Perempuan Melawan Neoliberalisme

Mesin Tua dan Ekonomi-Politik BBM


Oleh: Ulfa Ilyas[1]

Ibarat mesin tua, semakin cepat rusak dan banyak mengeluarkan ongkos. Mesin tua juga boros menggunakan BBM dan kurang produktif dibandingkan mesin baru. Inilah gambaran politisi tua negeri ini. Meskipun sudah malang melintang dalam panggung perpolitikan nasional, namun cara berpolitik mereka tidak berubah, malah semakin menjenuhkan. Konfigugaris politik para politisi tua di negeri ini mencakup hampir semua partai-partai lama, elit politik muka lama, hingga orang muda tapi cenderung mengikuti dan membelah tradisi lama.

Sangat menarik membedah sepak-terjang mereka seiring dengan dekatnya momentum kenaikan BBM yang dijadwalkan awal juni mendatang. Kenaikan BBM tahun ini memiliki beberapa signifikansi, pertama, karena datangnya berhimpitan dengan gejolak kenaikan harga-harga sembako diberbagai daerah, kemiskinan yang semakin bertambah akut, dan pengangguran yang cukup meluas. Kedua, kenaikan BBM berdekatan dengan momentum pemilu 2009, sehingga ini bisa menjadi ajang manuver politik berbagai elit politik dari berbagai sisi. Sejarah menunjukkan, kenaikan BBM selalu menjadi pemicu krisis politik akibat meluasnya demonstrasi dan protes sosial, disisi lain, elit politik yang berdiri di pihak oposisi menjadikan isu ini sebagai senjata utama untuk menghajar lawan politiknya.

Sepak Terjang Mesin Tua

Menjelang rencana pengumuman kenaikan BBM pada awal bulan juni nanti, mesin tua ini terbagi menjadi dua pengelompokan utama yaitu mereka yang berada dibelakang tuntutan menaikkan BBM dan berposisi menentang kebijakan ini. Sisanya mereka yang ambigu namun perlahan-lahan terdorong masuk dalam dua pengelompokan ini. Kepentingan utama dibalik kenaikan BBM sebenarnya adalah kepentingan asing. Hal ini dapat dilacak pada kenyataan bahwa pengelolaan migas Indonesia sepenuhnya dikuasai oleh asing. Menurut Hendri Saparini, ekonom ECONIT, sekitar 85%-90% pengelolaan migas di Indonesia dipegang oleh pemodal asing. Karena bergantung pada kepentingan asing, pemerintah Indonesia tidak sanggup melakukan penataan terhadap orientasi kebijakan migasnya agar berpihak kepada mayoritas rakyat. Tekanan terhadap APBN merupakan imbas dari praktek impor beberapa tahun sebagai respon kekurangan pasokan minyak nasional, akibat hampir seluruhnya dikendalikan asing.

Bagaimana reaksi segenap lapisan elit politik nasional menanggapi kenaikan BBM. Kelompok pertama berargumentasi bahwa kenaikan BBM sebagai sesuatu yang tak terhindarkan. Menurut mereka, kenaikan harga minyak dunia merupakan hukum alam yang harus diikuti oleh pemerintah Indonesia. kelompok kedua meskipun berposisi mengkritisi atau bahkan menolak, namun kritik mereka terus-menerus berputar-putar pada persoalan wajar dan tidak wajar menaikkan BBM dalam situasi sekarang? Kenaikannya jangan membebani rakyat? Dan pemerintah harus berpikir ulang sebelum menaikkan BBM? Selanjuntnya, mereka menawarkan solusi yang tidak bergeser jauh dari wacana-wacana moral mereka.

Politik BBM dan Kebangkitan Protes

BBM merupakan kebutuhan yang sangat vital. Sulit membayangkan perekonomian bisa bergerak dan berkembang kalau tidak ada pasokan energi. Demikian pula dengan rakyat Indonesia, mayoritas diantara mereka masih menggantungkan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk aktivitasnya. Selain itu, BBM merupakan price list. Penentuan harga-harga barang dan komoditi dipasar dihitung dengan berpatokan kepada harga BBM. Jelas, BBM menjadi elemen penting yang harus dikontrol oleh negara agar harganya tidak berubah-ubah. Berita mengenai kenaikan BBM akan memicu gejolak perekonomian. Orang-orang menjadi risau dan khawatir karena aktivitas paling dasar seperti makan dan minum pun sangat tergantung pada ada tidaknya pasokan BBM.

