nyata.

Dalam budaya dan praktek politik yang sangat patriakis, tanpa penerapan kebijakan afirmatif maka pemilihan umum hanya akan melanggengkan dominasi laki-laki di arena politik. Telah terbukti jika jumlah perwakilan perempuan di arena politik dan dalam proses pengambilan keputusan signifikan maka perempuan bisa membuat perbedaan dan mereka bisa mempengaruhi keputusan atau kebijakan yang diambil. Perjuangan politik bukanlah medan baru dalam sejarah pembebasan perempuan di Indonesia. Ruang ini semenjak lama –terlebih setelah diberangusnya organisasi perempuan ditahun 1965/66—menjadi sangat susah untuk dimanfaatkan oleh perempuan. Mereka terkadang masih diperlakukan sebagai “tamu asing” dalam rumah yang bernama “politik”.

Ada kemenangan kecil dalam arena kontestasi 2009, sebuah regulasi yang mensyaratkan kepengurusan 30 % perempuan dalam jabatan kepengurusan dan pencalonan anggota legislatif dari partai politik. Regulasi itu memperbesar proporsi perempuan dalam komposisi pengambilan keputusan partai dan komposisi pencalonan legislatif dalam pemilu. Jika sebelumnya banyak perempuan yang terjegal dalam pencalonan karena ditaruh di nomor buntut, maka di dalam pemilu mendatang ruang perempuan bertarung dengan calon lain semakin terbuka. Persoalannya adalah proporsi keterwakilan yang besar tanpa adanya pendidikan politik maju, akan susah diharapkan menjadi kekuatan yang berkarakter ”feminisme” dalam arena pemilu. Perempuan yang kurang peka dengan problem sektoralnya, akan menjadi pembuntut politik lama atau diombang-ambingkan oleh proses politik yang berlangsung.

Perempuan Bertarung
Pemilu 2009 menjadi arena menentukan bagi segi-segi perjuangan perempuan; perjuangan menghapuskan diskriminasi gender, kekerasan, perdagangan perempuan, politik upah murah dan kondisi kerja yang memprihatinkan, peraturan-peraturan politik yang berbau membatasi hak-hak kaum perempuan, dan sebagainya. Tidak ada pilihan lain, kandidat-kandidat perempuan dari berbagai macam partai seharusnya menyusun hal di atas menjadi agenda bersama, yang bisa menjadi platform perjuangan perempuan dalam arena pemilu, untuk menyatukan semua perempuan dari berbagai spectrum yang ada.

Ada beberapa tantangan bagi perempuan dalam bertarung di pemilu mendatang, yakni; pertama mayoritas partai-partai yang ikut dalam kompetisi pemilu merupakan partai-partai lama, kalaupun ada 18 partai baru, tetapi tindakan politiknya mengikuti pola lama ataupun komposisi dewan pengurusnya berisikan kekuatan lama. Ini merupakan jebakan politik jika perempuan tidak merumuskan bentuk politik berbeda dan program-program yang berbasiskan kepentingan konstituen.
Kedua, tingkat kepercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga politik; parlemen, partai-partai, maupun sistem pemilu semakin menciut. Persentase golongan putih atau golput terus saja meningkat di berbagai pengalaman pemilihan kepala daerah.
Ketiga, kemampun dan keahlian kandidat perempuan untuk menempati posisinya. Umumnya posisi-posisi pencalonan anggota legislatif dan pengusungan calon direbut oleh perempuan dari kelas menengah ke atas, sangat jarang yang jatuh ke bawah (bahkan belum ada). Pada umumnya, meskipun lapisan sosial ini memiliki tingkat pengetahuan dan pendidikan yang tinggi, akan tetapi biasanya kurang peka dan kurang terikat secara organik dengan massa perempuan di akar rumput.
Sehingga, menjelang pemilu 2009, seluruh kelompok perempuan dan kandidat (calon legislatif) perempuan dari berbagai latarbelakang politik perlu berkumpul bareng untuk merumuskan program dan aksi bersama. Hal ini akan menjadi warna politik kaum perempuan dalam pemilu mendatang.
*tulisan ini pernah dimuat di MEDIA BERSAMA
Ulfa Ilyas, aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi.



Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: September 2008