Tak pelak lagi, unjuk rasa marak dimana-mana. Berbagai daerah memperlihatkan eskalasi meningkatnya aksi penentangan terhadap rencana menaikkan harga BBM. di Jakarta sendiri, aksi massa yang dilakukan oleh FRM berhasil memobilisasi 8000-an massa bergerak keistana. Di berbagai daerah kendati bertuburukan dengan kepolisian yang menjadi alat kekuasaan SBY-JK mengamankan kebijakannya aksi perlawanan menolak kenaikan BBM terus terjadi. Aksi-aksi ini semakin memperlihatkan kerisauan dan kerawanan bagi pemerintah ketika aksi-aksi ini mulai diikuti atau didukung oleh elit politik. Isu “tunggang-menunggangi” pun begitu intensif dilemparkan oleh badan intelijen, kepolisian, pemerintah dan media massa. Keterlibatan elit politik dalam aksi ini sepenuhnya menguntungkan pengunjuk –rasa dalam hal perimbangan kekuatan. Tetapi, tidak semua politisi yang menentang kenaikan harga BBM dapat diharapkan sebagai supporting gerakan. Banyak pula diantara mereka yang punya agenda politik yang hendak disusupkan lewat mahasiswa.

Pertemuan kepentingan antara gerakan massa dan kepentingan elit politik ini sangat sementara. Sehingga harus disadari, kepentingan gerakan adalah bersifat strategis sedangkan kepentingan beberapa dari elit itu bersifat sangat pragmatis (pemilu 2009). Karena perbedaan kepentingan itu, independensi gerakan dalam menjalankan strategi-taktik tetap harus dipertahankan. Kita kaum gerakan kendati harus mengakui pentingnya aksi bersama sebagai jalan mengakumulasi kekuatan, tetapi tetap harus menjaga keluwesan dan kebebasan dalam menjalankan stratak serta menyampaikan program perjuangan.



[1] Aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)

Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: Juni 2008

Gembok (dan) Kemunafikan

AJ Susmana

Benang kusut persoalan negeri ini semakin menggelisahkan bila tak dapat diurai dengan bijak. Bukan hanya kegilaan yang mungkin makin bertambah di antara rakyat negeri tapi juga tak menemukan jalan keluar sehingga kita hanya berputar-putar dalam lingkaran setan kebingungan dan tak keluar untuk berkembang menjadi bangsa besar. Persoalan yang nyata dihadapi tentu saja adalah: kemiskinan, korupsi dan tak tersedianya lapangan kerja. Kita sadari semua ini akibat dari proses penjajahan kolonial yang belum berakhir. Kekayaan alam kita masih dikuasai perusahaan asing dan dalam pengelolaan dan pengolahannya tak memakmurkan rakyat negeri tapi terus saja memperbanyak pundi-pundi untuk kemakmuran negeri asing. Inilah penjajahan baru yang membuat kita merasa terus-menerus dalam kondisi pemiskinan sejak proklamasi kemerdekaan 63 tahun yang lalu. Tanpa Jeda.

Walau begitu, bagaimana persoalan ini diselesaikan tampak tak menjadi fokus pemimpin negeri. Kita lihat: Pemerintah kota di berbagai wilayah Republik Indonesia yang sedang membangun citra kota yang bersih berusaha keras menyingkirkan para gelandangan, pengemis dan tuna wisma, termasuk juga menyingkirkan pedagang kaki lima beserta sumber kehidupannya tanpa solusi pengganti tempat kerja yang pasti. Mereka yang mulai mengganggu pandangan mata karena secara menyolok tinggal di kolong-kolong jembatan atau pinggir-pinggir rel kereta api disingkirkan. Kemana mereka pergi? Tidak tahu…tapi tak berapa lama satu-persatu, keluarga demi keluarga, kembali ke kolong-kolong jembatan; ke pinggir-pinggir rel kereta api; mengais-ngais kehidupan. Seadanya. Semampunya. Tak peduli kesehatan anak dan diri-sendiri. Tak ada program yang makin memanusiakan. Jelas sudah program pemerintah dalam soal kemiskinan kebanyakan hanyalah menggusur orang-orang miskin dari kota yang sedang membangun citra, bukan pada menggusur pemiskinan atau sistem yang memiskinkan rakyat negeri yang terus berlangsung. Kemiskinan seperti mengalir saja bersamaan hingar-bingar musik dan kehidupan lainnya. Kemiskinan dianggap hanyalah salah satu tarian dalam kehidupan. Dalam kemiskinan, tentu tak ada keindahan. Begitulah kemiskinan merajalela sementara immoralitas atau yang dianggap asusila oleh para pemimpin negeri diperangi di mana-mana dengan energi besar dan seringkali menjadi tidak manusiawi, ketinggalan jaman dan mengada-ada.

Masih ingat Gembok Pemijat, yang beberapa hari lalu menghiasi media-media massa kita baik elektronik maupun cetak? Gembok pengaman kemaluan perempuan yang sudah menjadi cerita kuno itu tiba-tiba menjadi pembicaraan hangat di mulut laki-laki dan kaum perempuan. Menjadi inspirasi (mungkin) bagi beberapa orang untuk mencegah perzinahan, pemerkosaan dan kebejatan lainnya yang bersumber dari seksualitas. Orang pun kembali diingatkan pada masa raja-raja menggembok kemaluan putri, isteri dan selir-selir raja agar tak terjerumus pada perzinahan maupun perselingkuhan. Inilah solusi politik mencegah tindakan asusila seksual yang dikibarkan Pemerintahan Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Dinas Pariwisata DKI pun tengah menimbang-nimbang apakah akan mengikuti aturan yang dijalankan Pemkot Batu, Malang tersebut.

Tindakan ini sendiri dilakukan dalam rangka mencegah bisnis pelacuran terselubung di panti-panti pijat. Sementara itu soal pelacuran sendiri dari segi ilmu-ilmu sosial dapat dipahami sebab keberadaannya, tumbuh-kembangnya dan bagaimana menghapuskannya dengan bijak. Tentu tak cukup dari sudut moralitas dan aturan formal saja. Pelacuran adalah penyakit sosial. Di sini, kemiskinan ekonomi adalah faktor penting merebaknya pelacuran. Sistem ekonomi politik yang tak adil akan selalu memberi ruang pada pelacuran. Diberantas dengan cara apapun termasuk kekerasan, bila sistem ekonomi politiknya tak adil, pelacuran tetap akan ada. Dalam situasi ini pelarangan hanya menimbulkan bentuk pelacuran yang baru yang justru geraknya sulit diikuti yakni pelacuran terselubung. Dengan begitu efek buruk misalnya penyakit seksual juga susah diberantas. Kemunafikan pun akan menjadi-jadi. seperti juga yang terjadi pada jaman Victoria

Dengan begitu, dalam situasi ini ketika rakyat membutuhkan pemimpin yang tepercaya, kualitas moral pemimpin memang dibutuhkan. Tertangkapnya anggota DPR, Al Amin Nasution oleh KPK dan sebelumnya, Jaksa Urip yang notabene “mewakili” orang-orang terhormat di negeri ini dalam kasus penyuapan bahkan penyuapan terhadap Al Amin Nasution disinyalir melibatkan juga bisnis pelacuran (walau tetap dijunjung asas praduga tak bersalah) hanyalah semakin menyimpulkan betapa jauhnya kata dan perbuatan dari para pemimpin negeri ini.

Sekali lagi, kemunafikan itulah yang melanda sebagian pemimpin negeri dan kita berharap semoga masih banyak pemimpin yang bersih dan memang bekerja untuk rakyat. Bekerja untuk kemakmuran rakyat: menggusur pola pemiskinan yang berlangsung bukan menggusuri orang-orang miskin dari perkotaan demi kenyamanan segelintir orang. Lagu Slank, “Gossip Jalanan” yang salah satunya baitnya menyinggung pola kerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya mementingkan uang itu tampak menemukan kebenarannya. Karena itu dari segi moral, yang penting adalah menggembok kemunafikan dan jujur pada realitas. Dengan begitu, diharapkan dapat bangkit dari realitas tersebut serta mengubahnya menjadi lebih baik sesuai kehendak jaman.

Tulisan ini pernah dimuat di: www.vhrmedia.com Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: Juni 2008

Persatuan Mahasiswa Jakarta; Mahasiswa Jakarta Menentang Kenaikan Harga BBM


Oleh: Ulfa Ilyas[1]

Hari-hari yang melelahkan. Berhari-hari, bahkan hampir sebulan, aku dan kawan-kawan turun kejalan untuk menentang rencana pemerintah yang akan menaikkan harga BBM. kenaikan BBM tahun ini merupakan kebijakan ketiga kalinya dimasa pemerintahan SBY-JK. Dan itu berarti, tiga kali pula gerakan mahasiswa dan gerakan yang mengaku revolusioner gagal menghentikan kebijakan pemerintah, bahkan untuk penundaan sekalipun. Kegagalan ini patut menjadi pertanyaan besar, karena di akhir April dan di awal Mei, kita masih sempat turun secara besar-besaran untuk merayakan May-day. Belum lagi, momentum radikalisasi di bulan Mei yang berhimpitan seperti hardiknas, tragedy trisakti, kebangkitan nasional, dan jatuhnya Orde baru. seharusnya momentum ini bisa memberikan lipatan kekuatan untuk gerakan menentang kenaikan harga BBM, hingga berhasil menggagalkannya.

Sebelum pengumuman kenaikan harga BBM (23/05/08), Berbagai kelompok mahasiswa, buruh, petani, miskin kota, dan perempuan menggelar aksi massa untuk menentang kebijakan pemerintah ini. Gelombang aksi-aksi menentang kenaikan harga BBM berkembang dan cukup meluas, meskipun daya pukulnya masih terasa cukup lemah. Di makassar, aksi di mulai di kampus UIN Makassar yang berujung bentrok dan penangkapan beberapa aktifis mahasiswa. Kejadian ini memicu aksi –aksi serupa berkembang di beberapa kampus lainnya, seperti di UMI dan UNM. Di daerah lain, aksi massa menentang kenaikan BBM juga berlansung di Padang, Lampung, Palembang, Jambi, Jakarta, Surabaya, malang, Semarang, jogjakarta, Maluku, samarinda, manado, dan lain-lain. Di Jakarta, aksi menentang kenaikan harga BBM dilakukan sejak tanggal 12 mei oleh elemen KAMMI, BEM Se-Indonesia, dan Front Rakyat Menggugat.

Peringatan kebangkitan nasional (20/05) dimanfaatkan sebagai momentum menolak kenaikan harga BBM. Aksi besar-besaran dilakukan oleh Front Rakyat Menggugat (FRM) yang merupakan gabungan puluhan organisasi seperti LMND, Papernas, FNPBI, SRMI, Repdem, Prodem, GMNK, FAMRED, Dewan Tani Indonesia, ISBI, HMI, GMKI, dan lain-lain. FRM memobilisasi sekitar 8.000-an massa lebih menuju istana negara. Di tengah-tengah massa FRM, hadir mantan menko perekonomian era Gusdur, Risal Ramli yang turut berjalan kaki bersama massa ke istana merdeka. FRM memegang platform anti terhadap sistem neo-liberalisme.

Esok harinya (21/05/08), giliran berbagai elemen melakukan aksi depan istana bersamaan dengan momentum kejatuhan Orde Baru. karena momentum reformasi, kelompok yang mencolok dalam aksi ini adalah mahasiswa yang berasal dari KAMMI, BEM, FORKOT, FRM, kelompok organisasi mahasiswa Cipayung (HMI dan PMII) dan kelompok-kelompok mahasiswa yang lebih kecil (dewan mahasiswa Jakarta, mahasiswa Untar, dll). Diluar mahasiswa, ada kelompok Front Pembebasan Nasional (FPN) yang merupakan organisasi-organisasi yang turut memperkuat formasi Aliansi Buruh Menggugat. Mereka memobilisasi lima ratusan orang yang mayoritas adalah buruh. Kelompok lainnya adalah Front Perjuangan Rakyat (FPR) yang merupakan sebuah formasi front saat respon Mayday. Aksi tanggal 21 mei ini memperlihatkan wajah asli gerakan di Indonesia yang terpragmentasi, dengan membuat panggung sendiri-sendiri, masing-masing front/aliansi mengagitasi massa masing-masing. Aksi kelihatan seperti sebuah perang soundsystem dan kepiawaian berorasi, ketimbang sebuah gerakan massa politis untuk menekan pemerintah.

Tanggal 23 Mei, pukul 09.30, pemerintah SBY-JK lewat menterinya telah mengumumkan kenaikan harga BBM. Pengumuman ini adalah deklarasi kemenangan pemerintah setelah pertempuran melelahkan. Kecuali UNAS, aksi-aksi yang digelar untuk merespon pengumuman ini sungguh kecil dan tercerai-berai.

Pemicu itu di “Pejaten”

Pengumuman kenaikan harga BBM hari jum,at (23/05/08), merupakan keputusan mendadak yang berada diluar prediksi organisasi-organisasi gerakan perlawanan. Beberapa kelompok mencoba memberikan respon spontan atas kebijakan pemerintah ini, akan tetapi sangat kecil. Tiba-tiba, mahasiswa di kampus UNAS membuat sebuah letupan. Aksi yang awalnya berlansung di depan kampus, direspon oleh polisi secara berlebihan memicu bentrokan antara mahasiswa dan polisi dari malam hingga pagi hari. Kejadian di kampus UNAS menjadi titik kulminasi dari rangkaian aksi kekerasan kepolisian dalam menangani aksi-aksi mahasiswa. Begitu brutalnya polisi menyerbu kampus UNAS telah memberikan energi berkali-kali lipat kepada beberapa elemen gerakan mahasiswa untuk kembali turun kejalan. Aksi-aksi serupa kembali terjadi di berbagai kampus, bukan hanya di Jakarta, akan tetapi terjadi pula dibeberapa daerah seperti Makassar, Malang, Surabaya, dan lain-lain.

Di Jakarta, respon atas kerusuhan yang dilakukan oleh aparat melahirkan konsolidasi yang cukup luas namun cukup solid, yakni Persatuan Mahasiswa Jakarta. Karena melihat perkembangan aksi kekerasan yang dilakukan oleh polisi di kampus UNAS dan diberbagai tempat, beberapa kelompok gerakan mahasiswa ini sepakat menghilangkan warna bendera dan berbagai hambatan-hambatan dalam persatuan. Hasilnya cukup bagus, beberapa aksi di depan kampus bisa dikoordinasikan dan diputuskan secara bersama-sama.

Di daerah, respon atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM kembali bergelora. Di kampus Universitas Hasanuddin terjadi bentrokan antara mahasiswa dan polisi. Demikian pula dengan mahasiswa IAIN Alauddin Makassar, untuk kesekian kalinya, aksi mahasiswa diserbu oleh polisi masuk kampus bahkan mengejar sampai ke pemukiman mahasiswa. Di Jalur pantura, ribuan nelayan menggotong perahu dan memasangnya terbentang dijalan yang merupakan jalur utama pantura. Perahu itu dibakar oleh nelayan sebagai symbol protes atas kenaikan harga BBM yang akan menyengsarakan rakyat. Di Madiun, masyarakat memasang bendera setengah tiang sebagai bentuk keprihatinan atas kenaikan harga BBM.

LMND sendiri menggelar aksi mogok makan serentak di berbagai kota di Indonesia, diantaranya; di kampus IISIP (Jakarta), Universitas Airlangga (Surabaya), Universitas Hasanuddin (makassar), Unila dan UBL (Lampung), kantor DPRD dan STAIN (Palu), STAKN (Toraja), UKSW(Salatiga), Universitas Diponegoro (semarang), Unsoed (Purwekerto), IAIN Raden Fatah (Palembang), IKIP Mataram (NTB), STIKOM (Labuhan Batu), Univ. Riau- UNRI (Riau), Unitri (Malang), Unhalu (kendari), Univ. Samratulangi (Manado), Univ. IKSAN (Gorontalo), ULB ( Labuhan Batu), UNSI (Siantar), Alun-alun kota Kudus, .

Ada pergeseran bentuk aksi maupun panggung yang diambil oleh gerakan mahasiswa paska kenaikan harga BBM. metode aksi dengan jalan membakar ban dan memblokir sebagian badan jalan makin marak di Jakarta dan beberapa kota. Panggung utama bukan lagi didepan istana atau symbol pemerintahan, akan tetapi sudah coba beralih kekampus-kampus. Pergeseran bentuk aksi dan panggung ini dilatarbelakangi oleh dua hal yakni; pertama, kekerasan dan refresifitas polisi dalam berbagai aksi unjuk rasa damai menentang kenaikan harga telah memberikan kesadaran baru kepada mahasiswa untuk melawan dengan kekerasan pula. pendekatan brutal polisi telah mengkondisikan metode perlawanan mahasiswa dialihkan ke kampus. Metode ini terlihat dipakai di UNAS, UKI Jakarta, Moestopo, Unhas Makassar, dan UIN Makassar. Kedua, aksi –aksi keluar dengan kemampuan mobilisasi yang mengecil keliatan tidak memiliki dampak signifikan secara politik (kurang kedengaran), dan tidak menguntungkan dalam memperbesar gerakan.

Melawan Sektarianisme

Persatuan Mahasiswa Jakarta (PMJ) dilator-belakangi oleh peristiwa UNAS. Penyerbuan brutal polisi kedalam kampus UNAS telah memberikan kesadaran baru kepada mahasiswa bahwa aksi-aksi kecil yang terisolasi dikampus-kampus dengan mudah akan dipukul oleh polisi. Harus ada penyatuan aksi-aksi tersebut, sehingga tekanan politiknya bisa meluas, suhu politiknya tetap terjaga dan konsentrasi polisi bisa terpecah belah. Beberapa elemen gerakan, terutama elemen yang dicap “heroic” oleh gerakan yang ‘revolusioner” melakukan konsolidasi. Kebanyakan mereka adalah eks-eks aktifis 1998 yang masih memiliki pengaruh kuat didalam kampus. Konsolidasi ini melahirkan aliansi/front bernama Persatuan Mahasiswa Jakarta (PMJ). Kendati motor utama konsolidasi PMJ adalah organisasi-organisasi gerakan (ekstra), tetapi demi kepentingan memperluas dan mempertahankan suhu politik penentangan kenaikan harga BBM, organisasi-organisasi ini bersepakat melepaskan bendera dan nama organisasi. PMJ mengkoordinasikan beberapa kampus di Jakarta antara lain; Univ. Moestopo Beragama, Universitas Bung Karno (UBK), Univesitas Sahid Jakarta (USAHID), Univ. Mercu Buana, Institute Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, UPI- YAI, Univ. Pancasila (UP), UPN, Univ. Jayabaya, BSI, Univ. Borobudur, Universitas Nasional (UNAS), Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, Univ. Islam Negeri (UIN) Jakarta. Dalam hal tuntutan, PMJ tetap menuntut supaya pemerintah membatalkan kenaikan harga BBM dan mengambil solusi; nasionalisasi Industri pertambangan asing dan penghapusan utang luar negeri.

Kesepakatan menurunkan bendera dan menyimpan nama-nama organisasi merupakan sebuah langka maju. Beberapa persoalan sectarianism terkadang bermuasal dari eksistensi organisasi dan arogansi organisasi yang merasa lebih unggul (secara kuantitatif dan kualitatif). Di dalam gerakan mahasiswa, sektarianisme lahir dari cara berfikir atomistik yang ditumbuh-kembangkan oleh ilmu pengetahuan borjuis di pengajaran-pengajaran Universitas. Gerakan yang terisolasi dan terpagari oleh symbol-simbol universitas dan lambang organisasi diperkuat oleh kenyataan masih kuatnya intervensi apparatus negara terhadap lembaga Universitas. Tidak jarang, pihak rektorat selalu menghalang-halangi mobilisasi-mobilisasi mahasiswa yang mulai bercampur-baur dengan gerakan mahasiswa dari kampus lain, ataupun berbaur dengan sektor rakyat lain.

PMJ memulai pekerjaannya dengan membangun posko di beberapa titik yakni IISIP Jakarta, Moestopo, dan YAI. Posko di IISIP yang dikoordinasikan oleh teman-teman LMND juga diisi dan didatangi oleh mahasiswa dari GMNK, Moestopo dan Mercubuana. Di Posko ini, tidak ada symbol organisasi, yang ada adalah kesepakatan bahwa gerakan harus disatukan dan perlawanan harus dilanjutkan. Posko IISIP menggelar aksi mogok makan dengan 6 orang peserta (2 dari IISIP, 2 dari UNAS, dan 2 dari Unisma Bekasi). Aksi bagi selebaran, propaganda dan kampanye dilakukan atas nama persatuan mahasiswa Jakarta. Di hari pertama, kedua dan seterusnya, kawan-kawan Solidaritas Mahasiswa IISIP (SM-IISIP) yang didalamnya diisi oleh sebuah tendensi sektarian menolak untuk bergabung dalam PMJ dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal; persoalan organ ekstra-lah, persoalan ada bintang di baliho-lah, dan macam-macan. Bahkan, di hari ketiga, SM-IISIP mengirimkan SMS ultimatum untuk mengusir posko kami dengan alasan bahwa posko PMJ diisi oleh mahasiswa dari luar. SM-IISIP sendiri adalah merupakan wadah dari BPM dan beberapa organisasi mahasiswa yang sebenarnya adalah unsur minoritas di kampus, akan tetapi mereka diuntungkan oleh posisi organ legal (BPM) sehingga dengan seenaknya mau mengusir kita. Di hari pertama posko PMJ, kampus UKI bergolak oleh karena perlawanan mahasiswa menentang kenaikan harga BBM.

Aksi PMJ di yang paling sukses adalah aksi terkoordinasi dihari kedua, tepat sore hari, kampus Borobudur di Kali Malang, Jakarta timur menggelar aksi bakar ban didepan kampus. Beberapa menit kemudian, kawan-kawan di Atmajaya juga menggelar hal yang sama. Di kampus Moestopo, polisi bentrok dengan mahasiswa. Demikian pula dengan kampus UIN di Ciputat juga melakukan aksi serupa didepan kampus. Aksi-aksi ini begitu sukses mempertahankan suhu politik dan militansi mahasiswa Jakarta untuk tetap melakukan aksi-aksi menentang kenaikan harga BBM.

Metode “back to campus” dan melakukan konfrontasi-konfrontasi dengan aparat merupakan pilihan taktik yang tepat pada saat itu. Meskipun belum berhasil, akan tetapi secara perlahan-lahan, gerakan mahasiswa mencoba untuk mengembalikan pamor kampus sebagai panggung gerakan. Ada banyak metode dan panggung yang bisa dilakukan, antara lain; aksi-aksi mimbar bebas, orasi keliling, bagi-bagi selebaran, diskusi dan debat terbuka, rapat-rapat akbar di auditorium atapun lapangan terbuka, dan aksi-aksi didepan kampus. Selain itu, alat –alat propaganda di kampus harus difungsikan kembali sebagai corong propaganda gerakan. Ada kebutuhan memaksimalkan atau membangun pers-pers kampus dan pusat-pusat penerbitan, membangun dan mengoptimalkan radio-radio komunitas/kampus, alat-alat kebudayaan seperti teater, patung, mural, dan musik-musik perjuangan.

Kami menyadari, kelemahan masih terjadi disana-sini. Aksi-aksi yang dilakukan dikampus sudah mulai menyurut. Kawan-kawan yang tertangkap belum berhasil kita bebaskan. Koordinasi yang dilakukan oleh teman-teman dialiansi masih sangat cair dan keterlibatan massa mahasiswa dalam aksi-aksi yang digelar didepan kampus masih sangat kecil. Akan tetapi, pekerjaan teman-teman dari berbagai kampus merupakan embrio persatuan, sekaligus merupakan investasi (tabungan) kesadaran bersatu (tidak sektarian) untuk menyonsong perjuangan selanjutnya. Kita sudah memulai, kami berharap semangat-semangat serupa bisa tumbuh subur hingga akhirnya bisa meruntuhkan rejim pro-asing ini. A luta Continua!



[1] Aktifis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Jakarta.

Read More>> PEREMPUAN KIRI, Media Alternative: Juni 2008